๐ฐ๐ฐ. ๐ท๐๐๐๐๐๐๐๐
"Tolong ...." Suara parau seorang pria menyelusup dari sebuah ruangan. Tempat itu gelap nan sunyi. Hanya ada bias cahaya bulan tampak dari balik lubang-lubang ventilasi, dan beberapa obor yang berkobar meski angin tak berpaling darinya.
"T-tidak." Ia tercekat. "Siapa pun---" Kini, tangannya terulur hendak mencari seseorang yang dapat membantu keluar dari badai emosi itu. Dengan keringat dingin dan degup tak beraturan, ia terus menggeleng.
Tatkala sebuah tangan yang dipikir datang menyelamatkan justru mencekiknya, merontalah ia pada kekosongan tiada arti, "Kumohon, tolong aku."
"Mo---hon."
"... aku ... tolong, tolong!" Seperti saling bersahutan, suara itu menggema keras, hingga membangunkan sang pemilik suara dari asumsi buruk alam bawah sadar. Hal yang kemudian dilakukan adalah meraba permukaan leher, dan menyadari bahwa ia ternyata baik-baik saja. Namun, mimpi itu terasa sesak seperti ketika dirinya kesulitan bernapas kala tenggelam.
Kini, kepala Leรณn terasa pening dihantam anomali mimpi dan realita tentang kejadian yang menimpa. Belum habis perenungannya, pemuda itu mengendus aroma khas pedas dan menyengat pada sebuah bejana di samping berisi dupa. Asap bakarannya melebur bersama lilin beraroma myrrh---sangat intens, seperti berminyak dan sedikit pahit.
Alhasil, ketika aroma kedua benda itu disatukan, Leรณn benar-benar mual. Namun, ia sedikit mengangumi kandil lilin. Api yang dimunculkan tidak berwarna klasik seperti obor di dinding itu atau lilin-lilin yang biasa dinyalakan pada Gereja Le Jardin des Rรชves, melainkan tampak kuning keunguan.
Pandangannya mengedar, ia mencermati baik-baik tempat tersebut memiliki nilai artistik tinggi. Tubuhnya sendiri terbaring pada sebuah altar sederhana dengan simbol pentagram---membentuk lima garis serta lima sudut yang saling bersilangan, dan seperti sudah terukir dalam kurun waktu lama.
Leรณn jadi sedikit tenang melihat harmoni dalam ruangan itu, meskipun bangunan ini tampak tua dan didesain sederhana. Sayang sekali, segala rasa kekaguman itu buyar ketika lelaki berwajah Asia menaiki Altar dan memiting tangannya. "Dengar! Tidak ada waktu untuk menjelaskan semuanya. Intinya, kita harus keluar dari tempat ini."
Leรณn mengernyit. "Maaf, tapi sepertinya aku nyaman di tempat ini," ucapnya dengan binar mata takjub. Ia merasa tempat ini seolah mengingatkannya dengan suatu hal sakral. "Lagi pula bukankah kita masih asing bagi satu sama lain?" katanya berjaga-jaga dengan nada rendah, takut jika perkataannya disalah artikan.
"Tapi kau mengenalku." Mata lelaki itu melotot, wajahnya sedikit didekatkan untuk menggali bilik memori Leรณn. "Kau hanya baru siuman. Coba ingat-ingat, kita sempat terlibat pertunjukan sulap tiga hari yang lalu."
Leรณn sedikit terkejut mengetahui fakta sudah selama itu tidak sadarkan diri. Detik berikutnya ia mengangguk. "Kita memang sempat terlibat, tapi tetap saja belum kenal." Ragu-ragu ia berkata, "Lagi pula apa yang menjamin bahwa di luar sana lebih baik dari tempat ini?"
Lelaki itu berdecak. Hampir saja memberi umpatan kepadanya yang tidak paham kondisi dan mengulur-ulur waktu genting ini. Namun, melihat tangan Leรณn mengepal dengan gemetar pada kalung berliontin salib di lehernya, ia tahu bahwa Leรณn memang takut.
Lelaki Asia itu kemudian beralih menggerai rambutnya yang sedikit panjang, memperlihatkan sebuah sayatan yang belum mengering berbentuk pentagram terbalik tepat di bawah cuping telinga. "Simbol ini ada tepat saat aku di sini. Kau juga pasti memilikinya, seperti aku dan Gonzague."
"Jadi, kau akan bilang itu mungkin suatu hal buruk?"
Lelaki itu mengangguk, hendak mengajak Leรณn keluar. Namun, seseorang datang dari arah berlawanan dengan tersengal dan menyela, "Siapa bilang? Itu masih asumsi." Gonzague baru saja memeriksa sudut lain ruangan untuk mencari bukti dari literatur atau patung-patung di sini. Sebab tidak ada tuan rumah yang bisa ditanyakan. Bahkan untuk bertahan hidup, keduanya memakan sisa persembahan di altar.
Kendati Gonzague sudah memperingati, Kristen---pemuda yang baru berkenalan dengannya dan diketahui berlatar belakang dari Indonesia itu tampak tak mengindahkan. Lebih-lebih ia semakin mengeratkan pegangan pada Leรณn. "Selama menjadi penyintas ada banyak yang kupelajari, termasuk mengambil keputusan tangkas saat genting. Sudah kuputuskan kabur adalah jalan yang tepat."
"Kita harus mencari informasi terlebih dahulu agar tahu jalan keluar." Gonzague memandang Kristen dengan skeptis. "Lagi pula kau orang asing yang menyuruh aku dan sahabatku mengikuti ajuan Pesulap, sekarang kau juga menyuruh kita kabur dari sini dengan pikiran setengah-setengah itu, huh?"
"Tapi kau juga senang karena bisa menangkap topi sang pesulap, kan? Ah, dan bahkan rela 'berbohong' agar sahabatmu memiliki tempat duduk." Kristen balas menatap matanya dengan menyelisik, kemudian tertawa mengejek. "Apa aku salah?"
Gonzague tak menyangkal. "Iya. Tapi tidak bisa menutupi fakta kalau kau mengajak kita. Di saat-saat terakhir aku berusaha percaya dengan keputusan orang asing sepertimu, meski kau hancurkan."
Kristen mencebik. Tidak mau perselisihan terus berlanjut dan hanya akan membuang waktu, ia segera membawa Leรณn berlalu. Di satu sisi Gonzague taktinggal diam, ikut memiting tangan Leรณn hingga terjadi adegan tarik-menarik yang berangsur cukup lama.
Leรณn kembali dilanda vertigo sehabis pemulihan. Dengan suara lemas dan merasa terganggu, ia pun menyela, "C-cukup. Aku ... tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi?!" tanyanya sambil mengurai kedua genggam keduanya. Hingga melupakan bahwa komunikasi mental mereka membuat kandil lilin jatuh, dan api membakar tudung saji persembahan.
Kristen dan Gonzague yang masih sibuk mengolah fakta dan alasan dari pertanyaan pemuda itu juga tidak memperhatikan detail bakaran. Alhasil, sedikit demi sedikit api mulai menyebar dari sudut-sudut pentagram hingga penjuru altar, lidahnya juga menjangkau ke dinding. Membuat ketiga pemuda yang sempat berdebat mematung seketika.
Hawa panas dari kebakaran merambati tubuh mereka. Leรณn sampai terbatuk-batuk sebab menghirup banyak asap, sehingga tiada alasan baginya untuk menolak pergi saat tangan Kristen sekali lagi menyeret mereka untuk beranjak dari situ. Sialnya, beberapa api yang berkobar membuat mereka menemui jalan buntu. Terutama pada daun pintu yang sempat diterangi api obor kini melebur bersama percikan lainnya.
"Tidak." Leรณn menggeleng lemah. Binar matanya yang sempat menganggumi tempat itu kini kalut melihat beberapa figur bangunan telah hangus, tetapi ada marabahaya lain membuaya ketakutan, "Apa ... kita akan mengalami survival sekali lagi?"
Gonzague tak menyahut, ingatannya mundur ke belakang mengingat pertujukan sulap escapology yang pernah ditonton. "Jadi begini sulap bertahan hidup yang nyata?" batinnya sambil sesekali menghindari cetusan api. Hingga ketika beberapa langkah lagi menuju pintu, ketiganya terkepung pada lingkaran api lebih besar.
Ada satu hal menarik atensi Gonzague dari kejadian ini, bahwa patung-patung berbahan gips tidak ikut terbakar. Sayangnya, lingkaran api menutup ruang gerak. Sementara di sisinya Kristen sudah mengorbankan baju untuk menghalau api. Leรณn sendiri tidak bisa melakukan banyak hal selain menurut selagi ia masih belum dalam kondisi stabil.
Ketika Gonzague menceritakan rencananya, Kristen hanya menjawab, "Kau yakin?" Bukan dengan mimik mengejek seperti biasa, lebih tepatnya mengkhawatirkan pemuda itu. Namun, karena desakan situasi, mau tak mau Kristen menyetujui.
Mereka mulai beraksi. Kristen menggopoh Gonzague untuk dilempar ke arah patung-patung gips dengan tepat dan akurat. Dengan begitu, mereka mampu menghindari cetusan api. Untunglah kaki jenjang Gonzague mempermudah mendarat dengan selamat, meski tubuhnya terasa remuk terhantam permukaan benda keras itu.
Ia sedikit meringis. Namun, persetan! Seperti pesulap-pesulap escapology yang memunculkan atraksi heroik saat bebas dari belenggu, Gonzague merasa harus beraksi. Ia melempar sebuah patung ke area lingkaran hingga api itu sedikit mengecil dan menjadi alternatif teman-temannya untuk keluar mencapai dahan pintu.
Ketika pada akhirnya terbebas dari kebakaran, mereka berlari sangat kencang untuk menjauhi pusat bangunan, meski ketiganya taktahu pasti ke mana harus pergi di tengah tempat yang bahkan baru mereka jumpai. Gonzague hanya menatap lamat tempat itu tatkala hangus terbakar.
"Padahal kupikir tempat itu akan memberi jawaban mengapa kami di sini setelah kecelakaan panggung," batinnya sambil berlari mengikuti teman-teman, mereka bahkan sudah beberapa langkah lebih jauh meninggalkan pemuda itu. Sementara di seberang sana, ketiganya tidak menyadari ada siluet seseorang tampak di antara reruntuhan bangun dan patung-patung gips yang masih berdiri sempurna ....
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top