β tiga : desiran itu ... apa? β·
Ada snack yang kutaruh di atas nakas. Kalau masih lapar, menu makan malammu bisa dipanaskan dengan microwave - yuzu.
Sebagai laki-laki, tulisan Yuzuki cukup rapi. Tak jarang [Name] temui gaya tulisan kaum adam setara cakar ayam. Ia menyadari ketika terjaga, begitu dahinya ditempel secarik memo abu-abu.
"Padahal dia bisa membangunkanku ...," gumam [Name] menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Jemarinya menyendok sesuap makaron matcha, dikunyah pelan.
Awalnya, kudapan itu sangat nyaman dinikmati [Name]. Namun lima detik berkutnya, ketenangan itu buyar begitu saja. Rona merah mewarnai kedua pipinya.
"Memo dan snack ini berarti ... Yuzu melihatku saat tidur? Astaga!" duga [Name] mengacak rambutnya, lalu mengusap pinggir bibirγ ‘ memastikan jika ia ngiler saat tertidur (tapi beruntung, ternyata tidak ada).
βββ
Future Palm
3 of 5
Agashii-sanβ’ presents
βββ
"[Name]-chan cantik sekali mengenakan seragam musim panas!" puji Bunda Teramitsu sambil membawa sepiring roti bakar berselai stroberi.
Ya, [Name] memulai kehidupan SMA-nya sebagai murid transfer. Di ruang makan, Haruhi sudah melahap potongan roti dengan garpu. Berbeda dengan sang kakak yang menikmati secara perlahan sambil membaca buku tebal. Tentu saja selera Yuzuki bukan jenis bacaan 1001 teknik jitu menggaet gadis cantik atau 1001 gaya hidup kaya raya tujuh turunan.
"Yuzu ... baca buku apa?" tanya [Name] menarik kursi dan duduk di hadapannya. Sebenarnya, ia agak malu bertanya. Berhubung semalam Yuzuki repot-repot mengantar camilan makaron, tetapi dia tertidur dengan wajah tanpa dosa.
Yuzuki menjawab datar disertai pelafalan ala native speaker Inggris-Amerika, "The Basic Learning of Neuroscience."
[Name] hanya bisa manggut-manggut tanpa bertanya lebih lanjut. Tentu saja dia tidak mengerti garis besar buku berjudul rumit itu. Dugaannya jitu; Yuzuki tidak akan membaca buku-buku populer.
"Kalian mau diantar?" tanya Bunda Teramitsu.
Di depan garasi kediaman Teramitsu, ada dua sepeda yang terparkir rapi. [Name] menyadari keseharian Yuzuki dan Haruhi mengendarai sepeda bersama ke sekolah. Jarak sekolah barunya memang tidak jauh, tetapi cukup memakan waktu apabila dilalui dengan berjalan kaki.
"Tidak perlu, kaasan. Kami jalan kaki saja," kata Yuzuki menutup buku "berat" miliknya lalu menjinjing tasnya.
Haruhi tertegun melahap roti yang masih setengah digigit. Bagi [Name], Haruhi seperti gadis remaja komikal yang terlambat di sekolah. Diliriknya jam dinding, ternyata masih sempatγ ‘ sekitar 45 menit hingga jam pertama dimulai.
"Huhu (Yuzu), pwangan hubu-hubu hwong! (jangan buru-buru, dong!)," keluh Haruhi ikut menenteng tas.
[Name] menghabiskan susu cokelat panas, mengikuti kedua pemuda itu. "Tante, kami berangkat dulu."
Bunda Teramitsu tersenyum tipis, lalu melambaikan tangan. "Iterasshai!"
βββ
"Sepulang sekolah beli es krim, yuk!" ajak Haruhi mengipasi diri dengan kerah bajunya. "Baru jalan sedikit sudah keringatan."
Yuzuki mengangguk, kembali membaca buku sambil berjalan. "Call."
[Name] berjalan di belakang kedua pemuda itu. Alisnya tertaut dalam. Dengan bersepeda seperti biasa, mereka tidak harus berjalan di bawah terik sinar mentari musim panas.
"Maaf, aku merepotkan kalian," tutur [Name] menautkan kedua jari telunjuknya. "Aku akan paham secepat mungkin rute dari rumah ke sekolah danγ ‘"
Haruhi menyela disertai kekehan singkat, "Santai. Jangan merasa begitu, [Name]. Kalau bersepeda justru aku sering kejar-kejaran sama Yuzu."
Yuzuki mengangkat bahu. "Aku tidak ingat. Kalau [Name] mau, aku bisa mengantarmu dengan sepeda."
Ajakan itu memunculkan desiran jantung [Name]. Diantar dengan sepeda sama saja ia duduk di belakang Yuzuki. Dan artinya, jarak mereka akan sangat dekat karena duduk bersebelahan.
Haruhi menautkan alis, menentang ide Yuzuki. "Tidak boleh! Itu pelanggaran! Kalau sampai ditilang polisi, gimana? Yuzu ... bahkan tidak pernah sekalipum memboncengku."
Mereka bertiga berhenti sejenak di perempatan jalan. Menunggu rambu pejalan kaki menjadi hijau. [Name] mulai menyadari sejumlah murid berseragam persis sepertinya.
"Kau terlalu berat, Haru. Aku tahu jalan pintas, kok." Yuzuki tidak membiarkan perdebatan kembali berlanjut, menoleh ke arah gadis itu.
Haruhi mengerucutkan bibir. "Cih, Yuzu tega."
Pipi [Name] merona sedikit. Ia menunduk sebentar, lalu ditatapi kedua pemuda itu. Merasa bagai disoroti dengan mikrofon imajiner demi sebuah tanggapan. Meskipun ingin, pelanggaran tetap saja pelanggaran.
"Aku akan tetap jalan kaki," tukas [Name] lalu mulai melangkah. "Ra-rambunya sudah hijau, tuh!"
[Name] tanpa sadar sudah berjalan lebih cepat beberapa langkah dari Haruhi dan Yuzuki. Jantungnya tetap berdesir kencang bukan karena berlari. Dia takut suara itu terdengarγ ‘ jejak hatinya yang menaruh harapan.
βββ
Risiko menjadi murid pindahanγ ‘ [Name] harus memperkenalkan diri sendirian. Menghadapi puluhan siswa dan guru yang asing baginya. Terutama posisinya yang berada di depan menjadi pusat perhatian.
"Baik, silakan duduk. Saya harap kalian membantunya beradaptasi, ya," kata guru di kelasnya. Sistem bangku di kelas baru [Name] cukup fleksibel ketimbang SMA umumnya. Mereka tidak wajib duduk di bangku yang sama. Artinya, mereka bebas memilih bangku. Dan kebebasan itu bertujuan agar siswa dapat bersosialisasi dengan banyak siswa yang berbeda.
[Name] duduk di bangku kosong barisan pojok kiri dua dari belakang. Yuzuki duduk di belakangnya, sedangkan Haruhi di sebelah. Di sebelah bangku [Name], seorang gadis berambut cokelat ponytail melambaikan tangan.
"Salam kenal, aku Sumisora Tsubasa." Gadis itu beriris merah kecokelatan. Rambut cokelatnya diikat kucir tinggi, terlihat anggun dan feminin. Jemarinya terulur kepada [Name].
[Name] tersenyum tipis menyahut, "[Full Name]. Mohon bantuannya, Sumisora-san."
Guru yang kini mendidik kelas barunya mulai menggores aksara dengan kapur putih. Musim panas bagi siswa di Jepang identik dengan liburan dan kelas tambahan. Selain itu, ada momen lainnya. Acara darmawisata. Bertujuan agar siswa tetap menikmati sesi rekreasi, tetapi juga memperoleh pengetahuan.
"Buatlah kelompok masing-masing sebanyak empat orang. Kita akan mengunjungi Okinawa selama empat hari tiga malam."
Suasana kelas pun ricuh. Berkat kehadiran [Name] baru saja menjadi murid pindahan, jumlah anggota siswa menjadi genap. Semua siswa pasti akan mendapat kelompok. [Name] melirik ke arah Haruhi dan Yuzuki yang sudah dikerubungi banyak siswa. Tidak hanya kaum hawa, termasuk kaum adam ingin sekelompok dengan mereka.
"Apa aku boleh sekelompok dengan [Name]-san?" tanya Sumisora memulai topik, mengikuti arah manik [Name].
"Tentu!" [Name] ingin menangis haru. Tsubasa dipastikan menjadi teman pertamanya.
Suara tepukan di atas meja menjedakan keributan di antara kerumunan itu. Sang pelaku, Teramitsu Haruhi melambaikan tangan ke arah [Name]. Berbeda dengan kakaknya yang masih cuek, lebih menyayangi kejutan aksara di setiap halaman.
"Maaf, tapi orang ketiga yang bergabung sudah dipastikan [Name]. Mungkin masih bisa nambah satu orang lagi, " kata Haruhi mengusap dagu.
[Name] menyeringai kaku mendengar hal itu lalu meyahut, "Kalau melibatkanku ... berarti Sumisora-san juga harus ikut."
Manik biru pekat Yuzuki melebar. Ia juga tidak kunjung membalik halaman berikut.
"Deal. Kalau begitu sudah pas berempat. Silakan bubar, aku butuh ketenangan," tukas Yuzuki begitu gamblang tanpa memedulikan kerumunan sekitarnya.
Pendataan kelompok pun mulai ditata dan diserahkan kepada ketua kelas. Kini, mereka masih menjalani aktivitas belajar seperti biasa sesudah sesi homeroom class berakhir. [Name] sesekali melirik Yuzuki yang rajin memandangi penjelasan guru. Haruhi menangkap basah gadis itu, tetapi menanggapi dengan acungan jempol.
Hari pertama [Name] sebagai murid pindahan berakhir dengan baik.
βββ
Menu makan malam bersama keluarga Teramitsu kali ini adalah hamburger steak. Cita rasa dari potongan daging sapi empuk dengan perpaduan saus kecap dan sisi gurih dari bawang yang diracik oleh Bunda Teramitsu. Sepulang sekolah, Haruhi sungguh membeli es krim di konbini terdekat untuk dinikmati setiba di rumah. Mereka pulang bertiga seperti awal keberangkatan menuju sekolah.
"Tadaima," kata Yuzuki seraya melepas sepatu dan mengganti dengan sandal khusus rumah.
"Haru! Mumpung belum lepas sepatu, belikan ibu sebotol kecap, ya," pinta Bunda Teramitsu berlari kecil sembari memberikan lembaran yen.
Pemuda berambut kuning sebahu itu menganga bingung. "Yah, kaasan tadi seharusnya bisa kirimi chat biar tadi bisa sekaligus kubeli di konbini. Kalau begitu, [Name] taruh es krimnya di kulkas, ya."
"Aku mandi dulu, kaasan," tutur Yuzuki beralih ke kamar tidur.
Bunda Teramitsu menyenggol pelan lengan [Name]. "Jadi, bagaimana hari pertamamu sekolah?"
[Name] tersenyum lebar. "Baik, Tante. Baru hari ini kelas kami dikabari akan menjalani acara darmawisata beberapa minggu lagi."
Wajah ramah Bunda Teramitsu seketika lebih datarβ serius. Setelah [Name] menerka-nerka, ia mengaitkan sikap Haruhi terwariskan dari ibunya, tetapi ekspresi barusan tidak jauh berbeda dengan Yuzuki.
"Yuzu tidak menolak?" Bunda Teramitsu setengah berbisik, menggiringnya ke ruang tamu.
[Name] menggeleng, tampak bingung. "Kami resmi membentuk kelompok sebanyak empat orang."
Bunda Teramitsu tidak langsung menjawab. Ia seperti menahan perkataan yang akan diucapkan dengan menekan remote TV. Ternyata memang demikian ketika [Name] menoleh ke belakang. Yuzuki masih mengenakan seragam, tetapi handuk kering terlampir di bahunya.
Yuzuki memandang [Name] dan ibunya bersamaan. "Ada apa?"
Layar televisi sepanjang 42 inci yang menyala itu menampilkan iklan soda kola. Bunda Teramitsu pun seketika heboh. "Astaga! Seharusnya Haru harus membeli ini juga!"
Enam, tidak, tujuh puluh persen [Name] yakin kalau Bunda Teramitsu sedang panik. Dia khawatir anak sulungnya mendengarkan pembicaraan mereka. Namun, gadis itu yakin kalau Yuzuki baru saja keluar dan tidak tahu apapun. Mendengar keluhan ibunya yang ekspresif seperti biasa, ia pun berjalan begitu saja menuju kamar mandi.
Ketika sepenuhnya suara gagang pintu terkunci, Bunda Teramitsu pun mengambil remote, mengaktifkan tombol off. "Begini. Jadi, dia tidak pernah ikut. Tante punya firasat kalau ini berhubungan dengan kejadian masa depan yang [Name]-chan ceritakan."
Iris [Name] membola penuh. Situasi hujan deras dan jalanan sepi kembali samar-samar memenuhi benaknya. "Bisa jadi. Aku sama sekali tidak terpikir ke sana, Tante. Dia yang mengenakan kemeja putih dan ...."
Bunda Teramitsu menjentikkan jari. "Kita harus singkirkan bayangan kematian yang ia alami. Kalau situasinya tidak sama, maka bisa tidak terjadi, 'kan? Lebih cepat, lebih baik. Jadi, kita harus membuang semua kemeja putih miliknya!"
[Name] menganga bingung. "Eβeh?"
"Mumpung Yuzu sedang mandi, biar Tante yang akan meβ"
Nada dering ponsel pintar Bunda Teramitsu menjedakan perkataan selanjutnya. "Moshi-moshi, anata? Y-ya, mereka baik-baik saja. Hm? Begitu, ahahaha."
Bunda Teramitsu kini sibuk dengan panggilan dari suaminya. Ia meninggalkan ruang tamu, menuju balkon depan rumah. [Name] menatap kamar mandi yang digunakan Yuzuki. Sekarang bisa jadi kesempatan yang bagus. Waktunya tidak lama, tetapi ia tahu bantuan ini tidak selalu datang kapan saja. Tidak lama lagi, liburan musim panas akan dimulai dan Yuzuki akan lebih sering mengurung diri di dalam kamarnya. Kalau ia bisa melakukannya sesegera mungkin, Bunda Teramitsu tidak perlu repot-repot lagi. Semua asumsi ini berawal darinya. Begitu pikirnya.
Entah keberanian dari mana yang ia dapatkan, kini ia sudah berada di dalam kamar laki-laki itu. Dengan sepersekian langkah yang dilalui penuh desiran. Bukan desiran seperti tadi pagi, melainkan ketegangan. Bagaikan penyusup atau memang demikian karena ia akan mengambil semua kemeja putih Yuzuki dan keluar begitu saja. Hanya saja kemeja putih itu tidak bertujuan untuk dikomersialkan.
Yuzuki tergolong rapi. Ada rak mungil yang menampung beberapa album. Namun, [Name] segera berhenti mengagumi seisi kamar pemuda itu. Jemarinya kini membuka gagang pintu lemari Yuzuki. Terkunci. Tidak ada jejak kunci lemari yang terlihat. Di atas meja. Di dalam laci. Semuanya nihil. Keringat gadis itu sudah mengucur deras. Padahal kamar Yuzuki tersedia pendingin ruangan.
Waktu mencari kemeja putih itu semakin sempit. Bahkan telah berakhir lebih cepat dari perkiraan [Name]. Dia sadar, ia sedang melakukan hal bodoh. Namun seperti pepatah, perbuatan [Name] kini bagai nasi sudah menjadi bubur.
Ketika mendapati bayangan selain dirinya.
"Kau ... sedang apa?"
- to be continued -
BαΊ‘n Δang Δα»c truyα»n trΓͺn: AzTruyen.Top