โ— terakhir : aku percaya padamu โ–ท

"Kurasa ... begitu."

[Name] bangkit dari bangku panjang sembari memegang botol air mineral. Ia tersenyum tipis. Senyum yang dipaksakan.

"Aku akan setuju jika Yuzuki sendiri yang bilang," kata [Name] menoleh ke arah Haruhi.

Haruhi tersenyum simpul setelah menyadari ekspresi [Name]. Dia tahu teman kecilnya hanya akan memandang kakak sulungnya. Dari dulu, bahkan sekian tahun yang berlalu.

"Tunggu. [Name] ingin mengklarifikasi semua itu karena suka dengan Yuzu, kan?" tanya Haruhi menatap gadis itu lekat-lekat.

Dan [Name] berkata, "Iya. Oleh karena itu, maaf. Aku tidak bisa mendukung mereka sesuai kemauanmu."

Haruhi menautkan alis. Ia menyusul gadis itu dari belakang dengan langkah pelan. Berselisih jarak cukup jauh. Dari dulu hingga sekarang, dia ingin gadis itu memandangnya sebagai sosok yang ia suka.

Namun, jawaban itu sekarang sudah jelas.

"Gomen, gomen! Aku hanya bercanda!" Haruhi mengejar hingga langkahnya selaras dengan [Name].

โ™”โ™šโ™”

Future Palm

5 of 5 / Last Chapter

"Aku Percaya Padamu"

Agashii-sanโ„ข presents

A/N:

Aku persembahkan kehadiran kitakore (ryuuji dan hasbuQ, tomo) sebagai bintang tamu. Dan ini akan jadi part terpanjang karena ini penutup HUAHAHAHA, semoga suka yah!

Sebelumnya, terima kasih karena sudah membaca sampai akhir!

โ™”โ™šโ™”

Kesulitan yang dihadapi siswa pun bisa terselesaikan dengan baik. Tiba waktu siswa menjalani aktivitas darmawisata. Keberangkatan mereka menuju Okinawa dijalani dengan transportasi udara. Difasilitasi kelas ekonomi; setiap barisan ditempati enam kursi. Masing-masing tiga kursi di sisi kiri dan kanan.

Ketika giliran kelompok mereka menaruh tas di atas kabin, [Name] membiarkan kedua Teramitsu bersaudara mengantre lebih dulu. Ia mengira mereka akan duduk bersebelahan. Yuzuki duduk di sisi jendela, sedangkan Haruhi duduk di pinggir. Alhasil, kursi penumpang di bagian tengah dibiarkan kosong.

"A-ano," kata [Name] mengernyitkan dahi. "Kenapa kalian tidak duduk bersebelahan?"

"Aku sudah nyaman duduk di sini," tutur kedua bersaudara itu terlalu kompak. Tidak ada tanda-tanda akan mengalah.

Sumisora angkat bicara, "Kebetulan kursi penumpangku terpisah dari kalian. Jadi, aku duduk di sini, ya."

[Name] merasa canggung melihat Sumisora yang sudah duduk, kemudian berdecak kepada Haruhi. "Persilakan aku masuk dulu."

Haruhi keluar sebentar sembari membiarkan gadis itu masuk. Kini [Name] duduk di antara Yuzuki dan Haruhi. Ia lirik ke kiri, menatap Yuzuki sibuk membaca buku (lagi) sambil mendengarkan lagu dengan headphone. Berbeda dengan sang adik, kamera depan ponselnya tersorot untuk merekam momen diri di dalam pesawat.

"Mau ikutan foto?" ajak Haruhi. "Kita boomerang, terus ku-post ke story."

[Name] baru-baru ini mengikuti profil Haruhi. Jumlah pengikut pemuda berambut gondrong pirang itu lumayan banyak; sekitar lima ribu. Dibandingkan jumlah pengikut profil sang kakak yang hanya sepuluh persen. Mereka populer, tapi selisih itu cukup logis. Yuzuki hanya memajang sebuah foto. Perpustakaan sekolah tercinta. Selisih jauh dengan jumlah foto Haruhi; ratusan.

"B-boleh."

Sebenarnya, [Name] tidak narsis. Tapi dia senang saja kalau diajak foto bersama.

"Aku ikut," kata Yuzuki ternyata sudah tidak lagi membaca buku. Headphone-nya pun sudah tergantung melingkari tengkuk.

Haruhi mengerucutkan bibir. "Aku mau foto sama [Name] dulu berdua. Nanti dulu. Fotoku sama Yuzu sudah banyak."

Yuzuki tetap bersikeras, menegaskan satu kata tambahan. "Aku mau ikutan."

Elakan terasa berat untuk dilakukan, maka Haruhi memutuskan mengalah. Ia mengarahkan ponsel ke tengah. Ekor maniknya mendapati Sumisora mencuri pandang ke arah mereka. Begitu sadar ditatapi, gadis itu tersenyum kikuk.

"Sumisora-san juga, sini! Rapat ke kiri," ajak [Name] menyadari hal yang sama.

"Ti-tidak apa! Agak susah karena aku terpisah. Aku merasa interaksi kalian lucu," tutur Sumisora tersenyum lebar.

Sebenarnya, [Name] sempat berinteraksi dengan Sumisora. Dia gadis yang baik, sangat baik malah. Diam-diam menghanyutkan; sejumlah cowok populer niat mendatanginya ke kelas. Saat ditanya ketertarikan terhadap Yuzuki, Sumisora justru tergelak. Dia hampir tidak pernah berinteraksi dengannya.

Namun, tetap saja [Name] merasa tidak enak. Siapapun pasti tidak ingin merasa tidak dianggap. Apalagi tersisihkan dalam sebuah kelompok. Pasti terasa menyedihkan.

Dua pramugari telah berada di posisi antar tengah barisan. Pertanda pesawat akan segera take-off. [Name] sesekali memahami secara saksama. Kemudian jemarinya sibuk memandangi majalah yang disediakan di belakang kursi penumpang.

Gadis itu larut dalam bacaan yang tersaji dalam dua bahasa; Inggris dan Jepang. Tidak sampai satu jam perjalanan, kedua bahunya terasa lebih berat. Kedua bersaudara itu menjadikan bahunya sebagai bantal.

[Name] menautkan alis. Ia harus melupakan tidur karena kedua bersaudara ini. Harapan [Name] hanya satu sekarang: berharap kru pramugara cepat menggiring makanan mereka. Demi meringankan bahunya.

โ™”โ™šโ™”

"Lihaaat, ini keren sekali!"

"Fotoin, fotoin!"

"Ini harus dicoba, sini!"

Haruhi berseru setiap melewati destinasi sesuai tur darmawisata. Dia tampak yang paling bersemangat daripada ketiga rekan lainnya. Beralih dari ponsel pintar, kini ia bermodalkan kamera DSLR yang diyakini menghasilkan foto yang lebih jernih dan fokus.

Cuaca di Okinawa saat musim panas terbilang terik. Banyak siswa membawa botol air mineral agar tidak dehidrasi selama berjalan-jalan. Yuzuki memandangi pilar kemerahan istana Shuri. Sebuah peninggalan bersejarah yang terdaftar di situs warisan UNESCO. Pemuda itu tetap tenang. Jemarinya memegang bolpoin abu-abu, menggores aksara demi aksara ketika melihat pemandu wisata lain berada di dekatnya.

[Name] menghela napas. Ia salut karena Yuzuki begitu antusias mendengar sejarah hancur dan bangkitnya istana Shuri. Beberapa siswa lain justru lebih senang menjelajahi toko suvenir tak jauh dari tempat wisata. Begitu juga dengan [Name]. Mereka akan berkumpul kembali menuju gerbang yang ditentukan dalam satu jam ke depan.

Beberapa jimat kayu digantung sekitar stand untuk menarik perhatian. Banyak tujuan yang ditulis. "Kesejahteraan", "Cinta", "Karier", "Kesehatan", dan masih banyak lagi. Seperti peruntungan ramalan. Walaupun tidak ada yang menjamin membeli jimat akan mengabulkan keinginan orang-orang dengan segera, tetap saja akan ada yang datang.

Seperti [Name] sekarang, misalnya.

"Eh? Mau beli jimat?" tegur pemuda bersuara familiar, berada di sebelah [Name]. Gadis itu yakin tadi kedatangannya ke toko ini sendirian, tanpa ditemani siapapun.

"H-Haru?" [Name] menyahut. "Aku cuma penasaran sama jenis-jenis jimat yang dijual."

Haruhi memungut satu dari sekian jimat yang dipajang berjejer. "Untuk cinta, kenapa tidak?"

[Name] mengerjap bingung. "Eh? Haru, jangan-jangan kau sedang menyukai seseorang?"

Haruhi terkekeh. "Mungkin. Tapi rasa sayangku kepada Yuzu nomor satu."

Penjual jimat itu tersenyum simpul. "Saya mengira kalian pasangan. Kalau beli dua, saya beri diskon."

[Name] menggeleng cepat. "K-kami bukan pasangan! Tapi apa aku boleh bertanya sesuatu mengenai jenis jimat di sini?"

Ia tahu jika bertaruh dengan jimat bukan sesuatu yang bisa diperhitungkan. Kepercayaan. Trik yang sangat tidak relevan. Termasuk takdir yang dilihat dari telapak tangannya.

"Tentu saja!" Penjual jimat itu menjawab ramah.

"Apakah ada jimat yang bisa melawan kematian? Maksudku, menghindari kematian untuk sementara," tutur [Name] mengusap tengkuk. "P-pasti tidak ada, ya. Hahaha."

Suasana mereka mendadak sunyi. Hanya sesekali terdengar suara jangkrik. Namun, tidak berlangsung lama. Haruhi memungut sebuah jimat yang tersemat di atas kain.

"Tentang kematian, semua orang akan mengalaminya, 'kan?" Haruhi berkata demikian. "Tapi, keadaan dan orang terakhir yang ditemui saat kematian seseorang itu yang penting."

Ucapan Haruhi ada benarnya. [Name] memungut jimat yang diambil Haruhi.

"Aku ... beli satu."

Haruhi ikut memungut jimat yang sama. "Aku juga! Jadi diskonnya masih berlaku, 'kan?"

[Name] menyadari bahwa ia terpisah dengan Yuzuki cukup lama. Ia menjelajah ponsel pintar dalam saku. Sepasang maniknya terbelalak. Ia lupa mengubah mode diam menjadi suara.

Penyesalan selalu datang belakangan.

Ada satu panggilan tidak terjawab dari Yuzuki.

โ™”โ™šโ™”

"Yuzu!"

"Yuzuuuu!"

Ke mana pun mereka mencari, pemuda itu tidak terlihat di mana pun. Sumisora juga demikian.

"Kenapa tidak diangkat, sih?" keluh [Name] terus menempelkan ponsel ke telinga. Namun, suara operator yang berakhir menjawabnya. Jemari kiri [Name] menggenggam erat jimat bersarung abu-abu. Dia ingin memenuhi keinginan Bunda Teramitsu. Dia sudah berjanji akan menjaga pemuda itu.

Haruhi bertanya kepada salah satu petugas gerbang.

"Pemuda berambut hitam gondrong? Dia berada di pos informasi bersama seorang anak kecil. Menunggu di sana."

Petunjuk itu mengarahkan mereka. [Name] bersyukur akan kebenaran informasi itu. Yuzuki baik-baik saja. Toh, Yuzuki tidak mengenakan kemeja putih seperti takdir yang dilihatnya. Di pos informasi, ada bocah laki-laki duduk dengan bibir mengerucut. Sumisora juga berada di sana. Menghibur si bocah dengan setangkai lolipop.

"Ponselku kehabisan baterai," kata Yuzuki menyadari ekspresi jengkel [Name] dan Haruhi.

Alih-alih mengomel, [Name] langsung menghamburkan diri terhadap Yuzuki. "Syukurlah. Kau baik-baik saja."

Tidak membiarkan Yuzuki dan [Name] berpelukan terlalu lama, Haruhi memisahkan mereka. Ia langsung memeluk kakaknya.

"Yuzu, kami khawatir sekali! Sumisora, kenapa kalian bisa berada di sini?"

Sumisora teralihkan sepintas lalu menjawab, "Anak ini tersesat dan hilang. Kami merasa tidak baik meninggalkannya sendiri, jadi kami putuskan menunggu hingga ayahnya datang."

"Maaf, aku mau izin isi baterai ponsel di dalam pos informasi. Aku akan segera kembali," kata Yuzuki meninggalkan mereka bertiga di depan gerbang dekat pos.

[Name] mengangguk paham. Bocah itu memiliki gaya rambut yang cukup unik. Selain warna hitam, ada sedikit helaian magenta di sisi kiri.

"Hem. Kakak pasti pacalnya kaka lambut hitam ituh," tutur bocah itu masih cadel.

Imut sih, tapi ucapannya kontras.

[Name] menggeleng cepat, walaupun ingin diakui demikian. "E-eh! Kamu masih kecil, jangan tebak-tebak begituan, ah."

Bocah itu menatap sinis. "Ih, kalau bukan, buluan bilang suka sama kaka itu. Kaka gak mau dia hilang, kan?"

Sumisora mengernyitkan dahi. "He? Apa maksudnya, Dik?"

Bocah itu mengulum lolipop stroberi lalu berkata lagi, "Ya, pokoknya sebental lagi kaka lambut hitam ini akan mati. Kalau kaka bilang cinta, kutukan kematian dini kaka lambut hitam akan hilang."

[Name] tak bisa berkata-kata. Padahal, ia tidak berkata apapun mengenai kemampuan telapak tangannya. Namun, bocah unik ini seakan bisa menyelidik tanpa analisa mendalam. Dia ragu, status bocah ini sadar diri secara jiwa dan raga atau sedang kesurupan.

Haruhi mengusap dagu. "Bocah ini aneh. Papa anak ini berikan dia tontonan apa sih? Karma? Ck, akan kuceramahi papanya nanti."

Bocah itu menggembungkan pipi. "Iiiih. Aku selius! Kaka ini halus jujul!"

Bunyi jejak pantofel menjedakan interaksi mereka bertiga. Seorang pria tampan berambut putih berjongkok, memeluk bocah imut itu. Netra biru cerahnya memberikan sosok teduh dan bersahaja. Tubuh pemuda itu tinggi nan atletis. Berbalut kemeja biru dengan lengan dilipat hingga siku dan celana panjang hitam.

"Terima kasih sudah menempatkan Ryuuji ke pos informasi. Saya merepotkan kalian," tutur pria itu menautkan alis. "Kenalkan, saya Kitakado Tomohisa."

"Tomo, meleka nggak percaya lamalanku! Kesel, deh." Ryuuji mengerucutkan bibir.

Pria yang disebut Tomo itu mengusap puncak kepala Ryuuji. "Tidak baik bersikap begitu. Kalau bukan karena mereka, Papa nggak akan ketemu kamu. Jadi Ryuuji sekarang harus bilang apa ke mereka?"

Pipi Ryuuji merona sembari berkata, "Cih. A-aligato gojaimas (arigatou gozaimasu: terima kasih banyak)."

Tomo menggendong Ryuuji setelah berpamitan dengan mereka, tetapi ia memutuskan berbalik badan. "Omong-omong, saya tidak tahu pasti maksud ramalan ucapan Ryuuji. Tetapi lebih baik kalian tidak anggap remeh. Sampai jumpa."

Usai berucap demikian, Tomo tersenyum penuh misteri.

Tidak sempat ketiga rekan itu meminta penjelasan lebih lanjut, Yuzuki sudah datang. Ekspresi pemuda itu masih datar, tentu saja.

โ™”โ™šโ™”

Acara darmawisata tidak berakhir seputar jalan-jalan di siang hari saja. Penutup acara sebelum kepulangan mereka ke Tokyo, hari malam ketiga di Okinawa diwarnai dengan acara jurit malam. Momen yang mengharuskan sepasang laki-laki dan perempuan berjalan melewati hutan. Perkiraan durasi mereka melalui menjalani jurit malam yakni selama 15-20 menit. Sebuah senter disediakan guna untuk memantau penerangan di sekitar hutan.

"Aku akan satu tim dengan [Name]," kata Yuzuki ketika mereka berbaris.

[Name] tertegun. Penentuan pasangan jurit malam ditentukan secara bebas.

Haruhi tampak ingin mencegat, tetapi ia menahan diri. Teringat ocehan cadel si bocah Ryuuji.

"Oke. Kita taruhan, yuk?" Haruhi terkekeh karena merasa tertantang. "Kalau tim Yuzu yang terlambat harus beli sepuluh kaleng manisan persik."

Yuzuki mengangguk mantap. "Call. Kalau tim Haru yang terlambat, belikan aku satu set novel."

[Name] mengerucutkan bibir. "Cih. Aku nggak dapat keuntungan apapun."

Yuzuki langsung menambahkan, "Dan sepuluh bungkus es krim."

Haruhi terkekeh lagi. "Wah. Aku benar-benar tidak boleh kalah kalau begitu. [Name], kuharap kau menyesal karena tidak memilihku."

Bunyi peluit diarahkan dari tim guru yang terlibat dalam jurit malam. Peserta melalui jalur masuk yang ditentukan. Walaupun berbeda-beda, tetapi tujuan jalur akhir tetap sama.

Yuzuki dan [Name] sudah berdiri sesuai jalur. Suasana kembali canggung. Penasaran, bingung, takut, dan cemas. Semua bercampur aduk. [Name] menyadari tangan kiri Yuzuki yang menganggur, sedangkan satunya lagi memegang senter.

"Yuzu, apa kau tidak takut?" tanya [Name] memulai pembicaraan.

"Tidak. [Name] takut?" Yuzuki bertanya balik.

[Name] menggeleng. "Nggak juga, karena aku lebih takut Yuzu terluka."

Yuzuki menghela napas. "Aku baik-baik saja. Dan akan tetap begitu."

"Walau begitu, aku masih cemas! Sekarang, kau malah mengenakan kemeja putih dan situasi terjadi di malam hari. Kenapa tidak pakai baju lain saja, sih?" keluh [Name] semakin merasa gelisah.

"Baju lain sudah kotor. Hanya ini yang masih bersih," jawab Yuzuki semakin sulit dielakkan.

Beberapa kejutan untuk mengejutkan peserta mulai terlihat. Mulai mendapati rerumputan basah oleh darah semu, wujud wanita berwajah hancur, dan lain sebagainya. [Name] sesekali berteriak (kecil) sembari memegang lengan kemeja Yuzuki. Perlahan, kejutan menyeramkan mulai berkurang. Namun, rintik-rintik hujan membasahi bumi.

[Name] merasakan kemeja Yuzuki semakin basah terpapar hujan. "Yuzu ... apa kita akan segera sampai? Kenapa jalurnya aneh begini?"

Jalan yang mereka lalui semakin sempit. Suara jangkrik yang mengawali jurit malam perlahan sirna ditelan bunyi hujan. Rerumputan kian basah seiring dipijaki alas kaki. [Name] menyadari Yuzuki terus melangkah. Senter pun tidak seterang tadi. Berkedip beberapa kali. Firasat buruk [Name] kian menjadi-jadi.

Hujan pun semakin deras. Langkah Yuzuki berawal stabil menjadi goyah. Tergelincir. [Name] menahan lengan kemeja Yuzuki. Ternyata jalur hutan memiliki areal curam.

"[N-Name]! Ada jurang!" seru Yuzuki dengan napas tersengal.

[Name] menahan sekuat mungkin. Sisi miring yang perlahan menyiksa. "Yu-Yuzu, segera angkat tubuhmu! Kau tidak boleh jatuh di sini!"

Yuzuki berusaha menggapai lengan [Name], tetapi kakinya terasa begitu nyeri. "Ck. Ka-kakiku keseleo."

Pemuda berambut hitam itu menatap ke bawah. Jurang itu tidak terlalu dalam, tetapi kalau ia benar-benar jatuh, kemungkinan besar ia akan patah tulang. Cepat atau lambat, [Name] pasti tidak akan mampu menahan bobot tubuhnya.

"Yuzu ... kau tidak boleh mati sekarang! Ada Tante, ada Haru yang menanti!" seru [Name] masih mempertahankan pegangan lengan Yuzuki.

"Aku tidak akan mati kalau memang harus jatuh, [Name]. Aku sudah memperkirakannya, jadi lebih baik kau cari bantuanใ…ก"

"Tidak! Aku ... masih bisa mengangkatmu! Kau tidak akan mati di sini. Kita akan pulang bersama Sumisora dan Haruhi. Kita akan menikmati pai apel Tante. Kita ... akan menikmati musim gugur, musim dingin, dan musim-musim lainnya!"

Iris biru pekat Yuzuki menatap [Name] lekat-lekat. Begitu pula dengan gadis itu.

Sedikit demi sedikit, [Name] berusaha mengangkat Yuzuki dari pinggir jurang. Seiring waktu berlalu, ucapan bocah Ryuuji terus terngiang di benaknya. Kutukan dan perasaan. Jimat yang dibelinya, tersimpan penuh harapan.

"Yuzu, dengarkan sekali saja, ya?" kata [Name] menyadari wajahnya sudah basah oleh paparan hujan. Rambutnya juga sudah acak-acakan, tidak serapi kehadiran awal di jalur masuk.

Pemuda berambut hitam itu berucap, "Aku akan mendengarmu, jadi katakanlah."

[Name] menarik napas panjang, kemudian perlahan mengembuskan. Ucapan bocah itu bisa saja bocah iseng. Namun, modal kepercayaan itu menjadi jalan yang tersisa.

"Aku tidak mau kau mati karena aku menyukaimu, Yuzu. Yuzu yang kaku, serius, tapi perhatian. Aku suka ... semuanya."

Manik Yuzuki melebar mendengar pernyataan itu. Intensitas hujan yang deras perlahan mereda. Benih-benih cahaya mulai terlihat. Satu, dua, hingga tidak terhitung kumpulan kunang-kunang menerangi mereka. Jemari Yuzuki meraih lengan [Name]. Berusaha menarik sebisanya juga. Kemudian kekuatan yang tersisa itu berhasil membawa mereka kembali ke permukaan.

Napas [Name] dan Yuzuki tersengal-sengal. Mereka terbaring bersama. [Name] tersenyum lega, tetapi Yuzuki masih tetap memandang gadis itu. Manik gadis itu terpejam. Napas gadis itu naik turun cukup cepat. Keringat bercampur gerimis hujan membasahi pelipisnya.

"[Name], kalau begitu, aku akan menjawabnya. Jadi, dengarkan dalam sekali juga," kata Yuzuki menyelipkan helaian rambut [Name] yang menutupi wajah ke sisi telinga.

Netra [Name] seketika terbuka. Jantungnya berdesir tak keruan.

"Aku ... juga suka." Yuzuki tersenyum lebar, mengaitkan jemarinya dengan jemari [Name].

Bagi [Name], jawaban itu seakan memunculkan kupu-kupu aneh berterbangan di dalam perutnya. Ada jejak geli yang menyenangkan. Dia kembali memejamkan mata. Sekarang sudah tidak apa-apa, pikirnya. Walaupun telapak tangan mereka saling bertemu. Setelah menyelamatkan Yuzuki, [Name] tidak tahu apapun lagi.

Semua menjadi gelap gulita. Kemudian, dia kehilangan kesadaran.

โ™”โ™šโ™”

O M A K E

โ™”โ™šโ™”

Yuzuki dan [Name] segera ditemukan oleh tim guru. Kepanikan sempat melanda Haruhi, tetapi mereka baik-baik saja. Yuzuki hanya cedera ringan, sedangkan [Name] kelelahan. Haruhi juga mengabarkan kejadian itu kepada Bunda Teramitsu. Namun, kondisi mereka perlahan lebih baik karena beristirahat sejenak hingga kepulangan tim darmawisata.

"Kalian jahat, kenapa tidak cerita kasus sepenting ini kepadaku?!" Haruhi menggerutu, dipenuhi kekesalan. "Dan kalian harus membelikan dua puluh kaleng manisan persik untukku setiba di Tokyo!"

[Name] menganga syok, segera membantah, "Dua puluh? Katamu sepuluh! Kata Tante, kau bisa nangis berhari-hari. Daaan, semalam saja sudah parah!"

Akibat insiden itu, Haruhi menangis semalaman. Untuk menjaga penampilannya, ia mengenakan kacamata hitam untuk menutupi mata yang sembab.

Tidak seperti [Name], Yuzuki justru mengangguk paham. "Baiklah."

"Kenapa kau terima-terima begitu saja?! Dua puluh kaleng itu banyak sekali!" [Name] tidak terima.

"Tidak masalah, kita bisa menikmatinya juga. Boleh kan, Haru?"

Posisi mereka saat duduk di kursi penumpang saat kepulangan sedikit berbeda. Yuzuki kini duduk di bagian tengah, [Name] berada di samping jendela, sedangkan Haruhi masih sama. Mereka tetap ricuh seperti biasa.

"Tentu saja! Untuk Yuzu, apa sih yang nggaaa~" Haruhi memeluk Yuzuki. "Apa kita minta kaasan buat puding?"

"Ide bagus," tutur Yuzuki memandang ke arah [Name]. "Mau nggak?"

"Terserah, terserah." [Name] memutuskan mengalah, tidak ingin berdebat lebih lanjut.

Yuzuki berinisiatif lebih dulu; menggenggam telapak tangan [Name]. "Kira-kira kaasan akan tanya apa saja, ya?"

Terkejut akan sentuhan Yuzuki, [Name] tidak lagi cemberut. "Banyak. Tante sudah hubungi ibuku juga. Mereka akan tiba juga. Gawat! Mereka pasti akan mengomeli kita nanti!"

Yuzuki tersenyum lebar, lalu menempatkan kepalanya di bahu [Name] sebagai bantal. "Tidak apa-apa. Aku memegang janjiku, kan?"

Masalah tidak akan pernah berhenti, tetapi solusi tidak akan pernah hilang. Mereka akan terus menghadapi bersama-sama. Menjalin hidup yang lebih berwarna dan menantang. Hidup yang dipenuhi perjuangan dan impian.

โ™”โ™šโ™”

F I N

โ™”โ™šโ™”

A/N:
Setelah dipikir-pikir, Tsubasa merupakan cameo (karakter yang sedikit muncul dan tidakย  terlalu mempengaruhi cerita) dan Kitakore memang guest star di part terakhir. Jeda Tsubasa memang tidak rata, sedikit sekali. Karena fokus cerita memang di antara Teramitsu bersaudara dan Reader ^^

Yang berharap Yuzu mati, sayang sekali aku tidak mengabulkan keinginan itu (UwU). Jadi lupakan beli peti mati, kuburan, dan tempat abu kremasi/g. Ingat, aku fanficcer fluff, lho huwahahaha. Semoga kadar romance buku ini tidak berlebihan, tetapi sukses mendebarkan hati pembaca <3

Terima kasih sudah membaca hingga akhir!

Best regards,
Agachii

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top