β empat : kebenaran yang terungkap β·
"Kau sedang apa?"
[Name] meneguk ludah. Suara itu membelakanginya.
Takut-takut, ia menoleh.
Sosok Haruhi di sana, menegur [Name].
"H-Haru baru pulang, ya?" tanya [Name] mengalihkan perhatian.
Pemuda berambut kuning itu tidak langsung menjawab pertanyaan [Name]. "Ngapain ke kamar Yuzu? Sendirian pula."
Entah [Name] harus bersyukur atau tidak. Bukan Yuzuki yang menegurnya. Namun, ia tidak bisa membeberkan alasan itu begitu saja. Ia ingat, Bunda Teramitsu tidak mau Haruhi nangis berhari-hari. [Name] tetap bungkam, memutuskan kabur dari kamar Yuzuki.
Namun, Haruhi tidak membiarkan [Name] pergi begitu saja. Ia meraih pergelangan tangan gadis itu. "Katakan ... kenapa kau datang ke kamar Yuzu?"
Suara pintu kamar Yuzuki terbuka dari luar. Yuzuki pun hadir di belakang. Mengusap rambut hitamnya yang basah sehabis keramas. Ia tidak mengenakan atasan sehelai benang pun. Handuk abu-abu yang tadi terlampir di bahu kini menutupi bawah tubuhnya.
Desiran ketegangan karena mencari kemeja putih itu sukses menjadi-jadi karena pemandangan "topless" Yuzuki di hadapan [Name]. Titik-titik air itu masih mengalir sedikit dari sekujur tubuhnya, tetapi tidak sampai membasahi lantai. Dan pemandangan itu sangat, sangat berbahaya.
"Kalian ... sedang apa di kamarku?"
βββ
Future Palm
4 of 5
"Kebenaran yang Terungkap"
Agashii-sanβ’ presents
βββ
"Kaasan menyuruhnya untuk ke sana."
Kedua anaknya menoleh ke arah pintu kamar Yuzuki yang setengah terbuka.
Haruhi menyela argumen Bunda Teramitsu, "Kenapa dia harus ke kamar Yuzu? Apalagi dia perempuan!"
Bunda Teramitsu mengangkat bahu. "Kaasan ingin kita makan malam sambil mendengar lagu klasik yang sering dikoleksi Yuzu. Tapi pas sekali ayahmu telepon, jadi ibu suruh dia saja."
[Name] mengangguk mantap, tetapi terdengar pasrah. "Bukan karena sesuatu yang lain, kok. Aku masih bingung letaknya di mana. Maaf, Yuzu."
Yuzuki tetap berekspresi datar, tidak merasa terusik. "Tidak masalah, tapi kaasan seharusnya bisa menyuruhku setelah mandi seperti sekarang, kan?"
"Memang ... tapi intinya, ini salah kaasan yang tidak sabaran. Maaf, ya."
Pemuda berambut hitam itu menggeleng pelan. "Tidak apa. Kalian ... bisa keluar? Aku ingin ganti pakaian."
Mendengar hal itu, [Name] menjadi orang pertama yang berlari sekencang mungkin dari kamar Yuzuki. Wajahnya sudah semerah kepiting rebus. Ia menutup pintu kamar tidur miliknya rapat-rapat, lalu menyandarkan punggung di sana.
"Gagal total," gumam [Name] bermonolog pelan. "Bagaimana ini?"
Kalau tidak ada Bunda Teramitsu, Yuzuki pasti sudah menganggapnya gadis mesum. Terlebih lagi, takkan memercayai alasan sepihaknya barusan.
βββ
Malam itu, [Name] tidak bisa tidur. Memejamkan mata menuju alam bawah sadar terasa amat menyulitkan. Memutuskan mencari angin sepintas dari balkon, ia menemukan Yuzuki berada di ruang tamu. Sendiri, ditemani oleh buku secara tidak harafiah.
"Be-belum tidur?" tanya [Name] duduk di seberang Yuzuki.
Iris biru pekat Yuzuki seketika beralih dari lembaran buku ke arah [Name]. "Sebentar lagi. Mau duduk di sebelahku?"
[Name] tertegun sejenak, kemudian menuruti ajakan Yuzuki. Ruang tamu kediaman Teramitsu memiliki ventilasi lebar berupa jendela kaca yang bisa didorong. Tirai putih itu sengaja dipinggirkan agar sinar rembulan tetap masuk. Suasana itu begitu tenang, nyaris tiada suara. Selain bunyi halaman yang dibalik dan jarum dentang jam yang terus berlalu.
Penerangan ruang tamu kini hanya ditemani sebohlam lampu. Cukup untuk menerangi pemuda berambut hitam yang sendirian di sana untuk menghabiskan sebuah bacaan.
"Tadi sore ... itu kesalahanku. Bukan Tante," tutur [Name] angkat bicara.
"Aku tahu." Yuzuki tetap meneruskan bacaannya.
[Name] refleks memainkan jari-jari. Kegugupan mendesirkan batinnya. Pemuda itu terlihat tidak peduli, tapi dia harus tahu. Melibatkan nyawa.
"Apa aku ... boleh memegang tanganmu?" tanya [Name] menarik pelan lengan kaus abu-abu Yuzuki.
Yuzuki mengangguk. Jemari mereka saling terkait. Seperti pertemuan pertama kali di Bandara Internasional Narita setelah bertahun-tahun lamanya. [Name] ingin memastikan sekali lagi. Berharap ada keajaiban. Mengasumsikan kejadian masa depan hanyalah halusinasi.
Manik gadis itu terpejam selama beberapa detik. Meresapi harapan setinggi awan, tetapi justru air mata melinangi kedua pipinya. Kenyataan tidak berjalan seindah itu.
Dia tidak ingin menangis, tetapi aliran itu terus mengalir. Menjadi-jadi, tidak terhentikan. Hingga jemari Yuzuki meraih kedua pipi [Name] yang basah. Buku miliknya kini tergeletak asal.Β
"Kenapa ... kau menangis?"
[Name] terisak kecil. Ia cemas Haruhi dan Bunda Teramitsu akan mendengar suaranya.
"Aku ... takut kau akan mati, Yuzu. Saat aku berjabat tangan dengan seseorang, aku bisa melihat masa depannya. Tapi yang kulihat saat menjabat tanganmu hanyalah kematian."
Yuzuki merengkuh [Name]. Menepuk pelan punggung [Name] yang bergetar karena menangis. Gadis itu menyadari bahwa Yuzuki seharusnya pihak yang dihibur, bukan dirinya. Namun, setiap tepukan itu terasa menenangkan. Dan dia ingin waktu berjalan lebih lambat untuknya, walaupun hanya dalam hitungan detik.
"Semua akan baik-baik saja," tutur Yuzuki. "Jadi tujuan awalmu masuk ke kamarku karena alasan itu?"
[Name] memeluk balik Yuzuki. "Menyingkirkan semua kemeja putih milikmu adalah usul Tante. Lalu aku nekat melakukannya selagi kau sedang mandi. Aku khawatir peristiwa itu terjadi ketika kita menjalani darmawisata."
"Sebenarnya kemeja sekolah kita bahkan berwarna putih, jadi tidak bisa disingkirkan," tukas Yuzuki. "Begini saja, aku punya masukan."
Pelukan itu dilepas Yuzuki lebih dulu. Akan tetapi, iris birunya masih terfokus kepada [Name].
"Saat darmawisata, aku akan terus bersamamu. Haru juga pasti tidak akan berpisah dariku. Jangan terlalu khawatir." Yuzuki berusaha menenangkan gadis itu. "Aku tidak akan berpencar tanpa mengabari kalian sedikitpun."
Darmawisata melibatkan banyak siswa. Bunda Teramitsu juga menginginkan kehadiran Yuzuki berwisata di luar ketimbang terus mengurung diri di rumah. Yuzuki menatapnya lembut. Jari kelingking [Name] terulur. Walaupun bayangan itu akan terngiang lagi dalam benaknya, sekarang sudah tidak masalah. Yuzuki telah mengetahuinya.
"Berjanjilah kepadaku. Kau tidak boleh menghadapi ketakutan ini sendirian."
"Aku berjanji."
Di bawah rembulan yang masih menerangi malam itu, mereka mengait kesepakatan. Berdua. Jarum jam tetap berdentang seperti biasanya. Sisa halaman bacaan Yuzuki belum terkikis habis. Namun, hati [Name] merujuk terhadap sebuah kesimpulan.
Dia menyayangi Yuzuki.
βββ
Dua minggu berlalu. Siswa menjalani ujian dengan harapan nilai yang baik. Tentu saja sejumlah kelas tambahan dilakukan bertujuan agar siswa semakin giat dan memahami materi.
"Menyeramkan," tutur Haruhi menatap ngeri ke arah kirinya, "Yuzuki lagi-lagi menduduki peringkat teratas untuk seluruh nilai ujian."
[Name] menatap binar. "Sugoi! Omedettou!"
Lawan bicara yang dipuji hanya tersenyum tipis. "Arigatou."
Haruhi mengerucutkan bibir. "Yuzu sudah mengajari kita segigih mungkin. Tapi kemampuanku masih kurang, cuma berhasil meraih peringkat enam."
[Name] menggeleng pelan. "Haru juga hebat, kok! Setidaknya kita tidak perlu mengikuti kelas tambahan."
"Omong-omong, [Name] peringkat berapa?" Haruhi dan Yuzuki bertanya secara bersamaan, seakan sudah lama menyiapkan pertanyaan itu.
[Name] terkekeh kaku. "Du-dua?"
Mendengar jawaban malu-malu dari [Name], Haruhi mengacak rambut frustrasi. "Jadi kalian punya kisah titel begini: 'Kakak dan Teman Kecilku Duo Genius, Sementara Aku Si Orang Biasa'? Huh, aku sedih sekali!"
Yuzuki melengos. "Haru, kau berlebihan."
[Name] menatap teman sebangkunya, Sumisora Tsubasa. Gadis kikuk yang terlihat lebih diam dari biasanya. Alis gadis itu tertaut dalam.
"Minna, gomennasai. Aku harus menghadiri kelas tambahan karena nilai matematika, jadi aku ... akan kurang membantu kerangka tugas darmawisata." Sumisora menunduk, tidak berani menatap ketiga temannya.
Ketiga rekan kelompok darmawisata itu langsung fokus memandang Sumisora.
"Jangan cemas, kau pasti bisa melaluinya dengan baik," ujar [Name] menepuk pelan bahu Sumisora.
Sebenarnya, tugas siswa sebelum darmawisata tiba tidak sulit. Merancang brosur tur mereka selama 4 hari 3 malam sesuai dengan lokasi yang ditetapkan di itinerary. Tentu saja mereka harus merancang isinya semenarik mungkin.
"Ha, hadapi saja, Sumisora-san. Jangan terlalu merasa bersalah. Tidak ada yang ingin dapat nilai merah," tambah Yuzuki agak kikuk. Buku "berat" miliknya bahkan sudah terbalik.
Beberapa siswa sudah mulai meninggalkan kelas. Selain pembagian hasil ujian, kelas dinyatakan usai. Sebuah ketenangan bagi mereka yang lolos dari jeratan kelas tambahan, sementara sebaliknya harus menjalani hari-hari lebih giat lagi.
"Yu-Yuzu, aku dan [Name] mau beli minum. Kalian mau titip apa?" Haruhi bangkit dari kursi, lalu menarik pergelangan tangan [Name]. Gadis itu seketika bingung karena ajakan dadakan Haruhi.
"Aku ikut," kata Yuzuki setengah berdiri, tetapi dicegat Haruhi.
"No, no. Masa Yuzu meninggalkan Sumisora-san sendirian?" tolak Haruhi mengernyitkan dahi. "Iya, 'kan?" Haruhi memandang [Name] seakan membutuhkan pembelaan.
[Name] mengangguk kaku. "Y-ya, begitulah."
Sumisora menggeleng cepat. "Aku akan pulang sebentar lagi! Tidak perlu repot-repot."
"Oolong tea." Yuzuki tidak membantah lebih lanjut. "Sumisora-san, kau tetap di sini. Mereka menahan kita karena setidaknya kau bisa terlibat pembuatan konsep brosur darmawisata. Jadi, kau mau apa?"
"Kau pintar!" puji Haruhi bertepuk tangan.
"E-eh? Kalau begitu orange juice," jawab Sumisora singkat, tidak sesungkan barusan.
Haruhi mengedipkan sebelah manik, kemudian menjentikkan jari. "Sip. Ayo, [Name]."
Meninggalkan kelas, [Name] berjalan di belakang Haruhi. Dia merasakan adanya keganjilan. Pikiran-pikiran itu mendominasi raga [Name] yang sedang melangkah. Tanpa sadar, Haruhi sudah berhenti. [Name] terus berjalan dan menabrak punggungnya.
"Maaf!" [Name] membungkukkan badan, lalu mengusap hidungnya yang terbentur. "Aku tidak sadar."
Haruhi terkekeh pelan, lalu mengusap puncak kepala [Name]. "Sedang mikir apa, sih?"
"Memikirkan banyak hal," sangkal [Name]. Padahal ia sibuk memikirkan nasib mereka, terutama kakak sulungnya.
"[Name] mau apa?" tanya Haruhi setelah mengambil sebotol air mineral, oolong tea, dan orange juice.
"Sama sepertimu saja," kata [Name] memutuskan saat menyadari stok susu stroberi sedang tidak tersedia.
Mereka tidak langsung kembali ke kelas. Haruhi duduk di bangku panjang yang tersedia di lorong sebelah mesin kaleng otomatis. Berarti ada topik yang akan mereka bincangkan.
"Ada apa?" tanya [Name] hendak membuka tutup botol, tetapi segera dibantu Haruhi.
Pemuda berambut kuning itu mengusap badan botol yang dingin dan basah oleh buliran embun. "[Name], apa menurutmu Yuzu punya seseorang yang disukai?"
Merasa diciduk, [Name] mengerjap beberapa kali. "E-entahlah."
"Aku akan senang jika Yuzu bercerita. Tapi dari bahasa tubuh, sepertinya aku tahu dia suka dengan siapa." Haruhi memasang cengiran lebar. "Bahas soal cinta-cintaan sama cewek rasanya agak beda, ya."
Meskipun ikut tertawa kaku, jantung [Name] berdesir lebih cepat. "Si-siapa?"
"Sumisora-san! Sudah pasti!" Haruhi menyenggol siku [Name]. "Kebetulan sekali darmawisata nanti mereka sekelompok juga. Kita harus menyatukan mereka!"
[Name] tidak lagi merespons secepat tadi. Bulir embun dari botol air mineral miliknya membasahi jemari. Perlahan membekukan, kemudian perlahan mematikan rasa. Desiran bertubi-tubi itu kini digantikan hujaman perih. Dia tidak tahu, dugaan dari Haruhi begitu mudah melukai hatinya.
"Kurasa ... begitu."
- to be continued -
BαΊ‘n Δang Δα»c truyα»n trΓͺn: AzTruyen.Top