BAB 9 - Nareika hanya Bintang Kecil
~Selamat membaca~
“Percaya jika kebahagiaan akan datang itu ada benar-benar menyakitkan.”
-Nareika Kalengga
🍑
Publikasi 23 Juli 2024
★★★☆☆☆★★★
Nareika memainkan gitarnya, klub musik hari ini tidak terlalu ramai sebab beberapa anggotanya mulai sibuk persiapan ujian kenaikan kelas bulan depan.
Senopati, anak laki-laki yang sedang membolak-balik partitur menatap Nareika. “Muka kamu kusut banget, karena Zia nggak ikut kumpul, ya?” todongnya.
“Enggak, kok.” Nareika memainkan senar gitarnya tanpa arah.
“Oh iya, tadi dipanggil ke ruang guru terus ke BK ada apa?” Hikam memandang dengan saksama wajah Nareika yang tampak tidak seperti biasanya. Bahkan sedikit kurang sehat, kelihatannya.
“Ehhh, itu, cuma ditanya kenapa Papa nggak datang di pertemuan orang tua beberapa waktu lalu,” jawab Nareika masih memainkan senar gitarnya tanpa arah.
“Satu lagi, muka kamu itu kenapa? Kok, ada bored? Nggak ada hubungannya sama tawuran anak-anak kelas tiga sama anak SMP sebelah, ‘kan?“ Hikam mendekati Nareika yang terlihat cukup terkejut.
“Enggak, dong. Aku mana kenal mereka. Lagian buat apa ikutan tawuran,” jawabnya agak sewot. “Ini kemarin aku jatuh waktu jemput Kakak di Bumania, terus baru banget kemarin malam ketiban figura di rumah, waktu bersihin gudang. Soalnya, Papa bilang boleh pakai gudang buat latihan main gitar,” imbuh Nareika.
“Kapan-kapan kita main, ya?”
“Boleh, boleh.”
“Gimana pas libur kenaikan nanti?”
“Boleh, nanti aku bilang Papa.” Nareika berseru dengan antusias.
Beberapa obrolan membuat Nareika tertawa, sesekali ia tersipu malu. Seakan beragam kejadian menyakitkan dari hari-hari lalu telah pudar. Nareika menatap Seno dan Hikam secara bergantian.
“Kalau nanti bandnya udah kebentuk, mau ambil genre musik apa?” tanya Nareika sembari cengar-cengir.
“Ce'elah, sok-sokan bahas genre, main gitar aja masih genjrang-genjring nggak jelas!“ Hikam geleng-geleng kepala.
“Sumpah nggak sabar!” Nareika menggaruk-garuk mukanya malu.
“Kalau gitu, cepetan jago main gitarnya, kita bakal nunggu Rei!” ucap Seno dan Hikam sambil tersenyum lebar.
Di sekolahnya, di jam yang sama Nanggala baru saja selesai kelas olahraga. Ia duduk di sisi lapangan sambil menikmati minuman dingin. Dari arah kelasnya yang terletak tak jauh dari lapangan dan lab bahasa, Nugi melambaikan tangannya kepada Nanggala.
“Dih, si resek ganggu aja!” gumam Nanggala yang anehnya menurut saja menghampiri remaja laki-laki itu.
“Ada apa? Baru beres kelas olahraga tau, capek!” protes Nanggala ketika Nugi mengajaknya ke kolam ikan sekolah di bangunan sebelah.
“Nareika gimana kabarnya? Prabu sama Bumhi cerita soal kejadian minggu lalu. Dia nggak apa-apa, 'kan?” todong Nugi seraya merangkul Nanggala.
“Nggak apa, kok. Kayaknya Papa langsung lupa.” Nanggala mendesis. “Lagian itu salahnya juga sih, pakai acara keliling rumah tanpa izin.”
“Mungkin dia lupa, tau sendiri Nareika kalau udah excited suka nggak bisa kontrol perasaannya,” ucap Nugi seraya menepuk-nepuk bahu Nanggala.
“Gua berharap kejadian itu nggak keulang lagi. Apa lagi kalau pas gua nggak di rumah, gua takut Papa kelepasan, Gi!” gumam Nanggala memandang lirih.
“Gua kaget waktu Rei ada di SWP, mana mukanya luka-luka terus matanya bengkak merah.” Nanggala menyandarkan kepalanya di dada Nugi. “Gua takut Papa kehilangan sadarnya dan bikin Nareika mati. Gua nggak bisa mikir jernih waktu itu!”
Nugi tersenyum samar. “Kalau gitu udah bukan waktunya pura-pura lagi. Lo harus tunjukin ke Om Jaan kalau lo sayang Rei!” katanya.
“Mana bisa, sama aja bunuh diri. Posisi gua ataupun Nareika di sisi Papa nggak ada untungnya.”
“Ya udahlah, yang penting selagi lo bisa sayang dia, meskipun caranya menyakitkan, lo harus tetap sayang dia. Tanpa kecuali, soalnya cuma dia satu-satunya adik lo. Dan dia rela ninggalin Bumania demi lo!”
“Tapi, gua juga nggak mau kecewain Papa, karena gua juga ingin hidup dengan tenang.” Nanggala mendaratkan kepalan tangannya di dada Nugi.
“Nareika itu kayak bintang kecil, kalau langitnya kurang gelap, cahayanya nggak akan kelihatan.” Nugi menggeplak kepala Nanggala dengan punggung tangannya.
***
Jindra baru saja selesai makan siang, kampus hari terlihat lenggang. Sebab tak banyak mahasiswa yang masuk kelas siang. Kebanyakan mereka mengambil kelas pagi. Sebagian lagi mengabaikan kuliah di waktu libur.
Jindra menekan geraham sambil mendesis sembari melamun jauh ke arah langit. Laki-laki itu menggulirkan matanya ke arah awan yang tiba-tiba bergumul begitu indah. Ia tersenyum.
Buku gambar dikeluarkannya dari ransel, pensik arang dan tinta ia turut keluarkan. Jemarinya yang lenjang menari di atas kertas, membumbui putihnya dengan goresan arang dan cipratan tinta.
“Apa anak itu baik-baik aja? Apa lukanya udah sembuh? Kuharap dia baik-baik aja,” gumamnya.
“Aku ingin menemuinya, apa dia juga atlet renang Bumania? Sial, hari itu aku nggak sempat melihat siapa yang ingin ditemuinya. Mungkin, aku akan datang ke sana untuk memastikan keadaannya,” monolog Jindra dengan sedikit senyuman kecewa.
“Jindra, ada anak kecil yang baru aja keserempet motor!” kata seseorang dengan pin yang sama sambil berlari ke arah gerbang kampus.
Pikirannya tiba-tiba terasa kacau, berlari Jindra meninggalkan barang-barangnya bangku taman kampus. Kakinya yang lenjang terus mengambil langkah besar, sampai ia menemui seorang anak dengan kaos hitam dan celana cokelat gurun tergeletak di jalan dengan bersimbah darah di bagian kepalanya.
Dengan cekatan Jindra mengaisnya dan membawanya ke halaman kampus, sementara itu anak-anak dengan pin serupa seketika menyalakan mesin mobil putih bertuliskan Ambulans Unit Kesehatan Universitas P. Sedang mahasiswa lainnya mencoba menahan pengendara motor yang tak lain anak jurusan Teknik.
Jindra memijat pucuk hidungnya, entah kenapa ia tiba-tiba ingat bagaimana Nareika hendak melompat ke tengah lintasan. Wajahnya penuh luka dan manik matanya penuh kesedihan dan kekecewaan.
“Jindra, muka lo pucat gitu!” kata pengendara mobil.
“Nggak apa-apa, kok.”
Lima belas menit di perjalanan, anak kecil tersenyum segera mendapat perawatan setelah Pak Gumelar, Dosen Kedokteran di kampus menghubungi pihak tumah sakit dan beberapa perawat. Iya, Rumah Sakit Swasta P, rumah sakit milik yayasan P yang mana sama-sama pemilik kampus. Keduanya berada di bawah pengawasan orang yang sama.
“Jindra mau gua beliin minum?” tanya temannya itu.
“Nggak udah, kalau kalian mau balik kampus, tas sama barang gua ada di bangku taman. Tolong diberesin, ya!” Ia nyengir.
“Oke, oke. Kita balik duluan, Pak Gumelar sebentar lagi datang sama beberapa pihak kepolisian sama keluarga korban.”
“Oke.” Jindra menyandarkan punggungnya di dinding sambil menunggu perawatan selesai.
“Nareika baik-baik aja, dia hanya dehidrasi!”
Kalimat itu membuat Jindra terperanjat, ia menolehkan kepala ke arah belokan lorong. Bayangan dua orang tengah berjalan di sana membuatnya tertarik untuk menghampiri.
Sayangnya, ia hanya mendapati hawanya saja. Namun, langkah kakinya tetap bergerak maju, melihat dua punggung remaja dengan seragam putih abu berjalan sambil bercengkrama.
“Nareika, hanya perlu istirahat, dia akan baik-baik aja.”
Jindra memandang dengan lembut kedua punggung itu. Meskipun mungkin itu bukan Nareika yang dilihatnya hari itu, Jindra tetap berharap jika Nareika yang ditemuinya baik-baik saja.
Aku akan memastikan keadaanmu. Sepertinya aku akan pergi ke Bumania, iya, aku akan ke sana. Kuharap kamu nggak lagi berpikir jika bunuh diri adalah akhir dari segala akhir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top