BAB 8 - Nala, Kisah Kita Belum Selesai

•Selamat membaca•

“Melupakan tidak pernah mudah. Mulailah mencari hal baru, mungkin tanpa sadar kenangan itu telah memudar sedikit demi sedikit.”

-Prabudino Prakesturah

🍑

Publikasi 24 Juli 2024

★★★☆☆☆★★★

Prabu, mahasiswa dengan nama lengkap Prabudino Prakesturah itu berbaring di dekat Nanggala yang sedang memijat lembut pahanya dengan balsam.

“Jadi, Nareika benar-benar nggak akan kembali ke Bumania?” Prabu bertanya dengan suara lembut. Nanggala pun mengangguk. “Nareika yang mau?”

“Iya. Katanya, dia merasa bersalah karena gagal bawa tim relay ke top sepuluh kemarin,” jawab Nanggala tanpa menolehkan kepalanya.

“Bukan karena anak-anak? Bumhi bilang sebelum Nareika jarang masuk latihan, dia dikeroyok anak-anak tim estafet. Bumhi beneran lihat atau bohong?” tanya Prabu seraya bangun lalu duduk dan membantu Nanggala memijat pahanya yang terlihat tegang.

“Ini, nih, kelamaan di air, manteng gini ototnya!” sindir Prabu sambil manyun.

“Dah, ah, jangan pegang-pegang! Cabul lo!” Nanggala keki.

“Lo pijatnya salah, ngaco! Ntar, cedera tau rasa!” Prabu menoyor kepala Nanggala.

Nanggala hanya mengembuskan napasnya pelan saja. “Iya, anak keroyok dia, gua juga lihat. Bumhi nggak bohong,” kata remaja laki-laki itu sambil menyugar rambutnya.

“Harusnya lo laporin sama pelatih, minimal sama staff!” protes Prabu sambil mendesis.

Dari arah ruang ganti, terlihat Bumhi, teman sekampus Prabu. Bumhi Sumabakti, nama lengkapnya. Laki-laki dengan pupil hitam arang nan belo itu memandang dengan saksama.

“Nala, Rei di luar!” kata Bumhi. Laki-laki itu menunjuk ke arah kanan lengannya.

“Rei?” seru Nanggala yang seketika berdiri dengan wajah terkejut. Ia berlari ke luar dari area kolam renang. Di halaman, Sentra Water Park, tempat Bumania biasa latihan terlihat Nareika berjongkok. Ia masih memakai seragam sekolah.

“Nareika?” panggil Nanggala membuatnya menoleh. “Lo ….” Nanggala segera menghampirinya lalu memeluknya dengan erat.

Dingin terasa menyapa tubuh dan wajah Nareika pasalnya kulit Nanggala yang hanya dibalut kaos kutangan tipis. Nareika memeluknya dengan erat.

“Kenapa lo di sini? Make seragam lagi?!” Nanggala keheranan, ia membelai wajah Nareika yang dipenuhi plester.

“Ini lagi muka lo kenapa? Lo berantem? Tawuran, heh? Mau jadi anak nakal atau gimana? Lagian kenapa keluyuran jam segini pakai seragam, mana lihat itu muka lo, astaga, Rei!” Nanggala membentak sebab panik.

Nareika menangis sejadinya membuat Prabu juga Bumhi yang turut keluar sedikit terhenyak.

“Jawab gua!” pekik Nanggala sambil memegangi tangan Nareika sekuat tenaga. Remaja laki-laki itu menatap dengan berang. “Jawab atau gua juga marah! Berani nakal gua nggak akan segan lapor Papa biar lo dapat hukuman lebih dari gini. Kesel gua, kesel banget tiba-tiba lihat lo ada di sini!” Nanggala mendorong tubuh Nareika hingga anak itu tersungkur.

“Kakak … sakit ….” Nareika mengaduh sambil menatap sendu. Ia benar-benar putus asa, kelopak matanya banjir tangis. Ia mendekati kaki Nanggala dengan aroma balsam yang panas.

“Bolehkah aku berlindung di balik punggung Kakak?” rengeknya sambil merintih.

“Enggak. Enggak boleh.” Nanggala memeluknya dengan erat. “Nggak boleh,” kata remaja laki-laki itu seraya membelai rambut Nareika.

“Nareika takut Kakak dihukum Papa, tapi Nareika juga takut pulang sendirian.” Ia sesegukan.

Beberapa waktu ketika Jindra bertanya ke mana ia harus mengantarkan Nareika pulang. Yang terlintas di kepalanya hanya Bumania, hanya Nanggala, hanya dua hal itu, meskipun hatinya menyangkal. Mulut kecil Nareika berkata demikian dengan penuh harap. Sialnya, Nareika memang ingin pulang bersama Nanggala. Walaupun ia tau, Nanggala ataupun dirinya akan terkena masalah.

“Bilang sama gua siapa yang bikin muka lo bengep gini!” Nanggala membentak lagi.

“Pa—papa,” jawabnya.

“Nala, bawa Nareika masuk!” titah Bumhi sekilas memiringkan kepalanya sebagai kode.

Nanggala memboyong Nareika di punggungnya. Entah mengapa kaki kurusnya begitu memprihatinkan, belum lagi tadi Nanggala mendorongnya sampai tersungkur.

Ruang ganti utama menjadi tempat berteduh Nareika. Jam menunjukkan pukul delapan malam dan Nanggala masih akan latihan bersama beberapa anak sampai jam sembilan atau sepuluh malam.

“Jadi?” Nanggala to the point saja. Remaja laki-laki itu benar-benar tidak mengindahkan wajah memelas dan takut Nareika.

“Papa diundang sebagai perwakilan orang tua murid untuk membahas rencana kenaikan uang SPP dan uang buku kelas dua nanti. Aku mencari Papa, ternyata Papa di ruang Mama bersama Tante Vanya.”

“Terus Papa marah?” todong Nanggala, Nareika pun mengangguk kecil. Embusan napasnya terasa berat. Nanggala memukul kepala Nareika sekuat tenaga. “Itu kenapa gua kadang benci banget sama lo. Lo tuh berapa kali Papa bilang jangan keliling rumah tanpa izin, jangan asal masuk ruangan, jangan a—”

“Pintunya terbuka, kupikir Papa sedang merawat figura Mama taunya sedang begitu. Aku juga terkejut!” ungkap Nareika sambil berteriak histeris.

Nanggala menamparnya. “Gua nggak akan balik sama lo. Mending lo pulang sekarang atau Papa makin marah!” titahnya sembari membalik badan.

Pada kenyataannya, aku benar-benar nggak bisa berharap lebih. Walaupun Kakak terlihat cemas, dia tetap mencemooh dan membenciku, selalu.

Iya!” jawab Nareika seraya melengos dengan kepala tertunduk lesu. Sementara itu, Prabu mencoba berdialog dengan Nanggala dan Bumhi mencoba menemani Nareika sampai ke depan SWP.

“Kamu beneran mau pulang sendirian? Mau Kak Bumhi antar? Kakak ganti baju dulu,” katanya memegang bahu tipis Nareika.

“Nggak, Rei bisa pulang sendiri. Papa akan marah kalau tau aku menginjakkan kaki ke Bumania. Aku telah berjanji,” terang Nareika.

“Tapi ….”

“Nggak apa. Aku baik-baik aja!” pekik Nareika tersenyum tegar.

Bumhi membelai rambutnya. “Nah, jangan pulang sendirian. Naik ojek aja, di depan. Sisanya bisa kamu simpan!” Nareika mengangguk.

Di dalam SWP, Prabu masih mencoba bicara pada Nanggala. “Itu adik lo!” Prabu mendesak.

“Andai lo Nugi, lo pasti paham kenapa gua nggak balik sama Rei. Andai lo Nugi, lo nggak akan tanya kenapa Rei out Bumania. Karena cuma Nugi satu-satunya orang yang tau gimana Papa benci Nareika dan gimana Papa biasa menolak keberadaan Nareika. Mungkin semua orang tau, tapi Nugi beneran paham posisi Nareika dan gua. Jadi—”

“Lo nggak mau adik lo lebih menderita. I see.” Prabu membelai pelipis Nanggala dengan sedikit lembut.

***

Nareika baru saja tiba di rumah, pemandangan seks di atas meja atau di sofa sudah biasa. Ia mutuskan untuk tidak memasuki rumah. Anak laki-laki itu meringkuk di kursi teras sambil mengharap ke pancuran bambu.

Jindra, kenapa Tuhan selalu memberikan rasa sakit?”

Karena Tuhan mencintaimu. Dia mengujimu, agar kamu menangis di sisinya.”

Tapi, rasanya sakit. Apa nggak boleh jika aku bunuh diri aja?”

Enggak belum waktunya. Hidup itu terkadang sulit dan bahagia dalam waktu tertentu jadi teruslah hidup. Gitu kata One Ok Rock!”

Apa One Ok Rock juga pernah merasa putus asa?”

Emm, One Ok Rock juga manusia. Semua manusia pasti merasa putus asa, tapi nggak semua manusia bunuh diri, karenanya. Sebagian masih berjuang, karena mereka yakin kebahagiaan itu pasti datang tanpa diundang.”

Apa aku akan bertemu Jindra lagi?”

Kuharap begitu!”

Jemarinya menyematkan pin hitam dengan tulisan putih di dada Nareika.

Remember, that every children deserve to be happy. Now, tomorrow, and the day after tomorrow, you'll be happy. I pray for Nareika.”

Nareika memeluknya, memenuhi setiap ruang kosong dalam hidungnya dengan aroma kopi yang manis. Ia juga mengisi setiap gelap hatinya dengan senyuman Jindra juga wajah laki-laki dengan mata almon itu. Laki-laki yang usianya delapan tahun lebih tua dari Nareika itu benar-benar asing yang dirindukan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top