BAB 5 - Arah

~Selamat membaca~

“Seumpama langit, izinkan aku jadi awannya meskipun mendung. Aku tak ingin kau merasa kosong sendirian.”

-Jindra Mangkasa

🍑

Publikasi 16 Juli 2024

★★★☆☆☆★★★

Nanggala duduk di sisi kolam sambil mengayun-ayunkan kakinya setelah melakoni pertandingan dengan Prabu dan Bumhi. Sayangnya, ia mungkin akan tinggal di Bumania lebih lama. Ia tak bisa mengalahkan waktu tercepat kedua seniornya itu. 23.98 juga 24.04 detik. Sementara itu Nanggala mencatat 24.06 masih terlalu jauh.

Prabu yang baru saja selesai membersihkan tubuhnya berjalan ke arah Nanggala, cowok dengan alis hitam tebal itu mengedipkan kelopak mata kanannya. “Galau mulu, cepet ganti baju nanti masuk angin,” kata Prabu lemah lembut.

“Nggak usah sok perhatian, gua suka kalau rambut gua kering dengan sendirinya,” jawab Nanggala keki.

Prabu turut duduk di samping Nanggala, ia menolehkan wajahnya pada anak itu. “Nala, kenapa berenang dengan gaya punggung dan dada?” tanyanya.

“Kenapa, ya? Kepo lo.” Nanggala terlihat makin keki. Ia bahkan memandang dengan tatapan tajam.

“Diiiihhh … sok ganteng lo! Gua cuma mau bilang gaya punggung lo tuh indah pakek banget. Gaya punggung lo sama Nareika adalah definisi gaya punggung paling indah yang pernah gua lihat,” terang Prabu.

“Jayus!” pekik Nanggala memalingkan wajah.

“Cipratannya kasar, begitu pun dengan kayuhannya. Tapi getarannya selalu lebih lembut dari angin. Nanggala mengisi celah Nareika begitu sebaliknya. Gua suka kalau kalian berenang bersebelahan,” ungkap Prabu tersenyum tipis.

“Udah gua bilang jayus ya jayus, Prabu!” bentaknya mendorong Prabu sampai sedikit terhempas. Namun, ia malah tertawa renyah.

“Jangan mengejar airnya, jangan mengejar siapa orang yang ada di depanmu. Berusahalah berenang dengan tubuhmu sendiri. Kamu hanya takut tertinggal,” katanya sembari mengembuskan napas. “Padahal, gaya punggungmu menyenangkan mata.”

“Ahh, sok bijak!” Nanggala berteriak kesal. Namun, pipinya merona kemerahan.

“Cie, baper!” guyon Prabu sambil menjulurkan lidahnya. Iya, Prabu, mahasiswa jurusan olahraga itu melengos dari kolam. Nanggala akui, ia hebat, ia tampan dan sangat menawan. Sejauh ini, Nanggala tak pernah berpikir jika Prabu yang cukup sering bolos latihan karena sibuk sebagai mahasiswa bisa mengatakan hal demikian.

“Yah, kenapa … karena gua suka dan sayang Nareika. Gua berenang gaya punggung. Bocah itu … satu-satunya kenangan bersama Mama. Liburan sekolah sebelum Mama pergi, kita tamasya ke pantai. Nareika takut air, Nareika takut ombak, dia bilang dengan kosakata terbatasnya—”

“Lei nau iat muta tata,” bisiknya tertawa. “Ah, dia mau berenang sambil lihat muka gua. Gua pegang punggungnya, dia pandang wajah gua sambil senyum. Dia suka. Itulah kenapa gua suka gaya punggung, karena gua sayang kenangan itu.”

***

Nanggala merebahkan tubuhnya di atas air, mengambang sambil memandang langit. Remaja laki-laki dengan pandangan temaram itu perlahan-lahan memejamkan matanya. Setelah berlatih untuk kejuaraan antar SMA.

“Nanggala, Haritsah mencarimu!” panggil seorang pria dengan kaos putih bertuliskan Coach Anwar di dadanya.

Nanggala lekas membuka mata, beranjak dari kolam. Ia meraih handuk yang tergeletak di tepian kolam. Berjalan Nanggala ke arah kolam kecil dekat perosotan naga.

“Ada apa mencariku, Coach?” tanya Nanggala dengan nada bicaranya yang angkuh.

“Papamu minta agar menu latihanmu ditambah. Apa kamu setuju?” Pria itu, Harits, pelatih utama Bumania. Pria dengan mata biru kehijauan itu menatap teduh. “Tapi, Coach pikir terlalu banyak menu latihan mungkin akan mempengaruhi performamu.”

“Aku nggak keberatan,” katanya masih dengan nada bicara yang sama.

“Baik kalau kamu nggak keberatan, tapi … mohon jangan memaksakan diri karena seleknas dan pelatnas akan dimulai beberapa bulan mendatang, Coach harap kamu bisa ikut lagi,” kata pria itu sambil tersenyum dengan ramah.

“Iya, atur aja, aku juga siap-siap aja mau ditempatin di mana pun, nggak masalah.” Nanggala melengkos begitu saja padahal ia sendiri tau Haritsah mungkin akan menjawab ucapannya.

Nanggala memisahkan dirinya, ia memasuki kamar ganti. Duduk ia dengan tubuh tinggi tegap dada bidang itu di kursi kayu di dekat dinding. Ia menyelimuti kepalanya dengan handuk.

Beberapa anak memasuki ruangan tersebut tetapi buru-buru ketika Nanggala mengangkat kepalanya di bawah cahaya yang remang-remang.

“Maaf, Kak!” kata mereka dengan kompak.

Papa ingin Nanggala membawa emas sebagaimana biasanya. Papa yakin Nanggala pasti bisa. Nanggala kebanggaan Papa. Presiden Majalah O'zeanh ingin mengundangmu untuk wawancara. Nanggala pasti bisa lebih bersinar. Apalagi seleknas dan pelatnas akan segera dibuka. Semangat. Nareika nggak akan pernah menghalangimu lagi. Dia ingin kakaknya bersinar lebih.

“Tapi caranya salah … dan Papa menekannya. Kenapa? Kenapa? Kenapa?” gumam Nanggala sembari menitikan air mata.

Nanggala membuka galeri ponselnya. Tampak potrer Nareika ketika ia berusia tujuh tahun, tengah berdiri sembari memboyong piala atas juara makan kerupuk dan balap karung di hari kemerdekaan.

“Kenapa lo akhirnya harus ikut gua? Padahal lo bahagia, sebahagia itu tanpa gua. Kenapa lo harus ikut gua, Rei?” Nanggala memijat dahinya yang berdenyut-denyut nyeri.

Sementara itu, di saat yang sama Nareika baru saja selesai membereskan meja karena jadwal piket. Beberapa anak pulang lebih dulu dan menyisakan Nareika dan empat anak laki-laki lainnya.

“Jadi, Rei udah beli gitar?” Mereka begitu antusias.

“Emm, Papa beli kemarin. Tapi aku belum bisa.”

“Nggak apa, bawa aja.”

“Berarti kamu tinggal isi formulir buat gabung di klub musik. Nanti aku bilang sama gurunya, supaya Rei dapat pembelajaran khusus!”

“Ehh, seriusan?” Nareika berseru dengan semangatnya.

“Iya, serius. Nanti kita bikin band, ya!”

“Ya, ya, aku mau!” kata Nareika. Aku akan melewatkan Kakak, semoga Kakak bahagia. Aku juga akan bahagia.

Di waktu yang bersamaan, Nanggala kembali ke kolam setelah melakukan pemanasan ulang. Ia melakoni beberapa latihan solonya. Dari sisi lapangan beberapa anak-anak memandangnya. Sosok yang dikenal tegas, displin, dan pekerja keras itu membuat mereka terkagum-kagum.

“Kak Nanggala hebat!”

“Iya, nggak sabar nungguin hasil pengumuman daftar peserta kejuaraan antar SMA nanti.”

“Iya, gua berharap dia bawal bawa emas lagi buat sekolahnya dan Bumania!”

“Iya, dia tuh keren banget!”

“Kalau ingin sama-sama keren, latihan bukan ngobrol dan ngeghibah terus!” sentil seorang. Ia dengan rambut cokelat kemerahan, bertubuh tinggi kulit putih bersih dengan dada tidak terlalu bidang itu berdiri tegap. “Ayo, latihan!” katanya dengan tegas.

“Ka—kabur!” Mereka memekik terkejut sambil kocar-kacir menjauh.

Remaja laki-laki itu tertawa nikmat, ia menggulirkan matanya pada Nanggala yang masih bolak-balik lintasan dengan gaya punggungnya yang selalu tampak menyengarkan.

“Nanggala, latihannya cukup!” panggilnya sambil menjulurkan tangannya ke arah Nanggala yang sudah menyentuh dinding.

“Lah?” Nanggala tampak terkejut beberapa saat. “Lo!”

“Masih aja maksain latihan seintens itu? Lo tuh baru selesai … ehm … lo tuh masih masa percobaan!” katanya itu sembari menarik tangan Nanggala agar ia keluar dari kolam.

“Kapan lo balik dari California?” tanya Nanggala sambil mengerutkan dahinya.

“Tadi pagi,” jawabnya.

Nugi Daksa Wrisaba. Teman satu tim Nanggala di tim estafet. Ia dua tahun lebih tua dari Nanggala. Perenang gaya kupu-kupu terbaik milik Bumania. Salah satu punggawa Bumania yang berhasil memboyong lima emas di kejuaran renang antarsiswa se-Jakarta tiga tahun lalu. Bahkan sempat lolos O2SN sebelum dinyatakan gugur karena sakit dan harus menjalani operasi retina.

“Lo kalau mau balik harusnya ngabarin dulu!” todong Nanggala sambil manyun.

“Penting banget emang ngabarin lo?” Nugi memandang celih sambil menyungging senyuman tipis.

“Penting, biar gua biasa latihan lebih. Soalnya kalau lo datang, atensi orang tuh pasti tumpah ke lo semua!“ cecar Nanggala sewot.

“Bilang aja kangen!” Nugi nyengir. “Nareika mana, kok nggak kelihatan latihan?”

“Dia nggak bakal datang lagi. Dia sibuk sama klub musik di sekolahnya. Dia udah bahagia, jangan dipaksa balik ke Bumania.”

Nugi tersenyum sambil mengusap-usap pusat kepala Nanggala.

“Heh, berdua dipanggil Coach Haritsah. Nanggala cepat ganti baju dan isi perut dengan minuman energi, lo udah berenang berjam-jam!” Dari kejauhan Prabu berteriak sambil berkacak pinggang. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top