BAB 3 - Sementara Begini
•Selamat Membaca•
“Kita kesepian karena Langit dan Bumi kadang sulit diajak bersandar.”
-Nanggala Mada
🍑
Publikasi 10 Juli 2024
★★★☆☆☆★★★
Hujan menahan latihan semua anak-anak Bumania, tetapi Nanggala masih bolak-balik lintasan meski tubuhnya sudah kedinginan. Beberapa pelatih ingin memintanya keluar dari kolam. Sayang, sosok Jaan Kalengga turut berdiri di sisi kolam.
“Nanggala, postur tubuhmu itu, caramu mengayun lenganmu, kakimu juga!” Ia berteriak dengan emosi.
Nanggala yang sudah mulai kelelahan semakin mengendurkan lajur kayuhan tangan juga kakinya. Seketikanya ia mengambang di permukaan kolam.
“Nanggala!” Jaan kembali berteriak.
Nanggala pun berdiri di dalam kolam, ia menyeka wajahnya yang terus menerus dihantam air hujan dan air kolam. Sebagai perenang gaya punggung, sekujur tubuhnya terasa amat tersiksa.
“Aku akan kembali, aku ingin ke kamar mandi!” katanya sambil menatap ke arah Jaan yang berkacak pinggang di bawah payung.
Sementara itu, Nareika di sekolah bersama beberapa anak tengah asyik membahas komik detektif asal Jepang. Namun, suasananya tiba-tiba saja berubah riuh, ketika mereka mulai membicarakan Nanggala dan Bumania.
“Jadi, Rei, kamu nggak latihan di Bumania lagi?” tanya salah seorang anak.
“Enggak. Aku udah lima bulan nggak latihan, rasanya kayak kaku. Lagi pula, di sekolah kita kan banyak ekskul, jadi untuk apa aktif di Bumania?” Nareika nyengir sambil garuk-garuk tengkuk.
“Tapi, Rei … bukannya sekolah kita punya program beasiswa buat anak berprestasi di luar sekolah, ya?” Anak lainnya ikut nimbrung.
“Iya, tapi aku ingin aktif di ekskul aja, deh. Kan, capek kalau harus berkegiatan di sana dan di sini!” jawab Nareika masih cengar-cengir.
“Oh iya, katanya Kak Nanggala anak Bumania itu kakak kamu, ya, Rei?” tanya anak lainnya sambil menatap antusias.
“Emm ….” Nareika menundukkan pandangannya.
“Kalian tuh mirip kalau dilihat-lihat, cuma Nareika lebih manis!” Seorang anak perempuan dengan bando putih tersenyum manis pada Nareika.
“Makasih, Zia,” ucap Nareika malu-malu kucing. Ia menutupi wajah kemarahannya dengan telapak tangan.
“Ah, iya, tapi Kak Nanggala lebih ganteng, kayaknya pacar dia cantik!”
“Rei, boleh nggak nanti ajak kita ke rumah kamu! Ajak kita kenalan sama kakak kamu, ya?”
“Ya!”
“Ya?!”
Nareika menganggukkan kepalanya sambil tertawa renyah. “Iya, iya, kalau kakakku nggak sibuk, soalnya Kak Nanggala sibuk untuk kejuaraan antar SMA se-Jakarta. Jadi, pasti jarang di rumah.”
Senyuman itu memudar perlahan-lahan, Nareika tak ingin menipu siapa pun. Ia memang adik Nanggala, tetapi sejak hari itu ia bahkan semakin jarang bicara dengan kakaknya sendiri. Selain itu, semenjak Papa kerap membawa wanita ke rumah, mabuk sampai pesta seks bersama beberapa rekan mainnya, Nanggala benar-benar jarang berada di rumah. Apalagi, ia sudah masuk SMA dan ia juga bergabung dengan Osis. Nareika benar-benar semakin kehilangannya.
Di jam yang sama, Nanggala memandang wajahnya di cermin. Hari ini, ia tidak menyangka kalau Jaan akan datang mengamati latihannya. Padahal, Nanggala sudah mengatakan padanya, kalau ia tidak akan latihan seintens biasanya. Itu karena Nanggala mulai sibuk di sekolah walaupun dirinya dipilih sebagai wakil Bumania di kejuaraan mendatang. Ia tetap ingin fokus di sekolah.
Nanggala disayang guru-guru karena dia atlet Bumania, banyak sponsor. Terus kalau juara dan dapat hadiah pihak sekolah juga dapat. Jadi, wajar kalau dia sering bolos tapi diperhatikan, nggak ngerjain PR aja tetap dibanggakan.
Bogemnya mendarat di cermin dan membuatnya retak. Darah segar menodai lantai. Nanggala mengerutkan wajahnya sambil menangis tersedu-sedu.
“Kenapa harus kami, kenapa harus kami yang Kau buat menderita, Tuhan? Setelah Mama, apakah kami juga nggak akan bahagia!” Nanggala mengaduh sambil menjatuhkan tubuhnya ke lantai.
“Kamu kurang bahagia apa, Nanggala, Papa selalu ada untukmu, Papa mendukungmu, kurang apa papamu ini?” todong Jaan sembari bersidekap di balik punggung Nanggala.
“Papa … apa Papa sadar kalau Nanggala juga terluka, sama seperti Nareika. Apa Papa sadar apa yang Papa lakukan selama ini terhadap kami?!” lontar Nanggala sedikit membentak.
“Nanggala!” pekik Jaan kesal.
“Benar kata Rei, kenapa Papa melihatku, tapi nggak melihatnya. Kenapa Papa bersamaku, sayang padaku, dan selalu ada untukku, kenapa?” Nanggala menangis terisak-isak.
“Nanggala …,” lirih Jaan hendak menyentuh kepala anak sulungnya tersebut. Sayangnya, Nanggala segera menepisnya.
“Kenapa Papa membedakan kami?” tanya dengan wajah putus asa.
“Papa mencintai Nanggala selalu.” Pria itu memeluknya.
“Kenapa?” Nanggala menjerit, meratap wajah sang papa dengan tangis penuh luka.
“Karena Nanggala adalah segalanya.”
“Itu bukan jawaban yang aku mau. Dan Nareika nggak salah, dia lahir karena Papa dan Mama saling mencintai, bukan?” Nanggala masih menangis sekerasnya.
“Papa katakan sekali lagi, jika Nareika nggak lahir Papa dan Mama pasti bercerai. Kami pasti akan hidup bahagia. Pernikahan kami nyatanya ditentang, jauh sebelum Nanggala lahir kami nggak pernah dapat restu. Lalu, Nanggala lahir kakekmu mulai melunak.”
“Kami bahagia, kami bahagia, kami sangat bahagia, sampai akhirnya kakekmu meninggal dunia. Keluarga mamamu menyalahkan kami, jika kami nggak menikah mungkin kondisinya akan baik-baik aja. Semua kebencian itu diterima mamamu dan mamamu mulai sakit-sakitan. Papa memutuskan untuk bercerai agar mamamu bisa kembali ke keluarganya dan hidup bahagia, atas perjodohan yang diusung nenek juga pamanmu.”
“Meski Papa berselingkuh hanya untuk membuatnya menyerah. Sampai Nareika lahir dan memperburuk segalanya. Seperti yang Nanggala tau bahwa sejak bayi, Nareika selalu merepotkan Mama, bahkan Mama sampai nggak pernah melimpahkan kasih sayangnya padamu. Itu karena Nareika.”
Nanggala hanya menangis. Ia tak bisa menyangkalnya. Papa … tetapi Nareika telah membuktikan bahwa Mama benar-benar mencintaimu, Mama mencintai Papa tanpa peduli bagaimana dunia memperlakukannya. Kenapa Papa membenci semua ketulusannya?
***
Hujan perlahan reda, langkah kakinya menari dengan asyik di antara genangan air. Nareika tidak pernah merasakan pergi atau pulang sekolah antar jemput. Meskipun Papa punya tiga mobil mewah juga supir pribadi, Nareika tidak berkesempatan untuk bersanding dengan Papa atau Nanggala.
Senja begitu elok, nyanyian sang hawa yang dingin membuat tubuh kurusnya menggigil. Namun, ia masih tegar tersenyum. Memiliki segelintir teman membuatnya merasa sedikit lebih berarti, walaupun mereka terus membahas Nanggala dan Bumania.
Bel berdering, pria tidak terlalu lansia membuka gerbang sambil terpogoh-pogoh kaget. “Eh, Nareika pulang sore sendirian?” tanya pria itu yang tak lain Mbah Karto. Pegawai kebersihan di rumah, suami Mbok Suwelas, juga ayah dari Mas Guntur, supir pribadi Papa.
“Hee … bukannya Mbah sekeluarga lagi libur, ya?” Nareika terkejut bukan main.
“Masuk sampai besok, soalnya Bapak mau dinas lagi jadi ada yang harus disiapkan. Setelah itu libur lagi, sampai dipanggil Bapak buat kerja,” terangnya. “Nareika pulang sendirian, toh?” Ia kembali menegaskan.
“Enggak, kok, sampai terminal angkot barengan teman sekolah,” jawab Nareika dengan suara lantang. “Seru!”
“Ya udah, cepetan mandi, terus makan, Mbok masak oseng jamur kesukaan Nareika.” Pria tua itu manggut-manggut dengan sopan.
“Kakak udah pulang?” Nareika berjalan ke arah pintu rumah. Sesekali menoleh pada Mbah.
“Baru berangkat sama Bapak dan Mas. Mau beli perlengkapan renang baru begitu,” jawabnya
Nareika tersenyum seraya mengangguk rengkuh. Anak laki-laki itu memasuki rumah, aroma dingin selalu kentara. Meskipun di rumah selalu banyak orang dan aktivitas, Nareika selalu merasa kesepian seorang diri.
“Nareika mau makan sekarang?” tanya Mbok yang baru saja meluncur keluar dari dapur.
“Iya, tapi mau mandi dulu, nggak usah diantar ke kamar. Nanti Rei yang ambil sendiri ke dapur!” ucap Nareika sebelum memasuki kamarnya.
Untuk beberapa jenak, ia memang tersenyum lebar. Akan tetapi, hatinya selalu berdenyut-denyut sakit nan pedih. Semua yang berputar di dunianya, bahkan mengabaikan Nareika. Sekecil kabar kalau akan pergi beli ini itu saja, Nareika tidak diajak.
“Hah, aku harap bisa segera dewasa!” katanya sambil tertawa satire, bebarengan air mata yang melintasi pipinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top