BAB 2 - Sejauh Langit dan Bumi, adalah Kita

•Selamat membaca•

“Daksa kembali ke pembaringan, tetapi atmanya tertinggal dalam kesendirian.”

-Nareika Kalengga

🍑

Publikasi 3 Juli 2024

★★★☆☆☆★★★

Jangankan untuk berbicara panjang lebar, untuk saling melihat saja Nareika tidak mampu. Pagi selalu menjadi waktu paling dibenci Nareika, karena meskipun duduk di tempat yang sama, makan di meja yang sama dan menikmati hidangan sarapan yang sama. Nareika selalu mendapati dunianya serta dunia Nanggala dan Papa berbeda.

Hari ini adalah hari pertama Nareika memasuki SMP setelah dua bulan lalu menerima kelulusan dengan nilai lumayan baik. Sementara Nanggala pun memasuki hari pertamanya masuk SMA.

“Kata pelatih, Nareika nggak latihan selama lima bulan. Kenapa?” tanya pria paruh baya di sebelah Nanggala. Jaan Kalengga. Pria itu menatap congkak.

“Nareika sibuk mempersiapkan UN pertama kemarin. Nareika nggak mau kalau nilai ujiannya jelek!” jawab Nareika dengan sedikit kegugupan yang tergambar di wajah pucat juga mata hitam pudarnya.

“Lalu?” Jaan masih menatap congkak.

“Nanti aku akan latihan, setelah MPLS selesai,” katanya sembari menggulirkan pupil hitam pudarnya pada Nanggala.

“Papa nggak mau dengar alasanmu ini dan itu. Kalau memang nggak sanggup jadi anak Bumania lebih baik keluar, buang-buang uang!” bentaknya sambil menggebrak meja.

“Lihat kakakmu, sama sekali nggak pernah ngeluh. Nilai akademik dan non akademiknya selalu bagus. Itu karena kakakmu benar-benar tulus menyayangi Papa dan ingin membanggakan Papa!”

Aku juga telah berusaha, tapi Papa selalu mengabaikan aku. Selayaknya aku ini angin lalu, mungkin Papa nggak merasakannya.

Nareika hanya menundukkan kepalanya. “Aku akan segera latihan.” Ia meninggalkan meja makan sambil berusaha menyembunyikan air matanya.

“Kembali duduk, Papa belum selesai bicara, Nareika!” Jaan kembali membentak.

“Aku akan berangkat sekolah,” ucap Nanggala sembari meninggalkan meja makan.

Sementara itu, Jaan masih berteriak pada Nareika, anak laki-laki itu menitikan air matanya sambil menoleh pada Jaan.

“Kenapa Papa selalu memarahi aku? Apa yang aku lakukan selalu salah! Kenapa Papa nggak pernah melihat usahaku mengejar Kakak. Nyatanya, aku memang nggak bisa sepertinya. Aku berenang karena aku ingin kasih sayangmu. Nyatanya, aku selalu nggak bisa menggapai kalian. Kenapa kalian meninggalkan aku?”

Jaan menghampiri Nareika, melemparkan piring dari tangan anaknya ke sembarang arah. Ia mulai memukuli wajah dan kepala Nareika.

“Papa … Papa … Papa!” Nareika menjerit berulang kali, demi menyadarkan sang papa yang memukulinya seperti memukuli seorang maling yang baru saja tertangkap basah.

“Harusnya kamu nggak usah lahir. Anak yang nggak diinginkan, asal kamu tau, Papa menyesal telah mengiyakan permintaan Mama ketika kamu lahir. Harusnya Papa lebih mendengarkan para dokter. Kalau kamu lahir kondisi ibumu mungkin akan memburuk. Anak pembawa sial. Lagi pula kamu bukan anak Papa.”

“Papa Jaan … Papa … sa--sa--kit!” Nareika memegangi tangan sang papa di lehernya. Napas mulai menipis, manik matanya nyaris tenggelam. Nareika menitikan air mata.

“Ah … aku ingat … kami bersetubuh ketika dia baru saja menjalani operasi transplantasi ginjal. Ah … kupikir ketika aku memintanya mengugurkanmu dia akan mengikuti. Ternyata dia membesarkanmu.”

PAPA … ?

Jaan semakin memperkuat cekikannya. Ia menatap Nareika. “Saat itu kami berencana untuk bercerai karena aku berselingkuh. Aku mengatakan jika aku benar-benar ingin bercerai. Tapi dia menawarkan dirinya, bersetubuh untuk terakhir kalinya.”

“Kupikir orang sakit sepertinya benar-benar nggak berdaya, ternyata kamu membesar dan terus membesar, kami terpaksa menjalani ketidaknyamanan ini. Kami terjebak kehidupan mengerikan, dimana cinta nggak lagi hadir, kamu memperkeruh segalanya. Harusnya saat dokter mengatakan bayinya lemah ….”

“Kamu mati, Rei. Kamu harusnya mati, itulah alasan terakhir aku akan bersamanya. Papa benar-benar nggak mencintaimu atau ibumu. Papa benci kalian.”

Nanggala menyaksikan di balik punggung Jaan, bagaimana Nareika nyaris kehabisan napas. Nanggala hanya menatap dengan sendu, meski seluruh darah dalam tubuhnya mendidih.

“Pa--pa … kenapa Papa mencintai Nanggala padahal ibu kami sama?” Nareika menatap begitu kecewa. Bibirnya mulai gelap, wajah pun mulai pucat.

Jaan melepaskan tangannya dari leher Nareika. “Pergilah, Papa benci padamu!” katanya sembari berjalan menjauh dari Nareika. Ia membawa Nanggala dalam genggaman tangannya.

“Papa … Papa Jaan!” Nareika terus memanggil, sayangnya ia tak menoleh sedikit pun.

“Berhenti berteriak, dan enyahlah!”

Nareika tersungkur ke lantai. Hatinya bukan lagi hancur, rasanya seperti baru saja mati.

***

Nanggala membuka pintu kamar Nareika, tampak anak laki-laki itu tengah berbaring di ranjang. Langkah kaki Nareika membangunkannya.

“Kakak?” rintihnya sambil bangkit.

Nanggala menatap gusar, ia menutup rapat pintu kamar Nareika. Untuk beberapa saat, Nanggala menutup kedua mata dengan lengan kanannya. Nareika hendak turun dari ranjang sayangnya Nanggala seketika membentak.

“Jangan turun dari ranjang! Gua nggak mau lo dekat-dekat gua!” Ia melepaskan tangannya dari wajah.

“Kakak ….” Nareika memeluk lututnya dengan begitu ketakutan.

Nanggala mulai melangkahkan kakinya mendekati ranjang. Ia bersimpuh di hadapan Nareika, remaja laki-laki itu menyandarkan kepalanya di kedua punggung kaki Nareika.

“Kalau lo pikir Papa sayang gua, apa buktinya, Rei?” bisik Nanggala, ia menangis di kaki Nareika.

“Apa ada bukti kalau Papa benar-benar sayang gua?” Nanggala bangkit dari tempatnya. Ia membuka lebar-lebar matanya yang sembab. “Jawab gua, Rei!” bentaknya.

Nareika terperangah, ia tak bisa mengeluarkan suaranya. Tak ada keberanian yang tersisa, anak itu hanya menangis sesegukan.

“Jangan pernah menyamakan diri lo dan gua, Rei!” ucap Nanggala membuat Nareika mendongak.

Celananya jatuh ke lantai, sisakan dalaman berwarna cokelat gelap. Kini Nareika bisa melihat seluruh paha dan kaki Nanggala. Banyak bekas luka menghitam di pahanya. Luka bekas sabuk dan rokok.

“Asal lo tau, kenapa gua nggak pernah pakai pakaian renang terbuka, alasan gua nggak pernah ganti barengan kalian, alasan kenapa latihan gua selalu terpisah—” Nanggala meremas pakaiannya sekuat tenaga.

“Karena bekas luka yang Papa buat. Papa juga nggak pernah sayang gua, Rei!” pekik Nanggala dengan suara gemetar.

“Kalau gua salah, kalau gua nggak berhasil mencatat waktu baru, kalau gua salah di matanya, ini yang gua dapat. Justru gua ingin kayak lo, sama sekali nggak dekat dengan Papa!”

“Dekat aja nggak berarti dia sayang gua, Nareika!” Nanggala menangis sambil menjatuhkan lututnya ke lantai bersamaan dengan Nareika yang seketika melompat, memeluk tubuh Nanggala.

“Gua juga nggak bahagia, Rei. Gua selalu di sisi Papa bukan karena dicintai, tapi gua takut dihukum lebih dari ini. Sakit, Rei. Setiap luka yang kena air kolam bikin gua ingin mati saking pedihnya.”

“Lo nggak pernah tau gimana Papa selalu bilang pada setiap pelatih, kalau gua gagal gua bebas dapat hukuman. Papa nggak benar-benar sayang gua, Papa nggak sayang gua, Papa nggak pernah sayang gua, Rei. Lo lebih beruntung dari gua!”

“Pada dasarnya Papa emang nggak pernah mengharapkan kita, Papa ingin kita menderita seperti katanya … Papa hanya terpaksa bersama kita karena Mama dan kelahiran kita sebagai anak.”

Nareika memandang wajah Nanggala, keduanya menangis bersama-sama. Mereka memeluk begitu erat, sambil sesekali saling menyesap aroma leher masing-masing. Nareika menyandarkan kepalanya di bahu Nanggala.

“Kalau Kakak mau aku berhenti dan keluar dari Bumania, aku nggak keberatan.” Nareika tersenyum tegar.

“Gila, Papa bahkan hampir bikin lo koit!”

“Tapi aku nggak mau Kakak ….”

Nanggala memeluk Nareika lebih erat, ia mencium bahu sang adik berulang kali. “Gua nggak mau egois tapi untuk saat ini, sampai gua lulus SMA dan bisa lepas dari Papa, biarin gua berjuang di Bumania. Suatu hari nanti gua bakal jemput lo, dengan kedua tangan gua!”

Nareika kembali memandang wajah Nanggala. “Kakak, senang?” bisiknya.

“Emm, Kakak senang.” Senyumnya terkesan terpaksa. “Untuk saat ini, biarin Papa ….”

“Kakak sayang Rei!” Nanggala mengecup lembut kening Nareika. Ia pun mengenakan kembali celananya dan bergegas keluar dari kamar setelah ponselnya berdering menampilkan panggil telepon dari sang papa.

“Gua harus latihan,” tandasnya sebelum menutup pintu kamar Nareika.

Tangis terus membuat wajahnya tenggelam. Nareika menangis sekuat tenaga, sesegukan sambil meringkuk di lantai. Ia tidak pernah tau jika Nanggala ternyata banyak terluka. Selama ini Nanggala terlalu dingin, selama ini Nanggala terlalu jauh. Selama ini, Nareika hanya iri pada kedekatannya dengan Papa tanpa tau apa yang disembunyikan di balik sikap dingin dan cueknya Nanggala.

Bisakah aku mengajarmu lagi setelah aku tau menjadi dirimu ternyata sama-sama penuh luka?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top