BAB 19 - Mungkin 'kan Pulang

•Selamat membaca•

🍑

Publikasi 17 Agustus 2024

★★★☆☆☆★★★

Nareika menjabat tangan Jindra, walau wajahnya enggan. Remaja laki-laki itu tetap mencoba menatap wajah Jindra. Pria itu tersenyum tipis.

“Jadi masih berpikir untuk bunuh diri lagi?” tanya pria itu sedikit meledek.

“Bisa jangan dibahas enggak? Capek tau semua orang terus bilang kayak gitu!” protes Nareika sambil menepis tangan Jindra yang hendak menyentuh kepalanya.

Jindra tertawa pelan. “Udah jangan mikir bunuh diri lagi. Sebagai wali kelas kamu, saya harus bisa membuatmu senang dan nyaman,” katanya.

“Jindra, apa bahagia itu benar-benar akan datang? Kamu nggak hanya ngasih harapan kosong sama anak ingusan ini, bukan?” Wajah Nareika tiba-tiba murung nan kusut.

Jindra mengangguk sambil berdeham pelan. “Pasti, kamu pasti akan bertemu dengan hari bahagia yang Tuhan janjikan!” katanya dengan suara lembut.

“Jindra?” panggil Nareika sambil menunduk.

“Iya?”

”Mau jadi kakakku?” tanyanya. “Boleh aku panggil kakak?”

“Kenapa? Biar bisa tidur di kamar aku lagi, ya?” goda Jindra membuat Nareika menendang kakinya.

“Nggak, enggak jadi.” Nareika hendaknya melengos, tetapi Jindra dengan seketika menarik tubuh kurus Nareika ke dalam dekapannya. Ia menyandarkan dagunya di bahu Nareika.

“Adikku.”

Nareika menolehkan kepalanya pada Jindra. Pria itu tersenyum. “Semangat belajarnya adik kecilku,” bisiknya.

Nareika tersenyum tipis sambil menghela napasnya. Ia mengangguk sebelum melepaskan pegangan tangan Jindra di tubuhnya.

“Guru cabul! Untung masih pagi dan sepi kalau ramai udah diteriakin pedofil!” katanya sebelum melengos dari hadapan Jindra. Pria itu membelalak.

“Dah, sampai bertemu di kelas, Kakak. Eh, Pak Guru!” katanya dengan santai sembari cengar-cengir.

“Jangan terlambat, Kakak eh Pak Guru ngajar kelas pertama!” Nareika melambaikan tangannya.

Awan putih bergumul memenuhi birunya langit. Seorang laki-laki berjalan ke arah Jindra. Matanya begitu teduh, wajahnya yang tenang memancarkan cahaya yang membuat Jindra terdiam sejenak. Sekilas, ia seperti melihat Nareika dari masa depan.

Laki-laki itu mengangguk pelan sambil tersenyum ramah. “Selamat pagi, apa di sekolah ini ada murid yang bernama Nareika Kalengga?” tanyanya.

“Saya dengar dia murid kelas 1-C.” Ia semakin memperlebar senyuman di bibirnya.

“Iya, dia murid di kelas saya. Ada yang bisa dibantu?” Jindra menatap dengan saksama. Pria itu tersenyum samar. “Mungkin, bisa saya tau dengan siapa saya bicara? Saya tidak bisa membiarkan sembarangan orang masuk wilayah sekolah.”

“Nanggala Mada,” katanya sambil menjulurkan tangan ke arah Jindra yang terlihat terkejut. “Saya kakaknya Nareika.”

Ah, pantas wajahnya terlihat serupa. Tapi …. Jindra mengangguk ramah. “Oh, begitu, mari saya antar ke kelasnya,” kata pria itu sambil menuntun langkah kaki laki-laki tersebut.

“Baik, bisa saya tau saya bicara dengan bapak siapa?” Nanggala, laki-laki itu berucap dengan santun.

“Jindra, saya wali kelas Nareika, saya mengajar kelas Seni. Oh iya, kakaknya Nareika apakah Anda baru pulang dari Australia? Saya dengan Anda melanjutkan pendidikan di Sydney?”

“Iya, saya sedang liburan.”

“Kalau begitu bisa menunggu di ruang konseling, ya. Kami biasa menerima tamu di sini." Jindra membuka pintu ruangan nan bersih dan rapi tersebut. “Saya akan panggilkan Nareika, dan jika memungkinkan mengobrol dalam waktu lama, saya akan buatkan surat dispensasi untuknya.”

“Baik, terima kasih, Pak Jindra.”

***

Sunyi mengurung diri, satu jam Nareika habiskan hanya untuk diam di hadapan Nanggala. Nareika tidak menyangka jika laki-laki itu akan pulang, oh, lebih tepatnya datang menjumpai Nareika. Padahal, kemarin-kemarin benar-benar tak ada kabar.

“Jadi, lo mau ikut atau enggak? Gua nggak ada waktu cuma nunggu lo yang nggak ngomong kayak gini!” katanya sedikit kesal.

“Kenapa Kakak datang sekarang? Ke mana aja Kakak selama ini? Kenapa baik Kakak atau Papa nggak pernah membalas semua pesanku, kenapa kalian mengabaikan aku?” Nareika menyentuh punggung tangan Nanggala.

“Aku rindu.”

Nanggala membelai pusat kepala Nareika, ia menyandarkan kepalanya di kepala sang adik. Ia menggenggam tangan Nareika yang terasa dingin dan berkeringat.

“Gua juga berjuang nahan rindu. Semua untuk Nareika. Semua untuk Nareika, kakak juga sakit, lho. Dipisahkan dari Rei, dipaksa hidup di negara orang sendirian. Kakak juga kesepian.”

Nareika memeluk Nanggala sambil menangis. “Tapi kenapa Kakak pergi sejauh itu? Kenapa Kakak meninggalkan aku?” tanyanya dengan lirih.

“Saat itu, Papa bilang kalau Rei akan ikut Om Fras ke Amsterdam untuk tinggal bersama keluarga Mama agar bisa hidup lebih mandiri. Alasan lainnya supaya Rei nggak ganggu karir Kakak sebagai perenang. Tapi, Rei pasti nggak betah, bukan hanya Rei, kakak juga pasti nggak betah. Karena kita nggak pernah tinggal dan punya hubungan spesial sama mereka.”

“Waktu itu, kebetulan skuad renang terkuat di Australia lagi buka penjaringan atlet, Kakak pikir daripada Rei yang pergi mending Kakak yang pergi. Itu demi kebaikan Rei. Ternyata Papa juga pergi dari Rei. Rasanya sakit hati.”

“Tapi, kenapa Nugi bilang Kakak nggak mau pulang, Kakak benci aku dan Kakak nggak akan kembali. Nugi bilang supaya aku nggak pernah berharap pada kepulanganmu. Kenapa, Kakak jahat!”

“Karena gua emang nggak niat balik. Gua nggak niat balik ke tempat di mana Papa ada. Gua nggak mau,” jawabnya. “Tapi, sekarang Papa udah tenang di alam sana.”

Nareika bangkit seketika. Ia menatap ketus pada Nanggala. Air matanya bercucuran dibersamai lutut dan tubuhnya yang lemas tak berdaya.

“Apa maksud Kakak?” bentaknya.

“Papa meninggal satu minggu lalu, Karena overdosis minuman beralkohol. Bisnisnya di Bali hancur, istrinya juga kabur bawa semua raja kaya Papa. Maaf, kalau nggak ada yang kabarin, karena gua pikir mending lo nggak perlu tau. Tapi, gua juga nggak mau kalau lo terus berharap suatu saat nanti dia balik. Gua nggak mau.”

“Jahat, Kakak jahat, Kakak jahat!” Nareika memukuli tubuh Nanggala tetapi laki-laki itu diam saja malah memeluk Nareika dengan erat.

“Maafin gua, ya, gua selalu gagal jadi yang terbaik buat lo. Gua selalu jahat, gua nggak bisa jadi kakak yang diandalkan. Gua layak dibenci, lo boleh benci gua dan Papa karena kita memang jahat.”

Nareika terus menangis, mendengar itu dari depan pintu Jindra lekas masuk tanpa permisi. Sudah tak bisa menahan semua yang didengarnya. Jindra tak ingin mendengar semua nangis Nareika yang selalu menusuk ruang sunyi hatinya.

“Maaf, jikalau saya lancang. Tapi sebagai wali kelasnya saya berhak memeriksa keadaan murid saya.” Jindra duduk di antara Nanggala juga Nareika.

“Nggak apa, Pak. Saya juga sebentar lagi akan pamit. Sebelum itu, terima kasih karena telah menjaga adik saya.”

“Kalau begitu, Nareika mungkin bisa kembali ke kelas karena jam pelajaran berikutnya akan segera dimulai,” ucap Jindra dengan lemah lembut.

“Nah, semuanya udah siap. Tinggal pergi besok. Gua tunggu di bandara. Urusan pindah sekolahnya nanti Nugi yang bantu, dia juga udah tau kok, kalau gua datang hari ini. Dia cerita semua yang terjadi sama lo dari awal masuk sekolah sampai sekarang. Keputusannya ada di tangan lo. Gua nggak akan maksa.”

Nareika hanya menundukkan kepala sambil mengatur napasnya. Ia memegangi amplop cokelat di tangannya dengan gemetar.

Nanggala bangkit dari tempatnya duduk. “Pak Jindra, kalau begitu saya pamit. Titip adik saya.”

Jindra hanya tersenyum ramah. Nanggala menjabat tangan Jindra dengan penuh ketegasan. “Terima kasih telah mengizinkan saya bicara panjang lebar selama dua jam ini. Maaf, saya merepotkan Bapak karena harus memintakan surat izin untuknya. Sekali lagi terima kasih.”

“Tidak mengapa.”

“Kalau begitu saya pamit.”

Nanggala undur diri, sementara itu Nareika masih duduk di ruang konseling. Jindra kembali masuk, ia mendapati Nareika meremas amplop cokelat di tangannya sambil tersedu-sedu.

"Ayo, ke kelas. Belnya lima menit lagi bunyi!” ajak Jindra padanya. Namun, Nareika tidak menggubrisnya.

Jindra berjongkok di depan kaki Nareika, ia tersenyum dengan lembut. “Jangan pasang wajah sedihmu di depan teman-teman yang lain. Nggak semua orang suka. Nareika laki-laki, udah seharusnya terlihat kuat walau hati Nareika hancur.”

“Gimana aku bisa? Setelah pergi bertahun-tahun, Kakak cuma datang ngasih kabar kalau Papa udah meninggal, dan dengan seenaknya dia bilang akan memindahkan aku sekolah ke tempatnya di Sydney. Dia pikir dia siapa yang dengan seenaknya menghancurkan semua hal yang kupunya?”

“Nareika boleh pilih apa yang Nareika mau. Kakakmu mungkin ada benarnya, dia juga sama-sama berjuang untuk dirinya. Jadi, nggak ada yang salah atau benar soal itu.”

“Sejak dulu, kamu selalu sama. Sejak dulu perkataanmu selalu melemahkan diriku, Jindra. Apa kamu tau betapa hancurnya aku? Bahkan rasanya seperti mati setiap hari meskipun aku nggak mati.”

Nareika menatap dengan berang. Ia menutup wajahnya dengan lengan yang masih memegang amplop. “Kamu merubah sesuatu yang kupikir akan begitu-begitu aja. Baru pagi tadi aku merasa bahagia di sisimu, kini aku benci dirimu lagi yang terus memberikan harapan demi harapan menjijikkan!”

Jindra memeluk Nareika dengan erat. Ia membelai pusat kepala Nareika dengan lembutnya dan membuat remaja laki-laki itu terdiam sesaat sebelum kembali menangis.

“Menangislah, hari ini nggak perlu masuk kelas. Aku tau, hatimu masih sangat terkejut dengan apa yang terjadi,” bisiknya. “Aku akan membiarkanmu memelukku sesukamu. Aku nggak mau mendengar adikku menangis lagi. Aku nggak mau adikku menangis itu melukai hatiku sebagai seorang kakak.”

Nareika tersentak, ia menatap wajah Jindra dengan saksama. “Jindra?” panggilnya.

“Jetha juga menyayangimu, Khayan juga. Dia sedang menggodamu, mengejekmu, karena dia menyayangimu. Bocah kurus kering kurang gizi,  begitu kata Nugi.”

Nareika tertawa sambil menangis, tak sadar jika pelukannya semakin erat membuat dadanya terasa amat hangat.

Di depan gerbang, Nanggala masih berdiri sambil menatap langit. “Sampai berjumpa di surga, jika masih ada ruang untuk gua dan Papa yang udah jahat sama lo, Rei. Gua harap lo bahagia.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top