BAB 18 - Secarik Kertas dari Buku Gambar
•Selamat membaca•
🍑
Publikasi 17 Agustus 2024
★★★☆☆☆★★★
Semua orang memandang Nareika dengan tatapan kasihan. Namun, berada di sisi Jetha, Nareika merasa lebih baik. Belum lagi karena ulahnya kemarin, Jindra mendapatkan peringatan dari pihak sekolah karena telah membiarkan siswanya sendiri melakukan percobaan bunuh diri di depan mata dan bertindak semena-mena dengan membiarkannya melompat pula.
Padahal, Jindra sendiri yang mendorong Nareika. Hah, benar-benar rumit. Kepala Nareika terasa pening. Ia menyembunyikan wajahnya di balik punggung Jetha.
“Oi!” tanya Nareika. Jetha lekas membalik tubuhnya ia mendapati kepala Nareika tertunduk.
“Hah?”
“Makasih.”
“Buat?”
“Kamu bilang, kenapa bunuh diri selalu ada di kepalaku? Karena aku takut hidup, tapi aku juga takut benar-benar mati. Aku takut sendirian, tapi sekarang ada kamu sama Khayan. Aku nggak lagi mengharapkan mati duluan dan pulang. Aku cuma ingin semuanya terus berjalan. Kalau memang harus sakit sendirian. Setidaknya sekarang ada rumah baru,” jelas Nareika.
“Ada rumah Nugi juga rumah Jindra. Kalau aku kesepian aku bisa pergi ke sana.”
Jetha menarik tubuh kecil Nareika ke dalam rangkulannya. “Maaf gua pukul lo, karena emang lo goblok banget, tapi kakak gua bilang, lo emang kesepian.”
“Gua nggak masalah kalau lo nggak mau kita berteman, minimal cari gua sebagai teman satu kelas.”
Nareika menganggukkan kepalanya. “Aku ingin punya teman seperti dulu, Jetha mau jadi teman pertama di SMA rasanya sedikit aneh tapi menyenangkan.”
“Lo emang kaku, kikuk, dan nyebelin. Dah, jangan banyak mikir, gua suka sama lo sejak pertama dengan cerita lo dari Kak Jindra.”
Nareika menoleh terkejut.
“Jindra itu kakak angkat gua. Dulu gua juga cuma anak kecil yang mikir kalau bunuh diri itu mungkin bisa bikin kita baik-baik aja. Nyatanya, gua cuma koma terus patah tulang ini dan itu. Jadi, gua pikir ah udahlah.”
“Apa yang dia ceritain?”
Jetha tertawa sambil menepuk-nepuk pusat kepala Nareika. “Dulu, Kakak bilang kalau dia ketemu anak ingusan yang ngamuk-ngamuk ingin bunuh diri. Terus, dia bilang hidup nggak menyenangkan. Anak ingusan yang suka berenang, dia cerita kenapa dia berenang gaya punggung, karena dengan gaya itu dia bisa lihat wajah kakaknya pas lagi ngajarin renang.”
“Terus dia gambar bintang dan bulan di buku harian GMPR, dia bilang bulan itu kakaknya karena punya sinarnya sendiri. Kalau dia bintang, karena selalu butuh cahaya dari bulan. Terus dia bilang, tapi kakaknya nggak mau akur, karena banyak hal. Tapi dia bilang lagi nggak apa deh, yang penting bulan tetap bersinar. Dia tetap sayang kakaknya.”
“Kak Jindra tanya harapannya di masa depan apa? Anak ingusan itu bilang dia mau hidup lebih lama buat lihat kakaknya jadi atlet terkenal. Apa pun itu, dia mau lihat kakaknya gigit medali emas.”
“Jadi, apa lo udah lihat dia gigit medali emasnya?” tanya Jetha sembari menyibak poni dari kening Nareika yang geleng-geleng. “Itu tandanya lo harus tetap hidup.”
Nareika memandang wajah Jetha, manik matanya begitu tenang di balik lensa kacamata yang cukup tebal. Nareika mendesis.
“Hiperbola. Aku nggak pernah cerita kayak gitu!”
Jetha mendorong kening Nareika membuat wajah keduanya saling berhadapan. “Bohong atau enggak, gua tetap berharap lo hidup lebih lama daripada bunuh diri konyol. Karena waktu gua punya Kak Jindra hidup gua rasanya menyenagkan. Mungkin, lo juga butuh seseorang yang bisa bikin hari-hari lo lebih berarti.”
Nareika memalingkan wajah. “Aku cukup hidup aja.”
“Gua percaya sama lo.”
Jetha tertawa terbahak-bahak. “Sama kayak gua percaya sama Kak Jindra. Gua yakin lo pasti bahagia suatu hari nanti. Kak Jindra bilang, dia bahagia karena anak-anak yang diselamatkannya dulu bisa hidup sampai saat ini. Dia bahagia.”
“Yah, aku juga mencoba untuk mempercayai apa yang Jindra bilang kalau hari bahagia mungkin akan datang.”
Jetha membelai pusat kepala Nareika. “Lo nggak akan pernah tau betapa bahagianya Kak Jindra setiap kali cerita tentang lo. Padahal, kalian cuma ketemu satu kali. Gua sebagai adiknya cemburu tau!”
Nareika tertawa dengan renyah membuat pipinya mengembang kemerahan. Ia menatap Jetha. “Aku nggak akan merebut kakakmu. Toh, aku juga masih benci sama dia! Sok banget bilang hidup akan baik-baik aja. Buktinya argh!”
“Kak Jindra bilang, dia selalu rindu Nareika bocah ingusan. Cuma malam itu dia emang nggak bisa nemenin lo sampai ke Bumania dan nggak pernah ada yang tau soal lo. Jadi, lo ke mana?”
“Aku nggak ke mana-mana. Aku ke Bumania malam itu karena aku pikir bisa bersembunyi di balik punggung Kak Nanggala. Tapi malam itu aku malah membuat hubungan kita jadi lebih rumit. Setelah hari itu, dia pergi ke Australia untuk melanjutkan karirnya sebagai perenang dan Papa pergi ke Bali untuk urusan bisnis.”
“Aku nggak pernah punya waktu untuk hidup di luar, aku selalu tinggal di rumah. Lagi pula siapa peduli? Berharap bertemu dengan Jindra lagi juga bukan sesuatu yang mudah. Saat itu aku masih SMP dan dia mahasiswa. Aku cuma tau kalau dia bagian dari Mahasiswa Peduli Remaja. Aku terlalu takut kalau nggak akan pernah ketemu dia lagi atau kalau ketemu dia lupa aku. Aku nggak mau.”
“Kikuk!” Jetha tertawa. “Lo terlalu memberatkan masa remaja lo. Gua nggak ngerasain itu, tapi bukannya itu jadi kesempatan buat cari teman yang banyak?”
“Yah, aku tetap takut ditinggalkan. Dan apa yang terjadi kalau aku terluka? Aku kan sendirian?”
“Bukannya lo pengin mati? Kenapa nggak ikut geng terus lo tawuran, dibacok mati? Atau beneran ditinggal sendiri lo bakar rumah dan mati? Pada intinya lo itu cuma kesepian dan cuma ingin bunuh diri, bukan ingin mati.”
Nareika memandang wajah Jetha yang teduh. Dadanya berdegup begitu kencang. Ia memalingkan wajahnya.
“Sebenarnya lo percaya kalau suatu hari nanti kebahagiaan itu datang. Buktinya, waktu pertama kita bertemu, lo ingin juga kan jabat tangan gua? Cuma pura-pura antisosial. Apalagi waktu Kak Jindra kenalin diri sebagai wali kelas. Gua bisa lihat di mata lo rasa syukur. Walau lo pergi dengan sombongnya. Diam-diam lo suka kalau Kak Jindra di sisi lo. Buktinya lo nangis sambil peluk dia waktu di UKS. Lo terlalu nipu diri sendiri.”
Emm, percaya ajalah. Walau sisanya aku udah nggak peduli sama kehidupan ini. Benci enggak, sayang pun enggak. Yah, terus berjalan.
Nareika berjalan dengan langkah kaki santai, diekor Jetha di sebelahnya. Kedua remaja laki-laki itu keluar dari kawasan sekolah.
“Kamu emang cocok jadi ketua kelas.” Nareika mengangkat ibu jarinya.
“Nggak ada hubungannya bangke!” Jetha menendang bokong Nareika.
“Ada. Soalnya kamu pemerhati yang bagus.”
“Gua cuma merhatiin lo doang.”
Nareika menatap Jetha lagi. “Kalau gitu, aku harus bolos biar nggak diperhatiin bisonnya Avatar!”
“Bacot!” pekik Jetha lalu merangkul Nareika keduanya tertawa bersama.
Di kejauhan tepatnya di jendela ruang konseling di lantai dua gedung sekolah, Jindra diri sambil tersenyum tipis. Beberapa waktu lalu, ia benar-benar merasa bersalah pada Nareika karena membiarkannya hidup dalam berbagai penderitaan.
Nareika mungkin benar, harusnya Jindra membiarkan ia mati karena jujur saja Jindra tak tau kehidupan busuk seperti apa yang ada untuk Nareika atau kehidupan bahagia yang seperti apa yang dinantikannya.
“Aku akan terus melanjutkan hidup walaupun rasanya begitu menyakitkan. Rei, aku akan terus di balik punggungmu. Iya, aku juga pernah merasa ingin mati, tapi kamu menyelamtkanku.”
“Hari itu, aku juga sebenarnya ingin bunuh diri aja. Aku kehilangan perkerjaan, tugas kuliahku selalu berantakan, finansial, kehilangan keluarga, kematian adikku yang terus menjadi mimpi buruk, dan semua hal yang nggak bisa aku tangani. Tapi, melihat anak kecil sepertimu menangis berharap mati terlindas kereta aku nggak mau. Kamu menyelamatkanku dari berbagai tekanan hidup. Begitu juga Jetha memelukku sebagai kakak angkatnya. Kalian berdua menyelamatkan diriku. Dan aku bahagia, kita bertemu kembali.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top