BAB 15 - Bisakah Aku Dicintai?

•Selamat membaca•

“Aku terus berlari mengajar akhir yang bahagia. Namun, aku sendiri tak pernah mengerti bagaimana aku memulai kesedihan ini.”

-Nareika Kalengga

🍑

Publikasi 11 Agustus 2024

★★★☆☆☆★★★

Nareika kembali ke sekolah setelah mendapat perawatan dan perbaikan gizi dari keluarga Nugi. Ia merasa lebih baik, walau sisanya merasa tetap saja tak berguna. Ingin mati dan ingin menyerah saja. Sayangnya, Tuhan selalu egois, selalu membuatnya hidup tanpa memberi kebahagiaan.

Khayan merangkul Nareika yang baru saja hendak masuk ke kawasan sekolah. “Lo udah sehat?” tanyanya.

“Udah, makasih buat seminggu kemarin,” kata Nareika tersenyum tipis.

“Jangan sungkan bertamu kalau lo butuh sesuatu.”

“Khay?” panggil Nareika dengan suara lembut. “Apa hari ini juga boleh mampir?”

“Boleh, kenapa harus nanya. Kata Nugi, lo juga udah kayak adiknya sendiri. Nugi malah bilang supaya kita temenan!” ujarnya girang.

“Emm, aku mau.”

“Pagi!”

Suaranya membuat Nareika terdiam. Rindu? Ckk, Nareika ingin melihat wajahnya. Namun, hatinya terlalu sakit, walau Nareika tak tau alasannya. Mengapa terasa begitu sakit. Rasanya belum siapa saja melihat wajahnya lagi.

“Pagi Pak Jindra!” kata Khayan tersenyum lebar. “Oh, iya, tugas saya kok belum dinilai dan dibagi ke saya lagi padahal kemarin udah dikumpulin bareng sama yang lainnya?”

“Punyamu sama Jetha masih belum diperiksa, kemarin keburu periksa punya anak kelas tiga.” Jindra tersenyum begitu ramah. “Nareika juga, tugasnya belum masuk.”

“Bapak nggak pengertian, Nareika baru sembuh udah ditodong tugas. Kasian, lihat kurus begini!” canda Khayan sambil mengangkat kedua tangan Nareika dari belakang punggung remaja laki-laki itu. “Tuh, kayak tengkorak hidup.”

Nareika hanya memalingkan pandangannya. Ia merasa Khayan tengah mengejeknya, tetapi Nareika merasa ucapannya penuh perhatian.

“Ya udah, Nareika kumpulkan tugasnya kapan aja. Bapak tunggu,” ujar Jindra terkikik pelan.

“Terima kasih, Pak!” ucap Nareika sambil menunduk agaknya malu.

“Jaga kesehatan, ya, kalau absenmu bolong lagi meskipun sakit, khawatir mempengaruhi nilai raport nanti!” Jindra mendaratkan telapak tangannya di pusat kepala Nareika.

Hangat. Rasanya seperti hari itu, di dua tahun lalu. Nareika merasakan liutnya bergumul dan membuat kerongkongannya panas. Wajahnya memerah begitu juga matanya.

“Bapak duluan, ya, ada yang harus dikerjakan dulu!” pamitnya.

“Siap!” Khayan mendaratkan ujung jemarinya di sisi alis sambil nyengir.

***

Istirahat selalu jadi waktu paling ditunggu, anak-anak berbondong-bondong mengisi perut di kantin termasuk Nareika yang duduk bersama Jetha dan Khayan. Ketiganya menikmati mi bakso dan es teh jeruk.

“Lo sakit apa kemarin?” Jetha menanyai dengan sedikit pongah.

“Kurang gizi!” lontar Khayan menoleh pada Nareika. “Nugi bilang, kata Dokter, Nareika kurang asupan makanan bergizi, terus dinding lambungnya luka dan rusak!”

“Khay!” Nareika mengerutkan wajahnya tiba-tiba merasa ciut.

“Kalau lo mau, besok gua bawain nasi dari rumah,” tawar Jetha. “Kakak gua jago masak.”

“Nggak usah, hari ini makan mi karena nasi uduknya habis. Aku nggak suka nasi kuning, kurang cocok di lidah!” Nareika tersenyum simpul.

“Lo kurus banget tau!” sindir Jetha menatap saksama. Ia melihat kelopak mata Nareika yang tampak cekung dengan manik mata yang selalu temaram. Kulit wajahnya pucat alami, bibirnya tipis tidak tampak merah segar seperti orang-orang, rambutnya terlihat selalu kusut seperti tak pernah sisiran. Dada juga bahunya terlibat amat tipis tak berdaging ataupun berlemak. Suaranya selalu seperti angin. Tipis dan dingin.

“Tau," jawab Nareika santai. Jetha malah menoyor kepalanya sambil berdecak. “Sakit!”

“Ya bukannya jawab tau! Makan lo makan yang banyak!” protes Jetha sambil memindahkan bakso di mangkoknya ke mangkok Nareika, begitu juga dengan sayurnya. “Makan!”

“Eh!” Nareika menatap keheranan.

“Cowok harus banyak makan biar kuat, biar nggak letoy kayak lo!” keukeuhnya memelototi Nareika hanya menggulirkan matanya merasa geli tanpa sebab. Sementara itu, Khayan sibuk dengan sendoknya sambil cekikikan memandang Jetha.

“Emm.” Nareika menautkan jemarinya di depan dada sambil sedikit menundukkan kepalanya. Ia terpejam, membuat bayang-bayang bulu matanya tampak lentik.

Khusyuk. Isi kepala Jetha berpendapat demikian. Ia tak tau apa yang Nareika rapal dalam diamnya. Anak itu terlihat begitu tenang. Jetha tak bisa memalingkan pandangannya di balik lensa kacamata pada Nareika. Ia terkesima pada setiap inci wajah anak itu.

“Nareika selalu berdoa cukup lama sebelum makan,” lontar Khayan meliriknya yang kebetulan sudah buka mata.

“Itu bentuk syukurnya seorang manusia pada Tuhan. Mungkin.” Nareika berbisik, tangannya mengaduk isi mangkoknya dengan gerakan cukup cepat.

Jetha menyelesaikan makannya lebih dulu, ia menyangga kepalanya dengan sebelah tangan. Ia memperhatikan bagaimana Nareika mulai mengunyah makanannya dengan begitu lambannya. Seperti keong, Jetha mendesis.

“Lo bukan sombong, gua pikir itu karena lo secuek itu sama sekeliling. Hidup bersosial emang secapek itu!” Jetha berseloroh sambil memandang cemen.

“Nggak juga, sih. Kadang daripada bicara dan membuatku ingin marah tanpa sebab, aku lebih suka diam,” balas Nareika tersenyum kecut. “Isi kepalaku udah terlalu ribut dan berisik.”

Jetha menelisik wajah itu, matanya selalu kelabu, senyumnya terlalu palsu, dan suaranya selalu terdengar jauh. Kepala Jetha tiba-tiba saja berpaling.

“Gua ke kelas duluan!“ tukasnya meninggalkan Khayan dan Nareika. Remaja laki-laki dengan tubuh tinggi besar itu tampak berjalan dengan ketus ke arah gerobak abang bakso.

“Selama Nareika nggak masuk, Jetha pasti lirik-lirik ke meja lo. Ketua kelas kita sebenarnya perhatian, cuma emang lambe dia rada resek.” Khayan tertawa dengan nikmat.

Dari balik gerobak ketoprak, terlihat Jindra membawa piring juga segelas besar teh panas yang mengepulkan asap. Ia berjalan ke arah Nareika juga Khayan.

“Bapak makan di sini, boleh?” tanyanya menoleh pada Khayan. Anak itu mengangguk. Ia kembali bertanya, “Kalian udah selesai makan?”

“Saya udah, kalau Nareika baru mulai makan. Saya duluan, Pak! Mau ke cari angin dulu di lapang, biar nggak ngantuk!” Khayan undur diri sambil cengar-cengir menatap Jindra.

“Nanti jangan terlambat masuk kelas, ya!” pinta Jindra memandang dengan tegas, begitupun dengan senyumannya.

“Siap, Pak!” Ia kembali cengar-cengir.

Nareika sibuk makan, dengan mata yang tak berpaling dari isi mangkok. Melihat itu membuat Jindra tersenyum tanpa sadar.

“Kalau udah kenyang nggak apa nggak dihabiskan,“ celetuk Jindra mengalihkan pandangan Nareika. “Kamu makan hampir setengah mangkok aja itu hebat.”

Nareika tidak mengindahkannya, ia kembali memandang isi mangkoknya. Makan dengan perlahan dan menghabiskannya. Ia kembali merapalkan doa dengan khusyuk dan membuat Jindra terdiam barang sejenak sebelum lanjut menikmati ketopraknya.

Nareika bangkit dari tempatnya duduk, tanpa pamitan ia meninggalkan Jindra begitu lahap menyantap makanannya tersebut. Dari ekor mata Jindra, ia dapat melihat bagaimana Nareika melangkah. Anak itu selalu menjauh, seakan menghindarinya.

“Nareika, sepulang sekolah nanti saya tunggu kamu di ruang konseling. Ada yang harus saya bicarakan mengenai tugasmu untuk minggu kemarin! Jangan sampai nggak hadir!” todong sekaligus titah Jindra dengan suara agaknya ketus.

Nareika membalikkan tubuhnya, kemudian mengangguk pelan lalu sambung melengos keluar dari area kantin setelah mengembalikan mangkok.

“Aku harap bisa jadi guru yang baik, untuk muridju terutama kamu, Rei,“ rintih Jindra seraya mencucuk tulang hidungnya.

Nareika menuju kelas, ia mampu melihat Jetha yang duduk menyandarkan punggungnya di sisi kanan jendela. Wajah itu benar-benar menyebalkan. Nareika mendesis pelan.

Kalau lo mau nasi, gua bisa minta sama kakak gua. Asal lo makan. Kesel gua lihatnya, lo kurus banget!

Pipi Nareika memerah ketika gerahamnya silih adu, begitu pula dengan jemarinya yang terkepal amat erat. “Kenapa bukan Kak Nanggala atau Papa yang bilang gitu? Kenapa harus orang lain!” gerundel Nareika sambil terus menunduk di sepanjang jalannya.

Ia berharap seseorang menyentuh kepalanya dan menyayanginya tanpa pamrih. Aku inginbisakah aku dicintai lagi meskipun sebentar, Papa, Kakak?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top