BAB 10 - (Bukan) Kisah Kita
•Selamat membaca•
🍑
Publikasi 29 Juli 2024
☆☆☆★★★☆☆☆
Satu minggu sejak kejadian kecelaan motor di depan kampus, hari-hari Jindra menjadi sedikit lebih santai. Pasalnya, keamanan di kawasan kampus dan jalanan di depannya diperketat lagi. Selain itu, sejak tiga bulan ke belakang, setelah mahasiswa Peduli Remaja sibuk penyuluhan di sekolah-sekolah dan jalanan serta posyandu setempat. Ya, kasus perundungan yang dilaporkan ke GMPR mulai berkurang.
Jindra membolak-balik buku gambarnya, ia sesekali menghela napasnya. “Apa aku bisa lulus kuliah sementara aku sering bolos?” gumamnya.
“Makanya jangan ngurusin GMPR muluk. Sesekali stand by di kelas sampai dosen selesai ngajar!” Tangjung, laki-laki dengan rambut keriting kecil-kecil itu mendorong pundak Jindra dengan pundaknya.
“Sesayang itu sama klub itu, sampai lebih mementingkan kehidupan anak-anak di luar sana?” Tanjung mencecar. “Lo nggak takut apa masa depan lo terganggu?”
“Emm, selagi gua bisa wisudaan nanti, ya nggak masalah!” jawabnya dengan senyuman mengejek.
“Gua sumpahin lo nggak lulus sidang dan skripsian!” pekik Tanjung.
“Wait, doa buruk biasanya suka balik ke yang mendoakan!” sindir Jindra seraya tertawa-tawa renyah.
“Mata kuliah Nirmana beres?” tanya Tanjung melirik ke arah buku gambar Jindra.
“Beres, kenapa lo ketinggalan?”
“Enak aja gua rajin gini mana ada istirahat ketinggalan! Selalu sempurna!” pujinya untuk diri sendiri.
“Iyain aja, takut tepercaya dirinya luntur!” Jindra mencangkok wajah Tanjung dengan telapak tangannya. “Ayo, ke kelas, tugas konfigurasi gua belum beres!” Jindra nyengir.
“Mampus, suruh ngulang lo!” ledek Tanjung.
“Ngulangnya bareng lo, ya?” balas Jindra tertawa nikmat.
Candaan semakin menghangatkan suasana yang ada. Jindra dan Tanjung beranjak dari taman menuju kelas seni di gedung Aula Sanusi, tempat proses ajar mengajar anak seni biasa dilakukan.
Di jam yang sama, Nareika memasuki keluar dari kelas untuk istirahat. Hari ini betapa melelahkan. Guru-guru semakin tegas di kelas, menuju kenaikan kelas semuanya terasa sangat menyesakkan dada.
“Di kelas dua nanti semoga kita sekelas lagi!” Hikam menatap Nareika. “Tapi, nggak mau kalau sekelas sama Seno!”
“Sampai bertemu di klub!“ Seno melotot pada Hikam.
“Hus, hus, jangan ribut. Aku tetap mau sekelas sama kalian, sama-sama terus sampai di klub. Biar bosen biar aja, soalnya kalian teman pertama aku!”
“Teman pertama di luar anak-anak Bumania, ya?”
“Betul!” Nareika berjingkrak bahagia. “Liburan nanti kita beneran harus main bareng!”
“Iya, sehat-sehat kamunya. Jangan sampai kecapean kayak kemarin. Tiba-tiba dapat kabar kamu dirawat!”
“Iya, kita khawatir. Soalnya, kalau kamu nggak masuk kelas tuh, rasanya kayak ada yang kurang!”
“Nggak ada yang bisa diledek soal suara gitar rombengmu!”
“Ihh, gini-gini di masa depan akan jadi gitaris terkenal dunia!” Nareika manyun.
Di jam yang sama Nanggala tengah sibuk mendengarkan ibu guru membahas mata pelajaran minggu lalu. Begitu pun dengan anak lainnya yang terlihat serius.
Jarum jam terus berputar, dentingnya dapat Nanggala rasakan dan dengar dengan jelas. Ia menghela napasnya pendek.
“Bu, izin ke kamar mandi!” ucap Nanggala sambil bangkit dari tempatnya duduk.
“Eh, tumben sekali Nala izin ke kamar mandi?' Wanita itu tersenyum ramah.
“Iya, agak sedikit ngantuk takutnya malah nggak konsen.”
“Ya udah, silakan, Nala.”
Nanggala keluar dari kelas, ia memegangi kepalanya. Kenaikan kelas, awal dari segala penderitaan akan segera Nanggala hadapi dan rasakan. Mulai April tahun ajaran baru nanti, Nanggala sudah mengantongi sejumlah kegiatan latihan dan turnamen renang tingkat SMA, region, bahkan nasional.
Meskipun kini, Nareika sudah melepaskan Bumania, aroma tubuh anak itu, bagaimana cipratan airnya terlihat, caranya menggerakan tangan dan kakinya, benar-benar membuat Nanggala rindu.
“Maafin gua, Rei, gua pasti udah nyakitin lo. Gua bukan kakak yang baik, selama ini gua hanya ngikutin ego dan kebencian gua. Padahal, ada lo atau enggak, kalau Mama memang harus pergi, Mama pasti pergi,” monolognya sambil menatap gusar wajah langit.
***
Hujan perlahan turun, aroma patrikornya amat candu membawa setiap kenangan Jindra pada Nareika juga sebaliknya. Malam itu, Nareika bilang kalau ia ingin menjumpai seseorang di Bumania. Namun, seberapa keras Jindra bertanya siapa orangnya, Nareika tetap tidak buka mulut. Ya sudahlah.
Segelas kopi hitam disuguhkan, bersama gorengan pisang yang masih panas mengepulkan asap.
“Jadi, berapa anak yang masih dalam pengawasan Jindra?” tanya seorang wanita berpakaian kemeja biru.
“Lima, Tante Mei.” Jindra tersenyum.
Melinda Leo, seorang anggota organisasi perlindungan anak, ia juga merupakan pengacara yang memfokuskan dirinya dalam berbagai kasus kekerasan anak. Ia juga anak dari salah satu petinggi partai politik. Suaminya dokter di Rumah Sakit P, yang terkadang mengisi kelas juga di kampusnya Jindra.
“Kasus yang mana?” tanya wanita itu sambil duduk di depan Jindra.
“Anak SD yang tunarungu itu, Tante. Teman-temannya kadang sedikit menolak kalau dia menyodorkan obrokan lewat buku,” jawabnya. “Tapi, mereka nggak menguasai bahasa isyarat. Beberapa anak bahkan memojokkan, agar anak itu pindah.”
“Oh, yang itu. Nanti Tante periksa.”
“Bukan sekadar memojokkan lewat kata-kata, mereka masih sering memainkan alat dengarnya lalu mereka rusak.”
“Di catatan, alat dengar yang rusak udah tiga, ya?”
“Iya. Satu lagi, guru-guru di sana bukan nggak mau bantu, tapi Tante tau sendiri, kebanyakan dari mereka anak-anak konglomerat. Meskipun anak ini juga bukan orang biasa.”
“Jindra ke sana masih untuk mengajar menggambar?”
“Masih, sekarang tambahan dengan kelas bahasa juga. Tapi, hanya sesekali itu pun kalau guru seniornya nggak ngajar.”
“Jindra hebat.”
“Hanya sedikit yang bisa aku lakukan. Setelah lulus dan dapat gelar sarjana pendidikan, aku benar-benar ingin mengajar di sekolah. Jadi, ketika dimintai untuk ikut mengajar di SD meski hanya beberapa menit, rasanya benar-benar menyenangkan.”
“Kabar adik-adimu di panti asuhan bagaimana?”
“Seperti biasa. Mereka masih suka dengar dongen Detective Conan,” katanya tertawa hampa. “Kalau begitu aku akan pulang.”
“Esok, Tante akan mengunjunginya jika Jindra sibuk.”
“Iya, aku kuliah sampai malam karana ada beberapa mata kuliah yang dosen ganti jadwalnya kalau begitu aku pulang.”
“Hati-hati.”
Jindra keluar dari kantor wanita tersebut, di bawah payung biru dengan motif anak sapi yang lucu. Sejenak ia tertawa sambil menitikan air mata.
“Payung punyanya, dia pasti marah kalau tau aku pakai!” Ia geleng-geleng kepala seraya melangkahkan kakinya.
Ponselnya berdering. Sebuah panggilan tanpa nama.
“Halo?” sapanya.
“Jindra, apa bisa datang kemari? Aden bilang, dia ingin bertemu denganmu,” ucap seorang di balik sambungan telepon.
“Katakan aku akan segera tiba. Apa Bapak dan Ibu udah pulang?” tanya laki-laki itu mempercepat langkah kakinya.
“Baru aja. Dia rindu kakaknya.”
“Katakan, aku akan tiba sepuluh menit lagi. Kakaknya juga rindu!” Jindra menutup teleponnya. Lekas berlari sekuat tenaga di bawah hujan yang semakin deras.
Aku akan menjemputmu.
Hujan juga mengguyur atap rumah Nareika, anak itu baru saja selesai makan malam super dingin bersama Nanggala juga Jaan. Kehidupan di rumah tak pernah berubah. Selalu demikian memuakkan. Namun, Nareika juga tak ingin terjun bebas lagi ke lintasan kereta. Bukan karena takut bertemu Jindra. Nareika takut, justru tak dapat bertemu Jindra dan benar-benar mati. Walau Nareika ingin mengakhiri rasa sakit hatinya.
Selamat tidur. Besok sampai tiga minggu ke depan setelah ujian, mungkin kita nggak akan ketemu di rumah. Gua bakal pergi ke Sydney buat pelatihan sama Atlantique. Gua harap, suatu saat nanti bisa jadi peraih medali emas olimpiade dunia.
-Nanggala.
Nareika hanya memandang sobekan kertas itu dari sisi meja belajar. Mungkin, Nanggala tak ingin bicara langsung. Setidaknya, Nareika ingin mendengar suaranya untuk terakhir sebelum tiga minggu ini terlewati.
“Semoga Kakak selalu bahagia.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top