BAB 1 - Sebuah Janji

โ€ขSelamat membacaโ€ข

โ€œ๐™…๐™ž๐™ ๐™– ๐™–๐™ž๐™ง ๐™ข๐™–๐™ฉ๐™– ๐™—๐™ž๐™จ๐™– ๐™ข๐™š๐™ข๐™—๐™ช๐™–๐™ฉ ๐™ค๐™ง๐™–๐™ฃ๐™œ ๐™ก๐™–๐™ž๐™ฃ ๐™ฉ๐™š๐™ง๐™ฉ๐™–๐™ฌ๐™–. ๐˜ฝ๐™ž๐™–๐™ง๐™ ๐™–๐™ฃ ๐™ก๐™ช๐™ ๐™– ๐™ž๐™ฃ๐™ž ๐™ ๐™š๐™ง๐™ž๐™ฃ๐™œ ๐™™๐™š๐™ฃ๐™œ๐™–๐™ฃ ๐™จ๐™š๐™ฃ๐™™๐™ž๐™ง๐™ž๐™ฃ๐™ฎ๐™–.โ€

-Nareika Kalengga

๐Ÿ‘

Publikasi 23 Juni 2024

โ˜…โ˜…โ˜…โ˜†โ˜†โ˜†โ˜…โ˜…โ˜…


Apa setiap janji harus ditepati?
Nareika pikir tidak, buktinya Papa dan Nanggala pergi dari sisinya. Padahal ketika Mama dimakamkan, keduanya berjanji akan selalu memeluk Nareika.

Sayangnya, sejak hari itu ketika Nareika berusia enam tahun, mereka tak pernah memeluk Nareika lagi. Bahkan, tak pernah saling bicara apalagi berbagi kasih bersama. Tidak pernah lagi.

Nanggala bilang, Nareika telah membunuh Mama. Nareika membunuhnya, Nareika pembunuh, Nareika jahat dan Nareika tak layak untuk hidup. Nareika yang harusnya mati bukan Mama.

โ€œAndai lo nggak pernah lahir, Mama mungkin nggak akan sakit-sakitan, andai lo nggak diselamatkan, harusnya Mama yang hidup bahagia sampai saat ini. Lo bukan adik gua lagi!โ€

Perkataan itu begitu menusuk tepat diantara celah luka yang terjadi setelah Mama tiada. Rasanya amat pedih, nyaris lebih pedih dari luka yang baru saja ditaburi garam. Nareika hanya bisa terdiam sambil menangis.

Usianya baru saja enam tahun, dan ia kehilangan Nanggala dan senyumannya yang dulu pernah menjadi obat rindu Nareika pada Mama. Bukan hanya itu, Papa bahkan tak pernah menganggapnya ada.

โ€œAndai kamu nggak pernah lahir, bahkan Papa nggak ingat apa benar kamu anak Papa. Karena ketika Mama mengatakan dia hamil, Papa tengah sibuk dinas bahkan dari beberapa bulan sebelumnya.โ€

Semua perkataan itu terus menerus terucap. Nareika tidak bisa menyangkal segalanya. Ia tidak mengerti bagaimana harus menghadapinya. Usianya baru enam tahun dan setiap hari perkataan itu terus didengarnya.

***

Nareika melangkahkan kakinya ke Bumania, meskipun Nanggala menentangnya. Namun, ia juga ingin Papa melihatnya, jika Nareika bisa seperti Nanggala. Nareika terduduk di pojok ruang ganti sambil memeluk tubuh kurusnya.

Botol air minum mendarat di kepala Nareika, anak laki-laki berusia dua belas tahun itu menatap dengan takut. Sejak ia masuk Bumania di usia delapan tahun kejadian seperti ini selalu ia dapatkan.

โ€œMinggir lo ini tempat kita!โ€ titah mereka.

Nareika menggeser tubuhnya, ia kembali memeluk sunyi dalam dirinya. Hari ini ia melihat Papa datang ke Bumania dan memeluk erat Nanggala yang kemarin baru saja mendapat medali emas di kejuaraan renang tingkat daerah antar SMP.

โ€œGua bilang minggir!โ€ katanya sambil menjambak rambut Nareika sekuat tenaga. Sementara itu, pupil hitam temaram Nareika mendapati Nanggala memasuki kamar ganti.

Tolong aku, Kak.

โ€œJangan mentang-mentang lo adiknya Nanggala jadi bisa seenaknya pura-pura budeg. Lagian lo juga cuma beban di Bumania, renang nggak bisa, ini itu nggak bisa jangan ngarep jadi atlet kalau cuma jadi beban.โ€

โ€œLo udah bikin tim junior kalah di kejuaraan relay kemarin!โ€

โ€œLo bikin kita jadi latihan terus-menerus. Menu latihan kita ditambah. Padahal semua karena lo, andai lo nggak di tim relay. Kita nggak akan kena imbas!โ€

โ€œKita capek latihan tau, lo malah enak-enakan diam di sini. Padahal lo sendiri yang bikin tim kalah telak dan gagal masuk top sepuluh turnamen antar sekolah!โ€

Satu demi satu perkataan buruk ia dengar, tetapi Nareika tetap diam. Air matanya hanya merinai, ia menatap sendu pada Nanggala yang sibuk mengeringkan tubuhnya di depan loker.

โ€œKakak โ€ฆ,โ€ rintihnya memanggi.

โ€œUdah gua bilang, lo bukan adik gua!โ€ Nanggala berteriak sambil melemparkan handuk di tangannya ke wajah Nareika hingga memerah. Remaja yang akan menginjak usia lima belas tahun itu menatap sangat emosional.

Beberapa anak yang ada saling menatap sambil tersenyum kecil. Lalu meninggalkan keduanya. Nanggala kembali melemparkan handuk di tangannya ke wajah Nareika.

โ€œGua udah bilang, lo bukan adik gua!โ€ Ia terus memukul wajah Nareika dengan handuk.

โ€œKakak โ€ฆ.โ€

โ€œAsal lo tau, sejak lo datang ke Bumania, kehidupan gua jadi lebih kacau. Papa terus mendesak gua supaya bisa berkembang lebih dan lebih. Jam latihan gua bertambah, semua semua orang mendesak supaya gua terus jadi juara. Itu karena lo โ€ฆ karena lo yang nggak bisa apa-apa.โ€

Nareika memeluk erat kaki Nanggala. โ€œKakak aku minta maaf,โ€ katanya.

โ€œPergi lo, pergi lo dari hidup gua mending lo mati!โ€

***

Apakah semua janji harus ditepati?
Lagi-lagi Nareika pikir tidak, pasalnya semua pelatih tidak menahan Nareika ketika ia bilang akan keluar dari Bumania. Mereka hanya mengatakan jika itu yang terbaik untuk Nanggala kenapa tidak? Padahal dulu mereka mengatakan, akan membelanya jika Nanggala merajuk. Nyatanua, Nanggala selalu jadi prioritas.

Bukankah Nareika ingin Nanggala bahagia begitu juga dengan Papa agar ia bangga pada Nareika? Kenapa tidak mengalah? Begitu doktrinnya. Nareika muak, muak dan akan terus merasa muak. Anehnya, ia kembali menelan segala kepahitan yang ada seorang diri.

Iya. Nareika menyerah mengejarnya. Ia benar-benar merasa jika membuat mereka menoleh saja sulit.

Aku ingin selesai di sini aja.

โ€œWih, kamu anak Bumania!?โ€ Suaranya renyah membuat Nareika yang menunduk kini mendongak sambil mengejutkan dahi.

โ€œAku Kino! Aku juga berenang!โ€ katanya dengan antusias. Ia menjulurkan tangannya pada Nareika.

โ€œNareika.โ€ Anak itu tersenyum tipis. โ€œKamu berenang gaya apa?โ€

โ€œBatu!โ€ Ia nyengir memamerkan sederet giginya yang mungil dengan dua gigi taring di kedua sisi pipinya.

Nareika tertawa kecil. โ€œKamu berenang juga?โ€ tanya Nareika dengan malu-malu.

โ€œDulu iya, tapi dua tahun lalu aku cedera. Jadi, aku keluar dari klub renang.โ€

โ€œOh, pasti sulit, ya?โ€ lirih Nareika memandang lekat wajah anak laki-laki di sampingnya. Ia punya presisi wajah oval yang sempurna dengan potongan rambut berponi jarang-jarang.

โ€œEmm โ€ฆ sangat, tapi sekarang biasa aja. Aku menikmati kegiatanku di tim futsal sekolah. Kamu, jadi anak Bumania menyenangkan? Katanya di sana banyak perenang hebat!โ€ ucapnya dengan ceria, manik matanya berbinar-binar.

โ€œBanyak. Kadang saking banyaknya sampai buatku takut karena mereka bersinar begitu terang,โ€ bisik Nareika sambil meremas jemarinya sendiri. Ia merasakan gemetar yang begitu hebat ketika mengingat kembali apa yang telah terjadi hari ini dan hari-hari sebelumnya.

โ€œTim renangku juga punya banyak bintang. Jika aku nggak cedera mungkin aku masih berkesempatan menjadi bintang walau kecil!โ€ cicitnya sambil cengar-cengir cengengesan.

โ€œOh begitu?โ€ Nareika memandang saksama.

โ€œEmm, aku pernah berpikir menjadi musuh terbesar Bumania. Jika aku masih di sana, mungkin saat ini kita sedang duduk berdampingan sebagai rival!โ€

โ€œKino lucu dan menarik! Aku malah ingin berteman denganmu,โ€ puji Nareika ketika anak laki-laki di depannya itu semakin menarik kedua sudutnya tersenyum lebar. โ€œMakasih karena udah ngajak aku ngobrol, semoga suatu saat kita bisa renang bareng!โ€

Nareika menjulurkan tangannya pada Kino. โ€œSampai jumpa lagi, angkotnya udah datang aku pulang duluan!โ€

โ€œYa, dadah!โ€

Langkah demi langkah yang diambilnya begitu kecil. Nareika berharap masih bisa bicara dengan Kino, orang asing yang membuatnya merasa diakui di dunianya sendiri.

Nareika menolehkan pandangannya pada Kino yang setia duduk sambil tersenyum melambaikan tangan dengan riang.

Berenang gaya batu? Lucu. Mungkin Kino lebih bersinar dari yang kulihat. Aku harap aku juga bisa menikmati apa yang ingin aku lakukan di Bumania. Kakak, apa aku nggak bisa mengejarmu lebih jauh?

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top