Cinq: Refrain
Pst, sebelum baca chap ini, main tebak-tebakan dulu kuy!
Oke, jadi silakan tebak ending cerita ini. Happy ending/sad ending?
Sudah punya jawaban? Oke, selamat membaca.
.
.
.
.
.
.
Chapter 5
—Refrain—
(verb.) Menahan diri
"Hei!"
Aku merasakan pipiku ditepuk-tepuk oleh seseorang. Aku lalu mengerjapkan mataku perlahan. Saat membuka mata pertama kali, yang kulihat hanyalah pemandangan buram juga kilau cahaya yang menyilaukan mata.
Namun akhirnya aku mengetahui sosok yang membangunkanku itu. "Apa?"
"Bangun! Jangan tidur terus!"
"Tapi aku...." Tanpa sadar, aku kembali memejamkan mata.
"Bangun!" Kini pipiku ditepuk lebih keras oleh gadis itu.
"Aku masih...."
"Mau sampai kapan kau melarikan diri dari kenyataan?"
Aku masih saja menutup rapat kedua mataku. "Apa? Memangnya kenapa, huh?" ujarku dengan nada malas.
"Makanya," Eliane lalu mendekatkan mulutnya ke telingaku, "BANGUUUNN!!!"
Aku refleks menutup telingaku lalu bangun sambil menatapnya kesal. "Ada apa?"
"Aku tidak bisa berlama-lama lagi di sini."
"Apa? Kau akan kembali lagi ke negaramu?"
"Tidak," gadis yang kerap dipanggil Eliane itu menatapku dalam sarat akan makna, "aku akan pergi, dan kau tidak akan pernah bisa menemuiku lagi, bahkan hingga ke ujung dunia."
☁
☁
☁
Drrrt.... Drrrt....
Fushiguro masih tertidur pulas di atas ranjangnya dengan berselimutkan bed cover tebal. Namun ia terus saja mendapat panggilan masuk sejak tadi, dan berakhir ia menghempaskan ponselnya sendiri dengan asal.
Ponselnya itu akhirnya mendarat dekat bungkus sebuah makanan ringan yang entah sudah berapa hari dibiarkan menjamur di dalam kamar.
Kamar--tidak, apartemen Fushiguro sangat berantakan setidaknya sejak 3 hari lalu. Biasanya semuanya tertata rapi, membuat nyaman mata memandang. Namun ia kehilangan minat untuk membersihkan atau setidaknya membuang sampah yang berserakan.
Niat hidupnya menciut akhir-akhir ini.
Selang sekitar 3 menit, ia kembali mendengar nada dering ponselnya yang terdengar memekakkan saat ini. Fushiguro lalu menutup erat telinganya dengan bantal.
Namun itu seperti tak bekerja, karena panggilan masuk terus ia dapatkan. Membuang ponsel? Itu sia-sia, dan hanya akan merepotkan urusannya. Mau tak mau, langkah yang harus diambil adalah mengangkat panggilan itu.
Dengan malas pemuda itu menggeser tubuhnya hingga ke ujung ranjang. Ia lalu meraba-raba nakas di dekatnya, lalu menjatuhkan dirinya di lantai, dan segera meraba-raba benda sekitarnya untuk mencari keberadaan ponsel miliknya.
"Ada apa?" Ia mengangkat panggilan dengan mata yang masih tertutup sempurna.
"FUSHIGURO, KAU KE MANA SAJA?!" ujar suara di seberang sana.
"Kau mengganggu akhir pekanku, Itadori."
"Fushiguro, kumpulkan dulu nyawamu, lalu lihatlah kalender."
"Jangan memaksaku membuka mata."
"Oi, ini penting! Cepat lihat kalender!"
Dengan malas Fushiguro membuka matanya, lalu melirik kalender di atas nakas. Hari Minggu, tanggal 27 Juli.
"Hari Minggu, tanggal 27. Ada apa?"
"Rupanya kau benar-benar lupa." Itadori kini berkata dengan nada yang sendu.
"Cepat katakan."
"..."
Tangan Fushiguro mendadak lemas, tak mampu lagi menggenggam ponsel dengan berat hanya beberapa gram. Pupil matanya membesar, berbarengan dengan cairan bening yang sekejap lagi akan keluar dari netra gelap itu.
Sialan, aku melupakannya.
"O-oi, Fushiguro?"
Tidak terdengar jawaban dari sang penerima telepon. Hanya bunyi tidak jelas yang dapat ditangkap telinga Yuji.
"Fushiguro?!"
☁
☁
☁
Semuanya berawal saat hujan, lalu berakhir saat hujan. Mimpi yang terus mengganggu Fushiguro kini menjadi kenyataan. Hilang sudah harapannya akan kebahagiaan. Kini kesedihan kembali menyapanya.
Penyesalan seolah tak berujung. Kini benaknya dipenuhi pikiran tentang "bagaimana jika aku tahu sejak awal?", "seharusnya aku sedikit lebih peka", "apa yang terjadi jika aku mengucap kata selamat tinggal?", dan "bagaimana jika aku tidak pernah jatuh cinta padanya?".
Pikiran-pikiran itu terus mengganggu seiring langkah kaki sempoyongannya membawanya menuju rumah duka. Fushiguro tak lagi peduli dengan tubuhnya yang basah kuyup diguyur hujan deras. Kini, tinggal selangkah lagi dirinya masuk ke dalam rumah duka.
Tangisan pecah menjadi lantunan musik yang mengiringi jalannya prosesi penutupan peti. Fushiguro, lelaki itu tak menangis. Ia hanya mampu diam, menatap tak percaya foto yang dipajang dalam sebuah figura apik dengan hiasan pita berwarna putih, seolah air matanya kering.
Emosi itu seolah ikut menghilang. Jujur saja, jauh lebih baik kalau Fushiguro bisa menangis, atau bahkan berteriak sekencang mungkin. Itu jauh lebih baik daripada menyimpan pilu yang tak dapat dikeluarkan. Sesak, itulah rasanya.
Kini peti itu telah ditutup sempurna. Tak ada lagi yang bisa menyaksikan wajah jelita gadis itu di dunia ini. Fushiguro bisa melihat jelas kedua orangtua sang gadis yang menangis histeris. Iya, ia tahu, Eliane benar-benar anak yang berbakti. Ia juga teman yang baik. Wajar saja kalau banyak yang menangisinya.
Dan justru, cinta pertamanya itu tak mampu membuang air mata untuknya.
☁
☁
☁
Meneduh sebentar di halte, tempat di mana mereka pertama kali saling mengenal satu sama lain. Itu sukses membuat Fushiguro bernostalgia.
Sejenak ia lupa bagaimana perasaannya tadi kala melihat peti berisikan gadis tercintanya itu dikubur dalam-dalam. Meski akhirnya hatinya kembali kacau.
Debum air terdengar jelas di jalanan beraspal, membuat perasaannya semakin campur aduk.
Janji tetaplah janji. Janji harus ditepati. Fushiguro mau tak mau harus menepati janji terakhirnya pada Eliane--membaca buku harian miliknya, meski hatinya tak kuasa untuk membuka barang bersampul cokelat itu.
Tangannya terasa berat untuk sekadar membalik sampul. Matanya pun tak mau membaca aksara di dalamnya. Tapi Eliane pasti tidak suka kalau Fushiguro ingkar janji, bukan?
Akhirnya dibukalah buku harian itu. Fushiguro mulai membacanya satu per satu. Beberapa halaman awal tidak ada yang terlalu berarti. Hingga Fushiguro membalik sebuah halaman yang ditulis pada tanggal 6 Maret.
6 Maret 2023
Hari ini aku berulang tahun. Papa dan Mama memberiku ucapan dan hadiah, begitu pula teman-temanku. Aku sempat merayakannya di kafe milik Papa.
Tapi, jujur, aku tidak pernah mengharapkan kado atau ucapan, sama sekali tidak. Aku hanya ingin kesembuhan. Keinginanku sejak 5 tahun lalu tidak pernah berubah.
Tidak, Tuhan bukan tidak mengabulkan doa-doaku. Tuhan hanya ingin aku menjalani hidup yang seperti ini, sesuai rencananya.
Tapi Tuhan, aku ingin mengeluh sebentar. Tuhan, aku sesungguhnya takut dengan kematian. Apakah kematian akan menyiksaku? Apakah kematian itu mengerikan? Apakah aku akan selamat di tempat yang seharusnya setelah mengalami kematian? Atau ... bisakah aku hidup kembali?
Bertindak seolah baik-baik saja itu melelahkan. Aku lelah, sangat lelah. Aku ingin hidup tanpa beban lagi seperti dulu. Papa Mama pun pasti tidak akan mengkhawatirkanku tiap saat seperti sekarang.
Aku juga lelah berbohong dengan orang lain. Aku tidak mau berbohong, tapi inilah yang terbaik. Jika aku jujur, mungkin aku sudah menghancurkan puluhan hati manusia. Dosaku akan bertambah, bukan?
Aku hanya ingin hidup tanpa dibayangi ketakutan akan kematian. Tidak bisakah, Tuhan?
Tangan Fushiguro bergetar hebat, jarinya kaku, lidahnya kelu, air liurnya mengering. Ia memaksakan diri--lagi, untuk membuka halaman selanjutnya.
Faa,
03-06-2021
1050 words.
***
Halo, akhirnya kita sampai di penghujung cerita! Oke, mari lanjut jadi budak gacha.g
Gimana-gimana? Sesuai ekspektasi? ( ͡ ° ͜ʖ ͡ °)
Masih ada epilog dan eee, mungkin penutup. So, ini belum sepenuhnya tamat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top