๐ | ๐๐๐ซ๐ข๐ง๐ญ๐๐ก ๐๐จ๐ง๐ ๐๐๐ง ๐๐ซ๐ข๐ง๐ ๐๐ง ๐๐ข๐๐ง๐จ ๐๐ฎ๐
SUARA embusan napas penuh kepasrahan terdengar dari seorang pemuda yang malam ini memutuskan untuk bertamu di Rumah Eyang. Ia duduk di lantai satu, di ruang utama yang terbuka, di meja yang tak jauh dari sebuah piano tua. Emir duduk dengan melamun, menatap kosong ke arah pianis di sana yang tengah mengalun lagu-lagu klasik. Tiap ketukan nadanya terdengar sempurna, indah, tidak heran jika pemuda itu dijadikan pianis di Rumah Eyang.
Rumah Eyang, selain memanjakan mata para tamunya dengan koleksi barang-barang antik, di hari-hari tertentu mereka juga memberkati telinga para tamu dengan melodi indah nan klasik dari piano tua yang dimainkan seorang pianis muda. Emir mengenal pemuda itu, Andrea namanya. Seorang mahasiswa junior yang menempuh program studi yang sama dengan Emir; Seni Musik.ย
Perangainya baik, dan selalu membawa aura kebahagiaan di Rumah Eyang. Tak ada yang tak tersenyum setiap mendengar pemuda itu mengisi kekosongan dengan piano tua. Lantas tak heran kalau Andrea dikatakan anak kesayangan Rumah Eyang. Bahkan Eyang sendiri, sejauh yang Emir ketahui, menyayangi Andrea sebagaimana dia menyayangi cucunya.ย ย
Emir setuju dengan semua nilai baik dari seorang pianis muda bernama Andrea itu. Hanya saja, bagi Emir sendiri ada satu hal lain yang aneh yang melekat pada diri Andrea. Emir tak tahu apakah ini hanya halusinasinya saja atau bagaimana, tapi wajah tampan pianis muda itu terlihat lumayan familiar. Seperti pernah ia lihat, tapi entah di mana, dan entah kapan. Meski pada kenyataannya, Emir benar-benar baru mengenal Andrea tak lebih dari satu tahun lalu ketika Andrea baru menjadi seorang mahasiswa yang entah-bagaimana-bisa selalu menempel dengan Dona. Emir yakin sekali ia tak pernah melihat Andrea sebelum hari perkenalan pertamanya itu. Tapi entah bagaimana, ia selalu merasa wajah Andrea lumayan familiar dalam benaknya.ย
"Emir."
Dona datang, mengaburkan bayang-bayang Andrea di kepala Emir. Ia pun menoleh. Gadis itu rupanya tengah membawa secangkir teh manis hangat.
"Thanks, Dona." Emir menerima teh itu.
"Hm."
Dona pun duduk dan menyandarkan punggung. Ia lantas memandang ke arah yang sebelumnya Emir pandang; Andrea dan piano tua. Emir pun mengikuti arah pandangnya setelah menyesap sedikit teh.
Tenang sekali. Begitu damai dalam alunan.ย
Ketenangan sungguh sebuah hal yang mahal bagi mereka yang telah menghabiskan hari bersama Dion Danniswara. Seharian penuh, Emir dan Dona mendengarkan keluhan Dion yang ketakutan jika Lienna mendengar ide gilanya. Seolah pemuda mungil itu tidak peduli dengan Emir dan Dona yang tengah menyusun proposal resital, Dion terus-terusan merengek seperti anak kecil. Lantas, begitu habis sudah waktu bersama Dion yang buru-buru pulang karena anjingnya sakit, Emir dan Dona baru bisa mendapat ketenangan penuh.
Malam ini, di lantai satu Rumah Eyang, Emir dan Dona dengan tenang mendengarkan alunan nada dari sebuah piano tua. Semua baik-baik saja, aman sentosa. Hingga sampai pada detik di mana Dona tiba-tiba menyebutkan sebuah nama.
"Lienna ...."
Emir terhenyak mendengar nama gadis pujaannya keluar dari bibir Dona Hattala.
"Apa tadi dia dengar ocehan Dion?"
"Hm?" Emir tak tahu mengapa Dona tiba-tiba membawa topik ini. Tapi, tak ada salahnya untuk membahas. Jarang-jarang Dona mau bicara soal gadis pujaan Emir. "Hm ... entahlah, Don."
"Ask her, Em."
"Eh?"
"Ask her." Dona mengulangnya dengan penekanan. Lalu, matanya yang semula tertuju kepada Andrea kini beralih menatap Emir. "Make sure she's okay."
Emir cukup terkejut, tapi tidak terkejut juga di saat yang sama. Ia memang kaget mendengar Dona memedulikan soal hubungannya dengan Lienna. Namun, ia tidak begitu kaget mendengar Dona memberikan saran dan perintah yang masuk akal. Tidak seperti Dion.
"Gue ... enggak berani."
Mendengarnya membuat Dona menghela napas. Dengan malas, ia mengeluarkan kotak sigaret dari dalam saku kemeja dan mengambil sebatang kretek. Lalu membakarnya sebelum lanjut menasihati Emir. Dona dan kreteknya memang tak terpisahkan.
"Lo bilang lo suka dia, tapi sekadar tanya keadaannya lo enggak berani." Dona menjeda sejenak, lalu melanjutkan, "Kalau lo ... betul-betul mau buat Lienna jatuh ke tangan lo, seenggaknya lo harus bisa komunikasi yang baik sama dia, Emir."
Kali ini, Emir benar-benar terperangah. Mungkin, jika Emir tidak salah hitung dan tidak salah ingat, kata-kata barusan adalah kalimat terpanjang Dona yang pernah keluar ketika membahas Lienna. Dona tidak pernah sepeduli ini, dan tidak pernah lebih banyak bicara daripada Dion Danniswara. Malam ini adalah sebuah pengecualian? Entahlah. Namun, di tengah kebingungan Emir, Dona tetap melanjutkan tanpa beban.
"Lo minta bantuannya, tapi sekadar tanya keadaannya ... lo enggak bisa?"
"...."
"Kata-kata Dion tadi itu bahaya, Em. Lienna bisa salah paham. Gimana kalau lo makin dikira yang enggak-enggak? Ide Dion untuk mempersulit Lienna demi lo bisa menghabiskan waktu lebih lama sama dia ... bukannya itu keterlaluan?"
"...."
Heningnya Emir kemudian membawa jeda lama bagi Dona untuk kembali bicara. Di sela-sela waktu itu, terdengar meriahnya tepukan tangan untuk seorang pianis muda yang kini sudah berdiri dan membungkuk sopan seolah berterima kasih kepada para tamu Rumah Eyang. Seketika, seolah baru saja tersadar akan sesuatu, Dona tiba-tiba berkedip sambil buru-buru memalingkan wajah dari Emir yang menatapnya.
"Sorry, gue terlalu ikut campur. Enjoy your tea, Em."
Dona lantas bangkit dari kursi. Dia pergi meninggalkan Emir, dan melewati pianis muda yang sepertinya sadar akan bayangan Dona.
Tiga detik kemudian, pianis muda itu baru sepenuhnya menegakkan tubuh. Dia secara otomatis menoleh ke arah meja di tengah-tengah Rumah Eyang. Meja yang paling strategis untuk memandang dan menikmati alunan si pianis; meja Emir Soerjotomo.
Seulas senyuman pun mengembang. Pianis muda itu melambaikan tangan seraya berseru, "Mas Emir!"
Dan dia menghampiri Emir yang balas melambaikan tangan dengan tersenyum.
"Andrea."
"Wah ... wah ... lagi berantem sama Kak Dona, Mas?"
Andrea, si pianis muda yang sekelebat wajah dan senyumnya tampak tak asing di mata Emir, duduk dan memutuskan untuk ikut campur.
Emir terkekeh saja, pertanyaan itu terlalu cepat menembak tanpa ada ancang-ancang. Tapi Emir tidak bisa menyalahkan sikap Andrea yang sudah terlanjur akrab dengan dirinya juga. Karakter Andrea memang begitu. Mudah untuk ikut campur, dan kadang-kadang sebelas dua belas dengan Dion.ย
"Kalau ketawa berarti iya."
Emir lantas berhenti terkekeh, "Enggak, Dre."
"Itu tadi? Kenapa?"
"Dia cuma ... kasih tau apa yang harus dilakuin."
"Oh?" Andrea mengerjap bingung, wajahnya polos sekali. "Harus lakuin apa?"
Andrea memang seperti Dion yang banyak bicara, mudah bergaul, dan tentunya mudah ikut campur. Namun, untuk urusan satu hal dia sangat identik dengan Dona.ย
Kretek.ย
Persis seperti Dona Hattala, Andrea pun lanjut berbincang sambil merokok di hadapan Emir.
"Kak Dona suruh lakuin sesuatu yang 'salah' sampai kalian berantem?" tanya Andrea.ย
Emir diam sejenak. Ragu untuk membahas ini dengan Andrea atau tidak. Namun, binar mata pemuda itu tampak menunjukkan keingintahuan yang begitu tinggi. Yah ... Emir tidak bisa menolaknya.ย
"Katanya, saya harus berani tanya keadaan perempuan yang saya suka, Dre. Tadi memang ada satu kejadian sih, tapi saya enggak berani ganggu buat tanya keadaannya."
Sekilas mengenai Emir Soerjotomo, ia kerap menggunakan kata ganti 'saya' ketika bicara dengan seseorang yang 'tidak sedekat itu' dengan dirinya. Andrea adalah salah satu contoh selain Lienna. Dan Emir menggunakannya demi menunjukkan rasa 'hormat' dan 'sopan' kepada orang tersebut. Emir dididik seperti itu.
Namun, tidak bagi Andrea dan mungkin yang lainnya.ย
"Ah ... masalah perempuan? Tumben kakak gue peduli hal-hal begini," kata Andrea yang kemudian mengisap kreteknya. Sungguh, kalau Emir perhatikan lebih dekat lagi, gaya merokok Andrea benar-benar persis dengan Dona. Mereka betul-betul seperti adik dan kakak. Hanya saja ... tidak ada kemiripan fisik selain tinggi badan yang nyaris sama. Tapi, tetap;ย Emir masih tidak bisa menemukan di mana tepatnya Andrea terasa familiar dalam benak.ย
Emir lantas mengedikkan bahu, "Saya juga enggak ngerti."
"Hm ... jangan-jangan ...."
Andrea tampak menduga sesuatu, sontak membuat Emir menatap kepadanya dengan serius. Ia menunggu-nunggu, dugaan apa yang akan Andrea lontarkan.
"Jangan-jangan, Kak Dona suka sama Mas Emir?!"
"Haish, ngawur!"
Saking terkejutnya, kaki Emir sampai tak sengaja menendang kaki meja dan nyaris menumpahkan secangkir teh. Andrea terbahak-bahak melihatnya. Memang jahil. Persis seperti penilaian Emir, Andrea itu sebelas dua belas dengan Dion untuk urusan 'tingkah' dan 'gila'.
"Eh, Mas, enggak ada yang enggak mungkin. Kak Dona itu cuek orangnya. Kalau tiba-tiba bisa bawel dan ngambek ya ... suka kali sama Mas Emir!"
Pendapat itu membuat Emir berdecih sebal, "Kayak udah kenal Dona ribuan tahun aja."
Andrea pun balas menyeringai sombong, "Mas, Dona Hattala itu udah kayak kakak gue sendiri. Gue lebih tau dia dibanding lo sama Bang Dion."
Tidak salah.ย
"Ya walaupun kenalnya belum ribuan tahun, tapi siapa di sini yang paling bisa banyak omong sama Dona Hattala?"ย
Andrea.ย
"Right. Andrea. The one and only Dona Hattala's brother."ย
Andrea mutlak membungkam Emir. Ia kalah telak.ย
Emir tahu, dirinya mungkin tidak 'sekenal itu' dengan Dona. Dan Andrea mungkin jauh lebih mengetahui isi hati perempuan itu, mengingat betapa dekatnya mereka.ย
Namun, tetap saja pendapat Andrea tentang Dona yang menyukai dirinya sungguh tidak masuk akal. Dona tidak pernah menunjukkan tanda-tanda 'suka'. Dona tidak pernah ribut mengirim pesan manis atau penuh kode-kode khas wanita. Dona tidak pernah bertindak di luar batasan teman. Dan Dona tidak pernah sekali pun terlihat cembu ... ru? Ketika Emir membahas tentang ... Lienna.
Tunggu. Emir mengernyitkan alis, memikirkan lagi kalimat yang barusan melintas dalam benak. Benarkah Dona tidak pernah cemburu?
Pikirannya melesat kepada hari di mana Lienna membawa dirinya ke Rumah Eyang. Bukankah pada saat itu ... Lienna bermain-main dengan nama Dona Hattala? Dan kalau Emir tidak salah ingat, Dona hari itu tampak terlalu berbeda. Dingin seperti es, keras seperti batu. Tidak tersenyum, dan hanya memberikan tatapan datar. Serta, kalau ia tarik lebih awal lagi ... ia ingat bahwa Dona telah menyorotkan tatapan tajam kepada Lienna di saat ia dan Lienna baru saja datang. Apa ... maksudnya?
"Nah, diam kan. Mulai kepikiran, Mas?" Andrea tertawa mengejek.
Benar-benar menyebalkannya sama seperti Dion, tapi dengan gaya bersedekap dan satu tangannya menjepit kretek seperti Dona.ย
"Enggak, Dre. Mau dipikirkan kayak gimana juga, ini enggak masuk akal. Kalau memang Dona suโtertarikโsama saya, kenapa dia suruh saya hubungi perempuan yang saya suka?"
Andrea manggut-manggut, bibirnya pun tersenyum penuh arti. Arti yang tidak Emir pahami.
"Itu namanya, Kak Dona peduli."
"Hah?"
"Jarang-jarang lho kakak gue itu peduli sama orang lain. Jarang juga dia suka ikut campur masalah orang. Tapi kalau udah begini, ya sejauh yang gue tau tentang kakak gue, itu tanda dia suka sama orang yang dia peduliin, Mas."
Emir seketika menjadi hening.ย
Andrea pun tak lagi berujar, tapi kali ini dia tersenyum.ย
Sekali lagi, senyuman itu ... benar-benar familiar di mata Emir. Tapi mau berapa kali pun Andrea mengakui Dona adalah kakaknya, senyuman itu tidak identik dengan milik Dona.
"Andrea ...."
"Hm?"ย
Pemuda ini ... dengan senyuman dan kata-katanya berhasil memporak-porandakan isi kepala Emir. Emir tidak mau percaya tentang Dona yang menyukai dirinya, tapi di sisi lain ia tahu sedekat apa Dona dan Andrea. Jika ada orang yang lebih dekat dengan Dona daripada dirinya dan Dion Danniswara, maka itu adalah dan hanyalah seorang Andrea. Pianis muda sekaligus adik tingkatnya yang benar-benar dekat dengan Dona seperti adik sendiri. Lantas, kecil kemungkinannya untuk mengatakan pendapat Andrea salah.
Andrea pun terkekeh dalam aura seperti pemenang. "Udah, Mas. Jangan dipikirin. Betul nih kata Bang Dion, Mas Em suka overthinking. Tenang aja, Mas Em. Kalaupun betul Kak Dona suka sama Mas Emir, dia bukan tipikal yang bakal heboh ngejar kok. Siapa pun tau lah, Kak Dona orangnya super calm."
"...."
"Dan apalagi, Mas Em udah punya idaman kan? Enggak bakal itu Kak Dona ganggu. Singkatnya, Mas Em bahagia, Kak Dona juga bahagia. Begitu 'kan cinta yang seharusnya?"
Oh gila, betapa dramanya kehidupan ini.ย
to be continue
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top