๐Ÿ– | ๐ƒ๐š๐ง๐ง๐ข๐ฌ๐ฐ๐š๐ซ๐š ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐’๐ž๐ฅ๐š๐ฅ๐ฎ ๐Œ๐ž๐ฅ๐š๐ก๐ข๐ซ๐ค๐š๐ง ๐ˆ๐๐ž ๐†๐ข๐ฅ๐š

SEMINGGU kemudian, di kantin Gedung Ali Sadikin.

Tiga sejoli itu duduk bersama di satu meja, menikmati makan siang mereka. Dion adalah yang paling lahap, bahkan ketika Emir tidak mampu menghabiskan sepotong sosis lagi, Dion dengan senang hati menghabiskannya. Tapi, meski Dion sesuka itu dengan makanan, agak mengherankan juga melihat tubuhnya yang kurus-kurus saja. Omong-omong, dialah yang paling kurus, tapi juga yang paling pendek di antara mereka bertiga. Tubuhnya yang kecil ini membuat Dion terlihat seperti pemuda mungil. Dia seperti anak bungsu di antara tiga bersaudara. Ditambah lagi, tingkahnya seperti anak yang paling bawel di bandingkan kakak-kakaknya; Emir dan Dona.

"Don! Ini masih dimakan enggak sih dimsumnya?!"

Siapa lagi yang berani bertanya begitu kalau bukan Dion. Dona yang sibuk menggulir layar ponsel sambil mengisap kretek pun hanya menjawab dengan gelengan kepala.

"Haha! Oke! Buat gue, ya!"

Kali ini, Dona mengangguk-angguk saja.

Emir yang sekilas melihatnya pun hanya terkekeh kecil, lalu ia kembali sibuk dengan tabletnya sendiri. Tak ada yang ia lakukan selain mengamati satu per satu proposal buatan Lienna.

Dan, tepat waktu. Bagai memiliki intuisi yang hebat layaknya seorang saudara, Dion bertanya soal progres proposal resital Emir di tengah mulutnya yang sibuk mengunyah.

"Soerjo, gimana proposal? Lienna membimbing dengan baik, enggak?"

Nama gadis pujaannya yang dibawa secara tiba-tiba oleh Dion, membuat Emir seketika melirik ke arah Dona. Gadis itu, yang kali ini duduk tepat di sebelah Dion, Emir melihat dia berhenti menggulir layar ponsel hanya sedetik setelah Dion menyebut nama Lienna.

Emir pun dengan hati-hati menjawab, lantaran ia masih belum mengetahui ada apa dengan temannya.

"Hmm, aman-aman aja. Lienna lebih dari sekadar membantu. Dia kasih gue beberapa referensi proposal, dan sekarang ... kabar terakhirnya dia lagi bantu cari pengiring."

Seminggu sudah berlalu, dan dalam hari-hari yang telah terlewati, Emir berhasil berbalas pesan dengan Lienna untuk beberapa kali. Tidak banyak, tapi setidaknya ada. Walaupun hanya sebatas tentang proposal resital.

"Really?" Dion tampak tak percaya, sampai matanya membola sempurna. "Haha! Bagus deh kalau gitu. Walaupun ini di luar dugaan sih."

"Hm? Di luar dugaan gimana?" Emir bertanya.

"Ya ... di luar dugaan aja. Gue kira Lienna tipikal yang enggak bakal serius bantuin lo, kayak cuma ... sekadarnya aja. Kalau diingat-ingat, dia cantik-cantik gitu 'kan ansos, Em. Jadi gue enggak expect kalau dia bakal secepat ini cari pengiring buat lo. Gue kira bakal lama buat sampai di tahap itu, karena ya ... kayak yang gue bilang tadi, dia ansos. Skill bersosialisasinya payah banget, nggak sih?"

Emir terdiam sejenak. Sudah sejak satu tahun lalu ia mengagumi Lienna dalam diam, pun mengamati gadis itu dari kejauhan, memang benar bahwa Lienna selalu sendirian. Tidak pernah terlihat berjalan dengan satu gerombolan teman, atau setidaknya ... satu teman saja. Tidak pernah. Tidak pernah Emir lihat Lienna bersama seorang teman. Dion tidak salah jika menyebut Lienna payah dalam bersosialisasi.

Di sebelahnya, Dona pun terlihat hanya diam dan mendengarkan Dion. Tidak memprotes ucapannya. Mungkin, Dona juga memiliki satu pikiran yang sama.

Tidak ada yang menyangka bahwa pergerakan Lienna dalam membantu Emir cukup cepat. Gadis itu sudah sampai tahap mencari pengiring resital. Sementara Emir masih sibuk mengamati proposal.

"Tapi, Em. Bahaya juga. Kalau Lienna gerak cepat gini, ya otomatis lo juga harus cepat-cepat mundur, nggak sih?"

Tidak perlu diingatkan pun, Emir sudah tahu.

"Iya."

"Yah ... padahal niat gue enggak begini, Em. Lo tau, maksud gue biar lo bisa punya waktu sedikit lebih lama sama Lienna."

"Enggak apa-apa."

Emir menjawabnya dengan penuh kelapangan dada.

Namun, ekspresi tenang serta pasrah dari wajah tampan Emir justru membuat Dion semakin merasa bersalah. Dona pun menyadari ekspresi itu, sama seperti Dion. Tapi tetap, Dona masih tak bersuara apa-apa. Hanya ada suara Dion.

"Sorry, Em."

"No need, Di."

"Hmmm ...." Dion kelihatannya kini sedang berpikir, tapi apa yang ia pikirkan tak ada yang tahu. Kadang-kadang, Dion suka memikirkan hal aneh, yang ketika idenya dikatakan, mampu membuat Emir dan Dona membulatkan matanya. Seperti saat Dion menyebut proposal resital waktu lalu. Pun tepat seperti sekarang ini ketika Dion mengatakan, "Aha! Gimana kalau gue bilang sama junior-junior buat nolak Lienna?! Antisipasi aja, mana tau dia minta ke junior yang kebetulan gue kenal buat jadi pengiring Emir."

Emir bahkan tak bisa berkata-kata selain ... "H-hah?"

"Well ... you guys 'kan tau lah ya kalau gueโ€”Dion Danniswaraโ€”yang paling ganteng sejagat Cikini ini lumayan famous di kalangan junior. Jadi, yah ... kenapa enggak manfaatin aja ke-famous-an gue ini buat nge-influence mereka? Mumpung guenya social butterfly juga ye 'kan. Gimana, gimana? Gue tau ide gue bagus."

Dia yang memberikan ide, dia yang bertanya tentang idenya, dia juga yang menjawab sendiri. Inilah kebiasaan seorang Dion Danniswara. Pun kemampuan berpikir di luar nalar yang hanya bisa lahir dari kepala pemuda berambut gulali cokelat ini.

Dona akhirnya tampak merespons. Gadis itu mendengkus singkat, meletakkan ponselnya lalu bersedekap dengan satu tangan dan tangan lainnya yang menjepit rokok. Dona terlihat betul-betul terganggu dengan ide Dion.

"Kegilaan macam apa lagi, Danniswara?"

"Lho, lho, lho? Mana ada gila! Ini ide jenius! Kalau gue bilang sama junior-junior yang pernah nongkrong bareng gue, mereka pasti nurut lah. Tinggal tambahin drama modus si Emir ini, fix mereka enggak bakal bantu jadi pengiring. So then, ketika Lienna enggak dapat-dapat pengiring, Lienna makin lama deh bantuin Emir. Jenius, right?"

"Gila."

"Hattala! Enggak ada tanggapan lain selain 'gila' apa?"

"Enggak."

"Hattaโ€”!"

"Dion ...."

Emir akhirnya buka suara. Ia merasa ia harus menghentikan adu mulut Dion dan Dona. Hal kecil bisa menjadi besar kalau terus menerus dibahas dan ditentang. Emir menghentikan kemungkinan itu.

"Enggak perlu repot-repot, Di. Kita udah di penghujung kuliah, tinggal resital dan buat laporan tugas akhir. Enggak perlu buat masalah kayak gini."

"Em, ini demi lo. Lo paham enggak, sih?"

"Paham. Tapi, ini juga demi Lienna."

"...."

"Jangan mempersulit dia, Dion."

"...."

"Biar semuanya berjalan seperti ini. Jangan ditambah masalah lagi, oke?"

"Ha ...." Dion mengembuskan napas ditambah dengan suara menyerah. "Oke, oke, gue enggak bakal nambah masalah."

Emir pun tersenyum, lalu Dion kembali menghabiskan dimsum yang diberikan Dona. Sekali lagi, sekilas Emir lirik Dona yang duduk merokok di sebelah Dion, gadis itu telah kembali menatap layar ponsel setelah selesai mendengarkan dan membahas ide gila pemuda di sebelahnya.

Suasana sudah kembali kondusif. Dan kini, saatnya Emir kembali mengamati proposal resital yang Lienna berikan.

Namun, ketika baru saja ia ingin memfokuskan diri kepada layar tablet, kedua matanya dalam sekelebat menangkap bayang-bayang seseorang yang berdiri di seberang.

Emir membeku sejenak, urung memfokuskan diri ke layar tablet dan mengembalikan pandangan ke arah seseorang itu.

Oh betapa sialnya ia. Seorang gadis yang ia puja, berdiri mematung di depan dinding abu-abu, menatap lurus ke arah dirinya dan mengabaikan belasan orang yang berlalu lalang di hadapannya.

Lienna berada di sana.

Entah sejak kapan.

"K-Kak Lien ...."

"Huh?"

Dion pun menoleh ke belakang begitu mendengar Emir bergumam pelan. Matanya seketika membola melihat seorang gadis berambut pirang dengan tas biola yang disampirkan di satu bahunya. Gadis itu ... Lienna. Dia menatap lurus dengan tatapan yang dingin, yang mampu membuat siapa saja merinding ketika menangkap tatapannya.

Dion seketika mengembalikan pandangan kepada dimsum di atas meja. Tangannya gemetar, dirinya tampak merasa takut. Dan Emir dapat mengerti mengapa Dion bersikap seperti ini.

Lantaran, ia pun merasakan ketakutan yang sama. Ia takut, Lienna mendengar seluruh ide gila Dion Danniswara.ย 

to be continue

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top