๐Ÿ• | ๐Œ๐ž๐ฆ๐š๐ง๐  ๐๐ž๐ซ๐ž๐ฆ๐ฉ๐ฎ๐š๐ง ๐๐š๐ง๐๐š๐ข ๐Œ๐ž๐ฆ๐›๐ฎ๐š๐ญ ๐Š๐ž๐ฃ๐ฎ๐ญ๐š๐ง

DONA, gadis itu tidak memberikan jawaban apa-apa kepada Emir selain hanya sebuah senyum tipis. Emir lantas tidak bertanya lebih lanjut. Jika Dona tidak ingin bicara, maka Emir tidak akan pernah memaksa. Biarkanlah itu menjadi rahasia Dona sendiri, jika memang dia memiliki sesuatu dengan Lienna.

Emir tidak keberatan untuk memendam rasa penasarannya. Ia sudah terbiasa dengan memendam segala sesuatu. Emir tidak apa-apa.

Sore itu, Emir habiskan waktu di Rumah Eyang dengan banyaknya kudapan yang memenuhi meja bundar. Sangat tidak mungkin bagi Emir untuk menghabiskannya sendirian. Dona pun sudah lama pergi dari meja setelah tak menjawab pertanyaannya. Hanya ada dirinya sendiri di lantai dua, yang akhirnya membuat ia menghubungi satu teman lainnya; Dion Danniswara.

Dan Dion tidak akan pernah menolak untuk sebuah kudapan gratis. Ia datang secepat kilat.

"Ha! Jadi, Dona ada something sama Lienna?" Mulutnya yang penuh dengan pisang goreng coklat keju, masih sempat-sempatnya bertanya hingga hampir menyembur wajah Emir.

Emir memang menceritakan sekilas tentang Dona dan Lienna kepada Dion yang datang untuk menghabiskan kudapan sambil mendengarkan.

"Hmm, sepertinya."

Dion lantas menghela napas. "Aneh. Setau gue dia enggak pernah ada hubungan apa-apa sama Lienna. Kita udah hampir empat tahun bareng-bareng, Em. Harusnya gue tau kalau Dona ada sesuatu sama Lienna, dan harusnya lo juga tau. Dona 'kan sama kita terus."

Dion memang tak salah, Dona memang selalu bersama mereka.

"Iya, mungkin tadi cuma perasaan aja."

"Iya, ya udahlah enggak usah dipikirin. As long as Dona enggak resek sama Lienna, enggak masalah. Jangan terlalu dikhawatirin. Lienna baik-baik aja."

Jarang sekali Dion terdengar membela Dona. Seringnya, pemuda itu banyak bicara dengan membuat kesal Dona yang hemat bicara. Tapi kali ini, Emir sadari bahwa Dion membela Dona tanpa menaruh kecurigaan apa-apa. Lantas membuatnya berpikir, apakah dirinya yang telah terlalu berlebihan memikirkan sesuatu di antara Dona dan Lienna?

"Skip soal itu. Gimana lo tadi? Udah bilang Lienna soal proposal resital?"

Emir mengangguk.

"Cakep! Gimana, gimana? Apa katanya? Dia mau?"

Emir mengangguk lagi.

Sikapnya yang seperti ini membuat Dion berhenti mengunyah pisang. Dion mengamati Emir untuk beberapa detik, rasanya memang seperti pikiran Emir sedang tak berada di sini. Entah apa yang ia pikirkan. Dion kembali mengunyah pisangnya, acuh tak acuh.

"Cih. Dia udah mau, lo malah kayak orang sedih. Nikmatin aja apa yang ada, Soerjo. Hidup jangan sedih-sedih amat cuma karena cewek. Nanti juga setelah lo 'pisah' sama Lienna, ada lagi cewek yang lebih menarik. Belum waktunya aja. Pasti ada."

Emir lantas mengangkat wajah dari meja yang kudapannya sudah hampir habis setengah. Ia menatap Dion dengan matanya yang teduh, tapi benar ... bahwa Emir memang membawa sedikit aura kegalauan. Tatap mata itu tak bisa bohong.

"E-eh ...? L-lo ... beneran sedih?"

Emir mengembuskan napas yang ia hela dengan berat. "Yeah, kind of."

Kali ini, Dion pun berhenti mengunyah pisang goreng. Dia mengambil gelas kopi susunya, dan dia telan sebagai pembersih tenggorokan. Baru setelah itu, dia bersandar dan bersikap sok serius untuk mendengarkan.

"Jadi, ada apa?"

Emir melirik, lalu melihat Dion yang berlagak seperti seorang pendengar ahli membuat Emir sedikit mendengkuskan tawa. Bukan tipikal Dion sekali, Dona lebih cocok untuk ini. Dona lebih dewasa dan berpikiran jernih untuk mendengarkan hal-hal serius. Sementara Dion? Teman yang satu itu cocoknya untuk diajak bersenang-senang saja.

"Nothing, Di. Makan lagi aja, habisin."

"Heuh? Serius gue, Em!"

"Gue juga serius. Makan."

Dion berdecak sebal, tapi setelahnya ia lanjut menyantap kudapan di meja. Emir tahu, Dion mungkin ingin mendengarkan keresahan hatinya. Tapi, Emir tak begitu tega membiarkan teman baiknya mendengarkan hal-hal yang bisa dibilang hanya urusan sepele. Lagipula, tak ada lagi asal muasal kegelisahan Emir kalau bukan dari Lienna Rosaline. Dan Dion mungkin akan bosan jika Emir terus menyebut nama Lienna hari ini. Jadi, Emir hanya ingin menjaga suasana hati teman baiknya. Dona sudah dalam suasana hati yang buruk, dan Dion jangan sampai ikut.

Panjang umur, yang dipikirkan pun tiba-tiba muncul. Entah sejak kapan Dona berada di sudut dekat tangga, tapi yang Emir lihat sekarang adalah Dona sedang berjalan ke arah mereka. Dona menghampiri Dion dan dirinya.

"Hattala!" Dion berseru girang. "Duduk, duduk, udah enggak sibuk, 'kan? Sebat dulu sini."

Di antara mereka, hanya Dona yang merupakan perokok aktif. Sementara Emir dan Dion adalah perokok pasif yang sehari-harinya mendapat asupan asap dari seorang perempuan penggila kretek. Gadis itu sejurus kemudian duduk di sebelah Dion, dan menghadap Emir.

Dona mengeluarkan sebatang kretek dari kotaknya yang khas bermotif ukiran bunga di atas bahan kulit cokelat, dan pemantik api dari dalam saku kemejanya. Ah, soal saku kemeja ... Dona memang lebih sering terlihat mengenakan kemeja pria dengan satu saku di dada kiri, alih-alih kemeja wanita yang polos. Tipikal Dona.

Aura dingin pun mulai menggerayangi punggung Emir ketika Dona menatapnya setelah membakar sebatang kretek. Masih sama seperti sore saat ia bersama Lienna, Dona tidak tersenyum, juga tidak memberikan raut yang ramah. Emir masih tak memahami penyebabnya.

"Don! Uhuk," Dion tersedak, efek terlalu banyak bicara. "D-Don, kata si Bian pajangan lo ada yang pecah?"

Mendengar pertanyaan Dion, Dona membeku untuk beberapa saat. Tangannya yang semula mengarahkan sebatang kretek ke mulut, pun berhenti tepat di depan bibir. Emir melihat Dona tampak menghela napas dalam-dalam sambil memejamkan mata, seolah perempuan itu tengah meredam emosinya. Dan melepaskannya lewat embusan asap.

"Iya." Dona menjawab sekadarnya.

"Eh, gila sayang banget. Pajangan mana yang pecah?"

"Bingkai kecil."

"Bingkai kecil? Foto? Atau lukisan?"

"Foto."

"Oh ... cuma foto. Kalau kegores pecahan kaca, bisa lo reprint lah itu mah. Foto apa, betewe?"

Dion tampak santai sekali melontarkan pertanyaan ini dan itu. Sementara Emir yang menyaksikan tanya jawab ini merasa sedikit ada yang mengganjal dalam hatinya. Entah kenapa, ia merasa takut Dona tengah memendam amarah karena banyak ditanya perihal pajangan yang pecah. Saking banyaknya pajangan di Rumah Eyang, Emir saja tak tahu foto apa yang pecah, dan seberapa berharganya foto itu. Tapi Dion sudah semena-mena berani mengatakan; Oh ... cuma foto. Emir lantas merinding dibuatnya.

Sekecil apapun itu, tetap tidak pantas untuk diremehkan, betul? Lagipula, mereka tidak begitu tahu seberapa berharganya bingkai foto yang pecah itu bagi Dona, dan bagi Rumah Eyang.

"Don, malah diem eh. Foto apa, gue tanya?"

"Ah!" Emir tiba-tiba menyela. "A-ah ... hehe, gue baru ingat harus kirim progres proposal. Gue ... gue duluan, ya!"

"Eh?" Dion mengernyit, "Buru-buru amat? Emang harus malam ini? Santai dulu aja, Em, Dona juga baru duduk. Parah lo."

Sebenarnya, Emir sengaja. Emir sengaja memutus pertanyaan Dion terkait pajangan yang pecah, lantaran sebelumnya ia melihat Dona mengepalkan satu tangan kuat-kuat di atas paha yang menyilang. Emir tak mau terjadi keributan serius antara Dion dan Dona.

"E-eeeeh! Tunggu dulu!" Dion menahan Emir yang sudah bangkit dari kursinya. Pemuda yang kini mulutnya penuh dengan kentang goreng berhasil membuat Emir urung membalikkan tubuh.

Emir lantas kembali menghadap Dion. "Apa?" tanyanya.

"I-ini ... jangan lupa bayar! Lo yang ajak gue ke sini!"

Emir mengerjap-ngerjap sebelum ia akhirnya terkekeh kecil. Dion memang suka panik untuk urusan membayar kudapan Rumah Eyang. Harganya yang mahal tentu menjadi alasan utamanya. Meski begitu, semestinya Dion tak perlu khawatir dan tetap santai seperti Dona, karena seharusnya mereka sudah tahu bahwa Emir tak pernah lupa membayar bill mereka semua sebelum pulang. Sudah menjadi kebiasaan Emir untuk membayar harga berkumpul di Rumah Eyang.

"Soerjo!"

"Iya ... enggak lupa. Duluan ya, Di." Lalu Emir melirik ke arah Dona, diam sejenak, ragu sedikit, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk tetap berpamitan dengan sopan. "Duluan, Dona."

Meski hatinya terasa ganjal.

Namun, setelah itu Emir buru-buru pergi dari hadapan kedua temannya. Seperti apa yang dikatakan Dion, ia tak perlu berpikir berlebihan tentang Dona dan Lienna. Jadi, ia dengan segera menghempaskan beban pikiran itu. Pun seperti apa yang dikatakan Dion, ia tak boleh lupa membayar tagihan kudapan yang telah dipesan. Jadi, ia dengan segera pergi ke kasir dan menghadap Bita dengan senyum ramah untuk membayar tagihan sebelum keluar dari Rumah Eyang.

"Mas Emir! Udah mau pulang?"

"Iya, hehe." Emir pun mengeluarkan kartu debitnya tanpa banyak bertanya total nominal. "Ini, saya bayar yang tadi ya."

"Eh?" Namun, Bita malah terlihat bingung ketika Emir menyodorkan kartunya. Bita mengernyit, Emir pun sama. Keduanya sama-sama bingung di meja kasir.

"Kenapa, Bit?" tanya Emir.

"Ah, itu ... Mas Emir, pesanannya udah dibayar sama Kakak yang bareng Mas Emir tadi."

Emir semakin tidak mengerti, "Kakak yang bareng saya?"

"Itu ... yang pirang itu lho, Mas."

"Eh?!" Matanya lantas terbelalak. "L-Lienna???!!!"

Bita pun kaget, nyaris kehilangan detak jantungnya ketika Emir spontan meninggikan suara.

"S-sorry, Bit. Sorry, enggak maksud bikin kamu jantungan."

"Ah ...." Bita lantas mengusap-usap dadanya. "Enggak, Mas. Enggak apa-apa kok."

"Anu ... itu tadi totalnya berapa ya, Bit?"

Untuk pertama kalinya, Bita mendengar Emir menanyakan total nominal yang dihabiskan untuk seluruh pesanan. Biasanya, Emir selalu membayar tanpa bertanya, dan hanya membaca lalu menyimpan setruknya. Namun kali ini, hal lain telah terjadi. Emir menanyakan nominal pesanannya sendiri.

"Oh, sebentar, Mas." Dengan cekatan, Bita pun memeriksa riwayat transaksi di layar tablet kasir. Tak perlu waktu lama, ia pun mendapatkan apa yang Emir minta. "Totalnya dua ratus ribu, Mas. Kayak biasa kok."

"Haish ...." Emir garuk-garuk kepala mendengarnya.

"Heuh? K-kenapa, Mas? K-kemahalan? Tapi biasanya Mas Emir juga rata-rata segini, jarang di bawah inโ€”He! Mas Emir! Mas mau ke mana?! Mas! Halaaaah, langsung pergi! Hati-hati di jalan lho, Mas! Thank you for coming!"

Secepat kilat Emir keluar dari Rumah Eyang tanpa pikir panjang. Pintu kayu yang sudah tua itu dibukanya tanpa perasaan. Ia begitu terburu-buru, seolah ingin cepat-cepat pulang. Namun, namun, namun, namun, Emir kenyataannya tidak pulang begitu saja.

Ia berlari menuju Taman Ismail Marzuki, dalam harap ia dapat menemukan Lienna di sana karena sebetulnya malam ini adalah jadwal gadis itu melangsungkan pertunjukkan.

Sayang, sudah menghabiskan banyak napas hingga membuatnya tersengal, Emir tak jua menemukan Lienna di sana. Halamannya kosong. Tak ada Lienna, tak ada biolanya, tak ada kerumunan yang menikmati alunan nada.

"Ha ... ha ...." Emir mengatur napas, sembari terus mengedarkan pandangan. Namun, nihil. Tidak ada. Tidak ada Lienna Rosaline.

Ia memejamkan mata sejenak, lalu mengembuskan napas dengan ketenangan setelah beberapa kali mencoba mengatur napas yang berantakan.

Ia pun duduk di anak tangga Gedung Ali Sadikin, tempat di mana ia dihampiri oleh Lienna dengan sepatu Mary Jane-nya. Emir duduk di sana dan mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku celana. Deret angka yang tertulis di sana, dengan gelisah ia ketikkan di layar ponselnya. Entah kenapa, sekarang ia merasa ia harus menghubungi Lienna. Ini tentang tagihan Rumah Eyang yang telah dibayar. Lantaran menurut Emir, Lienna tak perlu repot-repot melakukan itu.

_____
Lienna

Hai, Kak. Ini Emir. Kak, saya minta maaf tadi
saya open bill dan malah berujung Kak Lienna
yang bayar. Next time, saya ganti ya Kak uangnya.
Dan untuk selanjutnya Kak Lienna enggakย 
perlu
repot-repot lagi. Saya yang urus, Kak.

_____

Pesan sudah dituliskan.

Namun, ibu jari yang gemetar itu tiba-tiba ragu untuk menekan tombol 'kirim'. Ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah tindakannya sekarang terlalu impulsif? Bukankah ini out of topic? Seharusnya, pesan yang dikirim kepada Lienna hanya sekadar progres proposal resital, 'kan? Lalu, sekarang ... apa yang ia lakukan? Bukankah ia terlalu mengganggu?

Kosong. Seluruh pesan itu akhirnya terhapus sudah. Emir berpikir cepat, pun cepat-cepat memutuskan untuk tidak membahas soal tagihan Rumah Eyang dalam sebuah pesan. Setelah dipikir-pikir, ia agaknya tidak sopan. Emir pun bangkit lagi, dan kali ini ia benar-benar pergi untuk pulang ke rumah kosnya.

Jam sudah menunjukkan waktu malam ketika Emir sampai. Langit sudah gelap, dan rumah yang dijadikan tempat kos itu tampak belum menunjukkan adanya kehidupan. Meski lampu terasnya menyala, ruang tamu pun terang benderang, tapi nyatanya tetap sepi di dalam. Emir pun melangkah masuk dengan tenang.

Suasana rumah dan lingkungan tempat tinggal memang cukup sepi. Namun, malam itu tidak ada orang di rumah sama sekali. Meskipun ini adalah benar-benar sebuah rumah dua lantai yang setiap kamarnya disewakan menjadi kamar kos, penghuninya tidak begitu sering berbaur. Mereka jarang berada di rumah. Hampir empat tahun Emir tinggal di rumah ini, dan hanya Dona yang tidak pernah pergi. Lantaran penghuni dua kamar lainnya kerap kali berganti sepanjang tahun berjalan. Sayang sekali Dion tidak tinggal di rumah yang sama, karena pemuda itu tak mau lepas dari orang tua dan anjing peliharaan kesayangannya.

Jadi, ya ... begitulah. Hanya Dona yang Emir kenal baik yang tinggal di rumah ini. Rumah dua lantai dengan gaya minimalis, dan didominasi dengan siraman cat putih. Rumah dengan empat kamar tidur dan dua penghuni lain yang tidak begitu akrab dengan Emir; mereka hanya sekadar mengenalnya sebagai mahasiswa seni musik, dan Emir sekadar mengenal mereka sebagai mahasiswa FSRD.

Pun rumah tempat berteduhnya selama nyaris empat tahun, adalah rumah yang sesungguhnya milik Dona Hattala.

Emir menghela napas dan mendudukkan diri di sofa ruang tamu. Laptopnya ternyata masih terbengkalai di atas meja, sungguh untung di sini tak ada tangan-tangan jahil. Jadi, laptop terbengkalai pun tetap aman terkendali.

Dan mengingat ia harus memberikan progres proposal kepada Lienna, Emir pun membuka laptop. Beberapa saat Emir berselancar di laptopnya, hingga ia sampai pada kesimpulan bahwa: belum ada yang ia kerjakan. Hanya ada catatan-catatan jurnal yang ia simpan, pun beberapa referensi proposal resital. Kacau sekali.

Ia pun segera mengirimkan pesan kepada Lienna. Sesuai dengan yang gadis pujaannya itu minta.

_____
Lienna

Malam, Kak. Maaf, ini Emir
Kak, saya mau kabari progres proposal
Sampai saat ini, saya masih dalam tahap
cari referensi, Kak. Belum susun repertoar
dan temanya.

_____

Terkirim!

Bagus, kali ini Emir berhasil mengirimkan pesan. Meski setelahnya, buru-buru ia lepas ponsel itu dan dihempaskannya ke sofa. Lalu ia malah menutup wajah dengan bantal di sana. Ah, ia masih tidak menyangka ia baru saja menghubungi gadis pujaannya itu!

Emir jadi salah tingkah sendiri, sial.

Ting!

Satu notifikasi yang terdengar pun membuat Emir seketika mengambil kembali ponselnya. Melepas bantal, dan langsung beralih membaca isi pesan.

_____
Lienna
Ok

_____

Emir mengerjap berkali-kali.

"C-cuma oke?!"

Dan akhirnya, ia berbicara sendiri di ruang tamu yang sepi ini.

"Harus balas apa lagi, Ya Tuhan."

Kasihan, Emir.

"Huuuffโ€”"

Ting!

"Eh?"

_____

Lienna
https://drive.google.com/file/d/
SjKbasdKSkkA/view?usp=drive_link

Kak ini apa?

Beberapa proposal resital yang pernah
saya susun

______

Emir membuka tautan yang dikirimkan Lienna. Dan memang benar, isinya penuh dengan proposal resital. Dan semuanya ditulis oleh Lienna, namanya tercantum di sana. Tapi ... proposal-proposal itu memiliki tema yang berbeda-beda, seolah bukan hanya untuk digunakan oleh Lienna sendiri. Ini seperti template untuk digunakan orang lain. Ada kesan aura yang berbeda di setiap proposalnya. Ada yang repertoarnya akan terdengar romantis, ada yang akan terdengar memilukan, dan ada pula yang mungkin akan terdengar ... kesepian. Susunan repertoarnya benar-benar beda satu sama lain.

Dan belum sempat Emir menyelesaikan kebingungannya sendiri, ia mendapat satu pesan dari Lienna.

_____
Lienna
Pakai sesuka kamu

_____

Emir seketika membelalakkan mata. Sungguh, ia tidak tahu harus menangis atau tertawa. Liennaโ€”gadis pujaannyaโ€”baru saja memberikan template proposal resital untuk ia gunakan secara cuma-cuma. Dan mungkin, mungkin seharusnya Emir merasa bahagia karena proposal resitalnya sudah menampakkan cahaya. Repertoarnya pun sudah jelas dan komplit di sana. Namun, di saat yang sama, bukankah memalukan jika ia benar-benar menggunakan template dari Lienna? Kalau begitu, bagaimana Lienna akan memandangnya? Bukankah harga dirinya akan terjun bebas begitu saja?

Gila. Ini terlalu gila.

Entah bagaimana bisa, setiap langkah yang Lienna ambil selalu di luar dugaan Emir.

Lienna benar-benar sesuatu.

to be continue

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top