๐ | ๐๐ข๐ง๐ ๐ค๐๐ข ๐ฒ๐๐ง๐ ๐๐๐๐๐ก, ๐๐๐ง ๐๐๐ฌ๐ฎ๐๐ญ๐ฎ ๐ฒ๐๐ง๐ ๐๐๐ฅ๐๐ก
MALAM yang kejam.
Emir masih tak bisa melupakan mimpi semalam. Meski kini matahari bersinar cerah, menyambut akhir pekan yang begitu hangat di taman, Emir sama sekali tak bisa merasa tenang. Ia tak bisa tertawa seperti anak-anak yang berlarian bersama orang tuanya di area Taman Ismail Marzuki, tak juga ia mampu menikmati imajinasi seperti mereka yang bersandar di pohon dan membaca buku. Emir total kalut hanya karena sebuah mimpi.
Sore iniโseperti biasaโia berada di Taman Ismail Marzuki, dan pagi tadi ia berada di Taman Suropati. Tidak perlu ditanyakan apa yang ia lakukan di dua taman itu. Karena, tidak ada lagi jawaban selain 'memuja Lienna dalam keheningannya'. Tapi, khusus untuk di pagi tadi, ia sengaja tak turun dari mobil dan hanya memandang Lienna dari dalam ketika gadis itu mengajar di Taman Suropati. Apa lagi alasannya kalau bukan karena ia tidak siap menghadapi Lienna? Sudah jelas gadis itu pasti akan menodong jawaban jika mendapati Emir duduk tenang di depan air mancur. Tapi sekarang, Emir sudah mempersiapkan diri. Ia sudah meneguhkan hati untuk menghadapi Lienna beberapa menit lagi. Ia masih menunggu, duduk menunduk di tangga Gedung Ali Sadikin dengan tangan yang saling bertautan seperti tengah berdoa diam-diam. Ia menanti Lienna menampilkan pertunjukkan kecilnya sebelum bicara lebih lanjut tentang kesepakatan mereka.
Hingga tiba-tiba, sepasang sepatu Mary Jane muncul dalam pandangan Emir yang menunduk. Sepatu yang tampak tidak asing dalam memorinya, dan membuat ia segera menengadahkan kepala.
"Emir."
Lianna berdiri di hadapannya.
Emir tertegun. Memikirkan bagaimana Lienna bisa menemukannya. Pertanyaan itu melintas secepat kilat di kepala Emir yang kala itu tak mampu berpikir keras. Ini masih beberapa menit sebelum Lienna tampil. Bahkan, ini belum memasuki waktu Lienna untuk mempersiapkan alat tempur di halaman depan Taman Ismail Marzuki. Gadis itu datang jauh lebih cepat hari ini. Dan, entah sejak kapan ia sudah menemukan Emir di sana. Presensi Lienna yang begitu tiba-tiba sudah cukup membuat Emir hilang akal dan keluar dari lamunan.
"Bangun. Saya enggak mau obrolin masalah kemarin di sini."
Emir menelan salivanya keras. Sedikit takut dengan pembawaan Lienna yang tak pernah ia kira akan begitu dingin dan menusuk, tapi dengan segera ia bangkit dari duduknya. Ia berdiri tepat di hadapan Lienna yang membakar sebatang sigaret di bibir.
Perbedaan kepercayaan diri, perbedaan tinggi, dan perbedaan suasana hati pun terlihat kontras di antara keduanya.
Setelah Emir berdiri, Lienna mendongak dan menatapnya sekilas sebelum ia menghela napas dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Apakah dia kesal? Dia marah? Dia benci? Kenapa alisnya mengerut seperti tak suka sekali dengan keberadaan Emir?
Tapi, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah Emir temukan. Lienna pun hanya diam sebelum memimpin langkah meninggalkan anak-anak tangga Gedung Ali Sadikin. Tak tahu akan dibawanya ke mana, Emir hanya ikut berjalan di belakang Lienna. Berjalan keluar dari area halaman Taman Ismail Marzuki, berbelok ke kanan dan mengikuti alur yang dibawa trotoar pinggir jalan. Emir terus mengikutinya dengan perasaan campur aduk yang berkecamuk. Emir terus membuntuti Lienna di sepanjang Jalan Cikini dengan patuh, seperti anak anjing yang menuruti keinginan majikannya. Ia terus seperti itu hingga mereka berhenti di depan sebuah kedai kopi tua.
Dengan gestur menunjuk menggunakan dagu, Lienna menyuruh Emir untuk masuk lebih dulu. Tanpa protes, Emir pun maju dan membuka pintu kayu yang sungguh ia kenal dengan baik. Suara penyambutan yang begitu ramah pun terdengar begitu Emir menunjukkan batang hidungnya. Seluruh barista di sana sudah mengenal Emir dan menganggapnya seperti bagian dari keluarga Rumah Eyang. Termasuk Dona yang selalu stand by di sana, dalam peran sebagai salah satu pengelola kedai sang kakek.
"Selamat datang di Rumah Eyang, Mas Emir."
Dona yang semula sibuk mengobrol dengan tamu, seketika menoleh kala mendengar barista-baristanya menyebut 'Mas Emir' dengan penuh keramah tamahan. Emir menangkap tatap mata Dona, dan temannya yang satu itu tampak hendak mengulas senyum tipis khas miliknya sebelum tiba-tiba ia mengubah ekspresi dalam sekejap mata. Tak ada senyum ramah dari Dona Hattala, berganti dengan sorot tajam dari dua matanya yang hitam. Sedetik, Emir sadari sorot dingin dan tajam itu tidak tertuju kepada dirinya. Melainkan, kepada seseorang yang berdiri di belakang. Gadis pujaannya, Lienna Rosaline.
"Aduduh, tumben nih Mas Emir bawa cewek."
Kejahilan seorang barista semakin menambah suasana canggung yang baru Emir rasakan. Barista muda itu membuat dirinya menoleh, dan melepas pandangan kepada Dona, beralih kepada Lienna. Gadis pujaannya yang semula berada di belakang, kini sudah berdiri di sebelahnya dan membaca papan menu di dinding tanpa sedikit pun acuh. Seolah gadis itu tidak sama sekali terganggu oleh tatapan Dona sebelumnya, atau mungkin ia memang tak menangkap tatapan tajam itu. Pula, tidak goyah sama sekali oleh godaan iseng barista di sana.
"Uhm," Emir berdeham singkat berusaha menetralkan rasa gugup, "K-Kak Lienna mau minum aโ"
"Oy! Mas Emir!"
Kali ini, seorang barista menyapanya lagi. Tampaknya baru saja kembali setelah mengantarkan minuman, karena ia datang sambil menenteng nampan. Yang satu ini, adalah yang paling muda di antara yang lain dan yang paling berani akrab dengan seorang Emir yang dingin. Biantara, namanya.ย
"Bian," balas Emir setelah pemuda itu berdiri tepat di hadapannya dan menyandarkan satu tangan di atas meja bar kayu Rumah Eyang dengan santai.
"Wih, bawa cewek nih? Pacar kah?"
Tranggg!
Gelagar suara sesuatu yang pecah seketika membuat hampir seluruh mata memandang ke satu arah. Sebuah bingkai telah jatuh dari meja kayu dan menghancurkan kaca yang melindungi foto di dalamnya. Di sana, ada seorang perempuan yang membeku di tempat, yang tengah merasakan hawa dingin merayap di punggungnya dalam sekejap. Sementara wajahnya menunduk dan membuat helai-helai rambut hitam berkilas merah itu menutupi wajah yang terkejut.
Dona Hattala tanpa sengaja menyenggol dan menjatuhkan salah satu pajangan Rumah Eyang. Kedai tua itu memang secara eksplisit memajang barang-barang antik, berseni, dan berharga untuk hiasan demi memanjakan mata para tamu. Dan siapa yang akan mengira, ketika seluruh tamu bahkan berhati-hati ketika melihat-lihat pajangan Rumah Eyang, sang pewaris malah menghancurkan salah satunya meski tanpa disengaja..
Seketika, raut Emir pun berubah menjadi khawatir, takut pecahan-pecahan kaca itu melukai Dona yang hanya mengenakan sandal terbuka.
"Donaโ"
"Bian." Suaranya memotong gumam Emir tanpa belas kasih di sana. Begitu dingin, dan dalam. "Tolong bersihkan."
Bian masih terperangah melihat bingkai yang pecah. Ia bahkan sampai menelan salivanya, seolah tak menyangka bahwa kejadian seperti ini akan terjadi tepat di depan matanya sendiri. Ia menyaksikan betapa hancurnya bingkai itu. Hingga detik demi detik berlalu, Bian masih terpaku dan membuat Dona kembali mengulang namanya dengan melebihkan penekanan yang mencekam.
"Biantara."
Satu panggilan lagi, Bian baru mendapatkan kembali kesadarannya yang sempat hilang entah ke mana. "S-siap, Mbak Dona!"
Bian yang dipanggil segera mengucap permisi kepada Emir yang masih memasang raut khawatir. Emir tampak ingin membantu Dona di sana, tapi di saat yang sama ia tak ingin meninggalkan Lienna. Lantas, ia hanya bisa diam di tempat dan menghela napas penuh penyesalan.
Di sisi lain, beberapa barista sudah mulai membantu Biantara merapikan pecahan kaca, menyelamatkan foto dari bingkai yang pecah, dan ada pula yang hendak membantu Dona. Tapi, perempuan itu menolak. Dona tak mengucap apa-apa dan menepis tangan yang ingin menolongnya. Sungguh tidak seperti Dona yang selama ini Emir lihat. Dona memang tipikal perempuan dingin dan tidak banyak bicara, tapi 'mampu bersikap kasar' tidak pernah masuk ke dalam penilaian Emir terhadap Dona Hattala. Ini benar-benar di luar dugaan.
"Umm ... ekhm, Mas Emir?"
Seorang barista perempuan yang paling pertama menyapanya di Rumah Eyang, kini memanggil namanya lagi. Dengan tersenyum, ia mengalihkan perhatian Emir dari insiden pecahnya bingkai di sana. Namun Emir tahu, senyum itu dipaksakan hanya untuk membuat keadaan menjadi sedikit lebih tenang. Karena Dona benar-benar telah menciptakan kegaduhan di Rumah Eyang.
"Mas Emir duduk dulu aja, nanti aku bawain menunya ke meja. Mas Emir duduk di atas kayak biasa, 'kan?" ujar barista itu. Emir tahu keramahannya adalah usaha untuk membuat Emir tak merasa terganggu di Rumah Eyang. Walau sebenarnya, tak perlu seperti itu pun Emir sudah bisa mengerti. Tapi, ia tetap mengapresiasi usaha barista gadis itu dengan balas tersenyum dan mengangguk.
"Kalau gitu saya tunggu di atas ya, Bita."
Lalu dengan tersenyum ramah, barista gadis itu mengangguk dan mempersilakan Emir untuk ke mejanya lebih dulu. Namun, tepat sebelum Emir ingin mengajak Lienna naik, Emir melihat gadis pujaannya menatap lurus ke arah pecahan kaca yang sedang dibersihkan di sana.
"Ricuhnya," gumam gadis itu.
"Eh?" Emir seketika mengurungkan niat mengajak Lienna ke atas. Solusi lain langsung melintas di kepalanya karena khawatir Lienna merasa tak nyaman. "M-mau pindah kafe aja, Kak?"
"No."
Emir menelan saliva. Ia benar-benar belum terbiasa dengan cara Lienna bersikap dan berbicara. Entah kenapa, kali ini Emir merasa Lienna begitu angkuh di kedai tua ini. Tapi di saat yang sama, tidak Emir mengerti mengapa Lienna tidak ingin pergi ke tempat lain.
"Kamu." Sekarang, Lienna mengalihkan pandang ke barista bertanda nama Bita dengan bintang kecil di ujung namanya. "Saya pesan strawberry milkshake."
"O-oh?"
"Strawberry milkshake. Ada masalah?"
"A-ah ... enggak, Kak. A-aku catat, ya. Satu strawberry milkshake. Ada lagi, Kak?" Barista gadis itu, Bita, tampak gugup menghadapi pelanggan seperti Lienna tapi ia masih berusaha ramah.
"Cukup."
Emir pun akhirnya menambahkan, "Kalau gitu kamu enggak usah ke atas, Bit. Saya es teh kayak biasa, ya. Oh sama bawain camilan juga, apa aja boleh terserah Bita."
Mata barista gadis itu yang semula ketakutan, kini seketika berbinar. Seolah ia baru bertemu dengan malaikat yang memberinya secercah harapan. Kata-kata terakhir Emir baru saja membuat Bita membayangkan nominal besar yang akan dibayar oleh Emir. Camilan apa saja, katanya.
"Wah ... oke, Mas! Nanti aku pilihin camilannya! Ditunggu, ya. Nanti Bian yang antar!"
Emir tersenyum, "Terima kasih, Bita."
"Dengan senang hati, Mas Emir!"
Untuk beberapa saat, obrolan singkat dengan Bita membuat Emir melupakan kegugupannya. Ia bahkan tetap tak meluruhkan senyum setelah berbincang dan kembali memutar badan menghadap Lienna. Kebetulan, mendapati gadis pujaannya itu tengah bersedekap dengan kepala yang sedikit dimiringkan.
"Tipikal. Ramah ke semua orang, hm?"
"A-ah?" Emir mendadak garuk-garuk kepala, padahal tak ada yang gatal juga. "A-anu ... itu ... saya udah lama kenal barista di sini, Kak. Bian dan Bita."
Lienna tak peduli. Sepertinya, ia tidak membutuhkan jawaban apa-apa dari ucapannya yang ditujukan kepada Emir. Karena setelah Emir menjawab, Lienna hanya mengedikkan bahu dengan tak acuh dan berjalan meninggalkan Emir menuju ke lantai dua.
"K-Kak Lienna! Kak ...!"
Seperti anjing yang mengejar pemilik, Emir tak mau ditinggal oleh Lienna begitu saja. Mungkin, mungkin ini akan terdengar lancang jika Emir merasa Lienna telah menunjukkan gelagat kecemburuan. Ah, buru-buru Emir tepis pemikiran tak masuk akal itu.
Segera, ia menyusul ke lantai dua, dan dengan tergesa-gesa menyamakan langkah Lienna yang berada di depannya. Meskipun setelah itu, jantungnya mulai kembali berdebar tak karuan, dan ketakutan menghadap Lienna semakin membesar. Karena kini, ia benar-benar dekat. Benar-benar hanya berjarak sejengkal antara bahunya dan bahu Lienna.
Emir tak lepas menatapnya.
Hingga tiba-tiba, tak ada lagi pergerakan dari sang gadis setelah beberapa langkah meninggalkan anak tangga terakhir.
Tak tahu apa yang terjadi. Tapi entah ada angin dari mana, tiba-tiba terukir senyum di atas bibir merah muda nan cantik milik seorang Lienna. Emir melihatnya dari samping, Lienna tengah tersenyum setelah sedetik ia berhenti melangkahkan kaki.
"K-Kak Lienโ"
"Dona ... Hattala."
Deg. Jantung Emir nyaris menyentuh inti bumi. Matanya terbelalak, jantungnya merasakan ketegangan yang tidak mengenakkan. Baru saja, benar-benar baru saja, ia melihat Lienna mendengkuskan sekilas tawa tepat setelah menyebut nama Dona Hattala. Sungguh, ada apa di antara mereka?
Emir menoleh, Dona memang benar ada di sana. Beberapa meter di depan, melewati beberapa meja yang kosong di lantai dua. Dona duduk di ujung Rumah Eyang, di balkon, di tempat biasa ia duduk bertiga bersama (Emir, Dion, dan Dona). Helaian rambut hitam berkilas merah itu tertiup angin lembut, tapi tak menutupi ekspresi Dona sama sekali. Gadis itu datar menatap Emir dan gadis pujaannya. Dona tak mengulas senyum seperti Lienna, Dona hanya duduk diam di sana seolah sudah menunggu-nunggu kedatangan mereka.
Tegangan ini benar-benar tak enak. Ruang besar Rumah Eyang pun mulai terasa sesak. Kalau saja Bian tidak tiba-tiba muncul dengan nampan di tangannya, mungkin sudah banyak skenario yang terjadi di sini, skenario-skenario yang ada dalam bayangan kepala Emir.
"Mas Emir!" Bian muncul dari belakang dirinya, dari arah tangga. "Strawberry milkshake dan ice tea! Duduk di mana, Mas?"
"O-oh iya. Di ...."
Maklum, Emir selalu gagap sekarang. Selalu begitu karena ada Lienna di sampingnya. Jadi gugup bukan main.
"Di sana. Di meja balkon itu." Lienna yang menjawab tanpa menatap kepada yang bertanya, pandangannya lurus ke arah Dona Hattala.
"E-euh?" Bian mengerutkan ekspresi bingung. Melirik Lienna sekilas, lalu melirik Emir lagi. "Ha ... di sana ada Mbak Dona, Mas Em. Gimana dong? Gabung aja?" Bian tampak ragu mengganggu meja Dona. Ia bertanya kepada Emir dengan melirik-lirik tipis ke arah Lienna yang tampak tak goyah sama sekali dalam menatap gadis di ujung sana.
"Di sebelahnya. Di sebelah meja Dona Hattala."
Lagi-lagi, Lienna yang menjawab. Dan kini sudah tidak bisa disanggah lagi, Emir pun memberi gestur anggukan kepala kepada Bian untuk menuruti perintah Lienna. Mau tak mau, Bian mematuhinya. Meski raut wajah pemuda itu tampak jelas sekali menunjukkan ketakutannya untuk melangkah maju, dan mendekat ke arah meja bos besar di Rumah Eyang.
Tanpa banyak bicara, Lienna pun melanjutkan langkahnya. Emir lagi-lagi hanya bisa mengikuti, tidak ada protes sama sekali. Bahkan sampai ia duduk di meja yang Lienna pilih, meja bundar yang tepat berada di sebelah meja Dona, Emir masih diam seribu bahasa. Ia hanya bisa melirik Dona dengan penuh ketidakpahaman tentang ketegangan apa yang sedang terjadi sekarang, dan melirik Lienna yang tampak santai berterima kasih kepada Bian setelah minumannya diantar.
Bian pun pergi, kembali ke bawah, mengurus pesanan yang lain. Lantas kini hanya tersisa Emir, Lienna, dan Dona di lantai dua Rumah Eyang.
"So ... Emir," Lienna membuka pembicaraan sambil mengaduk-aduk strawberry milkshake di hadapannya dengan bosan. "Apa yang kamu mau dari saya?"
Emir menelan saliva begitu ditembak pertanyaan Lienna. Sekilas, ia lirik ke meja samping dan melihat bagaimana Dona bereaksi atas pertanyaan Lienna ini. Tapi teman yang satu itu tidak memberikan reaksi apa-apa. Ia hanya bersedekap dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menjepit sebatang kretek. Tatapannya lurus mengarah kepada deret meja-meja Rumah Eyang yang kosong di sore hari ini. Tidak melihat ke arah Emir dan Lienna yang ada di sisi kirinya.
"Sudah waktunya kamu kasih jawaban ke saya, right?"
"I-iya, Kak."
"Jadi ...?"
Proposal resital. Jadiin proposal resital sebagai jawaban.
Menjadi pengagum Kak Lienna pun sudah sebuah berkat untuk saya. Apa lagi yang bisa saya harapkan? Apa lagi yang bisa saya minta?
Minta bantuan untuk proposal resital bukan hal yang gila, Em.
Itu yang kamu mau? Kamu mau selalu mengagumi saya?
This is temporary, Emir. At the end, lo tetap harus jauhin Lienna. Or maybe there's still hope, but still ... sometimes things don't go our way.
Suara-suara itu bersahut-sahutan di kepala. Suara dari mimpi, suara Dion, dan suara Dona. Emir tiba-tiba tidak berdaya memberikan sebuah jawaban kepada Lienna. Apa yang sebenarnya ia inginkan pun ia tak paham. Tak ada hal spesifik yang ia mau selain hanya memandangi Lienna dari jauh.
Saya anggap ini masalah di antara kita berdua. Tapi kalau kamu masih belum juga kasih saya jawaban minggu depan, terpaksa saya harus bawa orang lain ke dalam masalah ini.
"Emir?" Jemari Lienna mengetuk-ngetuk meja yang membatasi mereka. "Hello?"
Dan seketika, Emir keluar dari lamunannya.
"A-ah ... m-maaf, Kak."
"Maaf diterima." Lienna pun berhenti memainkan milkshake dan mulai meminumnya. "Jadi, apa yang kamu mau? Jangan sengaja ulur-ulur waktu di sini. Jawab sekarang, atau betul saya akan tarik orang lain untuk kasih kamu pelajaran."
Mimpi semalam sekelebat melintas dalam bayangan. Emir ingat, dirinya dipukul oleh seseorang yang wajahnya tak bisa tergambar jelas. Haha, tidak. Ia tidak mau sampai dihajar begitu sebagai imbas dari 'memuja Lienna' dalam rahasia.
"Masih mau diam? Oke, kalau gitu terpaksa sayaโ"
"P-proposal resital!"
Hening. Lienna mengernyit dalam seketika. Tangannya yang hendak meraih ponsel pun berhenti, karena mendengar jawaban Emir yang cukup mencengangkan.
Sorot mata Lienna kini memandang seorang pemuda yang tampak mengerahkan seluruh bala tentara dari dalam dirinya hanya untuk berani mengutarakan sebuah permintaan.
Wajah cemas yang tak lepas dari seorang Emir Soerjotomo, lantas membuat Lienna menarik tangannya dari ponsel dan memusatkan perhatian pada si pemuja rahasia. Lienna mengulas sebuah senyum kecil, dan membenarkan posisi duduknya menjadi lebih nyaman. Lienna tampak ingin mendengarkan permintaan itu dalam detail lebih lanjut. Mungkin, Lienna berpikir ini adalah permintaan yang di luar ekspektasinya.
"Proposal resital?" tanyanya.
"I-iya, Kak. Proposal resital." Emir takut-takut mengulang permintaan yang sebetulnya tak ia minta tapi terpaksa ia katakan. "S-saya mau ... Kak Lienna bantu saya susun proposal resital saya, Kak."
Lienna masih diam untuk sejenak, mendengar dan mencerna permintaan Emir dengan baik.
Detik demi detik habis dengan keheningan Lienna. Gadis itu hanya menatap lurus ke arah Emir yang sudah gelisah. Beberapa kali Emir memberanikan diri untuk membalas tatapan lurus itu, tapi di semua kesempatan ia malah menarik dirinya lagi. Ia tidak pernah menjadi Emir Soerjotomo yang berani kepada Lienna Rosaline.
Sekejap, terdengar dengkusan tawa yang tidak Emir pahami untuk apa. Lienna tampak cantik dengan tawa sinis itu, tapi sedikit membuat Emir merinding di saat yang bersamaan. Kali ini, ia telah mencoba lagi untuk memberanikan diri menikmati kecantikan tawa gadis pujaannya. Namun, apa yang ia dapat adalah, gadis itu tiba-tiba menoleh ke kanan. Lienna menoleh ke arah Dona yang menatap kosong lurus ke depan. Lalu si cantik pun tersenyum singkat, dan baru setelahnya mengembalikan pandangan ke arah ia yang tengah menanti tanggapan.
"Emir ...."
"Y-ya, Kak Lienna."
"Proposal resital." Lienna mendengkuskan tawa lagi. "Kamu bercanda?"
Emir menggeleng buru-buru.
"Yah, kalau gitu saya rasa saya paham kamu punya ide ini dari mana."
"Euh ...?"
"Minum dulu. Setelah itu, coba sadarkan diri kamu. Jangan tiba-tiba gila. Pikir lagi, apa yang baru aja kamu minta dari saya."
Dengan polos, mata Emir mengerling ke arah es teh manis di sisi kanannya. Lalu melirik Lienna, lalu melihat es teh manisnya lagi. Sekelebat ia teringat memori satu minggu lalu di Taman Suropati, tentang puntung rokok yang mengambang di atas es teh manisnya.
Terlalu banyak berpikir, Emir pun memejamkan mata dan bergeleng kepala, mengusir pikiran-pikiran itu.
Lalu dalam keheningan singkat, Lienna kembali memusatkan pandang ke arah perempuan bernama Dona Hattala. Emir mengikuti arah pandangnya diam-diam sambil menyedot es teh manisnya. Dona masih tidak menoleh ke arah meja mereka. Dona hanya menatap lurus, entah menatap meja, entah menatap pigura, entah menatap lukisan-lukisan di dinding Rumah Eyang.
Lagi-lagi, untuk alasan yang tidak Emir mengerti, Lienna tiba-tiba kembali tersenyum. Lienna sungguh tidak pernah tersenyum dengan sengaja kepada dirinya, tapi hari ini gadis itu sudah beberapa kali Emir dapati tersenyum ke arah Dona. Senyum yang ...terasa aneh, tapi cantik di mata Emir.
"Jadi, Emir ... kamu mau saya bantu proposal resital kamu? Itu yang kamu mau?"
Lienna mengatakannya tidak dengan repot-repot menolehkan kepala, Lienna masih memandang lurus ke arah Dona. Emir pun merasa ragu untuk menjawab, ia lantas hanya bisa mengangguk kecil dan menundukkan kepala.
"Enggak ada lagi hal lain?"
Emir bergeleng.
Kali ini, Lienna mengembalikan pandangannya kepada sang pemuja rahasia. Gadis itu diam untuk sejenak, dan Emir yang sempat mengangkat kepala untuk melihat Lienna, seketika menunduk lagi begitu ia dapati gadis pujaannya sedang memandang dengan begitu serius. Lienna tampak sedang berpikir, mempertimbangkan permintaan Emir untuk sekali lagi.
Demi semesta dan segala isinya, sesungguhnya Emir pun tak mau mengikuti alur Lienna. Tapi di saat yang sama, ia tak bisa menghentikan gadis pujaannya. Ia menuruti. Ia mematuhi. Ia tidak bisa berkata tidak kepada Lienna Rosaline.
"Oke."
"Hm?" Emir spontan mengangkat kepala setelah mendengar persetujuan Lienna.
"Saya bantu kamu. Kita deal dengan proposal resital. Setelah selesai, kamu harus berhenti ikuti saya ke mana-mana lagi. Paham?"
Emir diam. Mau mengangguk, hatinya ragu. Mau menggeleng, pikirannya terganggu. Mau bagaimana lagi? Ia sudah benar-benar buntu. Akhirnya, terpaksa ia anggukan kepalanya dengan lesu. Mau tak mau, ia harus melawan keperihan hatinya.
"Paham, Kak."
"Dan kalau kamu masih aja ikuti saya ...." Untuk alasan yang tidak Emir ketahui, entah kenapa Lienna sekali lagi melirik sekilas ke arah Dona sebelum melanjutkan kalimatnya. "Terpaksa, saya harus buat kamu berhenti dengan cara saya sendiri. Enggak akan ada lagi warning seperti sekarang ini."
Pada titik itu, Emir merasa benar-benar dalam masalah besar. Dari ekspresi dan nada bicaranya yang tenang namun dingin, Lienna sama sekali tak terdengar main-main. Mungkin seharusnya, kini ia merasa sedikit beruntung karena Lienna masih bersikap 'baik' kepadanya, tidak secara langsung 'memaksa' Emir berhenti mengikutinya. Namun, tetap saja, hati kecil Emir masih merasa sedih.
"Saya anggap kamu paham apa yang saya bilang. Sekarang, tentang proposal kamu. Sejauh ini, sudah sampai mana progresnya?" Lienna bertanya. Tapi kali ini, gadis itu sambil sibuk menuliskan sesuatu di secarik kertas yang ia ambil dari dalam tas.
"Progresnya ...."
"Kasih detailnya ke saya malam ini." Lienna mendorong secarik kertas yang telah ia tulis di atas meja. "Saya tunggu."
Sungguh, sungguh, sungguh! Emir membelalakkan matanya. Tak pernah ia kira, ia akan mendapatkan nomor pribadi Lienna. Matanya membelalak tak percaya menatap deret nomor telepon Lienna di atas secarik kertas. Berkali-kali ia bolak-balik menatap Lienna dan menatap kertas itu, masih tak bisa menyangka ia mendapat berkah di tengah ketegangan luar biasa.
"K-Kak, ini ...."
"Saya harus pergi sekarang. Saya anggap kita sudah sepakat, Emir. Kabari saya malam ini soal proposal kamu."
Emir buru-buru bangkit begitu melihat Lienna bangkit. Gerakan secepat kilat ini sontak mengundang Dona menatap ke arah mereka berdua. Lienna pun menangkap tatapan mata Dona, dan ia tersenyum dengan maksud yang tak Emir pahami. Tapi, agaknya Lienna mengerti mengapa Emir tiba-tiba bangkit seperti ini.
"Santai. Saya bisa sendiri. Saya bukan anak kecil yang perlu ditemani ke mana-mana."
"U-uh ... kalau gitu, saya antar sampai depan kedai, Kak."
"Emir, sekali lagi. Saya bukan anak kecil, 'kan?"
Baiklah, Lienna dan pertanyaan retoriknya. Siapa yang bisa dan berani menyangkal? Emir pun tak bisa menyanggah dengan apa-apa. Detik kemudian, ia membiarkan Lienna pergi sendiri, meninggalkan Rumah Eyang dengan strawberry milkshakenya yang hanya diminum seperempat. Gadis itu bahkan tidak menanti sampai camilan pilihan Bita datang.
Lienna pergi setelah urusannya selesai.
Kini, tinggal Dona dan Emir di balkon yang berangin. Ada hening yang menemani, tapi hanya sampai setelah Lienna tak tampak lagi dalam pandangan mereka. Emir membuka suara.
"Dona, hmm ada ... ada sesuatu sama Lienna?"
to be continue
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top