๐Ÿ“ | ๐€๐ง๐ ๐š๐ง ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐Œ๐ž๐ฆ๐›๐ฎ๐š๐ญ ๐Š๐ž๐ฌ๐š๐ค๐ข๐ญ๐š๐ง

KATA Lienna, Minggu di Taman Ismail Marzuki adalah waktu terakhirnya. Lantas di Jumat sore yang cerah, di tempat Lienna bermain biola, Emir belum mengutarakan permintaannya. Ia hanya memandang dan menikmati alunan melodi dari sang gadis pujaan, tanpa berani melangkah maju untuk mengatakan apa yang ia inginkan. Yang sebetulnya, tak benar-benar ia inginkan juga. Tapi keadaan sungguh mendesak, dan Emir tahu hal itu. Lienna tak nyaman dengan keberadaannya, dan kenyataan tersebut membuat perasaan Emir sedikit berubah. Tapi bukan, bukan berarti rasa cinta Emir berkurang dalam hati. Namun, lebih kepada munculnya kekecewaan terhadap diri sendiri.

Ditambah lagi, ada beban-beban pikiran selama Emir berdiri di tengah kerumunan. Tentang bagaimana Lienna tahu bahwa ia selalu berada di mana pun Lienna bermain biola, tentang sejak kapan Lienna sudah mengetahuinya, tentang mengapa Lienna seolah mengusir keberadaannya ketika ia tak pernah memiliki secuil niat untuk mengganggu.ย 

Emir paham, mungkin memang caranya memuja Lienna sedikit menyebalkan. Namun, ia sungguh-sungguh tulus dan tidak mengharapkan apa pun. Sayang sekali, Lienna tidak mengerti tentang hal itu.

Lalu ketika Sabtu datang, Emir pun masih belum memberikan jawaban. Padahal, jawaban sudah ada di tangannya. Proposal resital itu memang bukan ide yang buruk. Sama sekali bukan. Yang membuat dirinya menjadi sendu di bawah langit gelap adalah fakta bahwa ia harus menyudahi pemujaannya terhadap Lienna setelah proposal itu selesai. Sudah lama sejak terakhir kali ia merasa kacau balau, dan malam itu ia baru merasakannya lagi.

Meski begitu, ia tak pernah lupa untuk memberikan apresiasi di setiap pertunjukkan kecil Lienna. Ia melakukan dan memberikannya dengan jumlah yang sama, tanpa membeda-bedakan ataupun mengurangi meski hatinya sedang sedikit kacau. Apa pun yang Lienna lakukan padanya, tak cukup mampu untuk membuat Emir melupakan perasaannya begitu saja.

Hingga hari itu pun tiba. Minggu, malam di Taman Ismail Marzuki.

Emir tetap berdiri di sana sebagaimana rutinitasnya sebagai pengagum rahasia yang kini sudah bukan rahasia lagi. Namun, ia masih mengenakan topi dan masker hitamnya. Selalu begitu setiap kali ia berada di jarak yang dekat untuk memuja Lienna. Selalu begitu setiap kali ia mendengarkan alunan biola di tengah kerumunan. Agaknya, sudah menjadi kebiasaan Emir yang selalu mengenakan aksesoris itu. Masker dan topi hitam sudah menjadi sahabatnya sejak kali pertama ia memuja pertunjukkan Lienna.ย 

Hanyut dalam melodi, terhipnotis layaknya melihat kecantikan seorang dewi, Emir tertegun tanpa bisa bergerak ataupun berkata-kata. Beberapa penonton di sana bertepuk tangan, tapi tidak dengan Emir. Beberapa yang lain maju memberikan uang ke dalam tas biola yang tergeletak, tapi lagi-lagi tidak dengan Emir. Ia terdiam di tempatnya berdiri. Hingga sampai pada saat kerumunan perlahan bubar, hanya ada ia dan Lienna yang sama-sama diam di tempat dengan saling bertukar pandang. Tak ada senyum yang terukir di sana. Tak ada juga kata-kata. Hanya ada hening yang melanda pasca selesainya pertunjukkan kecil Lienna.

Satu kedipan mata, Lienna pun buka suara.ย 

"Sudah decide apa yang kamu mau dari saya, Emir?"

Keheningan pecah oleh Lienna yang menembak Emir begitu saja. Sungguh bukan awalan yang pernah Emir harapkan.ย 

Bukan begini juga hubungan yang ia bayangkan di mimpi-mimpinya. Amat sangat tidak apa-apa bagi Emir jika memang takdirnya hanya sebatas menjadi pengagum rahasia seorang Lienna. Asalkan, tidak berputar menjadi seperti ini. Emir memuja Lienna tanpa pamrih. Emir mengagumi Lienna tulus dari dalam lubuk hati. Kenyataan bahwa Lienna merasa tak nyaman dan mengharuskannya untuk pergi sungguh membuat Emit sakit.

Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Lienna, benar-benar tidak sanggup rasanya. Tapi, malam itu ia setengah mati menyanggupi diri untuk melangkah maju. Kedua kakinya membawa ia kepada Lienna dengan jarak yang jauh lebih dekat. Hingga yang menjadi pembatas hanya sebuah tas biola yang terbuka dengan uang-uang di dalamnya.

"Jadi, apa yang kamu mau dari saโ€”"

Lienna terhenti, pun terbelalak. Emir menunduk, merendahkan tubuh dan berlutut dengan satu kaki. Tidak, ia tidak sedang menyembah Lienna. Namun, memberikan apa yang semestinya ia berikan setelah menonton sebuah pertunjukkan. Lembar-lembar uang merah muda Emir letakkan di sana. Seperti biasa, tampak kontras dengan warna uang yang lainnya. Dan betapa Emir menghormati Lienna, tak ia letakkan uang itu dengan tidak sopan. Tak ia lempar, ia meletakannya dengan penuh kasih.

"Emir."

"Penampilan indah malam ini, Kak Lienna." Emir masih berlutut dengan satu kaki. Menunduk, tak kuasa memandang sang gadis pujaan. Ia tidak siap menghadapi ekspresi dingin dari gadis pujaannya. Jadi, ia bertahan pada posisi ini untuk sekadar berbicara. "Dan ... saya enggak berharap apa-apa. Menjadi pengagum Kak Lienna pun sudah sebuah berkat untuk saya. Apa lagi yang bisa saya harapkan? Apa lagi yang bisa saya minta?"

Tak ada jawaban. Lagipula, mungkin Lienna tahu, itu pertanyaan retorik yang tak perlu ia jawab. Emir hanya sedang menegaskan, bahwa dirinya sungguh-sungguh dalam menjadi seorang pengagum Lienna Rosaline.

"Begini pun saya bersyukur, Kak Lienna. Enggak berharap apa-apa lagi. Sekadar masih bisa lihat Kak Lienna main di sini, di Taman Suropati, atau berlalu-lalang di kampus, sudah lebih dari cukup."

Mungkin, orang-orang yang melihat akan mengira bahwa seorang pemuda sedang menyatakan cinta hingga berlutut di hadapan gadis pujaannya. Mungkin, mereka mengira bahwa pemuda itu sungguh berani menyatakan cinta di sebuah tempat umum yang mampu mengundang banyak mata memandang. Atau mungkin, ada skenario-skenario manis lain dari mereka-mereka yang melihat pemandangan ini. Namun, tak ada yang tahu bahwa sebenarnya tidak seperti itu.

"Emir, angkat kepalamu."

Emir bergeming. Enggan mematuhi. Ia tidak mau menatap Lienna, ia tidak akan berani. Namun, alangkah aneh angin di malam hari itu. Embusannya mampu membuat Lienna merendahkan tubuh, menyejajarkan diri dengan Emir yang berlutut. Lienna berjongkok di hadapannya, memeluk lutut dengan satu tangan, lalu tangan lainnya yang mengenakan cincin perak di ibu jari sebelah kanan, terulur dan mengusap bahu Emir yang gemetar.

Perlahan, Emir lantas mengangkat kepala. Kedua matanya memandang lurus ke dalam manik mata Lienna yang segelap obsidian. Lienna masih berusaha mendekatkan wajah, hingga jarak mereka kini terlalu dekat. Emir tidak bisa lagi menahan debaran di dalam dada ketika sisi wajahnya mampu merasakan embusan hangat dari napas sang gadis pujaan. Tapi, sungguh sebuah kesalahan fatal ketika Emir membayangkan bibir merah itu akan mendarat di atas bibirnya. Betapa lancang ia bisa memikirkan hal intim seperti itu. Dan pada kenyataannya, Lienna memang tidak pernah bertujuan kepada bibir Emir. Namun, ia mendekat ke telinganya. Berbisik dengan nada yang aneh yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Terasa mengintimidasi, dingin, tapi manis di saat yang bersamaan.

"Itu yang kamu mau? Kamu mau selalu mengagumi saya, Emir?"

Emir bergeming, tidak tahu harus berbuat apa. Dirinya, pikirannya, seluruh tubuhnya membeku dalam seketika.

Tak ada jawaban, Lienna pun sedikit melirik ke bawah dan melihat jakun Emir yang bergerak. Dia baru saja menelan saliva? Lienna terkekeh kecil melihatnya.

Tahu bahwa Emir sedang berada dalam situasi dan posisi seperti terbelenggu di sini, Lienna pun kembali menarik diri. Ia kini melirik sekilas ke arah lembar-lembar uang pecahan seratus ribu yang semula Emir letakkan di dalam tas biolanya. Ia tahu, Emir memang selalu memberikannya lebih daripada orang lain. Sudah banyak yang ia terima dari pemuda yang berlutut di hadapannya. Agaknya, hati Lienna pun dibuat sedikit melunak. Ia tersenyum sebelum menatap Emir, dan dengan lembut menangkup pipi pemuda itu.

"Emir, kamu mau selalu mengagumi saya?" Ia bertanya sekali lagi. Dan kali ini, Emir mati-matian berusaha menjawabnya meski hanya dengan sebuah anggukan kepala.

Lienna pun seketika tampak tersenyum puas setelah mendapat jawabannya. Ia berkata, "Kalau begitu, do as you wish. Lakukan sesuka kamu. Bagaimana kamu mau mengagumi saya, dengan cara apa, apa yang mau kamu lakukan, terserah. Saya balas semua kebaikan kamu dengan itu. Cukup?"

Mendengarnya, jelas membuat Emir membelalakkan mata tak percaya. Sekuat tenaga, sepenuh hati, dan dengan seluruh keberanian yang ia miliki, ia pun menjawab gadis pujaannya dengan bibir yang gemetar.ย 

"L-Lebih ...." Perlahan-lahan, dan benar-benar dengan suara yang pelan. Emir berusaha untuk menjawab dengan kata-kata, sambil menatap Lienna ke dalam indah bola matanya. "Lebih dari cukup, Kak Lienna."

Lantas, malam itu berakhir dengan senyum penuh kelegaan dari seorang pemuja rahasia, juga sebuah senyum kemenangan dari ia yang dipuja. Keduanya sama-sama bertukar senyuman dalam tatap mata di gelapnya malam. Tidak memedulikan sekitar, tidak memedulikan siapa saja yang memandang, hingga membuat mereka tak sadar bahwa di kejauhan sana ada sepasang mata yang tak sedikit pun lepas dari mereka.

Dan ... bugh!!!

Seseorang menumbuk Emir hingga ia jatuh tersungkur di hadapan Lienna.

Detik itu juga, Emir pun terbangun dari mimpinya.ย 

ยง

๐‘ก๐‘œ ๐‘๐‘’ ๐‘๐‘œ๐‘›๐‘ก๐‘–๐‘›๐‘ข๐‘’

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top