๐ | ๐๐ฎ๐ฆ๐๐ก ๐๐๐ซ๐ฉ๐ฎ๐ฅ๐๐ง๐ , ๐๐ฎ๐ฆ๐๐ก ๐๐ฒ๐๐ง๐
SERIBU kabut menutupi imajinasi. Pikirannya terkunci, terbelenggu, terkurung dalam pertanyaan yang jawabannya tak kunjung ia temukan.
Emir Soerjotomo mutlak terlihat tak kalah layu dari setangkai mawar putih di atas meja kayu. Teh yang disajikan khusus untuknya oleh barista di kedai tua nan otentik dan klasik itu bahkan sudah satu jam tak ia sentuh. Agaknya, ia kini memiliki sedikit isu dengan segelas teh. Bagaimanapun, suasana hatinya dan tenaganya tak kunjung pulih meski Dona dan Dion sudah berada di sana untuknya. Keadaan Emir sungguh membuat kedua teman yang sama-sama duduk di balkon Rumah Eyang turut merasa prihatin. Mereka sudah tahu kasusnya seperti apa, dan mengapa Emir tampak begitu menyedihkan untuk pertama kalinya dalam konteks pemujaan terhadap Lienna.
Biasanya, setelah menghabiskan Minggu pagi di Taman Suropati dan melewati sore di Taman Ismail Marzuki, pemuda itu datang ke Rumah Eyang dengan wajah berbinar terang. Seolah bintang menerangi malam-malamnya, seolah pancaran senyuman dari sang gadis pujaan mampu meluluhlantakkan seluruh beban. Namun, kali ini di balkon Rumah Eyang, Emir tampak seperti tertimpa malapetaka. Seolah Lienna baru saja mengutuknya.
Bahkan, denting piano yang menenangkan di Rumah Eyang pun tampak tak cukup mampu membuat Emir merasa tenang. Ia terlalu gelisah, dan begitu jelas terukir di raut wajahnya. Dona tak tahu harus berbuat apa, Dion pun tak bisa berkata apa-apa selain menyalahkan.ย
"Kan, baru gue bilang kemarin. 'Jangan sampai ketahuan,' Penguntit."
Sudah jelas, kata-kata Dion barusan sama sekali tidak menghibur. Tidak juga memberikan pencerahan. Walaupun tidak terdengar begitu menyebalkan seperti sepekan lalu, tapi kata-kata Dion kini mampu membuat Emir kalang kabut dalam pikirannya sendiri.
Sementara yang paling tenang di sana, Dona, masih memilih untuk diam dan memainkan hiasan meja berupa pahatan kayu. Kedai tua milik kakeknya itu memang lekat dengan konsep tempo dulu, tampak seperti kedai yang sudah berdiri selama setengah abad. Lantas, Dona yang sudah lelah mengurus kedai tuanya di hari Minggu yang ramai, tampak tak menaruh atensi lebih pada masalah Emir. Walau sebenarnya, diam-diam begitu ia juga sedang berpikir sambil mengisap sebatang kretek.
Emir tak menyahuti ucapan Dion sama sekali. Ia diam, menatap kosong seperti patung tak bernyawa. Hampir-hampir terlihat seperti pahatan yang sengaja dipajang sebagai hiasan kedai. Wajah nyaris sempurna, tapi tak memiliki jiwa. Dion berdecak kesal melihat Emir yang seperti itu, dan menarik napas hendak mengocehi Emir dengan mulut serampangannya lagi. Namun, tepat sebelum semua itu terjadi, kakinya di kolong meja diinjak oleh Dona yang menatapnya dengan tajam. Seketika, membuat Dion berhenti.
Kali ini, Dona yang mengambil andil di tengah kekosongan percakapan. Sejujurnya, ia sudah lelah memikirkan solusi, kretek yang ia isap habis juga tak membantu sama sekali. Namun, daripada mendengarkan ocehan Dion yang justru berpotensi memperkeruh, Dona pikir lebih baik ia yang buka suara. Dona Hattala, si penenang suasana.ย
"Kadang-kadang, memang ada hal yang terjadi di luar dugaan, Em."
Dion mengangguk, setuju dengan Dona yang masih menginjak kakinya untuk menahan dirinya bicara. Tapi sebetulnya, agak sia-sia juga. Karena Dion tak selamanya menurut kepada Dona.ย
"Apa pun yang Emir sebut nanti, konsekuensinya ya jauhin Lienna." Dion tetap menimbrung, meski setelahnya Dona menginjak kakinya lebih kuat dan membuat Dion meringis, menahan suaranya agar tak mengaduh kencang.
Apa yang Dion katakan, mereka sudah tahu hal itu. Memang itu alasan mengapa mereka duduk melingkar di meja balkon Rumah Eyang, dan tampak seperti sedang menghadiri pertemuan atas kegagalan. Semuanya murung karena Emir yang termenung atas kesepakatan Lienna yang dibuat sepihak.
"Tapi, Em. Kalau gagal kasih jawaban Minggu ini, konsekuensinya apa?"
Pertanyaan Dona membuat memori Emir kembali kepada pagi tadi di Taman Suropati. Sebelum Dona mempertanyakan hal itu, Emir sudah lebih dulu mendapat peringatan dari Lienna tepat sebelum gadis itu pergi setelah membuang puntung rokoknya ke dalam segelas teh. Emir masih ingat betul bagaimana kata-katanya.
"Saya anggap ini masalah di antara kita berdua. Tapi kalau kamu masih belum juga kasih saya jawaban minggu depan, terpaksa saya harus bawa orang lain ke dalam masalah ini. Dan saya khawatir, kamu enggak akan baik-baik aja. Jadi, lebih baik kamu pikirkan apa yang saya bilang, kalau kamu enggak mau saya anggap musuh. Apa yang saya lakukan sekarang, itu karena saya masih anggap kamu sebagai adik tingkat saya. Saya mau masalah ini selesai dengan baik-baik. Pikirkan, Emir. Ini semua demi kebaikan dan kenyamanan bersama. Begitu, kata Lienna."
Lantas, kompak terdengar embusan napas berat dari Dion dan Dona yang bahunya lemas seketika.
"So, Lienna punya guardian, huh?" ejek Dion.
Dona tidak berani menanggapi apa-apa. Ia takut salah bicara dan semakin menyakiti hati Emir. Ia tidak seperti Dion yang mudah menyuarakan seluruh dugaannya.
"Gokil juga si pirang ini." Dion bergeleng kepala.ย "Ya udahlah. Gue prefer Emir ditemuin aja sama si so-called-guardian Lienna. Mungkin aja hantaman si so-called-guardian ini bisa bikin lo sadar, Em, kalau lo tuh kelewatan."
"Tau dari mana Emir bakal dihantam?" balas Dona, yang akhirnya membuka suara. Nadanya tenang, tapi terdengar seperti tak senang dengan dugaan Dion.
Dion mengedikkan bahu, "Bukannya memang itu yang bakal terjadi kalau cewek ngadu ke 'someone' dan bilang ada cowok aneh yang ngikutin dia ke mana-mana?"ย
Dona lantas menghela napas. Injakan kakinya atas kaki Dion sama sekali tidak berpengaruh apa-apa. Mulutnya lebih lancar berbicara daripada diam dan menahan sakit. Dona menarik kakinya kembali, Dion memang tidak pernah bisa dihentikan.ย
Dan di saat yang sama, Emir yang sedang menjadi sorotan utama terdengar mengembuskan napas dengan begitu berat. Seolah dunia akan hancur sebentar lagi.ย ย
"Jadi ... ini akhirnya?"
Suara putus asa itu membuat dua teman lain di meja bundar saling bertukar tatapan. Ada rasa iba yang menyelimuti diri mereka ketika mendengar suara lembut Emir. Tak hanya Dona, Dion pun sama ibanya kepada si pemuja rahasia.
Tapi tetap, Dion dan Dona memiliki kepribadian yang berbeda meski rasa yang dimiliki sama. Cara Dion menanggapi kesenduan dan kegelisahan Emir memang agak menjengkelkan. Lain dengan Dona yang cenderung lebih bisa membuat seseorang tenang.ย
Ketika itu, Dion memutar bola mata dengan malas dan berdecak kasar setelah mengakhiri tukar pandangnya dengan Dona. Ia sudah gemas betul dengan Emir yang baru saja terdengar putus asa, dan Dona yang tidak memikirkan solusi apa-apa. Dion pun mendadak marah-marah. Meski ia masih heran dengan motif Emir menguntit Lienna, ia tetap teman Emir yang tidak akan tega melihatnya putus asa.
"Hadeh, hadeh, pusing juga gue jadinya. Coba dipikir dulu lah, Em. Masa iya enggak ada ide sama sekali? Kebiasaan sih lo, pikir pendek. Pantes aja proposal resital enggak kelar-kel ... eh?" Sesuatu muncul di kepala Dion. Pemuda itu tiba-tiba berhenti marah-marah. Alisnya masih tetap mengernyit, tapi bukan lagi menampakkan ekspresi kesal. Kali ini, ia lebih seperti tengah berpikir keras. Dan sejurus kemudian, ia tiba-tiba tersenyum cerah sampai menampakkan jajaran giginya. Lalu ia mengangguk-angguk angkuh,ย bangga kepada dirinya sendiri karenaย mulut serampangannya telah memberikan alternatif solusi. "Yes! Proposal resital! Bravo Dion, bravo!" monolognya.
Tak ada yang mengerti. Ada apa gerangan dengan 'proposal resital' yang membuat Dion sampai berhenti marah-marah, dan menaruh atensi lebih pada permasalahan ini.
"That's it, Soerjo! Jadiin proposal resital sebagai jawaban."
Dona diam seribu bahasa, tapi Emir mulai tampak menggantungkan sebuah harapan pada sang pencetus ide. "G-gimana?" tanyanya.
"Really? Lo butuh penjelasan?"
Dengan polos, Emir pun mengangguk-angguk.
Dion sebenarnya cukup malas untuk menjelaskan hal yang sudah jelas, tapi ia tetap mau repot-repot menegakkan tubuh, membenarkan posisi, dan menjabarkan isi kepalanya kepada dua muda mudi yang buntu solusi. "Kita tau proposal resital lo belum selesai. So then, we got it. Proposal resital. Lo minta bantuan ke Lienna untuk proposal resital lo."
Menurut Dion, penjabarannya sudah cukup jelas. Tapi Emir masih saja memasang wajah tak paham. Sungguh, patah hati ini membuat dia menjadi bodoh atau bagaimana? Emir berhasil membuat Dion memutar bola matanya sekali lagi, karena ia tahu ia masih harus menjelaskan lebih lanjut dengan menghabiskan stok kesabarannya yang tak banyak.
"Gini, Soerjo. Proposal resital jelas butuh waktu lama untuk dikerjakan, right? On top of that, kita sedang mencari solusi buat kekacauan hubungan aneh lo sama Lienna ini. Sesuatu yang yah ... seenggaknya enggak bisa Lienna kasih dalam sekejap mata, biar lo masih ada untungnya juga. Kalau lo minta uang, Lienna kasih, setelah itu lo harus menjauh detik itu juga. Rugi, dong? Bisa galau tujuh hari tujuh malam lo. Terus, kalau lo minta jalan seharian, Lienna kasih, but still itu cuma sehari dan setelahnya lo harus segera pergi. Sama aja, 'kan? Tapi kalau proposal resital ... Lienna butuh berminggu-minggu sama lo karena dia harus bantu lo susun repertoar, susun rencana acara, cari pengiring, dan lain sebagainya. Ya walaupun ujungnya lo tetap harus menjauh, tapi ya ... siapa yang tau? Perasaan bisa berubah kapan aja, Em."
Emir terdiam, Dona terdiam. Sejujurnya, Dona sudah mengerti sejak detik awal Dion menyebut proposal resital sebelum ia menjelaskan panjang lebar. Bukan tanpa alasan, gadis bernama Dona Hattala ini menyandang nama Hattala yang merupakan keluarga seniman dan pengusaha andal. Pemikirannya kreatif dan strategis, mungkin memang sudah mengalir dalam darah hingga ke akal. Namun, entah apa alasannya, Dona tampak tidak menunjukkan antusiasme pada ide cemerlang Dion. Padahal, menurut Dion sendiri, idenya sudah cukup pantas mendapat standing applause.
Hanya Dona, hanya perempuan itu di antara mereka bertiga yang memasang wajah datar. Tak ada yang ia lakukan selain membakar satu batang kretek lagi. Ia tak memberikan tanggapan sama sekali kepada Dion yang baru saja meluruskan benang kusut.
"Oy, Hattala. Gimana menurut lo? Lumayan 'kan, teman lo ini bisa sekalian punya waktu bareng 'pujaannya'."
Dona menatap Dion yang bertanya kepadanya, lalu beralih menatap Emir yang duduk di sebelah pemuda berambut cokelat mengembang itu, dan kembali kepada Dion lagi sebelum ia jawab hanya dengan mengedikkan bahu.
"Ah, ayolah. Akui aja gue jenius, Dona. Ide gue bagus, 'kan?"
Untuk alasan yang tidak diketahui, Dona terlihat lelah menghadapi dan mendengarkan Dion. Gadis itu pun mengembuskan asap kretek, sebelum menjawab ocehan temannya dengan nada dingin.ย
"Entah."
"Heuh?" Dion mengerjap-ngerjap bingung. Dion yakin sekali idenya benar-benar bagus, tapi Dona yang pintar itu malah terlihat ragu meski raut wajahnya tak menunjukkan kecemasan sama sekali.
Bertahun-tahun menjalin pertemanan, mereka semua memang tahu pembawaan gadis berambut hitam dengan kilasan merah sepunggung itu memang seperti wine yang selalu tenang dalam gelas yang diguncang. Namun, entah dari mana asalnya, kali ini sorot mata Dona tampak sedikit lebih dingin dari hari-hari biasa.ย
Dona menatap Emir dengan tatapan yang berbeda, tidak seperti Dona yang biasa teduh menatap manik mata pemuda itu.ย
"Dona ...."
"Hadeh. Udahlah, Em. Lelah kali dia urus kedai hari ini. Yang penting, sekarang kita udah ketemu jawabannya. Proposal resital, oke?"ย ย ย
ยง
๐ก๐ ๐๐ ๐๐๐๐ก๐๐๐ข๐
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top