๐๐ | ๐๐๐ญ๐ฎ ๐๐๐ฌ๐๐ฆ๐๐๐ซ
Satu Desember.
Hujan sedang deras-derasnya di tengah malam yang dingin.
Sepasang insan tampak menghangatkan diri satu sama lain dengan balutan selimut yang disampirkan di bahu masing-masing. Keduanya duduk saling berhadapan, dibatasi oleh sebuah meja pendek yang membuat mereka harus duduk lesehan. Pula, meja yang menyajikan satu kue kecil dengan dua lilin yang menyala.
Bodoh kalau mereka kira lilin kurus itu dapat menghangatkan mereka. Tentu saja tidak. Tidak mungkin. Lilin yang menyala dengan api kecil itu hanyalah sebuah tanda, sebuah simbol, juga sebuah pemaknaan untuk merayakan hari lahir mereka dengan sederhana.
Kue itu tidak mewah. Sama sekali tidak. Tampilannya pun biasa, seperti kue-kue yang mudah didapatkan di toko kue tanpa harus melakukan pemesanan jauh-jauh hari. Agaknya, mereka pun tidak terlalu peduli. Asalkan bisa meniup lilin bersama, mereka sudah amat sangat bersyukur kepada Yang Maha Kuasa.
"Selamat ulang tahun, Kristian."
Pemuda yang berbalut selimut abu itu tersenyum tipis, memandang perempuan mungil dengan rambut cerah yang berkilau karena pancaran cahaya lilin.
"Make a wish?"
Pemuda itu mengangguk, setuju untuk menyatakan sepatah dua patah harapan di hari ulang tahunnya.
Namun, dia tidak pernah egois hanya dengan mementingkan harapan miliknya saja.
Maka, dia bertanya kemudian.
"Lien mau apa?" tanyanya.
"Aku?"
"Uhum."
"Nothing, Kris. As long as you happy, aku bersyukur."
"Huh. Always."
Perempuan berbalut selimut merah muda itu terkekeh mendengar keluhan pemuda yang baru saja menjajaki usia sembilan belas tahun. "Always ... apa coba?"
"Selalu begitu. 'As long as you happy, aku bersyukur.'. Udah empat kali ulang tahun, empat kali juga Lien bilang gitu."
Perempuan itu, Lienna, terkekeh lagi mendengar ocehan pemuda yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri.
"Lho, memang betul kok. Apa lagi yang bisa aku minta?"
Kristian terdiam.
Dan diamnya pemuda itu membawa aura tidak mengenakkan. Yang kemudian, membuat Lienna juga berhenti terkekeh, melunturkan senyumannya perlahan-lahan.
"Kris ...." Nada bicaranya terdengar lembut namun agak sedikit tegas untuk kali ini. "Aku serius. Enggak ada yang aku minta sama Tuhan selain kamu bahagia."
"Lien selalu begitu."
"Yes, I am."
"Jangan selalu begitu."
"Kamu banyak omong. Cepat make a wish, habis itu tiup lilin, dan kita tidur. Hujannya deras banget, Kris. Dingin."
Kalau ingin melihat pemuda bebal, Kristianlah contohnya. Meski Lienna sudah berusaha untuk menghentikan topik sialan tentang harapan-harapan, Kristian masih kukuh dengan pendiriannya. Dia tidak meniup lilin, tidak pula memejamkan mata untuk menyatakan harapan di hari ulang tahunnya. Yang ada, dia tetap menatap Lienna dengan matanya yang mampu berubah teduh hanya untuk perempuan itu. Ada kilas-kilas iba di mata Kristian untuk Lienna.
"Li ... please ... make a wish."
"Ulang tahunku udah lewat, ini hari ulang tahun kamu."
Kristian berdecak sebal, "Baru lewat lima menit lalu. Ayolah, Lien nggak pernah aku lihat make a wish. Lien selalu biarin lilinnya nyala sampai lewat hari ulang tahunnya, dan selalu suruh aku yang make a wish. Selalu aku yang tiup lilin kita. C'mon, Li, it's our birthday."
"Kristian ...."
"Li, please? Enggak cuma aku yang punya harapan di dunia ini, 'kan?"
Seketika, Lienna terdiam. Hening dalam tatap mata teduh Kristian Luan yang begitu berusaha keras meyakinkan Liennaโbahwa dirinya pun masih bisa dan masih memiliki harapan untuk digantungkan.
"Anything, Li. Anything."
Namun, Lienna masih keras kepala juga. Dia bergeleng dan menjawab, "Nothing. Kamu aja. Aku udah bilang, aku cuma mau kamu bahagia, Kris."
"Tapi aku udah bahagia, Li. As long as I'm with you, I live in my happiest life."
"Kristian ...."
"Li ... ayo. Satu aja, ya? Satu harapan. Let's make a wish together. Hm?"
Kristian meraih tangan dingin Lienna Rosaline. Digenggamnya dengan erat tangan yang sudah menggigil dingin karena derasnya hujan di luar. Tak hanya satu, kedua tangan itu Kristian genggam erat di atas meja di samping kanan kiri kue kecil mereka.
Cahaya lilin yang berpendar menimbulkan bias-bias harapan di raut wajah Kristian yang Lienna pandang. Kedua netra pemuda itu berbinar. Seolah-olah sedang memberitahu Lienna bahwa sungguh di dunia yang dingin dan kelam ini masih ada harapan yang bisa ia gantungkan. Harapan yang barangkali mampu membuat hatinya menghangat lagi.
"Lienna ...."
Tak kuasa, ia pun balas menggenggam tangan pemuda di hadapannya.
"Alright, kali ini aja."
"Sure, sure."
Lienna tersenyum melihat betapa senangnya pemuda yang selama ini hidup bersamanya dalam segala macam kesulitan dan keadaan.
"Okey, sekarang pejamkan mata kamu. Kita make a wish together."
Detik setelahnya, Kristian mengangguk dan memejamkan mata bersama perempuan cantik nan baik hati bernama Lienna. Kedua tangan mereka saling menggenggam satu sama lain ketika mereka memanjatkan doa bersama. Mereka saling menguatkan satu sama lain. Pula dalam diam melantunkan harapan untuk digantung di langit tinggi. Harapan yang didengar oleh langit dengan bersahut-sahutan satu sama lain.
"I wish nothing but Kristian happiness."
"I wish nothing but please make all of her wish come true."
"He deserves to live in a happy life."
"She deserves to get all of her wishes."
"Please, hear my wish."
"Please, hear my wish."
"I want him to be happy forever."
"I want her to get all that she wants."
"I'm gonna do anything for him."
"I'll sacrifice anything for her."
Sedetik kemudian, keduanya bersama-sama membuka mata. Detik-detik awal bulan Desember pun mereka buka dengan satu lilin yang padam ditiup oleh keduanya. Lalu keheningan di antara keduanya perlahan berubah menjadi senyum lembut yang diperuntukkan kepada satu sama lain. Bibir merah muda itu tersenyum kepada pemilik bibir pucat di hadapannya. Dia yang seperti mayat hidup pun balas tersenyum selembut yang dia mampu. Keduanya saling bertatapan. Dalam-dalam, sedalam tatapan orang yang sedang jatuh cinta.
"Selamat ulang tahun, Lien."
Lienna berkedip lembut dan membalas halus, "Selamat ulang tahun, Kris."
Lienna dan Kristian Luan. Keduanya merayakan hari lahir mereka di dunia yang kejam. Bersama-sama, di sela-sela pergantian malam dalam setiap tahun. Terhitung sudah yang kali ini adalah kali kelima mereka merayakan ulang tahun bersama. Dengan pola yang sama. Dengan tipikal kue yang sama. Kue kesukaan Lienna, karena Kristian tidak pernah repot dengan perayaan ulang tahun. Kue apa pun itu akan dia terima, selama dia menikmatinya bersama Lienna.
"Kamu sembilan belas sekarang. Waktu berjalan cepat ya, Kris."
Pemuda itu mengangguk, "Kalau Lien sekarang berarti dua ...?"
"Dua dua, hehe." Lienna terkekeh setelah mengucapkannya, dan Kristian ikut tertawa kecil. "LiennaโtuaโRosaline," ledek Kristian.
Dia mengambil pisau plastik di sisi kue dan mulai memotong bagian-bagian kecil untuk dirinya dan Kristian, sosok adik yang dia rawat sendiri selama kurang lebih lima tahun lamanya.
"Jadi ... gimana? Commis kamu kemarin selesai?"
Kristian mengangguk seraya menerima potongan kue yang diberikan Lienna. "Selesai. Thank God."
"Thank God, kamu selalu dapat commis di dekat-dekat hari ulang tahun kamu. Kayak ... berkat dari Tuhan ya, Kris?"
Kristian menyuap kue ulang tahunnya, tersenyum sambil mengunyah, ekor matanya menunjukkan jelas bahwa dia sedang bahagia. Bagaimana tidak? Dia selalu mendapat pesanan lukisan besar dengan harga jual yang tinggi di bulan-bulan November, satu bulan sebelum hari ulang tahunnya.
"Want to know another blessing that God gives to us, Li?"
"Sure! Let me know."
Sebelum membuka suara, Kristian sekali lagi tersenyum. Namun, tidak seperti senyum-senyum Kristian biasanya. Pemuda itu cenderung hobi menarik senyum tipis nan lembut, tapi kali ini ... senyuman itu terlalu lebar untuk dikatakan sebagai 'senyum Kristian'.
"Oh ... something happened, Kris?"
Kristian mengangguk-angguk seperti bocah. Tersenyum senang dan mengatakan, "Aku udah ketemu Sensen lagi."
Lienna hening sejenak.
"Sensen? Sensen ... Arsenio teman lama kamu itu?"
Kristian mengangguk lagi, dan Lienna tidak bisa berkata apa-apa.
Arsenio adalah teman lama Kristian. Teman sejak keduanya masih menjadi bocah nakal yang menduduki bangku sekolah menengah pertama. Namun, sayangnya, mereka hilang kontak semenjak Kristian menjadi sebatang kara dan lulus dari sekolah mereka. Tidak heran jika sekarang Lienna bingung lantaran Kristian menyebut nama seorang teman lama yang datang tiba-tiba setelah bertahun-tahun tidak ditemui oleh Kristian.
"Li ...?" Kristian mendapati keheningan aneh Lienna di sini. "I just said I met Senโ"
"Sebentar, Kris. Kamu ketemu Sensen? Gimana bisa?"
"Lien ... nggak senang aku ketemu Sensen lagi, ya?"
"Eh? Enggak! Enggak gitu. Maksudku, aku senang! Akhirnya kamu ketemu lagi sama bocah kacamata itu. Aku cuma bingung, gimana ... bisa ...?"
Seraya berbicara, tangan Lienna terulur untuk membersihkan krim kue di ujung bibir Kristian.
Bagi Lienna, mungkin itu adalah hal biasa karena mereka sudah lama bersama. Seperti adik dan kakak. Tapi, bagi Kristian....
Usapan tangan itu sudah cukup mampu membuat jantungnya berdebar kencang. Kristian saat ini bukanlah Kristian kecil dan kurus dengan pikiran kosong di masa lampau. Dia sudah dewasa, dia sudah sembilan belas tahun. Dia sudah bisa merasakan dan mengetahui kapan dia tertarik kepada perempuan.
Lienna tidak salah, begitu pula dengan Kristian.
Keduanya memiliki interpretasi masing-masing untuk arti sebuah perhatian.
"Uh ... ekhm." Kristian gugup di tengah malam yang dingin. "Ya ... Sensen datang ke Kedai Krisan bulan lalu. Tiba-tiba aja. Enggak sengaja ketemu."
"Sejak bulan lalu?! Sejak bulan lalu kamu ketemu Sensen dan kamu baru cerita ini ke aku sekarang?"
"Lien ... aku gimana mau cerita. Aku nggak mau ganggu, Lien sibuk belakangan ini. Setiap pulang udah capek, pasti langsung tidur. Kalau nggak, sibuk sendiri sama persiapan resital. Jadi, ya ... aku nggak mau ganggu. Nanti Lien makin telat lulusnya. Belum lagi Lien pernah bilang Lien lagi diribetin sama adik tingkatnya 'kan. Jadi maaf kalau aku nggak cerita lebih awal."
Beruntungnya, Lienna tidak pernah marah kepada Kristian.
"That's fine, Kris." Dia tersenyum dengan lembut. "Ayo lanjutin. Gimana lagi ketemunya sama Sensen?"
"Hmm ... ya udah, gitu aja. Pertama ketemu setelah sekian lama itu ... dia datang ke Kedai Krisan. Aku lagi kerja, tiba-tiba dapat customer Sensen. Terus blablabla Sensen jadi sering nginep di kedai, untung Bos Pong gapapa. Aku cerita ke Bos Pong kalau Sensen itu teman lama aku."
"Oh God ... jadi kamu yang nginep-nginepan itu sama Sensen?"
"Huhum." Kristian mengangguk.
"Bos Pong ... gapapa?"
"Gapapa. Dia awalnya kaget, tapi besoknya malah happy banget ramah banget sama Sensen."
Kemudian dan kemudian, Kristian terus menceritakan hari-harinya bersama Sensen di Kedai Krisan. Tidak lupa, dia juga bercerita tentang bagaimana Sensen membantunya mengerjakan commis lukisan. Bahkan, Kristian mengatakan bahwa Sensen ikut ke trotoar tempat di mana Kristian biasa melukis bersama jajaran pelukis lokal daerah Kota Tua. Sepertinya, selama Lienna sibuk dengan persiapan resitalnya sendiri dan sibuk dengan membantu proposal Emir, Kristian pun asik sendiri dengan teman lamanya, Arsenio.
Sesungguhnya ini berita dan cerita yang membahagiakan. Kristian tidak melepas senyum sama sekali ketika menceritakan hari-harinya bersama Sensen. Namun ... Lienna tetaplah Lienna, perempuan yang penuh dengan kecurigaan.
Sepanjang Kristian bercerita, sepanjang itu pula Lienna terus bertanya-tanya di kepala.
Benarkah Sensen secara tiba-tiba saja, tanpa sengaja, bertemu dengan Kristian di Kedai Krisan? Atau ... seseorang telah mengatur dan menjadi dalang di hidup Kristian?
to be continue
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top