๐Ÿ‘๐Ÿ– | ๐’๐ž๐ฌ๐š๐ค ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐Œ๐ž๐ง๐ ๐ ๐ฎ๐ฆ๐ฉ๐š๐ฅ

"We were friends, nothing more."

Akhirnya, Dona berhasil membalas Emir meski harus membuat Emir menunggu sampai kretek di asbak meja mati dengan sendirinya.

Sekali lagi Dona tegaskan bahwa mereka pernah berteman. Hanya pernah berteman. Di masa lalu, yang entah kapanlah itu. Namun, sekali lagi pun masih belum mampu membuat Emir percaya bahwa Dona telah berterus terang kepada dirinya.

Sekelebat pikiran liar perlahan-lahan mulai menjalar di kepala Emir Soerjotomo. Tentang hubungan yang mungkin sengaja disembunyikan oleh Dona Hattala. Lantaran setelah ia pikirkan matang-matang, bukankah selama ini ia tidak pernah melihat Dona berteman dengan perempuan? Lantas, mendengar Dona pernah memiliki satu teman perempuan ... bukankah hal itu agak khusus dan spesial?

"Kalaupun lebih daripada teman ...."

"Nothing more, Em."

"Jujur, Hattala. Jangan terus-terusan membohongi diri sendiri."

Dona lagi-lagi terdiam. Tidak menyanggah sama sekali. Tapi binar matanya memancarkan hal lain. Seolah sedang menahan ledakan yang lama dia pendam.

Tatapannya membuat Emir merasa ... barangkali Dona ingin berterus terang, namun masih memiliki harga diri yang dijaga setengah mati.

Emir lantas menghela napas. "Baiklah, mari kita anggap kalian pernah berteman."

Dengan begitu, urat-urat yang mengencang di wajah Dona perlahan tampak mengendur. Dia terlihat sedikit lebih rileks. Emir imbangi Dona yang hobi menahan emosinya dalam hati.

"Jadi ... ini hari ulang tahun Lienna?"

"Beberapa menit lalu."

"Ah, iya. Sekarang tanggal satu."

Dona mengangguk kecil. Ulang tahun Lienna adalah tanggal tiga puluh November, dan satu Desember bukanlah milik Lienna.

"Dan ... ibu tadi itu ibunya Lienna?"

"Ya."

Dona tidak repot-repot menyangkal pertanyaan Emir. Mungkin, karena Amara sendiri sudah menyebutkan dengan gamblang bahwa Lienna adalah putrinya yang cantik. Putrinya yang sedang berulang tahun ke tujuh belas.

"Dia ... sakit?"

"Dia hilang memori di masa tertentu, di masa terpuruknya, di masa dia ditinggal orang-orang yang dia sayang. Ingatannya berhenti di masa Lienna SMA, dan sampai sekarang belum pulih juga. Jadi, sampai sekarang pun ... di matanya, Dona Hattala masih teman baik anaknya yang cantik."

Emir menelan salivanya keras. Ada rasa iba di dalam hatinya kala melihat dan mendengar Dona menjelaskan tentang ibunda Lienna. Pun, tentang bagaimana dia dipandang oleh ibunda (mantan) teman baiknya.

"Mencintai orang terlalu dalam itu bisa membuat gila, Em. Tante Amara adalah bukti nyata. Jadi, jangan terlalu dalam ketika mencintai seseorang."

"Jangan terlalu dalam ketika mencintai seseorang ...."

"Right."

Emir memandang perempuan di hadapannya.

"Jangan terlalu dalam ketika mencintai seseorang, Hattala."

"Right, Emir."

"Jangan terlalu dalam ketika mencintai seseorang, Dona Hattala."

Tiga kali pengulangan, semula terdengar biasa saja tapi lama kelamaan Dona jelas merasa berbalik diperingati oleh Emir Soerjotomo.

Dan, benar.

Emir memang sedang memperingatinya.

"Jangan terlalu dalam ketika mencintaiโ€”"

"Siapa?"

"Lienna."

Jantung keduanya serasa jatuh ke tanah. Emir tidak menduga bibirnya akan secepat kilat-kilat di langit ketika menyebut nama gadis pujaannya, dan Dona tentu tidak pernah menyangka bahwa Emir mampu seringan itu menyebut nama Lienna. Mantan teman baiknya.

"Omong kosong." Dona tidak mau menatap Emir lagi.

Namun, barangkali hujan deras di malam itu dan gelagar halilintar yang menggelegar adalah kiriman semesta untuk mendukung Emir membongkar masa lalu gadis pujaannya. Emir tidak mundur dari hadapan Dona Hattala.

"Haha, omong kosong katanya."

"Em, jangan pancing keributan di sini."

"So then, jujurlah, Hattala."

"We were friends. Stop sampai di sana, Em."

Emir tidak mengerti, mengapa tiba-tiba Dona terdengar seperti menahan amarah kala menekan kata 'teman' di sini. Namun, persetan. Emir tetap harus menuntaskan rasa ingin tahunya yang sudah membeludak. Maka dengan tenang, dengan emosi yang ia atur sedemikian hingga, Emir pun kembali membuka suara.

"Hattala, you love her."

Tapi kemudian, Dona terdengar begitu murka.

"So then, why?!"

"So then, itu bukan sekadar teman, Hattala!"

Dona pun tampak semakin tidak bisa menahan emosi dalam dada.

"We. Were. FRIENDS. Emir."

"Cih!"

"Cih? What?!"

Keadaan memanas di sini, tapi Emir tidak mau peduli.

"We were friends, haha, tiga kata lucu."

"We were friends, Em. Please, stop."

"Never be a lover?"

"Never be a lover."

Hening.

Kedua pemuja itu saling beradu pandang dalam keheningan. Yang berisik hanyalah suara-suara penyesalan di kepala mereka. Ia yang baru memuja gadis itu kurang lebih satu tahun lamanya menyesal atas pertanyaan yang ia lontarkan demi memuaskan rasa keingintahuan. Dan dia yang sudah menjadi pemuja paling gila di sini menyesal atas jawaban yang dia berikan kepada pemuja lain di hadapannya.

Keduanya menyesal.

Keduanya merasakan sesak yang menggumpal.

Yang satu sesak karena mencari tahu. Yang satu sesak karena mengingat masa lalu.

Keduanya ada di titik yang sama.

Keduanya tidak pernah menjadi pecinta Lienna Rosaline.

Keduanya hanya sebatas menjadi pemuja dalam hening.

"Kalau begitu ...."

"...."

"Kalau memang Lienna adalah tokoh utamanya di sini ...."

"...."

"Lalu siapa Kristian Luan, Hattala?"ย 

to be continue

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top