๐๐ | ๐๐๐ฅ๐๐ฆ๐๐ญ, ๐๐ฆ๐ข๐ซ ๐๐จ๐๐ซ๐ฃ๐จ๐ญ๐จ๐ฆ๐จ
Lienna. Lienna. Lienna.
Emir berani bersumpah di bawah gelagar halilintar dan tangisan langit yang menggelegar, bahwa ia tidak salah mendengar. Lienna. Nama cantik itulah yang tidak sekali dua kali disebut oleh seorang wanita paruh baya bermata sayu nan putus asa. Nama gadis pujaannyalah yang disebut oleh wanita layu berparas cantik namun sedikit terlihat gila.
Wanita ituโyang segera ditenangkan oleh Dona dengan terus menyebut 'Tante Amara, Dona di sini. Lienna belum pulang. Tante Amara, tenanglah, ya?'โakhirnya duduk bersama Emir, Dona, dan Andrea di hadapan sebuah kue putih dengan hiasan stroberi-stroberi kecil dan satu lilin yang menyala sendirian.
Situasi ini terlalu tenang untuk dilihat, terlebih bagi Emir yang pikirannya berkecamuk bukan main.
Oh, ayolah, ia sedang berhadapan dengan ibu dari gadis pujaannya!
Namun, tak pernah ia sangka pertemuan pertamanya dengan ibunda Lienna Rosaline akan dimulai dengan seperti ini. Dengan diri Emir yang tidak siap, dan dengan kondisi ibunda sang gadis pujaan yang tidak sehat. Serta, di hari ulang tahun seseorang yang tengah mereka rayakan.
"Tante ... ayo berdoa. Make a wish untuk Lien, ya?"
Make a wish untuk ... siapa?
Lien?
Mendadak Emir kesulitan menelan saliva. Seolah belum cukup ia dikejutkan dengan eksistensi ibunda Lienna Rosaline di rumah Andrea, kini ia ditimpa fakta tentang milik siapa malam 30 November yang mereka rayakan bersama.
"Lienna."
Emir bermonolog. Pikirannya kosong. Suara kecilnya pun tidak mungkin terdengar oleh mereka yang kini tengah kembali mengepalkan tangan di depan dada, memejamkan mata untuk berdoa. Suara Emir pasti teredam teriakan doa dalam hati mereka, dan ditelan gelagar halilintar dari langit yang mengiringi malam dengan tangisannya.
Lilin penyendiri itu masih menyala. Tidak ditiup mati setelah doa dirapalkan dalam hati. Tiga kata pun terucap pelan dari belah bibir Dona Hattala yang membuka mata ketika Amara dan Andrea masih berdoa dalam keheningan mereka.
"Happy birthday, Lien."
Tamatlah sudah.
Bak tersambar petir dalam suara lembut Dona Hattala di tengah derasnya hujan, Emir menegang. Ia menatap lurus, tajam, namun penuh tanda tanya dan kecurigaan kepada satu teman yang selama ini ia kira paling mengerti perasaannya. Dona Hattala.
Dan, hanya Emir. Hanya Emir yang menyaksikan bagaimana Dona bergumam pelan mengucapkan selamat ulang tahun kepada sang gadis pujaan yang entah berada di mana, dengan raut sedih yang tidak bisa Emir kira seberapa dalam lukanya.
Lalu siapa yang akan menyangka, bahwa Dona Hattala mengangkat pandangan dari lilin yang menyala sendirian, yang kemudian tertuju kepada kedua mata bingung Emir Soerjotomo.
Tatapan Dona seolah menegaskan kepada Emir untuk tidak bertanya apa pun, setidaknya untuk saat ini. Bagusnya, Emir memiliki kemampuan setara ahli dalam urusan mengerti maksud tatapan seseorang. Ia lantas diam, mengunci mulut, dan membuang pandangan dari Dona Hattala seolah tidak ada apa-apa yang perlu dipertanyakan sekarang.
Suara wanita paruh baya itu kemudian kembali terdengar, membuyarkan Dona dan Emir yang sebelumnya berkecamuk sendirian.
"Lien ... selamat ulang tahun, cantiknya Mama."
Dia bermonolog, sambil menatap lilin tunggal di atas kue putih.
"Happy sweet seventeen."
Happy sweet seventeen, katanya?
Kali ini, Emir tidak bisa lagi menahan diri. Ia tahu ada yang salah di sini. Ada yang tidak beres di rumah ini. Ada yang janggal dari perayaan ulang tahun bernuansa menyedihkan ini.
"Sweet seventeen?" Emir lantas mengulang kata-kata Amara.
Dan seketika, Emir merasakan kakinya ditekan kuat oleh satu kaki di bawah sana. Tidak mungkin Andrea memiliki keberanian itu. Maka, sudah jelas siapa pelakunya.
Dona Hattala.
"Ah ... Tante, udah larut malam. Lien ada titip hadiah untuk Tante, dan tadi Dona taruh di kamar. Tante mau lihat, 'kan? Kali ini lukisannya cantik. Tante pasti suka. Drea, tolong antar mama kamu ke kamar Kak Lien, ya. Jangan lupa bantu cari tempat bagus untuk gantung lukisannya, oke?"
Andrea tersenyum tipis, "Okey, Kak."
Begitu saja, Andrea kemudian bangkit dan mengajak sang ibunda untuk meninggalkan pesta kecil menyedihkan di halaman belakang rumah.
Yang mengejutkan, sang ibunda tidak tampak menunjukkan penolakan. Dia justru terlihat mengulas sedikit senyum begitu Dona berbohong soal hadiah titipan. Apa yang terjadi? Emir tidak mengerti.
Lantas setelah tidak terlihat lagi Andrea dan Amara dari pandangan Emir dan Dona, Emir mulai menarik napas dalam-dalam untuk memulai pembahasan berat dengan Dona Hattala.
Emir katakan ini pembahasan berat, karena tampak banyaknya kebohongan. Bagi Emir, kebohongan adalah sesuatu yang berat untuk dibahas. Selalu ada alasan-alasan hitam dan putih di belakangnya. Emir percaya akan hal itu. Pasti ada alasan mengapa seseorang berbohong sedemikian hingga, sampai mungkin melahirkan kebohongan-kebohongan lainnya.
"Dona ...."
"Jangan berharap atas penjelasan apa pun, Em."
Emir hening, dan malam tiga puluh November telah berakhir. Satu Desember telah hadir, dentang lemari jam lah yang membuat mereka sadar.
Dona meniup mati lilin menyedihkan itu, namun ... untuk alasan yang tidak Emir pahami, dia menyalakan lilinnya lagi. Lilin itu menyala tak berlangsung lama. Lantaran Dona kembali memejamkan mata untuk sejenak seolah tengah merapalkan doa, sebelum dia kembali membuka mata dinginnya dan dia tiup mati lilin itu lagi.
Tidak waras.
Gila.
Perempuan ini sudah kehilangan kewarasannya.
Kalau saja Emir memiliki sepercik rasa tega untuk Dona, mungkin ia sudah meludahinya dengan umpatan-umpatan itu.
Emir menghela napas, masih berusaha sabar dan mengerti keadaan yang sulit dipahami ini. Sungguh, apa gunanya meniup mati lilin itu, tapi kemudian dinyalakannya lagi sebentar, lalu ditiup mati lagi? Untuk apa mengulang doa di hadapan lilin yang menyala sebanyak dua kali?
"Dona ...."
Yang disebut namanya tidak menjawab apa-apa. Hanya ada suara deras hujan di antara mereka. Dona Hattala sibuk memandangi kue putih itu tanpa berkedip.
"Dona ... at least, let me know aboutโ"
"We were friends, Emir." Dona beranjak menatap Emir sendu. "Long time ago."
Emir terhenyak. Meski seharusnya tidak.
Bukankah ia sudah tahu sejak berminggu-minggu lalu bahwa Dona dan Lienna memiliki hubungan di masa lalu? Ia tahu dirinya sudah mendengar itu dari mulut Dona Hattala sendiri ketika mereka berada di Kedai Krisan untuk yang pertama kali. Ia ingat ketika wajah datar Dona mengiyakan bahwa dirinya pernah memiliki sesuatu di masa lampau dengan Lienna Rosaline tanpa adanya diri Emir Soerjotomo. Di samping itu, Pon Giovanni pun sudah memberitahunya dengan kasat bahwa Dona Hattala pernah memiliki teman baik yang hingga detik ini masih suka mengunjungi Kedai Krisan.
Dan perempuan yang mana disebut-sebut teman baik Dona Hattala adalah Lienna Rosaline.
Ia sudah tahu hal itu. Sudah sejak lama. Sudah sejak dia berkunjung ke Kedai Krisan dan dibeberkan segalanya oleh Pon Giovanni. Sudah sejak dia berkunjung ke Kedai Krisan dan diusir pergi oleh Lienna Rosaline. Sudah sejak lama ... sudah sejak lama Emir mengetahui hubungan mereka.
Lantas, sekarang ... mengapa hatinya terasa remuk tiba-tiba ketika mendengar Dona menyatakan dengan gamblang tentang hubungannya.
We were friends, long time ago.
Begitu kata Dona Hattala.
Namun, Emir masih saja merasakan sedikit ganjal di dalam hatinya.
"Friends ...."
Seumur hidup, tidak pernah ia temukan pertemanan perempuan yang sebegini dalam bahkan ketika mereka sudah tidak bersama. Teman mana yang merayakan ulang tahun temannya diam-diam, tanpa kehadiran sosok yang sedang berulang tahun? Teman mana yang masih mengunjungi rumah (mantan) temannya, dan berhubungan baik dengan sang nyonya rumah? Dia bahkan tampaknya rutin membelikan hadiah. Lukisan-lukisan Kristian Luan.
Maka, salahkah jika sekarang Emir memiliki spekulasi lain?
"Dona ...."
Dona menjawab dengan menoleh menatap Emir.
"Yakin ini bukan kebohongan?"
"Tentang?"
"You were ... friends?"
Dona terdiam.
Meski tidak begitu tampak, Emir bisa melihat dan merasakan gelisahnya Dona Hattala setelah pertanyaan penuh keraguan itu ia lontarkan.
Dona, untuk pertama kalinya dalam kurun hampir empat tahun dikenal oleh Emir Soerjotomo, menampakkan air muka yang begitu mudah untuk dicerna. Dona tidak seperti Dona yang kadang sulit Emir mengerti perasaan dan jalan pikirannya. Dona tidak seperti Dona yang Emir kenal sangat pendiam di antara yang lainnya. Dona tidak seperti Dona yang selalu tenang di segala keadaan. Karena untuk pertama kalinya, benar-benar pertama kalinya, Emir mendapati seorang Dona Hattala begitu terhenyak tatkala mendengar satu pertanyaan yang sangat tidak berbahaya. Pertanyaan biasa. Sekadar sebuah kalimat tanya tentang hubungan Dona Hattala dan Lienna Rosaline. Sungguh hanya sekadar ... "You were friends, Dona?"
Namun, sudah cukup berhasil membuat Dona terguncang di bawah derasnya hujan dan gelagar halilintar.
Emir telah berhasil menyentuh titik lemah Dona Hattala.
Selamat, Emir Soerjotomo.
to be continue
Author Note
Hello! This is Xadara and I want to say hi to you guys!
It's been a while... and I miss you all. Right from tonight, TSOS will continue their weekly updates on Saturday or Sunday!ย
I love you all, and after all this time... thank you for your understanding.
Sincerely,
Xadara Goe
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top