๐Ÿ‘๐Ÿ” | ๐Œ๐š๐ค๐ž ๐š ๐–๐ข๐ฌ๐ก, ๐ƒ๐ซ๐ž๐š

"R-Relax ... hehe. Relax ... Mas Em."

Malam sudah menunjukkan pukul sebelas ketika akhirnya Emir mendudukkan diri di ruang tamu rumah Andrea yang memutuskan untuk menenangkan diri, dan kembali menggunakan topengnya agar tetap bisa tersenyum untuk menengahi Emir dan Dona Hattala. Meski sebenarnya, dia merasa ingin hilang dari bumi detik ini juga. Namun, persetan, Andrea harus menjaga kewarasannya di tengah dua orang yang-sangat-mungkin bisa menggila di malam yang dingin ini.

Dengan begitu, Emir pun secara tiba-tiba menjadi tamu di rumah Andrea. Ia menjadi satu tamu tak terduga, yang juga tidak menduga Dona akan berada di tempat yang sama dengan dirinya. Dona yang kini tengah membersihkan diri pasca diguyur hujan deras.

Sambil menunggu (walaupun ia bahkan tidak tahu apa yang sedang ia tunggu), Emir duduk di ruang tamu yang dindingnya dipenuhi hiasan. Seluruh dinding putih gading di rumah ini memiliki ornamen yang digantung dengan apik. Barangkali Andrea memang terlahir dari keluarga seniman, seluruh ornamen di sana memiliki nilai seni. Dinding rumah Andrea memiliki banyak lukisan, jauh lebih banyak jumlahnya daripada Rumah Eyang, jauh lebih banyak dan bervariasi daripada rumah Dona. Dari sudut ke sudut dinding putih gading ruang tamu ini, berjajar lukisan dengan berbagai panorama, wajah, abstrak, dan visual-visual indah yang lahir dari guratan kuas di atas kanvas. Emir disuguhi teh hangat oleh Andrea, tapi ia lebih tertarik untuk mengamati lukisan-lukisan di sana. Pandangan Emir hanya terkunci pada lukisan demi lukisan di dinding. ia memerhatikan seluruh tanda tangan di sudut kiri setiap lukisan. Semuanya sama, semuanya bertanda tangan Luan.

Kalau dulu Emir hanya bisa berandai-andai tentang sepenuh apa rumah Andrea dengan lukisan Kristian Luan, maka sekarang Emir sudah berhasil mendapatkan jawabannya.

Kira-kira, ada lebih dari setengah lusin lukisan Kristian Luan yang bertempat tinggal di kediaman Andrea. Jumlah ini jauh melampaui jumlah lukisan di rumah Dona, dan mendekati jumlah lukisan di Rumah Eyang. Bagaimanapun, ini baru di ruang tamu ... sudah ada lebih dari selusin lukisan karya Kristian Luan. Tidak tahu bagaimana dengan ruang-ruang lain.

Agaknya, kehidupan pemuda bertatap mata tajam itu telah dibuat sejahtera oleh Dona Hattala.

Emir terhenyak membayangkan betapa besar kasih Dona untuk Kristian Luan. Di samping kenyataan bahwa karya-karya artistik itu layak dihargai, Emir tidak tahu lagi harus berkata apa mengenai kasih seorang Dona Hattala. Seseorang yang tidak pernah terlihat memiliki sepercik cinta untuk sebuah kehidupan romansa, agaknya telah tenggelam kala mencintai seseorang di masa lampau.

Emir melamun dan melamun, hingga dirinya tidak menyadari bahwa Andrea sudah berkali-kali menyuruhnya relax, dan berakhir membuat pemuda itu tiba-tiba menjentikkan jari di depan wajah Emir.

Sungguh, betapa mudahnya bocah itu melepas ketakutan yang sebelumnya menyelimuti diri.

"Mas Em," Andrea menjentikkan jari sambil memanggil Emir yang mengunci tatap pada satu lukisan Luan. Dia terkekeh kecil sebelum melanjutkan, "Mas Em ... amazed, huh?"

Suara bernada mengejek itu sontak membuat Emir keluar dari lamunannya atas Kristian Luan dan Dona Hattala. Ia kembali memandang Andrea dengan tatapan mencekam, dan seketika membuat anak itu menurunkan tangan yang semula menjentik tidak sopan di depan wajah Emir. Ketakutan pun kembali menyelimuti Andrea dengan begitu mudahnya. Hanya karena tatap mata Emir Soerjotomo, sebuah tatap dengan amarah terpendam dari seseorang yang selalu bersabar.

"H-hehe, Mas Em ... p-peace?"

Emir menghela napas lelah.

"D-diminum, Mas. Tehnya."

"Saya udah banyak minum. Thanks."

"A-ah, okey ... sama Eyang, ya?"

Emir tidak tertarik dengan basa basi Andrea. Sungguh. Tingkah anak ini sedikit banyaknya sudah mampu membuat diri Emir berubah. Dulu, Emir akan tanggapi sebasi apa pun basa basi Andrea. Namun, sekarang? Tidak lagi. Ia tidak mau basa basi. Ia butuh penjelasan atas kebingungannya selama ini.

"Dona dan Kristian Luan itu, apa hubungan mereka?" tanya Emir.

Andrea menelan salivanya keras, Emir tiba-tiba bernada serius. Dan Andrea bukanlah orang yang akrab dengan kata serius. Dia lantas masih terkekeh-kekeh canggung mendengar pertanyaan Emir.

"H-heheh, heheh, heum ... a-apa ya, Mas?"

"Kok nanya saya? Saya mana tau. Katanya, kamu yang jauh lebih kenal Dona Hattala daripada sayaโ€”walaupun kenalnya belum ribuan tahun."

Andrea mengerjap-ngerjap bodoh. Entah terkejut entah terkesima mendengar Emir yang rupanya mengingat bahwa Andrea pernah mengatakan, 'Ya walaupun kenalnya belum ribuan tahun, tapi siapa di sini yang paling bisa banyak omong sama Dona Hattala? Right. Andrea. The one and only Dona Hattala's brother.'

"Jadi, gimana hubungan mereka? Dona dan Kristian itu. Semanis apa hubungan mereka dulu sampai-sampai Dona berbuat sejauh ini untuk dia?"

Kali ini, giliran Andrea yang tampak bingung sendiri. Dia mengernyit, benar-benar mengernyit bingung tanpa dibuat-buat. Ekspresi bingung yang begitu natural telah lahir dari wajahnya yang terbiasa jail.

"Semanis apa hubungan mereka? Dona berbuat sejauh ini untuk dia?" Andrea tampaknya tidak mengerti sama sekali. Ekspresi ini begitu ganjil di mata Emir. "Memangnya, Kak Dona berbuat sejauh apa untuk Kristian Luan?"

Gelagar halilintar di tengah derasnya hujan turut mengiringi keterkejutan Emir Soerjotomo di hadapan pemuda yang baru sajaโ€”dengan begitu polosโ€”bertanya kepada dirinya. Memangnya, Kak Dona berbuat sejauh apa untuk Kristian Luan?

Hening menginvasi ruang tamu berdominasi lukisan Kristian Luan. Bukti telah terpampang begitu nyata. Bukti telah dipajang dengan begitu vulgar dan mampu dilihat oleh mata telanjang. Bukti sebanyak ini ... bukti sebesar ini ... masih mampu membuat adik bodoh itu bertanya tentang sejauh apa yang Dona lakukan untuk Kristian Luan?

Emir tidak habis pikir, bocah ini memang bodoh atau berlagak tolol lagi di hadapan dirinya?

"Andrea, saya nggak selamanya bisa jadi mainan kamu. Jangan bodoh-bodohi saya di sini."

"No, Mas. For sure, gue nggak paham maksud Mas Emir. Kak Dona berbuat apa untuk Kristian Luan?"

"Semua lukisan ini, semua tanda namanya, semuanya oleh Kristian Luan, Drea. Masih bisa kamu tanya 'Dona berbuat apa untuk Kristian Luan?' hah?"

"N-no, Mas. I mean, Kak Dona memang suka pelukis itu. Dia beberapa kali commis di Kristian Luan. Bahkan, kalalu dia enggak bisa hubungi sendiri pelukis itu, dia selalu minta bantuan orang lain. Like ... Kaila! Yes, Kaila! Anak FSRD di rumah Kak Dona itu juga salah satu yang diminta tolong sama Kak Dona karena Kak Dona sibuk proposal. Dan ... Bian! Ah, iya! B-Bian juga pernah diminta Kak Dona! Bita ...? Bita gue nggak tau, tapi Bian pernah, Mas. Kak Dona memang suka sama pelukis itu, dia suka lukisannya, dan nyokap gue selalu suka lukisan. So that's why, Kak Dona hobi commis di Kristian Luan. It's just because she likes his works, and my mom loves paintings! There's nothing other than that. Hubungan mereka? Sejauh yang gue tau, enggak pernah ada apa-apa. I don't even know how Kristian Luan looks! Kalau memang Kak Dona punya masa lalu sama Kristian Luan, I must've known!"

Hening.

Betapa panjang penjelasan, betapa penuh emosi diluapkan, namun sayang ... masih tidak bisa menjawab tanda tanya di kepala Emir. Tragisnya, justru semakin membuat kepalanya sakit.

Andrea tidak tahu apa-apa soal Kristian Luan?

Lalu bagaimana dengan pernyataan Pon Giovanni, paman Dona di Kedai Krisan?

Apakah ini berarti ... Andrea, sebagai adik yang mengaku-ngaku memiliki kakak bernama Dona Hattala, tidak mengetahui apa yang selama ini kakaknya lakukan?

"Andreaโ€”"

"Mas Em ... I don't know anything about them. But, y-you ... you know something?"

Emir terdiam. Ia menelan salivanya keras dan bergerak mundur perlahan-lahan dari jaraknya yang dekat dengan Andrea. Gestur penolakan ini membuat Andrea terlihat gelisah. Andrea tampak takut. Namun, bukan sebuah ketakutan kepada Emir Soerjotomo yang terpancar di matanya. Ketakutan itu lebih seperti sebuah ketakutan akan satu kebenaran pahit yang terkubur dalam-dalam.

"M-Mas Emโ€”"

"Stop." Emir menahan tubuh Andrea yang terus berusaha mendekat dan memohon jawabannya. "Saya enggak tau apa-apa. Lupain omongan saya tadi. Control yourself, Andrea. Behave."

"Andrea, behave."

Tidak Andrea, tidak Emir, keduanya sama-sama merinding begitu mendengar suara setenang samudera menguar di telinga mereka.

Dona Hattala telah kembali. Kali ini tidak berpakaian serba hitam seperti saat pertama Emir jumpai di bawah derasnya hujan. Dia mengenakan kaus oblong putih berukuran besar yang mungkin milik Andrea, celana jeans pendek yang jelas miliknya sendiri, dan handuk kecil yang mengalung di lehernya. Rambut hitam perempuan itu masih setengah basah, tapi sekarang jelas bukan karena air hujan.

"K-Kak Donaโ€”"

"Kenapa begitu sama Emir? Mundur. Jaga jarak. Kalian berdua laki-laki. Apa maksudnya?"

Menyadari dirinya yang bersebelahan dengan Emir di sofa panjang ruang tamu, Andrea seketika mengambil jarak lebih jauh. Padahal, sebelumnya dia sendiri yang mendekati Emir dengan emosi yang menyelimuti diri. Terima kasih kepada Dona karena telah datang dan menyadarkannya.

"Apa maksudnya? Bukan apa-apa, Dona. Pertanyaan macam apa itu?"

Seolah-olah Dona mencurigai adiknya penyuka sesama pria.

"Nothing."

"Andrea enggak akan mungkinโ€”"

"Gue tau. Enggak perlu diperjelas, Em. Just ... tell me, kenapa lo di sini?"

Emir mengerutkan kedua alis, "Pertanyaan yang sama, Dona. Kenapa Dona di sini?"

"Gue ada urusan ...." Dona melirik ke arah adiknya di sofa, "... sama Andrea."

"Kalau begitu, sama."

Dona tidak mengerti maksud Emir, tapi lantas dia beralih menatap Andrea dengan penuh tanda tanya.

"Explain, Drea?"

"A-ah, itu ...." Andrea memainkan jari jemarinya frustrasi. Dia gugup bukan main. Bagaimana harus menjelaskannya kepada Dona? Andrea tidak mengerti. Namun, lebih dari apa pun, lebih baik dia jujur, 'kan? Andrea kemudian menjelaskan sejujur-jujurnya. Tentang bagaimana dia terburu-buru kembali ke Rumah Eyang ketika mengingat bahwa lukisan Kristian Luan lupa dibawa olehnya, tentang bagaimana Emir mendesaknya supaya tidak membawa lukisan itu di bawah hujan, hingga tentang bagaimana Tabita menyeret dan menghempaskan tubuhnya kepada Emir untuk menerjang hujan di bawah sedan tua sampai tiba di kediamannya sekarang.

Dona terlihat tidak terkejut sama sekali dengan penjelasan ini. Barangkali, dia sudah menenangkan diri setelah bertatap beku di bawah derasnya hujan tadi?

Dona tampak tenang seperti biasanya. Dia hanya menghela napas, memaklumi Andrea yang ketakutan dimarahi olehnya, lalu dengan begitu rendah hati menenangkan Andrea supaya tidak perlu khawatir lagi.

"That's okay. Kakak enggak marah. Enggak apa-apa kalau Emir di sini. Ini rumah Drea, bukan rumah Kakak. Izin sepenuhnya ada di tangan Drea, right?"

Andrea terdiam. Tidak salah apa yang dikatakan Dona, tapi entah dari mana datangnya ketidak percayaan diri Andrea untuk memberi sebuah izin. Dia merasa, Dona lebih berhak atas izin presensi Emir di sini.

"D-Drea nggak apa-apa, Kak. Kak Dona?"

"I'm okay."

Begitulah, Andrea menghela napasnya lega. Dona pun tampak tenang seperti biasa. Hanya Emir yang masih merasa tidak baik-baik saja. Seolah masih ada tanda tanya besar yang mengganjal di kepalanya.

"So ... ada apa di sini? Urusan apa malam-malam, Don?"

"Oh, itu." Dona santai membakar sebatang kretek, sebelum menjawab pertanyaan Emir. "Ada perayaan ulang tahun kecil-kecilan. Wanna join us?"

Perayaan ulang tahun kecil-kecilan?

Oh?

Lukisan Luan ... hadiah untuk Mama ... my mom loves paintings ....

Ini ... hari ulang tahun ibu Andrea?



Malam pukul sebelas lewat empat lima.

Tinggal lima belas menit lagi, dan hari akan berganti. Satu Desember sudah di depan mata, hitungan menit akan meninggalkan November dengan derai hujan yang tak kunjung usai.

Emir duduk melingkar bersama Dona dan Andrea. Kali ini, bukan di ruang tamu yang penuh lukisan Kristian Luan. Mereka bersama-sama duduk di halaman belakang, dengan cahaya lampu-lampu taman, dan bulan yang tidak begitu kelihatan. Awan menutupi keberadaan bulan malam itu, hujan masih turun dengan deras. Dan Emir masih belum mencuri kesempatan untuk bertanya tentang siapakah yang sesungguhnya berulang tahun di malam yang dingin ini.

Pasalnya, jika memang ibu Andrea yang sedang dirayakan ulang tahunnya, lantas di mana keberadaan beliau? Mengapa hanya ada Emir, Dona, dan Andrea, di sekeliling meja dengan satu kue kecil berhiaskan stroberi-stroberi merah? Lalu, di mana juga hadiah lukisan yang Dona pesan dari Kristian Luan? Omong-omong soal lukisan itu, Emir baru menyadari bahwa ia tidak melihatnya lagi setelah dikeluarkan oleh Andrea dari mobil sedannya. Di mana ... hadiah ulang tahun itu dan yang berulang tahun?

Mengapa hanya ada kue kecil dengan stroberi merah dan satu lilin yang berdiri kesepian?

Dan tas belanja itu ... tas belanja berlogo bunga krisan yang semula dibawa oleh Dona di bawah derasnya hujan, rupa-rupanya adalah tas pembungkus kue yang sedang ia pandang sekarang. Nasib baik kue itu baik-baik saja. Masih berbentuk lingkaran sempurna, tidak tergores sama sekali, tidak reyot sama sekali, tidak penyok sama sekali. Dona agaknya cukup berhati-hati ketika membawa kue ulang tahun ini. Kue ulang tahun yang tidak bernama, tidak memiliki hiasan apa-apa selain stroberi di atasnya, putih polos dan hanya memiliki satu batang lilin tinggi yang berdiri kesepian. Siapa yang merayakan ulang tahun dengan tema menyedihkan seperti ini?

Tentu, Dona Hattala.

Orang seperti Andrea yang segala hal kecil pun dapat dibuat heboh olehnya, tidak mungkin memiliki pikiran untuk merayakan sebuah hari ulang tahun dengan begitu sederhana.

Sudah pasti, ini ide Dona Hattala.

Kalau begitu, benarkah ini hari ulang tahun ibu Andrea? Emir agak sangsi memikirkan hal itu.

"Kak Dona, biar aku yang nyalakan lilin, ya."

"No need."

Dona melakukannya sendiri. Tidak dengan pemantik api yang dia punya, tapi dengan bara api dari kretek yang tengah menyala di bibirnya. Dona membuat bara kretek itu mencumbu lilin yang kesepian di sana.

Dia yang kesepian pun menyala hidup berkat Dona Hattala.

"Make a wish, Drea. Doakan dia sebelum harinya berakhir."

Andrea mematuhi tanpa protes sama sekali. Dia menautkan kedua tangan, kepalanya menunduk dengan mata terpejam, dia merapalkan doa dalam hatinya tanpa bisa didengar siapa-siapa. Melihatnya, Emir kemudian melirik kepada Dona. Perempuan itu melakukan hal yang sama, persis seperti yang dilakukan Andrea. Hanya saja ... dia tampak jauh ... jauh ... lebih serius dengan doa-doanya. Kedua alis itu sampai mengerut, seolah sedang benar-benar, sungguh-sungguh, mendoakan yang sedang berulang tahun di malam akhir November ini.

Lantas di tengah keheningan itu ... Emir ingin turut berdoa. Namun, untuk siapa? Untuk siapa ia mendoakan panjang umur dan kebahagiaan abadi? Untuk siapa ia ucapkan selamat ulang tahun? Untuk siapa ia ....

"L-Lien ...?"

Dan, sepatah kata dari suara serak wanita paruh baya pun memporak porandakan mereka yang tengah berdoa.ย 

Dona membuka mata, Andrea menoleh seketika, Emir pun turut memandang ke arah sumber suara.ย 

Di ujung sana, berdiri seorang wanita paruh baya dengan rambut acak yang diikat tidak sempurna, memandang dengan tatap mata penuh harap ke meja dengan lilin yang menyala.ย 

"Mama?"ย 

Lantas dia yang baru saja menyebut panggilan untuk ibunya, membuat jantung Emir menyentuh dasar bumi dalam seketika. Andrea. Wanita paruh baya itu adalah ibu Andrea.ย 

"Tante ... Amara?"

Dan penuturan barusan jelas membuktikan bahwa perempuan itu bukan ibunda Dona.ย 

Dia adalah Amara, ibu dari Andrea, dan ....

"L-Lien ...? L-Lien pulang, hm? A-anakku ... anak gadisku?"

Dialah ibu dari Lienna Rosaline.ย 

to be continue

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top