๐Ÿ‘๐Ÿ“ | ๐Š๐ซ๐ข๐ฌ๐š๐ง

Yang tidak Emir ketahui malam itu ....

Di balik kaca jendela Rumah Eyang, Tjandra Hattala dan cerutunya menyaksikan bagaimana sebuah sedan tua pergi dari halaman depan. Hujan deras mengguyur mobil Emir, penyeka kaca pun bergerak-gerak memberikan jalur pandang untuk sang pengendara di dalamnya.

Tatap mata Tjandra Hattala begitu kosong, ketika seluruh isi kepalanya mulai mengganggu dan membuat pandangannya kian memburam perlahan-lahan, beriringan dengan rasa sesak di dalam dada yang masih menggerayangi seorang pria lanjut usia.

Lantaran di dunia ini hanya dirinyalah yang mengerti dan mengetahui tabiat asli cucunya. Hanya seorang Tjandra Hattala yang memegang kunci rahasia masa lalu Dona Hattala. Hanya beliau yang mengetahui pahit manis, senang sakit, bahagia dan menderitanya seorang perempuan muda yang hidupnya berantakan bertahun-tahun silam.

Bagaimanapun, sebagai seorang kakek, Tjandra Hattala hanya bisa mengharapkan kebahagiaan untuk cucunya. Sudah lebih dari tujuh puluh tahun dirinya hidup di dunia, tidak ada lagi yang dia inginkan selain melihat Dona Hattala tersenyum seperti Dona di masa remaja. Seperti Dona sebelum bertemu Kristian Luan. Seperti Dona sebelum berpisah dengan Lienna Rosaline.

Dan Emir tidak tahu apa-apa tentang Dona Hattala.

Pemuda itu ingin apa? Memastikan lukisan Kristian Luan tidak kenapa-kenapa? Demi Dona supaya dia baik-baik saja? Tjandra Hattala nyaris tertawa parau di tengah suara deras hujan. Jika saja dia bisa berkata kepada Emir, tentang segalanya mengenai Dona Hattala, dia sungguh yakin Soerjotomo muda itu akan mengurung diri di kamar tujuh hari tujuh malam. Lantaran tidak ada seorang pun yang mampu membuat Dona merasa baik-baik saja, kecuali satu yang hingga detik ini masih tidak bersedia bertukar tawa dengan Dona seperti saat masa remaja mereka.

Sedan tua melaju menerjang derasnya air hujan, meninggalkan Rumah Eyang dan Tjandra Hattala dengan doa-doa semoga para anak muda tidak akan merasakan hancur yang terlalu besar.

Emir Soerjotomo tidak lain adalah yang Eyang doakan paling kencang. Pemuda itu ... sedikit banyaknya mengingatkan Eyang kepada cucunya sendiri. Berani bertindak gila ketika urusannya sudah tentang perasaan. Terlihat tenang di luar tapi berantakan di dalam.

Lalu tentang Dona Hattala, Eyang sudah ikhlas untuk apa pun pilihan hidupnya. Untuk siapa Dona berkorban, untuk siapa cintanya Dona dihabiskan, Eyang sudah ikhlas setelah lama bergelung dalam kekecewaan.

Kini, hanyalah Emir yang membuat beliau khawatir. Lantaran pemuda itu agaknya masih belum menyadari juga, dengan siapa sesungguhnya ia jatuh cinta.

Bagaimanapun, Eyang doakan semuanya tidak hancur berantakan.

Emir dengan sedan tuanya menerjang hujan bersama Andrea, sosok adik yang menyebalkan yang kini kerasukan hantu bisu. Dia diam saja sepanjang perjalanan, setelah membuka peta digital dan dia berikan kepada Emir, Andrea tidak bicara apa-apa. Wajahnya pun pucat, tegang, dia benar-benar seperti kerasukan hantu.

Emir juga tidak mengajaknya bicara. Sekadar menanyakan tentang jalan yang mereka tempuh pun tidak. Emir percaya kepada peta digitalnya. Dan ia yang pintar membaca peta, tidak perlu bantuan Andrea untuk diarahkan ke mana dan ke mana.

Barulah ketika sedan tuanya melewati sebuah gapura perumahan, Emir memastikan kepada Andrea bahwa mereka tidak salah masuk. Lantaran, sudah tinggal beberapa meter lagi untuk mereka sampai ke titik tujuan.

"Rumah nomor berapa? Blok apa? Kita udah masuk kompleks, Dre."

Andrea menelan salivanya, tangannya yang mengepal di atas paha tampak sedikit bergetar gelisah. Emir memerhatikan hal itu.

"Dre, saya nggak bakal apa-apain kamu di sini."

"Ha-haha, i-iya ... Mas Em."

"Iya, iya, jadi ini kita ke blok apa? Rumahmu nomor berapa?"

"B-blok L, n-nanti gue tunjukkin rumahnya."

"Oke."

Sedan tua melaju menuju blok yang disebut sang penumpang. Blok L, katanya. Lantas, Emir memerhatikan setiap tanda blok yang ia lewati hingga ia menemukan blok yang dimaksud. Blok L. Emir kemudian memelankan laju mobil.

"Rumahnya yang ...?"

"Ah, g-gapapa Mas Em. Berhenti di sini aja, nanti gue masuk sendiri bawa lukisannya."

Mendengar jawaban yang tidak sesuai apa yang ia harapkan, Emir pun kesal. "Di luar masih hujan, kamu ini beneran mau cari mati sama Dona, atau gimana? Lukisannya nanti rusak."

"A-ah ... gerimis aja itu. Gapapa, aman, Mas. Paling basahnya kena kain putihnya aja. S-stop di sini aja, Mas. Gue masuk sendiri."

Emir berhenti.

Tapi bukan untuk menuruti apa keinginan Andrea.

Sekelebat cahaya lewat, bersumber dari lampu motor tua yang melaju cepat.

Emir baru saja melihat sosok perempuan yang begitu ia kenal. Perempuan yang menerjang hujan dengan berlindung di balik jaket kulit hitam. Perempuan yang dengan motor tuanya baru saja melewati sedan Emir dengan kecepatan tinggi, yang kemudian berhenti tepat di depan salah satu rumah di dalam Blok L. Perempuan yang kemudian Emir lihat masuk ke dalam rumah itu bersama dengan motor tua Eyang. Pula, dengan sebuah tas belanja yang digantungkan di sisi kiri kemudi motornya.

Dona Hattala.

"K-Kak Don ...."

Tanpa repot-repot mengucap sepatah dua patah kata untuk menunjukkan betapa terperangahnya ia, Emir memilih untuk langsung tancap gas, impulsif mengikuti perempuan itu. Lalu berhenti tepat di depan rumah yang gerbangnya masih terbuka, berkat Dona Hattala dan motor tuanya.

Detik itu juga, bertepatan dengan Dona yang baru saja turun dari motor dan hendak menutup gerbang kembali, sedan Emir bertengger tepat di depan mata Dona Hattala.

Perempuan itu sontak terpaku, membeku, di bawah derasnya hujan yang mengguyur sekujur tubuh ia terperangah melihat seorang pemuda turun dengan berlindung di bawah payung.

Sialnya, Dona mengenal payung itu.

Bukankah itu payung milik pamannya? Payung di Kedai Krisan? Payung itu memiliki logo bunga yang sama, sama persis dengan logo di tas belanja yang Dona Hattala genggam. Bunga krisan.

"Hattala ...."

"... Emir."

Sementara dua insan yang terperangah satu sama lain tidak dapat berkata-kata, seorang pemuda lainnya tengah merapalkan doaโ€” berharap dirinya tidak akan dihukum oleh sang kakak dan dihantam oleh sang pemuja rahasia.

Dia, Andrea, telah membuat Dona Hattala dan Emir Soerjotomo saling berhadapan di bawah derasnya hujan dengan satu perasaan yang sama: rasa bingung tentang kenyataan dan rahasia semesta apa lagi yang akan mereka hadapi.

Tentang titik berdiri mereka saat ini, pula tentang bunga krisan yang ada dalam genggaman masing-masing.

to be continue

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top