๐Ÿ‘๐Ÿ’ | ๐’๐ž๐ฌ๐ฎ๐š๐ญ๐ฎ ๐“๐ž๐ฅ๐š๐ก ๐ƒ๐ข๐ฌ๐ž๐ฆ๐›๐ฎ๐ง๐ฒ๐ข๐ค๐š๐ง ๐๐š๐ซ๐ข ๐’๐š๐ง๐  ๐๐ž๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐š ๐‘๐š๐ก๐š๐ฌ๐ข๐š

Malam itu, di malam akhir bulan November turun hujan deras yang pada akhirnya benar-benar menghentikan Emir untuk pergi dari Rumah Eyang.

Kedai menjadi dingin berkat derasnya hujan, Emir bersama-sama dengan Eyang menghangatkan diri di dekat tungku api di sisi lain Rumah Eyang.

Cahaya berpendar menimbulkan bayang-bayang di wajah keriput tetua Hattala, membuat samar senyuman yang terukir lembut di bibirnya kala dia memandang api yang menyala. Emir tidak mengerti, apakah itu murni sebuah senyum setelah mengajak Emir untuk menjauh dari kerumunan dan duduk bersama di dekat tungku api, ataukah tersirat sedikit kesedihan di dalam hati. Lantaran Eyang tidak jauh berbeda seperti Dona Hattala, terlalu sulit untuk Emir kira apa yang sedang mereka rasa.

Dona pergi bersama Andrea di tengah malam bahagia Dion Danniswara, dan Eyang mempersilakannya seolah itu bukan sebuah masalah. Namun sekarang, apa yang Emir lihat di raut kakek tua itu adalah sedikit kesenduan di balik senyuman yang berpendar dengan cahaya dari tungku api yang menghangatkan.

Tapi, setelah lama kelamaan dilihat, Emir mungkin keliru mengiranya mengukir sebuah senyum sendu. Senyuman itu tidak lahir dari mata yang sedih, ekor mata Eyang melengkung mengikuti keriput seperti bibirnya yang tersenyum. Meski senyum itu tidak tertarik penuh di kedua ujung bibir, tapi sudah cukup membuat siapa pun yang melihatnya merasakan sebuah tulus hati di sana. Daripada kesenduan, senyuman Eyang lebih menyiratkan sebuah keikhlasan. Namun, keikhlasan atas ... apa? Apa yang Eyang ikhlaskan?

Detik selanjutnya, Eyang membuang pandang dari api yang berpendar. Dia mulai menyesap teh hangatnya, sebelum membunuh hening di sebuah meja dan kursi kayu tua di hadapan tungku api yang menyala.

"Kamu ini ... jangan kebiasaan ndiami teh, dingin itu."

Emir masih sama seperti waktu lalu, waktu ketika meringkuk kedinginan di sudut Rumah Eyang, ia mendiami tehnya hingga mendingin begitu saja.

Bukannya apa, tapi Emir tidak berselera untuk sekadar menyesap teh hangat sekarang. Meski di luar kaca jendela hujan turun begitu deras, Emir tidak begitu ingin menyesap teh hangat. Pikirannya menjalar ke mana-mana, hujan membuat isi kepalanya kembali kepada Dona Hattala.

Sekarang pun ia memikirkan, melamunkan, ke mana Dona pergi? Apakah dia kehujanan? Atau dia sedang berteduh? Atau justru perempuan itu nekat menerobos hujan dengan motor tua pemberian Eyang?

Seluruh pikirannya sekarang praktis membuat ia mendiami Eyang sebagaimana ia mendiami teh hangatnya.

"Emir ... Emir ...."

Eyang membakar cerutunya di sana, asap melewati pandangan Emir yang sedang tertuju ke arah jendela. Sontak membuatnya menoleh kepada Eyang, ia baru tersadar dirinya barangkali sedang diajak bicara oleh kakek dari perempuan yang ia pikirkan.

"Ya, Eyang. Maaf, sayaโ€”"

"Mikirin apa toh, Le? Dona?"

Emir terdiam, malu dan mengangguk membenarkan dugaan Eyang.

Melihat pengakuan Emir, Eyang menghela napasnya dalam-dalam.

"Jangan dipikirkan, nanti kamu yang terluka."

Suara itu tenang sekali, tidak terlalu bernada memperingatkan. Namun, Emir merasa seperti mendapat sebuah tanda besar untuk berhenti memikirkan Dona Hattala di tengah derasnya hujan. Benarkah itu yang seharusnya ia lakukan? Berhenti memikirkan segalanya sebelum ia terluka?

Emir lantas membalas peringatan Eyang dengan tersenyum tipis, dan saat ini ia memutuskan untuk menuruti kata-kata Eyang. Ia akan berhenti memikirkan Dona Hattala (untuk sejenak saja). Lalu, menghabiskan malam di tengah derasnya hujan dengan berbincang hangat bersama Eyang.

Namun, ketika Emir baru saja ingin mengalihkan topik pembicaraan, Eyang justru meneruskan.

Dia berkata, "Dengar, Le. Ada beberapa hal yang lebih baik terkubur dalam-dalam daripada berserakan di permukaan. Dan kalau hal itu sudah dikubur seseorang, baiknya jangan pernah kamu gali sejengkal tangan sedikit pun."

Berbeda dengan bagaimana menyikapi Dion dan Andrea, Eyang pun lebih serius ketika berhadapan dengan Emir yang jauh lebih menghormatinya. Dia tidak banyak bercanda dengan Emir, dia lebih banyak memberinya wejangan-wejangan sambil memegang cerutu di tangan. Yang tidak berbeda hanyalah senyum yang diberikan dari seorang Tjandra Hattala.

"Mengerti, Le?"

Emir menelan salivanya keras. Meski sambil tersenyum, Eyang mengatakan itu dengan menyiratkan keseriusan. Bahwa Emir tidak boleh mencari tahu lebih jauh, menggali lebih dalam, atas segala hal yang berkaitan dengan cucu Keluarga Hattalaโ€”Dona Hattala.

Namun, sebelumnya Eyang seolah-olah mengatakan ini demi kebaikan Emir. Eyang melarangnya supaya ia tidak terluka. Eyang tidak mau Emir terluka.

"Apa pun yang kamu mau tau ... percayalah, Le, ndak akan baik buat telinga, mata, dan pikiranmu. Jangan menyakiti diri sendiri."

"Saya ...."

"Biarkan apa yang seharusnya terkubur tetap terkubur. Jangan memaksa mencari tau apa yang ada di kedalaman sana. Jangan membuka peluang terperangkap dalam gelap. Jangan ...."

Jangan, jangan, jangan, dan jangan.

"Jangan apa lagi, Eyang?"

Selama ini, selalu kata 'jangan' yang disuguhkan oleh Eyang kepada Emir yang malang. Meski mungkin baik niatnya, tapi mengapa harus selalu melarang? Seolah-olah Emir tidak boleh melakukan apa-apa. Demi siapa ini sebenarnya?

"Jangan ...."

Emir diam menunggu larangan apa lagi yang akan keluar dari bibir Tjandra Hattala, tapi ....

"Eyaaaaaaang! Aku datang lagiiiiii! Lukisannya ketinggalโ€”eh? Mas Emir? M-Mas Em masih di sini?"

Bajingan kecil ini selalu datang di waktu yang tidak tepat. Sontak membuat Eyang berhenti berucap, dan Emir menahan amarahnya untuk tidak memuncak. Bocah tengil itu, Andrea, kembali ke Rumah Eyang dengan puncak kepala yang basah. Jelas sekali anak itu hujan-hujanan.

"H-heheh ... heheh ... anu, Eyang ... D-Drea izin ambil lukisan, ya."

"Iyโ€”"

"Lukisan apa?"

Kali ini, Emir berani menyela Eyang dan Andrea. Maafkan atas ketidaksopanan ini, tapi Emir sudah tidak bisa memberi kelonggaran untuk Andrea lagi.

"Oh?" Dan Emir teringat satu hal. "Lukisan ... Luan?"

Tentunya, Emir merujuk kepada lukisan yang hari lalu dibawa oleh Arsenio dan pelukisnya, Kristian.

Ketakutan Andrea seketika kembali berkat suara mencekam dari Emir Soerjotomo. Entah mengapa juga, dia gelagapan mendengar dugaan Emir yang terlalu tepat sasaran. Emir kadang-kadang lumayan mengerikan, dia bisa menebak tanpa meleset. Dan adalah benar bahwa Andrea kembali untuk mengambil lukisan yang dimaksud Emir, lukisan buatan Kristian Luan.

Andrea tidak tahu harus menjawab dengan bagaimana, tapi matanya secara spontan melirik ke arah dinding yang berseberangan dengan dinding tungku api. Emir otomatis mengikuti arah pandang bocah itu, dan mendapati kanvas berbalut kain putih tersandar di dinding Rumah Eyang.

Dan ia baru menyadarinya sekarang.

Bahwa lukisan Kristian Luan entah sejak kapan singgah di Rumah Eyang.

"H-haha, iya. Iya, Mas Em. L-lukisannya Luan. Gue ambil, ya!"

Tanpa memerlukan persetujuan Emir, Andrea bergegas mengambil kanvas berbalut kain putih sebesar rentangan tangan. Eyang di sana hanya diam, santai mengisap cerutunya sambil memerhatikan Andrea, seolah apa yang Andrea lakukan sudah biasa dalam pandangan Eyang.

Lebih daripada itu, Emir tidak mengerti, apakah dirinya yang bodoh di sini?

Mengapa Eyang bisa begitu santai ketika sudah jelas Andrea akan membawa lukisan itu di bawah derasnya hujan?

Lupakan sejenak soal muaknya Emir dengan Andrea, Emir menaruh perhatian kepada lukisan Kristian Luan.

"Drea." Ia akhirnya menghentikan langkah bocah tengil yang baru ingin menuruni anak tangga. Eyang pun sontak menoleh kepadanya. Namun, Emir tetap beranikan diri untuk menghentikan Andrea meski sudah ditatap penuh kecurigaan oleh Tjandra Hattala.

"Mau dibawa ke mana lukisan itu? Di luar hujan deras. Mau buat masalah sama Dona atau apa?"

Sedekat-dekatnya Andrea dengan Dona, Emir tidak bisa membiarkan bocah itu sembarangan membawa lukisan yang Dona beli dari satu pelukis tertentu. Walaupun masa lalu Dona dan Kristian Luan masih abu-abu dan samar di kepala Emir, Emir tetap akan membela Dona dengan mengamankan lukisan itu dari tangan serampangan Andrea.

Jika lukisan-lukisan Kristian Luan yang terpampang di dinding Rumah Eyang, rumah Dona, dan rumah Andrea adalah bukti kasih seorang Dona Hattala, maka Emir akan bantu memelihara kasih itu. Emir tahu rasanya mengasihi seseorang yang disayangi. Dan jika ada yang sengaja ataupun tidak sengaja menghancurkan, Emir akan maju sebagai orang yang melawan.

Sekalipun pelakunya adalah Andrea, Emir tidak akan memberikan perlakuan khusus.

Eyang berdeham memecah ketegangan.

"Drea ... Mas Em nanya kamu, Le."

"A-ah ... iya, Eyang. Ini lukisannya ... kata Kak Dona buat di rumah Drea lagi. I-ini ... hadiah buat Mama. Jadi mau Drea bawa pulang. Aman kok nggak kena hujan, Drea nanti minta plastik sama Bita buat cover kanvas-nya."

"Dibawa besok saja, tetap ndak aman begitu lho. Kamu ini jangan senangnya mbikin Mas Em khawatir."

"Iya, Eyang. Tapi, 'kan ...." Andrea melirik Emir lagi, dan sedetik setelahnya dia menyesal karena hanya mendapati tatapan tajam dari Emir Soerjotomo. "Ah, pokoknya aman, Eyang. Drea bawa dulu! Nanti kemalaman, Kak Dona-nya udah nungguin Drea."

Sekarang, dia membuat Emir mengernyit. Pertama, lukisan Kristian Luan dijadikan hadiah untuk ibu Andrea. Kedua, Andrea sudah ditunggu Dona. Apa-apaan ini? Bukannya Dona ada di pihak Emir dan sedang mendiami Andrea? Mengapa tiba-tiba Dona berputar haluan?

"Bye, Eyang! B-bye ... M-Mas Em."

"Andreโ€”"

"Emir."

Lagi. Eyang mengehentikannya lagi.

"Kamu lihat sendiri, Eyang pun ndak didengar, Le. Kamu ndak perlu buang-buang tenaga untuk Drea."

"Eyang ... tapi lukisan Donaโ€”"

"Biarkan saja. Kalau dia bilang aman, ya sudah jadi urusan dia kalau lukisan Dona kenapa-kenapa. Eyang paham, lukisan itu ndak murah, dan bikin kamu khawatir toh? Tapi jangan khawatirkan Dona terlalu dalam, Le. Percayalah, dia mesti baik-baik saja."

Emir sudah tidak bisa mengerti lagi jalan pikir Keluarga Hattala ini. Mengapa mereka semua selalu bisa menghadapi segala hal dengan tenang?

Baik-baik saja apanya? Apanya yang akan baik-baik saja jika lukisan itu rusak karena ulah tangan ceroboh Andrea?

Tangan bocah itu pernah menumpahkan teh di meja hingga panasnya menjalar ke kaki Emir, tangan bocah itu pernah memutuskan rambut-rambut bow cello Emir yang dia main-mainkan seperti anak kecil, tangan bocah itu pernah menghubungi Dion untuk membawa Emir ke toko Pak Tua dan membuatnya bertemu Lienna. Apa yang akan baik-baik saja ketika tangan ceroboh Andrea sudah mulai beraksi lagi?

Tidak, ini tidak bisa dibiarkan.

"Eyang, maaf. Saya izin antar Andrea supaya lukisan Dona nggak kehujanan."

"Le, kamu ini ... jangan memikirkan hal-hal terlalu berlebihan. Andrea ndak mungkin sembarangan dengan barang-barang Dona. Anak itu sayang sama Dona lebih-lebih daripada Eyang, Le. Lebih-lebih daripada kamu."

Emir kali ini enggan menyerah dan mengalah. Ia percaya bahwa Andrea menyayangi Dona, ia percaya akan kata-kata Eyang. Tapi ... ia tidak percaya dengan tangan ceroboh anak itu.

"Maaf, Eyang. Saya pamit."

Lantas di detik setelahnya, terlihat Eyang yang menghela napas pasrah. Keras kepalanya anak muda memang tidak pernah bisa dilelehkan oleh sekadar nasihat orang tua. Bahkan seseorang yang penuh kehormatan seperti Emir, pada akhirnya tetap tidak bisa memegang prinsip untuk mematuhi kata-kata Eyang. Ia terbakar oleh egonya sendiri, dan ia sudah memutuskan untuk pergi.

Di lantai bawah Rumah Eyang, Dion Danniswara dan tim resitalnya masih bercengkerama bahagia. Emir tidak ingin mengganggu mereka, sehingga ia langsung melewati meja panjang itu begitu saja. Tidak ada tatapan-tatapan bingung yang ia gubris. Baik itu dari Dion, tim resitalnya, Bita, dan bahkan Bian yang berdiri di belakang konter mesin kopi. Emir hanya fokus melangkah untuk menemukan Andrea, melewati meja-meja dan kursi kayu yang sudah tua, hingga langkahnya terhenti di sudut Rumah Eyang dekat dengan pintu keluar. Ia mendapati Andrea di sana sedang berjongkok, tampak kesulitan dengan plastik-plastik besar dan tali rapia yang berserakan di lantai. Agaknya, ia mendapat sedikit masalah untuk membungkus lukisan Kristian Luan.

"Perlu bantuan?"

Suara tenang Emir membuat punggung Andrea merinding. Tangannya yang menggenggam tali seketika membeku, tubuhnya menegak, dan perlahan kepalanya menoleh ke belakang.

"M-Mas Em ...."

"Bangun. Bawa lukisan itu ke mobil saya. Saya antar."

Andrea terbelalak, air mukanya benar-benar penuh ketakutan. Seolah Emir baru saja menyemburnya dengan sebuah kutukan. Emir lantas membatin, apa yang membuatnya takut?

Andrea tidak bergerak. Emir yang perlahan-lahan mulai kehabisan stok kesabaran untuk cucu kesayangan Tjandra Hattala ini akhirnya bergerak mengambil lukisan itu sendiri. Kanvas berbalut kain putih ia bawa dengan kedua tangannya, keluar dari pintu jati Rumah Eyang. Terima kasih kepada Bian yang sigap membukakan pintu untuk Emir, ketika Andrea masih melongo tidak percaya di sudut kedai.

Bahkan ketika Emir sudah memasukkan lukisan itu ke dalam mobilnya, Andrea masih mematung dan membuat Emir mau tidak mau kembali masuk ke Rumah Eyang hanya untuk memanggil Andrea.

"Drea, ayo."

Tubuh Andrea masih tidak bergerak, tapi bola matanya bergerak gelisah menatap tangannya sendiri yang kini kosong tidak memegang lukisan lagi. Hanya ada plastik-plastik tidak terpakai, dan tali rapia merah yang terbengkalai di tangan.

"Dreโ€”"

"Andrea!!! Dipanggil Mas Emir!!!"

Gelegar suara Bita bagai kilat yang menyambar Andrea. Bagus sekali, Tabita. Gadis itu memang bisa diandalkan untuk urusan menaklukan seorang Andrea. Tanpa diminta, gadis itu keluar dari meja riang gembira Dion Danniswara dan menyeret Andrea bangkit dari sudut kedai.

Kemudian, menyerahkannya kepada Emir.

"Maaf ya, Mas. Andrea agak bolot."

Tidak seperti biasa, Andrea tidak melawan Bita. Dia diam dan patuh saja ketika tangannya ditarik dan tubuhnya dihempaskan ke sisi Emir. Namun, dia masih tidak berani menatap mata yang membencinya itu. Andrea tetap menunduk, dengan tangan yang menggenggam tali yang tidak terpakai lagi. Lantaran Emir bersedia untuk mengantarnya, membantunya membawa lukisan Kristian Luan di bawah deras hujan, menuju kediamannya yang tenang di akhir bulan November ini, menuju rumah yang tengah dituju Dona di bawah derasnya hujan dan kilat-kilat langit malam yang mencekam.ย 

Gemuruh guntur semakin membuat Andrea tidak tenang. Dirinya ketakutan dalam diam.ย 

Andrea telah kalut dalam pikirannya sendiri, memikirkan bagaimana dia akan menghadapi Dona, memikirkan bagaimana dia akan menjelaskan kepada Emir, memikirkan bagaimana petir akan menyambar keduanya ketika semesta membuat mereka saling menatap dalam sebuah kejutan.

Pula, memikirkan tentang bagaimana dia akan menebus dosa-dosanya kepada mereka yang dia permainkan.ย 

to be continue

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top