๐๐ | ๐๐๐ฅ๐๐ฆ ๐๐๐ฌ๐ข๐ญ๐๐ฅ ๐๐ข๐จ๐ง ๐๐๐ง๐ง๐ข๐ฌ๐ฐ๐๐ซ๐
Resital Dion Danniswara berakhir. Pancaran cahaya lampu panggung berpadu dengan senyum sang violinis yang berfoto bersama penguji serta pembimbingnya. Tim resital Dion sibuk di sana sini, memotret setiap momen resital, mengabadikan persembahan terakhir Dion Danniswara sebagai mahasiswa seni musik.
Setelah ini, pemuda berambut seperti gumpalan cokelat itu tinggal menyusun laporan tugas akhir. Emir dari kursinya turut bertepuk tangan dan tersenyum ketika resital itu berakhir. Tak menampik gejolak dalam hati, ia sendiri memikirkan proposal resital yang masih belum selesai. Tapi Emir bukan orang yang dengki hati, melihat Dion tersenyum bahagia dengan buket bunga di tangannya, ia pun merasa bahagia. Turut bangga sebagai teman seperjuangan selama menjadi mahasiswa.
"Emir, Emir! Itu, Bre, tolong suruh Emir naik ke sini. Dona sama Andrea juga ya, Bre. Suruh foto sama-sama."
Emir mendengar, tapi suara Dion memang tipis karena teredam keriuhan ruang Recital Hall sampai membuat dia harus meminta tolong tim resitalnya untuk menarik Emir, Dona, dan Andrea ke panggung resital.
Emir tidak mau banyak drama, jadi ia langsung menurut begitu tim resital Dion menghampirinya dan membawa ia bersama Dona naik ke atas panggung. Sekilas ia lirik Andrea di ujung kursi, seorang tim resital Dion yang lain tengah membujuknya untuk naik ke atas panggung. Namun, seperti yang Emir duga, anak itu akan melirik kepada Emir lebih dulu sebelum memutuskan untuk naik atau tidak ke atas panggung resital.
Mendapati tatapan takut dari Andrea, Emir memalingkan wajah acuh tak acuh. Ini hari milik Dion Danniswara, ia hanya berada di sini untuk Dion Danniswara, bukan untuk bocah tengil itu. Apa pun yang akan dia lakukan, Emir tidak mau peduli. Ia naik ke panggung resital bersama temannya, Dona Hattala.
"Itu Andrea kenapa lagi, sih? Tantrum mulu." Dion mengoceh sebal. Kanan kirinya kini sudah berdiri dua manusia yang menjulang tinggi, tapi masih kurang satu lagi untuk menyempurnakan formasi ini. "Hattala, coba itu adek lo diajak ke sini."
Baru Dona ingin turun dan memanggil, tim resital Dion sudah menyeret Andrea dengan galak. Spontan membuat Dona membeku, siapa lagi perempuan bermasker itu? Betapa tidak sabarnya, dan betapa kejam dia menyeret Andrea yang merengek menolak untuk naik ke atas panggung. Dion sendiri melihatnya dengan salut, bangga kepada perempuan itu karena mampu membuat kaki panjang Andrea bergerak sedikit-sedikit meski terpaksa.
"Naik!"
"Aaaaaah, nggak mauuuuu!!! Ada Mas Em!!! Kan gue udah bilang ih, gue lagi sleeeeek!!!" Andrea merengek tak sudah-sudah. "Huaaaaa! Ayolah, plislaaaaaaaah, gue nggak mauuuuu! Gue nggak mau naik, pliiiiiiis!"
Gerah, perempuan itu akhirnya melepas masker dengan kesal dan menyumpalnya ke mulut Andrea. Andrea sontak terkejut, tapi tentu hanya sedetik sebelum dia melepeh masker dari mulutnya, dan berteriak lebih kencang.
"AAAAAAAH! TABITAAAAAA!!!"
"Jangan bikin gue kerja lembur cuma gara-gara lo tantrum ya, Drea!!!"
Dion terkikik geli di atas panggung, sedangkan Dona merasakan malu yang secara otomatis membuat dia memijat pelipisnya. Baru ketika Dona mendengar teriakan Andrea, dia mengetahui siapa perempuan galak itu. Tidak lain tidak bukan adalah Tabita, barista di kedai kopinya, Rumah Eyang. Dia adalah Bita yang tanda namanya memiliki gambar bintang, dan Bita yang lebih hobi berdiri di belakang mesin kasir daripada membuat kopi. Tabita.
Dona tidak melupakan fakta bahwa Tabita atau Bita adalah mahasiswi seni musik tahun pertama di kampus mereka. Praktis, gadis itu adalah junior Dona. Hanya saja, dia baru tahu bahwa baristanya sendiri merupakan bagian dari tim resital Dion. Hal yang sama juga mengejutkan Emir. Tidak ada yang tahu Dion menggandeng gadis muda itu ke dalam tim. Gadis muda yang bukan main galaknya kepada Andrea.
"Tabita, pleaseeeeee!!! Noooo!!!"
Sedikit tentang Bita, dia itu tidak ada segan-segannya dengan Andrea meskipun dirinya tahu Andrea adalah kesayangan bos besarnya (Eyang) dan adik manja seniornya (Dona). Di Rumah Eyang, hanya Bita yang berani menjewer Andrea ketika dulu Andrea menumpahkan teh di meja Emir. Walaupun Dona sudah mewakilkan permintaan maaf Andrea dan membuatnya aman dari amarah Emir, Andrea tetap tidak aman dari jeratan tangan Bita. Gadis itu berada di urutan pertama sebagai seseorang yang berani menghardik adik Dona Hattala.
Lantas, melihat pemandangan yang sama terulang di Recital Hall, tidak lagi membuat Dona dan Emir merasa heran.
Bita menjewer telinga Andrea, menariknya ke atas panggung secara paksa, tidak peduli dan tidak ada iba-ibanya sama sekali kepada Andrea yang merengek habis-habisan.
Jangankan Dona, Emir yang bukan kakaknya saja merasa malu bukan main hingga harus memaksakan senyum simpul kepada dosen penguji dan pembimbing yang diam-diam menertawakan Andrea. Dion sendiri cuek, dia tertawa menikmati pertunjukkan tantrum ini sebagai hiburan.
"Tabiโ"
"Bang Dion! Ini Drea-nya!"
Mana sempat, Andrea tidak sempat lagi untuk mengeluh karena tiba-tiba dia sudah dilemparkan ke atas panggung oleh gadis yang mulai detik itu dia tempatkan pada posisi pertama sebagai musuh besarnya. Bita membuat Andrea tidak memiliki waktu lagi untuk merengek, dan sekarang Dona yang berdiri di sana sudah melemparkan tatapan tajam. Seolah mengatakan, diam sekarang atau jangan sebut Dona Hattala sebagai kakakmu lagi.
Andrea lantas mau tak mau menuruti keinginan para seniornya itu. Keinginan Dion, lebih tepatnya, untuk berfoto bersama sebagaimana yang dia bayangkan di hari lalu.
Maka, tidak berlama-lama lagi mereka pun berdiri sejajar. Kiri ke kanan dari sudut pandang kamera ada Emir, Dion dengan buket bunganya, Dona, dan Andrea. Oh, betapa kontras tinggi badan Dion di antara mereka bertiga. Dion seperti memiliki tiga pengawal!
Foto-foto itu diambil beberapa kali. Mulai dari bergaya formal dan normal, hingga sampai muncul gerakan-gerakan tidak penting dari Andrea yang tantrum, semua terabadikan dalam potret kamera fotografer. Emir beberapa kali tertangkap kamera dengan wajah heran melihat Andrea, beberapa kali juga terlihat sinis, dan beberapa kali terlihat menampilkan senyum maklum ke arah kamera. Sementara Dion banyaknya terlihat tertawa, terbahak-bahak karena ulah gila adik Dona Hattala yang terus-terusan merengek untuk turun panggung meski foto belum selesai. Dona sendiri banyak tertangkap kamera dengan wajah tajam menghakimi adiknya. Kacau sekali. Dari puluhan foto, sepertinya hanya hitungan jari yang dapat dikatakan normal.
Bagaimanapun, resital malam itu berjalan dengan baik hingga semuanya selesai. Seluruh tamu undangan Dion bubar dengan suasana hati gembira. Bahkan tim resitalnya tidak menunjukkan wajah lelah sedikit pun, mereka cenderung banyak tersenyum. Betapa orang-orang yang menyenangkan yang mengelilingi Dion Danniswara.
Pasca resital selesai, Dion membawa teman dan tim resitalnya menghabiskan malam di Rumah Eyang. Semua bahagia, semua tertawa, semua bersorak untuk Dion Danniswara yang menyejahterakan perut mereka. Bahkan, Emir yang biasanya mengeluarkan uang untuk makanan dan minuman Dion di Rumah Eyang, kali ini menyimpan dompetnya dengan aman. Ia turut bercengkerama bahagia dengan Dion dan yang lainnya. Tapi tak lupa, ia masih terus memerhatikan Dona Hattala.
Perempuan itu duduk berseberangan dengan dirinya, tapi adiknya tidak ada di sana. Andrea secara ajaib lebih memilih untuk duduk bersama Bita yang sudah menjewernya di Recital Hall tadi. Agaknya, bagi Andrea lebih baik duduk dengan seseorang yang dia tetapkan sebagai musuh, daripada duduk dengan seseorang yang menetapkannya sebagai musuh. Emir meliriknya sekilas di ujung meja yang jauh, dan kembali kepada Dona di hadapannya lagi.
Dona sibuk dengan ponselnya sendiri, dan yang seperti ini praktis dianggap Dion sebagai polusi. Dion tidak suka jika ada yang sibuk sendiri ketika sedang kumpul bersama-sama. Maka tiba-tiba saja, Dion berbicara asal kepada Dona. Sudah pasti untuk mengalihkan Dona dari ponselnya itu.
"Ey, Hattala." Dion menegurnya. "Hapean terus sih? Itu adek lo nggak diajak ngobrol? Kesian tuh malah jadi bahannya Bian Bita."
Dona tidak peduli, meski benar bahwa di ujung meja sana Andrea dijadikan bahan tertawaan Bian dan Bita karena sedang dijauhi olehnya, dia tetap fokus pada ponselnya sendiri. Entah apa yang sedang Dona lihat di sana sampai-sampai dia seserius itu seolah tidak bisa diganggu. Namun, meski sudah jelas Dona membangun dinding penghalang, Dion masih tidak kenal kata menyerah.ย
"Kenapa sih? Masih marah sama Drea gara-gara kemarin?"
Dona tetap tidak menjawab, dan Emir yakin Dion baru saja membahas soal tingkah Andrea yang membuat semuanya jengkel hari lalu.ย
"Dion."
Suara serak pun terdengar tiba-tiba di tengah canda tawa dan obrolan meja Dion Danniswara, tapi yang jelas bukan suara Dona Hattala.
Suara itu datang bersamaan dengan suara ketukan tongkat. Sontak membuat Dion, Emir, dan Dona menoleh ke arah sumber suara. Kehadiran sosok itu mutlak membuat semuanya teralihkan.ย
Sang tuan besar Rumah Eyang telah datang, Tjandra Hattala.
"Eyang!"
Dion berseru girang. Memang sejatinya pemuda ini mudah akrab dengan siapa pun, dan Eyang bukanlah sebuah pengecualian. Sebagaimana akrab dengan cucunya, Dion juga akrab dengan eyang itu sendiri.ย
Dia bangkit dan langsung menyambar mencium tangan Eyang.
Dan Eyang menepuk-nepuk rambut pemuda yang ikal itu, diikuti dengan suara serak namun penuh rasa bangga. "Selamat, selamat, sudah hampir selesai ya?"
Dion mengangguk-angguk senang, "Sebentar lagi lulus, Eyang, habis itu mau melalang buana ke luar negeri main biola kayak Eyang dulu! Hehehe!"
Eyang terkekeh kecil. Barangkali, Dion telah membuatnya mengingat memori-memori menyenangkan di masa muda seorang Tjandra Hattala. Dia pernah menjalani hidup sebagai pemain biola yang hobi melalang buana, pergi ke seluruh penjuru dunia, sebelum tua dan menjadi kakek kesayangan dari cucu dan 'cucu-cucunya'.
"Eyaaaaaang!!!"
Termasuk cucu yang satu ini, yang tiba-tiba datang dengan berlari kecil seperti bocah yang baru melihat kakeknya lagi setelah berpisah selama satu semester sekolah. Tapi, memang yang satu ini agaknya sudah kehilangan urat sopan santun. Dia tidak repot-repot mencium tangan Eyang, dia langsung memeluk Eyang begitu saja. Dan baru setelahnya, dia ingat untuk mencium tangan.
Lalu begitulah, mereka pun asik bercengkerama bertiga. Eyang, Dion, dan Andrea.
Emir yang tidak begitu sering bercanda dengan Eyang dan lebih banyak menaruh hormat kepada tetua itu, lantas hanya diam di tempat setelah bersalam sopan dengannya. Dona sendiri yang bernotabene sebagai cucu asli Eyang, tidak begitu hangat untuk diajak bercengkerama seperti Dion dan Andrea. Selepas melihat eyangnya datang, Dona hanya kembali sibuk dengan ponsel. Bagusnya, sebelum itu dia tidak lupa untuk menyalami kakeknya sendiri.
Emir yang melihat bagaimana Dion dan Andrea begitu luwes bercanda, mengobrol, dan tertawa bersama Eyang ketika Dona hanya diam dalam gelembungnya ... membuat Emir agak sedikit tersadar.
Mungkin, alasan Andrea disebut-sebut sebagai kesayangan Eyang adalah karena pemuda itu mampu menyenangkannya untuk diajak bercengkerama selayaknya seorang cucu dan kakek. Hal yang sama juga berlaku untuk Dion, hanya saja ... Dion tdak terlalu gamblang bermanja-manja dengan Eyang. Andrea lebih daripada itu. Tapi, biar bagaimana pun ... keduanya mampu membuat Eyang tertawa lepas. Ketika pada kenyataannya, Tjandra Hattala tidak mendapat canda tawa itu dari cucunya sendiri, Dona Hattala, yang dingin dan kokoh seperti gunung es. Dona sama sekali tidak terlihat bisa bermanja-manjaan dengan Eyang sebagaimana Dion dan Andrea sekarang.
"Eyang, tau nggak Eyang, tadi itu resitalnya Bang Dion tamunya pakai baju hitam semua. Ih udah gila Bang Dion ini. Semua tamu dia disuruh pakai baju hitam!"
Eyang tertawa, tapi Dion tidak. Pemuda itu jelas menimpali Andrea, "Biar estetik, Dre. Buset deh nggak paham-paham lo dari kemaren! Jangan didengerin, Eyang, dia mah nggak waras."
"Aih?! Nggak waras?! Aduh tolong, kaca mana kaca?!"
Begitu saja, begitu terus, dan apa pun yang mereka katakan Eyang hanya akan menanggapinya dengan kekehan. Emir melihatnya seperti kakek tua yang bahagia bermain dengan cucu-cucunya.
Lantas Emir rasa, semua berjalan baik-baik saja malam hari itu.
Andrea bahkan agaknya lupa dengan ketakutannya kepada seorang Emir Soerjotomo, berkat presensi Tjandra Hattala. Dia mendadak berani ikut duduk bersama Eyang dan Dona yang praktis membuatnya satu meja dengan orang yang dia takuti, Emir.
Pemandangan ini sontak membuat Emir merasa semuanya sudah bisa dianggap baik-baik saja.
Setidaknya, begitu sampai tiba-tiba terdengar suara Dona Hattala.
"Eyang, Dona pamit pulang."
Canda tawa antara Eyang, Dion, dan Andrea sontak terhenti karena sang cucu asli sudah buka suara. Dan kata-katanya agak tidak enak terdengar di telinga. Meninggalkan meja yang ramai ketika semua sedang berbahagia, terlihat sedikit tidak etis tapi begitulah kenyataannya. Dona ingin meninggalkan meja.
"Dona ada ...."
"Iya." Eyang tersenyum, tampak tidak kecewa sama sekali. "Pergilah." Dia memotong Dona dengan tersenyum lembut, seolah sudah mengerti apa kata-kata yang mungkin tersangkut di tenggorokan cucu satu-satunya. Kata-kata yang mungkin terlalu sulit untuk Dona katakan di meja di tengah teman-temannya.
Emir yang masih selalu memerhatikan Dona, melihat perempuan itu menelan saliva sebelum mengangguk kepada sang kakek.
Dia kemudian mencium tangan kakeknya, lalu bangkit dan pergi meninggalkan meja setelah berpamitan singkat dengan yang sedang memiliki acara: Dion, dan tidak lupa juga berpamitan kepada temannya: Emir.
Sedikitnya, Emir merasa tidak terima jika Dona pergi begitu saja. Ia hendak mengejar, mencegah Dona pergi supaya mereka bisa melewati malam bahagia Dion bersama-sama, tapi ... suara Eyang tiba-tiba menghentikannya.
"Emir."
Tjandra Hattala praktis membuat Emir memaku diri di kursi.
"Mau ke mana, Le?"
"Ah, a-anu ... Eyang. Itu, Dona ...."
"Ndak apa-apa, dia ada urusan."
"Tapiโ"
"Eyang, Drea ikut Kak Dona ya!"
Emir terbelalak. Andrea ... memang bocah tidak tahu sopan santun! Eyang belum memberi izin apa pun, dia sudah bangkit dan pergi mengejar Dona Hattala yang entah sudah berjalan ke mana. Tingkahnya itu berhasil membuat Eyang menghela napas, menggelengkan kepala, dan menyesap teh hangat yang tersedia di meja Dion Danniswara. Namun, hanya begitu. Eyang hanya bergeleng kepala seolah tidak habis pikir dengan tingkah Andrea, tapi dia tidak menghentikannya. Eyang tidak menghentikan Andrea.
Sementara Emir ....
Bukankah dirinya baru saja dihentikan oleh Eyang untuk mengejar dan mencegah Dona pergi? Lalu mengapa ... mengapa Andrea boleh?
"Lah itu bocah? Bukannya lagi didiemin Dona?"ย
Kata-kata Dion agaknya berhasil menarik perhatian Eyang. "Hm? Dona ndiami Drea?"ย
"Iya, Eyang. Itu lho, gara-gara itu bocah ada ...." Dion ragu melanjutkannya. Dia melirik Emir sekilas, sebelum akhirnya melanjutkan setelah mendapat anggukan kecil Emir. "Dia ada ribut sama Emir kemarin. Ribut kecil lah, bukan masalah besar."ย
"Lho kalau begitu kenapa Dona ndiami Drea? Bermasalahnya sama Em kok?"ย
Masuk akal. Pertanyaan yang masuk akal hingga membuat Emir dan Dion tidak bisa menyangkal. Tidak berucap jujur kepada Eyang tentang Dona Hattala adalah sebuah kesalahan besar. Karena biar bagaimana pun, sedekat apa pun Emir dan Dion dengan Dona Hattala, Eyang tetaplah sosok yang menyaksikan bagaimana cucunya tumbuh dan melewati masa-masa kehidupan. Maka jelas sekali dan wajar sekali jika Eyang mendapati kejanggalan yang tidak sesuai dengan sikap cucunya sendiri:ย Dona Hattala tidak pernah memusuhi seseorang yang tidak bermasalah dengan dirinya. Tapi ... ah, tidak, tidak. Dia bahkan agaknya tidak mengenal kata permusuhan. Lantas aneh rasanya melihat Dona jika benar dia mendiami Andrea.ย
"Ada apa lho, Le?"ย ย
"A-ah ... itu, Eyang ... Andrea-nya ...."ย
Dion lagi-lagi ragu, dia kembali melirik Emir untuk memastikan lagi apakah dia boleh membeberkan soal kemarin atau tidak kepada Eyang yang sangat menyayangi Andrea.ย
Emir sendiri hanya diam, tidak memberi kepastian apa-apa kepada Dion untuk boleh berbicara atau tidak boleh berbicara.ย
Persetan, Dion beberkan saja semuanya.ย
"Andrea kemarin ada masalah sama Emir, tapi diaย pura-pura nangisย buat lari dari penjelasan. Jadi ya ... Dona marah, Eyang. Karena Dona udah belain Drea waktu Emir emosi, eh dianya malah lari pake alibi nangis. Si Drea bikin kita iba, tapi aslinya mah itu bocah emang mau kabur aja. Dion juga sempat kesal sih, Eyang, tapi ya ... Dion nggak bawa hati. Nah, kalau Dona mungkin beda. Dia 'kan walaupun muka lempeng gitu tetap aja agak sensitif. Jadi kayaknya sih dia kesal tuh sama Drea soal kabur kemarin. Pokoknya gitulah, Eyang. Ribet masalahnya. Padahal ini akarnya cuma soal satu cewek. Eyang jangan pikirin, nanti pusing.ย
Ini aja sekarang Dion yang bingung, kenapa itu bocah berani amat ngintilin Dona? Perasaan Dona-nya masih dingin tuh."
Setelah mendengar penjelasan panjang lebar itu, Eyang tidak langsung menjawab.ย
Beliau justru menoleh ke belakang, melihat kalender dinding yang disobek setiap hari. Angka dan bulan di sana menunjukkan tanggal 30 November. Lalu entah apa alasannya, beliau tiba-tiba tersenyum teduh.ย
"Eyang, maaf saya dan Andrea ...."
"Sudahlah, Em."ย
Eyang berbalik beralih menatap mata segelap obsidian. Tatapan teduh itu seketika membuat Emir menelan salivanya keras. Eyang telah memotong permintaan maafnya, dengan kelapangan dada. Dengan ketulusan hati. Tidak ingin rasa bersalah Emir diungkit di sini.ย
"Jangan khawatirkan itu. Jangan khawatirkan Dona. Jangan khawatirkan Drea."
Benar, tapi .... "Tapi, Eyang, sekarang Drea ...."
"Biarkan dia, Em. Eyang pun ndak bakal didengar kalau sudah persoalan dengan kakaknya."ย
Emir lantas terdiam. Eyang memang tidak salah, tapi kenyataan ini masih tidak bisa Emir terima. Mengapa pula dirinya harus dicegah ketika Andrea boleh pergi mengejar Dona?
Lantas terjadi hening di antara tetua Hattala dan Soerjotomo muda yang merasa sedikit kecewa. Gemuruh guntur pun terdengar, menginvasi keheningan di antara keduanya. Hujan turun dengan deras, dan agaknya alam semesta pun turut menghentikan Emir untuk melangkah pergi dari Rumah Eyang.ย
"Tenanglah, Le. Jangan gegabah. Kamu ndak perlu mencemaskan apa-apa."
to be continue
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top