๐๐ | ๐๐๐จ๐ง๐ ๐ ๐จ๐ค ๐๐๐๐๐ก๐๐ง ๐๐ฌ ๐ฒ๐๐ง๐ ๐๐๐ฅ๐ฎ๐ฆ ๐๐๐ฉ๐๐ง๐ฎ๐ก๐ง๐ฒ๐ ๐๐๐ฅ๐๐ฅ๐๐ก
30 November, hari resital Dion Danniswara.
Undangan biru begitu kontras menampakkan dirinya di meja kayu Emir Soerjotomo. Ada dua yang tergeletak di sana. Satu miliknya, satu milik ... siapa pun tahu milik siapa itu.
Emir benci ketika harus menjalani hari dengan perasaan tidak enak di dalam hati. Semua rasa mengganjal ini adalah akibat dari tindak impulsifnya menyudutkan Andrea, hingga membuat pemuda yang bulan depan berusia sembilan belas itu hampir menangis dan berakhir dibawa pergi oleh penyelamatnya, Dion Danniswara.
Namun, tak lepas dari kacaunya hubungan dua pemuda itu, masih syukurlah ada sebuah berkat dari pertengkaran mereka. Berkat panasnya api di antara Emir dan Andrea, sedikit banyaknya telah berhasil mencairkan es yang membekukan hubungan Emir dengan Dona. Perang dingin itu perlahan-lahan mulai berakhir.
Tanda-tanda kekhawatiran Dona akan keadaan Emir muncul kembali pasca Dion membawa Andrea pergi. Mungkin Dona tahu, Dona mengerti ada hal tak beres dari diri Emir. Lantaran sangat tidak wajar bagi seorang Emir Soerjotomo untuk meledak di ruang publik, atau di mana pun itu. Emir hampir tidak pernah terlihat sebegitu marah. Paling-paling kesal, dan kalau bukan masalah besar biasanya Emir tanggapi hanya dengan senyuman.
Tapi, hari itu berbeda. Emir berbeda, dan Dona mampu merasakannya. Lantas di hari itu Dona bertanya, "You okay, Em?" dan Emir menanggapi dengan helaan napas panjang sebelum menganggukan kepala. "I'm fine," jawabnya. Begitu saja.
Begitu saja sampai akhirnya hari resital Dion Danniswara tiba.
Dua undangan biru pun ia ambil dan dimasukan ke dalam clutch bag kulit. Tepat setelah itu, ia melihat buku yang belakangan tidak ia sentuh di sudut meja. Buku biru kelabu itu, La Vie en Rose oleh A. Lendra. Buku yang Lienna pandang ketika gadis itu bergumam asal mengenai kabar Andrea di Toko Pak Tua.
"Satu tahun lalu ...." Lienna masih menyusuri rak-rak klasik itu. Sampai dirinya terhenti dan memandang satu buku tua bersampul biru kelabu. Dirinya seolah terpaku, membaca sampul di sana, hingga sebuah tanya pun terlontar tanpa bisa Emir duga. "Apa kabarnya sejak satu tahun lalu itu?"
Emir seketika membuang pandangan dari buku biru kelabu di meja. Ingatannya tentang hari di Toko Pak Tua dan pertanyaan asal Lienna membuat kepala Emir sakit.
Lagi-lagi bocah itu, lagi-lagi berandal kecil itu.
Emir tidak pernah mengira bahwa pemuda kesayangan Rumah Eyang akan menjadi pengacau pikiran. Ia tidak bisa melepas dugaan bahwa Andrea mungkin memiliki hubungan tertentu dengan Lienna. Pikiran liarnya bahkan memberitahu ia bahwa A dalam A. Lendra adalah Andrea. Gila, bukan? Belum lagi nama perempuan di dalam buku itu, Anna. Bukankah namanya terlalu mirip dengan Lienna?
Haha, Emir pasti sudah gila. Dia gila sampai-sampai bisa membayangkan kemungkinan hubungan Andrea dan Lienna seperti apa hanya berdasarkan pada sebuah buku biru kelabu yang bahkan identitas penulisnya belum ia ketahui. Pula, buku yang bahkan tidak Emir pahami betul apakah benar-benar memiliki kaitan dengan gadis pujaannya, atau tidak.
Oleh karenanya, Emir tinggalkan buku itu. Tidak ia buka untuk waktu yang lama setelah terakhir ia baca di Kedai Krisan.
Persetan dengan semuanya, malam ini ia tidak mau memiliki banyak pikiran. Ia hanya ingin menghadiri dan menikmati resital teman baiknya. Resital biola oleh Dion Danniswara.
Maka tepat pukul delapan malam, Emir sampai di Recital Hall kampus. Ia duduk di kursi yang sudah tim resital Dion atur untuk dirinya. Selain dosen penguji dan pembimbing, beberapa tamu undangan Dion pun hadir di sanaโteman, rekan, junior yang tidak Emir kenal, dan Keluarga Danniswara.
Nada mengalun dari lembutnya gesekan biola, Dion Danniswara memberikan penampilan dengan penuh ketulusan dan keseriusan. Recital Hall malam ini menjadi milik Dion Danniswara, dia mendominasi penampilan di antara para pengiring di belakangnya. Ada pianis yang mengiringi resital Dion, tapi jelas bukan bocah tengik adik Dona Hattala. Pemuda itu ada di jajaran kursi yang sama dengan dirinya. Hanya saja, dia memilih untuk duduk di ujung barisan. Sepertinya, Andrea sengaja menghindar, karena seharusnya kursi Andrea tepat berada di samping Emir.
Emir tidak terkejut, bisa dipastikan Andrea memang takut berada di sisinya. Namun, yang lumayan mengejutkan Emir adalah Dona Hattala. Perempuan itu memilih untuk duduk tepat di sampingnya, di kursi yang memang semestinya dia duduki, alih-alih pergi menemani sang adik di ujung barisan kursi. Andrea sendirian di sana, menonton Dion sambil sesekali mengabadikan momen resital dengan kamera handphone. Andrea tidak seperti Dona dan Emir yang menyimpan ponselnya, dan fokus mendengarkan alunan nada.
Di tengah-tengah alunan biola Dion Danniswara dan iringan piano di belakangnya, Dona tiba-tiba membuka suara kepada Emir tanpa menatap ke arahnya.
"Emir." Suara Dona begitu lembut, tapi dingin seperti terpaan angin halus di tengah malam.
Emir terhenyak, namun secepat yang ia bisa ia harus mengembalikan fokus. "Ya?"
"Maaf."
Emir mengerti untuk apa kata maaf ini, tapi ia berlagak bodoh. Ia tetap bertanya kepada perempuan di sampingnya tanpa menolehkan kepala, "Untuk apa?"
"Untuk apa pun kelakuan Andrea."
Permintaan maaf yang alasaannya sesuai dengan dugaan Emir.
Persis.
Dan kali ini, Emir diam. Ia tahu Dona begitu sayang kepada Andrea, sebagaimana Andrea menyayangi kakaknya itu. Jadi, seharusnya tindakan Dona yang seperti ini tidak membuat heran lagi. Ini bukan hal yang baru. Ini bukan hal yang unik. Dona selalu begitu setiap kali Andrea berbuat salah kepada Emir, atau bahkan kepada Dion. Namun, apa yang terjadi belakangan ini sedikit tidak mudah bagi Emir untuk menerima perwakilan maaf tulus yang dilakukan Dona.
Selain karena Dona sudah terlalu sering melakukannyaโdari hal kecil seperti dulu waktu Andrea tidak sengaja memanggil Emir hanya dengan 'Emir' di hari perkenalan mereka, Dona meminta maaf untuk ketidaksopanan anak itu. Atau ketika Andrea tanpa sengaja menumpahkan teh di atas meja Emir karena dia terlalu bersemangat untuk membantu di Rumah Eyang, Dona juga yang meminta maaf atas kecerobohan adiknya. Hingga bahkan ketika tangan ceroboh Andrea tak sengaja memutuskan rambut-rambut bow cello Emir, Dona pula yang meminta maaf sampai menggantinyaโbagi Emir, Andrea sudah bukan anak kecil yang harus terus menerus dilindungi. Namun, Dona selalu begitu kepada Andrea. Tanpa sadar menjadikan anak itu manja dan selalu bergantung kepadanya.
Begitulah Dona, meski tampak keras dan beku di luar nyatanya dia masih memiliki titik lembut jauh di lubuk hati yang paling dalam.
Terutama untuk Andrea, bocah yang belakangan ini mengganggu kedamaian hidup Emir.
"Enggak perlu minta maaf, Dona."
"Perlu. Karena diaโ"
"Karena dia nggak akan minta maaf duluan. I know."
Dona terdiam, menghela napasnya dalam-dalam. "Kita berdua 'tau' Andrea, Em."
Tahu. Jelas Emir tahu. Satu tahun mengenal Andrea sudah cukup bagi Emir untuk mengerti seperti apa tabiat anak itu ketika dia berbuat salah. Ya ... seperti sekarang ini. Dia akan menjauh, menjaga jarak, dan membiarkan kakaknya menyelesaikan masalah untuk dirinya. Andrea si anak manja.
"Tapi dia bukan anak kecil lagi, Dona. Dia mahasiswa semester tiga. Bukan lagi anak TK," balas Emir. "Bahkan anak TK mungkin lebih paham cara berdamai dan minta maaf yang baik daripada dia."
Dona tidak menjawab lagi, dia hanya menelan salivanya. Tidak ada sanggahan, Dona tidak melawan Emir, juga tidak semakin kencang membela Andrea. Dia hanya diam di sana, menatap lurus ke arah panggung kecil Recital Hall. Berusaha tetap mendengarkan dan menikmati alunan Dion Danniswara, ketika dirinya tahu baik Emir maupun dirinya sendiri tidak fokus pada resital ini. Sama sekali.
Meskipun bendera perang dingin sudah diturunkan, dinding es sudah sedikit mencair, kedua belah pihak ini masih tidak mengerti bagaimana caranya menghangatkan hubungan kembali. Seperti ada seonggok pecahan es yang belum sepenuhnya meleleh di antara mereka, menahan keduanya dalam dingin masing-masing.ย
to be continue
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top