๐๐ | ๐๐๐ข๐ค ๐๐๐๐ข๐ฅ ๐ฒ๐๐ง๐ ๐๐ข๐ง๐ญ๐๐ซ ๐๐๐ซ๐ฆ๐๐ข๐ง
DALAM sekejap mata, hari berlalu dengan keheningan di rumah Dona.ย
Sang tuan rumah tidak banyak berbicara sejak malam di mana Arsenio membawa lukisan pulang bersama Kristian Luan. Dia yang sedang didiami oleh tuan rumahnya pun tidak banyak bertingkah lagi, Arsenio mendadak lebih sering berada di rumah dan tidak banyak ke luar kecuali untuk kepentingan kuliah. Kaila yang biasanya bawel dan senang menyapa tuan rumah mereka pun tampak jelas menjaga jarak, seolah tidak mau mengganggu ketenangan Dona Hattala.
Emir menyadari seluruh hal itu. Belakangan, dirinya menjadi lebih sensitif terhadap banyak hal. Semenjak melihat Lienna dan Kristian berjalan berdampingan di malam itu, Emir jadi memperhatikan segalanya. Seolah-olah ia tidak mau kehilangan satu momen pun. Terutama, pergerakan Dona Hattala. Bukankah dia terlalu mencurigakan? Dia membeli banyak lukisan dari Kristian Luan, dan sejauh yang Emir ketahui dari paman Dona, pemuda itu bukanlah sosok yang 'semestinya' Dona beri perhatian. Emir ingat betul, betapa paman Dona menceritakan bahwa Kristian Luan adalah orang yang menghancurkan hubungan pertemanan Donaย dengan ... Lienna, sang gadis pujaan.ย
Sebenarnya, Emir sempat berpikir 'kalau sudah dibuat sakit hati, bukankah seharusnya tidak perlu peduli lagi?'. Tapi kemudian, ketika ia berkaca ia tahu ia tidak lebih baik dari Dona Hattala. Dirinya pun sama saja, bukan?ย
Maka, entah itu di rumah, di kampus, di kantin, di rerumputan taman, atau di mana pun itu, Emir terus memperhatikan Dona. Setidaknya, ia ingin tahu bahwa teman yang sedang perang dingin dengannya itu baik-baik saja. Emir tidak ingin Dona merasa sendirian di sini. Jika Dona dikatakan bodoh karena masih memedulikan orang yang sudah menyakitinya, maka Emir rela menjadi bodoh di samping Dona Hattala.ย
Seperti saat ini, sore di rerumputan Taman Ismail Marzuki. Ketika telinganya harus tetap ia pasang untuk mendengar celoteh Dion Danniswara, matanya sekilas-sekilas selalu melirik Dona. Kadang kala, muncul di pikiran Emir yang terus bertanya-tanya tentang mengapa Dona melakukan itu semua? Tidak sebatas satu atau dua lukisan bertanda nama Luan yang dia beli, Dona juga menggaji pekerjaan pemuda itu di Kedai Krisan setiap bulan. Bukankah dia ... sudah terlalu banyak mengeluarkan perhatian untuk 'seseorang yang menghancurkan hubungan'-nya dengan seorang teman?
Dengan Lienna Rosaline,ย gadis pujaan Emir.
Ah ... benar. Lienna ....
Sudah berapa hari berlalu sejak Emir menghindar dan tidak menghubungi gadis pujaannya itu? Entahlah, Emir tidak menghitungnya. Tapi yang jelas, sudah cukup lama hingga Dion Danniswara sudah mulai membahas lagi soal hari resital. Tidak terasa, lusa adalah jatuhnya hari resital Dion dan hari ini pemuda berambut seperti gumpalan awan itu mengumpulkan teman-temannya di rerumputan Taman Ismail Marzuki. Mengingatkan mereka untuk datang, sekaligus menyetel aturan berbusana mereka untuk hari resitalnya yang berharga.
Momen yang tidak boleh terlewat begitu saja.
"Alright, jadi jangan lupa pakai 'all black' supaya nanti kita matching pas foto bareng. Oke?"
"Cih? Bang Dion ini mau resital atau mau ke pemakaman?"
"Yeh, biar keren, Bro. All black."
"Keren, keren, tema resitalnya lagi berduka kah? Kita nih tamu bukan yang main."
Dion mendengus sebal, "Eh, Hattala, coba ini adek lo dibetulin otaknya. Capek gue."
Andrea terkekeh saja. Omong-omong, dia juga berada di sana. Apa lagi alasannya kalau bukan mengekor Dona setelah selesai kelas. Dona sendiri sedang sibuk memetik dawai gitar, mengalun Romance de Amor tanpa pernah merasa bosan. Dia seperti terjangkit pada lagu itu, dan hanya menanggapi Dion dengan berdeham singkat. Tidak ada tanggapan apa-apa soal dress-code yang diatur Dion. Dia santai saja di dunianya sendiri.ย
"Oy, Hattala." Dion pun gemas melihat Dona sibuk sendirian. "Gue ngomong sama lo, Neng."
"Apa?" Dona akhirnya mengeluarkan sepatah kata, walaupun matanya masih sibuk mengamati jari yang berpindah kunci. Tidak begitu menaruh perhatian kepada temannya.ย
"Lusa resital gue, bajunya hitam-hitam."
"Hm, oke."
"Cih?" Dion bergeleng kepala melihat betapa tidak tersentuhnya seorang Dona Hattala. Kadang-kadang, sebagai teman dia pun merinding sendiri ketika berada di sebelah Dona.
Emir yang hanya diam mendengarkan pun tiba-tiba menjadi sasaran empuk Dion.
"Lo juga, jangan lupa, Em. Resital gue, lusa, bajunyaโ"
"All black. Oke. Dipahami, Danniswara."
Kalau Emir yang menjawab begini, Dion pun tersenyum sampai menunjukkan jajaran gigi. Dia sudah bahagia duluan, membayangkan lusa akan foto bersama dua temannya dan satu anak hilang dengan berpakaian serba hitam. Dion sudah bisa membayangkan betapa kerennya dia dan teman-temannya itu.
"Asik! Gitu, dong!" serunya. Lalu, karena masih berkaitan dengan resital, Dion pun teringat satu hal. "Eh iya, Lienna gimana? Ikut nggak sama lo?"
Dion mungkin tidak sadar, tapi Emir yang sedari tadi memperhatikan Dona, melihat goyahnya jemari perempuan itu di atas senar. Meski hanya sekilas dan setelahnya Dona tetap lanjut mengalun melodi, Emir tetap melihat jelas goyahnya jemari Dona ketika berpindah kunci.ย
Detik itu pula Emir sadari, Dona memiliki refleks tersendiri ketika nama Lienna terdengar di telinganya. Ada apa? Apakah Dona sebenci itu dengan Lienna karena Kristian Luan? Emir masih terus berandai-andai, belum sampai jua untuk menemukan jawaban. Dia terus memikirkan hal itu, hingga tiba-tiba Dion bersuara lagi dan kata-katanya cukup membuat ia beralih dari Dona.
"Waktu itu, Andrea minta undangan lebih buat Lienna."
Apa lagi ini? Emir tidak paham mengapa selalu saja ada kejutan dari semesta untuk dirinya.ย
"Katanya mau lo ajak. Jadi, gimana? Dia ikut nggak? Kalau ikut suruh pakai baju hitam juga, Em."
Emir terdiam. Ia melirik Andrea sejenak sebelum menjawab, "Dia nggak ikut."
Andrea menelan salivanya keras.ย
"Loh? Why?" tanya Dion.ย
Emir tidak menjawab lagi, tapi kini matanya tertuju penuh kepada Andrea. Anak tengil itu ... sungguh, sebenarnya apa yang sedang dia lakukan? Emir tidak pernah mengatakan kepada Andrea untuk meminta undangan lebih. Ia tidak pernah meminta Andrea untuk menyampaikan kepada Dion bahwa ia ingin mengajak Lienna menonton resitalnya. Ia justru adalah pihak yang tiba-tiba mendapat dua undangan dari Andrea, bersamaan dengan pesan: Dion ingin mengundang Lienna Rosaline, sebagai permohonan maaf karena telah tanpa sengaja menabraknya di Toko Pak Tua.
Pesan itulah yang menyertai dua undangan yang diterima Emir dari tangan Andrea. Pesan itu pula yang kemudian Emir sampaikan ke Lienna di Taman Suropati ketika ia memberikan undangannya. Walaupun undangan itu berakhir ditolak.
Tapi, sekarang apa yang Dion katakan? Seolah-olah Emir telah memerintah Andrea demi kepentingannya sendiri.ย
Demi alam dan seluruh isinya, Emir tidak pernah berpikir untuk mengajak Lienna. Tidak sekali pun. Emir tidak selancang dan seberani itu untuk berpikir dirinya pantas menggandeng Lienna ke resital Dion Danniswara. Ia memang mengagumi Lienna, ia memang memuja Lienna, tapi ia tidak pernah berani berpikir dirinya pantas untuk bersanding dengan orang yang ia kagumi dan ia puja. Tidak. Tidak pernah.ย
Andrea benar-benar ... bocah itu jailnya sudah keterlaluan.
"A-ah! Ah, iya! Itu ... K-Kak Lienna nggak ikut? K-kenapa ...." Dia takut-takut menyebut namanya, "... M-Mas Em?"
"Sibuk. Lienna ada urusan," balas Emir, dingin.
"O-oh! Oh, iya! Heheh, pasti Kak Lienna sibuk, ya. H-ha ... haha, mahasiswa semester tua emang selalu sibuk!"
Bocah itu tidak pandai berbohong. Raut wajahnya jelas menunjukkan kepanikan. Dia pasti takut dibantai dari dua sisi. Di kanannya ada Dion Danniswara yang telah dia tipu dengan meminta dua undangan untuk Emir, dan di kirinya ada Emir Soerjotomo yang telah dia permainkan dengan membawa-bawa Lienna Rosaline.
Bajingan kecil ini!
Masih bagus Dion tidak tahu bahwa dirinya ditipu, jadi dia santai saja mendengar undangannya untuk Lienna tidak terpakai. Tapi, Emir? Emir tahu dan sadar betul dirinya dipermainkan Andrea di sini. Entah sejak kapan, entah sudah berapa lama, Andrea sungguh berani bermain-main dengannya.
Emir memang ramah, memang ia baik kepada siapa pun, tapi bukan berarti ia tidak bisa marah kepada orang-orang yang sudah ia beri hati. Contohnya, Andrea.
"Memang, mahasiswa semester tua itu sibuk. Ya ... mungkin saya yang gila mau ajak mahasiswa semester tua buat nonton resital. Betul 'kan, Andrea?"
Andrea hanya bisa menanggapi Emir dengan hehe, dan tersenyum, dan mengangguk-angguk bodoh. Bisa dipastikan, dia sudah merinding mendapat senyum mematikan dari Emir Soerjotomo. Sial, sial. Dion telah tanpa sengaja membuka kedoknya!
"Well, nice then!" Dion berseru. "At least, kita semua komplit, enggak ada yang absen. Bagus malah kalau Lienna nggak bisa, gue trauma soalnya. Merinding abis pas waktu itu gue papasan di Toko Pak Tua. Buset nggak lagi-lagi, dah. Takut gue!"
Mendengar ini, Andrea semakin keringat dingin. Bagaimana kalau Dion sampai membeberkan bahwa Andrea-lah yang menyuruh Dion membawa Emir ke toko itu?! Siaaaaaal, dia pasti akan habis di tangan Emir hanya dalam beberapa detik lagi.
"Asli, ya. Waktu itu, kalau bukan karena ini bocah, gue juga ogah Em bawa lo ke Pak Tua cuma demi lo ketemu cewek idaman lo itu. Astaga, mau mati gue ditatap Lienna! Ngeri! Nggak lagi-lagi, sumpah!"
Mampuslah, Andrea.
Kobaran api seketika membesar di mata Emir Soerjotomo. Penampilannya yang tenang tetap tidak bisa menipu Andrea yang dapat merasakan aura kematian dari kakak tingkatnya, seseorang yang telah dia permainkan.
"M-Mas Em ...."
Srrrrrreeeet!!!!
Kerah kaus yang dikenakan Andrea diseret menghantam pohon terdekat di antara mereka. Semua orang terbelalak, semua yang berada di sana menyaksikan bagaimana pemuda dengan kilat-kilat amarah di matanya, mendesak pemuda yang ketakutan di sebuah batang pohon. Mata pemuda itu terpejam, tidak berani menatap kobaran api di mata Emir Soerjotomo.
Dion panik, Dona jauh lebih panik. Keduanya bergegas dari duduk mereka, hendak melerai Emir dan Andrea yang mencuri perhatian hampir seluruh pengunjung taman.
"Woy, woy, apaan sih ini?!" Dion mencengkeram lengan Emir, hendak melepaskannya dari kerah baju Andrea. Tapi Emir yang terbakar amarah sudah lupa akan kata lemah. Tangannya terlalu kuat untuk dilepaskan oleh cengkeraman remeh Dion.
Dona yang khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk pada Andrea, spontan membalas Emir dengan mencengkeram kerah bajunya juga. Dia tidak memilih jalur perdamaian seperti yang dilakukan Dion: berusaha melepas tangan Emir dengan tenaganya sendiri. Dia tidak melakukan itu. Dia justru memberikan ancaman balik.
Menyakiti Andrea, berarti mengundang permusuhan dengan Dona Hattala.
Cengkeraman Dona bisa Emir rasakan lebih kuat daripada Dion Danniswara. Cukup kuat untuk membuat Emir tersadar dari tindakannya.
Tak kurang, Emir bahkan mendapat tatapan tajam dari satu-satunya perempuan di antara mereka, pula satu-satunya orang yang berani mencengkeram kerah bajunya. Lantas, perlahan-lahan tangan Emir turun dari subjek yang telah membuatnya naik darah. Ia melepaskan Andrea.
Ia tidak mau bermusuhan dengan satu-satunya orang yang selama ini ia rasa mampu mengerti perasaannya, Dona Hattala.
Melihat ini, Dion akhirnya bisa menghela napas lega. Berkat ancaman tak terucap dari Dona, Emir melepas desakannya pada bocah itu. Meski situasi masih belum dapat dikatakan baik-baik saja, setidaknya sekarang angin damai sudah mulai sedikit berembus. Orang-orang sudah berhenti menatap mereka. Tapi bukan berarti Dion juga berhenti memusatkan tatapannya pada masalah ini.
"Gila lo, Em?!" protes Dion. "Adek kecil kita ini sampe ngos-ngosan! Ada apaan sih?! Tiba-tiba banget lo begitu?!"
Adik kecil? Emir terkekeh, lawakan Dion tidak lucu tapi lumayan menggelitik perutnya. Yang disebut adik kecil itu bahkan lebih tinggi daripada Dion, dia setara dengan Dona Hattala yang juga berarti tak jauh berbeda dari Emir Soerjotomo.
Adik kecil, adik kecil, adik kecil apanya?! Adik kecil mana yang diam-diam bisa mempermainkan seorang pria?
Pertama, dia tiba-tiba bersama Lienna dan menjadi pengiring resitalnya. Pula dia katakan dia sudah mengenal Lienna lebih awal.
Kedua, dia berbohong tentang Dion yang ingin mengundang Lienna karena merasa bersalah telah menabrak gadis pujaan Emir itu di Toko Pak Tua.
Ketiga, dan rupa-rupanya dialah yang membuat Dion Danniswara mengajak Emir dengan begitu acak untuk pergi ke Toko Pak Tua? Supaya dia bertemu gadis pujaannya, Lienna Rosaline?
Hah! Emir tidak habis pikir!
"Apa maksud semua ini, Andrea?" Emir bertanya di tengah amarahnya yang sudah sedikit diredam karena tindakan Dona.
Dona sendiri memutuskan untuk diam, kepentingannya paling utama adalah membuat Andrea aman dari cengkeraman Emir. Setelah itu, dia tahu batasannya sendiri. Dia tidak banyak ikut campur.
"A-apa ... maksud apa ... M-Mas Em?"
Masih berlagak bodoh? Hah!
Kalau bukan karena tatapan Dona Hattala, Emir sudah tidak mungkin menahan tinjunya.
"Jangan pura-pura tolol."
"Em?!" Dion tidak menyangka, sama sekali tidak menyangka, kata 'tolol' bisa keluar dari bibir Emir yang selama ini kelewatan suci.
"Diam, Danniswara. Ini urusan mereka," kata Dona. Sontak membuat Dion cemberut dan bungkam di tempat. Dia memang terlalu ingin ikut campur.
Emir mengabaikan mereka berdua, fokusnya hanya tertuju pada Andrea.
"Saya percaya di titik kamu bilang kamu kebetulan dihubungi Lienna buat jadi pengiring resital saya. Tapi sekarang, apa iya semuanya cuma kebetulan, Drea?"
Andrea terdiam, menelan salivanya keras.
"Kamu yang atur Dion untuk bawa saya ke Toko Pak Tua supaya saya ketemu Lienna di sana? Apa maksudnya? Kamu tau Lienna ada di sana lebih dulu? Sejak kapan kamu tau? Hari itu, Lienna langsung pergi tanpa kasih tau ke mana tujuannya. Dan saya pikir, saya kebetulan ketemu Lienna di toko itu. Tapi ternyata ... semuanya karena kamu? Dari mana kamu tau Lienna pergi ke sana, Drea? Dan kenapa kamu bohong soal undangan resital Dion?"
Andrea diburu macam-macam pertanyaan Emir, menembaknya seperti peluru tepat ke jantung hati hingga dia tidak bisa bergerak sama sekali. Dion yang disebut-sebut oleh Emir pun tidak bisa menahan diri untuk tidak menimbrung. Tidak peduli seberapa keras Dona menginjak kakinya untuk berhenti ikut campur, Dion tetap menuruti hasratnya.
"Huh? Bohong soal undangan resital gue?"
"Lihat? Bukan cuma saya yang butuh penjelasan di sini."
Andrea, adik Dona Hattala, melirik kakaknya dengan takut-takut. Dia takut menghadapi Emir. Pula takut mendapat penghakiman lain dari kakaknya sendiri. Dona yang berdiri di sana hanya menatap Andrea dengan alis sedikit mengerut, seolah dia juga menuntut jawaban dari adik nakalnya.
Pada titik ini, Dona dan Emir memang masih berada dalam perang dingin, tapi bukan berarti Dona akan melindungi Andrea jika adiknya telah berbuat salah.ย
"Explain, Andrea."
Emir menegaskan lagi, menuntut jawaban. Agaknya, ia sudah mulai kehabisan stok kesabaran.
Hari-hari lalu ia sudah didamprat, dituduh, dan dicurigai oleh Lienna, gadis pujaannya. Dia sudah dikibarkan bendera perang dingin oleh Dona Hattala, teman yang paling mengertinya. Dia sudah pula diremehkan perasaannya oleh Dion Danniswara, teman yang senang membuatnya tertawa. Lalu sekarang, dia rupa-rupanya telah dipermainkan oleh seorang bocah tengik bernama Andrea? Bukan main. Lalu, apa lagi setelah ini? Apa lagi yang harus Emir hadapi, Emir terima, dari orang-orang terdekatnya dengan tangan terbuka dan berlapang dada?
Urusan tentang Kristian Luan belum selesai, dan sekarang dia sudah harus mempersiapkan mata juga telinganya untuk menerima fakta lain dari Andrea.
Gila. Dunia ini telah gila kepada Emir Soerjotomo.
Namun, ketika Emir sudah siap untuk mendengar semuanya, ketika Emir sudah berusaha meredam seluruh emosinya, bocah itu ... bocah itu malah tiba-tiba membuat bibirnya turun, membuat kedua alisnya menyatu dengan raut menyedihkan, dan seketika mematikan rasa penasaran di dada orang-orang yang lebih tua.
Semuanya berbalik iba, mendadak khawatir dan panik melihat Andrea yang mulai menahan air mata. Terutama, Dion. Dia lupa begitu saja dengan kebohongan Andrea, dia dengan hati tulusnya menghampiri Andrea dan meraih bahu pemuda itu.
"Hey, hey! Andrea! Kenapa? Woy, eh, jangan nangis!"
Bajingan.
Dunia memang tidak pernah memihak kepada Emir Soerjotomo.ย
to be continue
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top