๐๐ | ๐๐ฎ๐ฆ๐๐ก ๐๐ฌ๐๐ง๐ ๐๐ข ๐๐ฃ๐ฎ๐ง๐ ๐๐๐ฅ๐๐ง
Kala kedua matanya terpejam, siluet anak laki-laki bernama Kristian Luan menariknya ke dalam genangan air hitam. Tempat di mana Dona mengubur seluruh kenangan yang enggan dia biarkan menghantuinya seumur hidup. Namun, sungguh Kristian Luan memiliki kemampuan hebat untuk menarik Dona ke dalam memori-memori mereka. Sekadar mendengar sosok itu menginjakkan kaki di rumahnya yang bersih dari seluruh kenangan busuk, Dona Hattala kacau sendirian.
Memori usang itu muncul kembali. Memori yang membuat Dona menyesali sisa-sisa hidupnya sekarang ini. Memori tentang mengenal seorang anak laki-laki bernama Kristian Luan.ย
Kanvas yang berserakan, cat akrilik yang mengotori dinding, kuas yang tersebar di seluruh lantai, dan siluet anak laki-laki meringkuk tidak berdaya di sudut ruangan seketika muncul dari memori usang Dona Hattala.
Itu adalah masa di mana Dona pertama kalinya bertemu dengan seorang pemuda kurus nan tak terurus di sebuah rumah yang ditelantarkan. Tepat satu bulan setelah dia kehilangan ibundanya, pula tepat setelah dia kehilangan dunianya yang menyenangkan, Dona yang kehilangan arah langkah dibawa oleh semesta memasuki rumah terbengkalai di ujung jalan.
Sejak awal, dia tahu milik siapa rumah itu. Mendiang ibundanya sering kali bertukar kabar dan berbalas pesan sambil tertawa bahagia dengan mendiang ibu tunggal yang tinggal di sana. Dia juga tahu ada seorang anak laki-laki yang sering disebutkan oleh mendiang ibunda, hidup bersama satu-satunya orang yang dimilikinya di dunia; sang mendiang ibu tunggal. Hanya saja, dia tidak pernah tertarik untuk berkunjung ke rumah seseorang yang sama hancurnya dengan dirinya sendiri. Baru di hari itulah, baru ketika sudah lewat satu bulan sang ibunda pergi meninggalkan dirinya, dia melangkah mendekati rumah yang kotor, kecil, dan usang. Rumah yang tidak kelihatan memiliki kehidupan.
Pintunya berderit tidak ramah ketika dibuka, seolah tidak senang dengan kehadiran dirinya. Tak peduli, dia tetap melangkah masuk dan membuat sepatu putihnya menginjak lantai kotor. Tanpa sengaja, dia pun sesekali menginjak kertas bergambar sketsa. Kepalanya menunduk melihat guratan pensil di atas lembar-lembar putih yang berbekas noda. Tidak ada apa apa di sana, hanya ada beberapa sketsa perempuan yang tidak pernah selesai. Setiap lembarnya tampak dibuang dengan sengaja, dibiarkan begitu saja berserakan di atas lantai, bagian-bagian di dalam sketsa itu tidak ada yang utuh sama sekali. Dia lantas menghela napas. Kemudian, melanjutkan langkah memasuki rumah lebih dalam, meninggalkan sketsa-sketsa itu tetap berserakan.
Ketika dia mengedarkan pandangan, rumah itu tidak seburuk yang terlihat dari luar. Seperti tetap dirawat, meski tidak dengan maksimal. Lantai yang dia pijak memang kotor, dan keramiknya tidak sebening granit di rumahnya sendiri. Tapi, dindingnya yang polos cukup bersih. Menempel di dinding itu, meja dan seluruh furniturnya masih meninggalkan jejak kain basah. Dia tahu, seseorang pasti membersihkannya. Seseorang yang amatir dalam urusan bersih-bersih rumah.
Berbelok ke sebuah ruangan, seorang anak laki-laki dia temukan tengah meringkuk di sudut kamar ketika langkah kaki lancangnya memasuki ruangan itu tanpa permisi.
Pintunya terbuka, jadi dia kira dia bisa masuk begitu saja. Lagipula, sejak awal dia pikir rumah itu tidak berpenghuni lagi. Maka dari itu, dia mau mendatangi rumah mendiang ibu tunggal yang berteman dengan mendiang ibundanya. Jauh di lubuk hati yang paling dalam, dia ingin tahu seperti apa rumah yang menjadi saksi bisu pertemanan ibundanya dan mendiang pemilik rumah itu. Rumah yang terlihat sepi dan terbengkalai, pikirnya akan cocok dengan dirinya yang sedang merasa kacau balau.
Namun, siapa yang menyangka dia akan bertemu dengan seorang anak laki-laki meringkuk di sudut ruangan. Anak itu tertidur di lantai, tubuhnya miring, kakinya ditekuk hingga nyaris menyentuh dadanya sendiri, dan tangannya dia gunakan untuk menutupi wajah. Anak itu praktis tidak melihat ataupun menyadari kehadiran satu orang asing.
Dia pun tidak repot-repot membangunkan, mengganggu, atau apa pun itu. Kehadirannya di sini hanya untuk menyendiri, dia tidak butuh teman untuk mengobrol. Dia hanya ingin merenungkan seluruh nasib buruknya di sebuah rumah usang yang pernah menjadi tempat bahagia bagi mendiang ibundanya.
Sekilas, dia lirik lagi anak menyedihkan yang meringkuk seperti kedinginan. Dia tidak mau banyak peduli, dia hanya ingin menyendiri, dia hanya ingin merenung, dia hanya ingin segera berbalik keluar dari kamar itu dan mencari tempat yang lebih nyaman untuk duduk. Namun, baru selangkah dia hendak keluar dari kamar yang penuh coretan, pada akhirnya dia berhenti dan berbalik kepada anak itu. Hanya karena suara batuk yang menyakitkan di telinga.
Dia dengan raut mau tak mau, suka tak suka, acuh tak acuh, mendatangi anak itu dan berjongkok di hadapannya. Tangan yang dipenuhi gelang dan mengenakan satu cincin di jari manisnya, dia ulurkan ke kening anak yang tidak berdaya di lantai. Setengah sadar, anak itu tidak beranjak. Sepenuhnya sadar, anak itu sontak mendudukkan diri dan bergerak mundur ketakutan hingga punggungnya menabrak dinding.
Matanya merah, bengkak di bagian bawah, tampak benar-benar menyedihkan untuk dipandang tapi masih berani melotot kepada dia yang-sebagai-orang-asing telah memasuki rumah dan kamar anak itu tanpa permisi.
Tatapan bocah kurus dengan wajah yang sembap itu sungguh waspada kepada setiap pergerakan orang asing di hadapannya.
Anak itu tidak mengenal dia, anak itu tidak mengenal siapa perempuan berseragam putih abu-abu yang berjongkok dengan menatap datar tanpa sedikit pun menunjukkan kehangatan. Anak itu menggigil seperti melihat hantu di rumahnya yang kosong.
"Jangan takut."
Terdengar tidak hangat, memang. Tapi setidaknya, masih dia katakan untuk mengikis keheningan di antara mereka.
Dia berusaha ramah sedikit, mengingat dirinyalah yang menerobos masuk tanpa sopan santun. Namun, anak itu seperti anak kucing liar yang selalu mendesis kepada makhluk asing. Seperti anak kucing yang kehilangan induk dan terlalu takut terhadap siapa pun yang mendekat. Seperti anak kucing yang luntang-lantung, tidak memiliki arah tujuan, tapi selalu berusaha waspada kalau-kalau orang jahat telah mendekatinya. Anak itu tidak menyambut baik keramahan orang asing ini.
Setangkai kuas pun diambilnya cepat, entah dari mana, dan tiba-tiba sudah menggoreskan cat merah di pipi si orang asing yang berusaha ramah kepada dirinya.
Gerakan anak itu cepat sekali, seperti telah terlatih untuk melawan. Hanya sekejap, goresan kedua sudah hampir mendarat lagi di wajahnya kalau saja dia tidak menghentikan tangan anak itu. Tangan kurus yang gemetar memegang kuas bercat merah, lambat laun melemah seiring kekuatan dia mendominasi pergelangan tangan yang kurus. Hingga kuas merahnya jatuh, barulah dia melepaskan tangan anak itu. Di saat yang sama, dia juga menyadari satu hal: anak itu sakit, tangannya panas sekali.
Mata si bocah yang sudah merah sebelumnya pun semakin memerah, tapi kini tampak menggenangkan air mata. Namun, jelas sekali ditahan olehnya supaya tidak jatuh, dan tidak membuatnya terlihat lemah di depan orang yang tidak dikenal.
Diaโsebagai orang asing yang sudah lebih lama hidup daripada anak ituโmemahami betul seperti apa rasanya menahan air mata.
Dia menghela napasnya dalam-dalam, dan mengembuskannya bersama dengan rasa iba terhadap anak itu.
"Kamu sakit, mana obatmu?"
Hening.
"Di mana obatmu?"
Hening.
"Jangan keras kepala. Sebut, di mana obaโ"
Dia terhenti. Rupa-rupanya, semakin dia berbicara, anak itu semakin waspada dan secepat kilat mengambil lagi kuas bercat merah yang jatuh ke lantai. Lalu ditodongkannya kepada dia si orang asing yang menerobos rumah, seperti senjata yang mampu melindungi dirinya.
Dia lagi-lagi menghela napas, lelah menghadapi anak kucing ini.
Bagaimanapun, anak itu tetap tidak mau meredakan tatapan penuh waspada dan amarah kepada dirinya.ย
Tidak bisa diajak bicara baik-baik, sudah dibilang jangan takut tapi anak itu tetap takut. Tidak pula mau menurut, lantas duduklah dia di hadapan anak kurus itu.
"Dengar, bocah."
Anak itu semakin waspada. Tangannya pun semakin gemetar. Kuas dengan cat merah itu menetes akibat getaran tangannya.
"Kakak tau ibuโmendiang ibu kamu."
Sungguh sebuah kalimat perkenalan yang berhasil mengguncang.
Tatapan penuh waspada anak itu luntur hampir seketika, matanya yang melotot pun mulai berubah teduh. Perlahan-lahan, semakin lama semakin teduh, seiring dia mendengar orang asing berseragam putih abu bicara di hadapannya dengan ketenangan.
"Siapa namanya? Rosanna, ya?"
Anak itu menelan salivanya keras. Benar, Rosanna adalah nama mendiang ibu tunggalnya. Tapi, anak itu tidak gentar. Dia tetap menodongkan kuas bercat merah itu di depan wajah seseorang yang mengetahui nama mendiang ibunya.
"Kalau Kakak tau nama ibu kamu, harusnya kamu pun tau nama ibu Kakak."
Anak itu masih bergeming di tempat, berani bersumpah dalam hati bahwa dia tidak mengenal perempuan bermata sedih yang wajahnya bercodet merah akibat kuas cat.
"Namanya Delilah, kamu tau? Dia juga pergiย bulan lalu."
Ketika dia menyebut nama ibundanya, anak itu ... entah bagaimana kehilangan seluruh tatapan waspada. Dia melunak dengan begitu tiba-tiba. Agaknya, dia tahu siapa Delilah yang telah disebut.
"Kakak datang ke sini karena Kakak tau ini rumah ibu kamu, dia ... teman baik ibu Kakak. Jadi, jangan takut. Kakak bukan orang asing. Siapa namamu, hm?"
"...."
Masih tidak mau bicara.
Ya sudahlah,ย dia pun akhirnya tersenyum. Senyuman yang tipis sekali ditujukan kepada anak kurus yang masih ragu untuk mengucap namanya.
Berpikir sejenak, dia lantas memutuskan untuk memperkenalkan dirinya lebih awal. Sekali lagi, supaya anak itu tidak takut kepada dirinya. Karena sungguh dia tidak sedang mencari musuh di rumah ini.
"Oke ... Kakak duluan. Nama Kakak, Dona. Dona Hattala." Dan dia menunjuk tanda nama di baju seragam di dada kanannya, "Lihat. Dona Hattala."
Dia memperkenalkan diri dengan jujur, dan tulus. Namun, sepertinya masih belum cukup untuk membuat anak itu percaya. Anak itu masih diam. Suara selembut angin dari dia yang mengaku bernama Dona Hattala tidak cukup mampu membuat anak itu goyah.
Tapi diaโorang asing berseragam putih abu yang wajahnya bercodet merah, Dona Hattalaโtidak kehabisan akal meski dirinya sendiri sedang kacau balau.
Dia melepas tas ranselnya, dia keluarkan satu-satunya secarik foto yang dia punya bersama para mendiang di masa lampau. Lalu, ditunjukkannya kepada anak laki-laki itu.
"Oke, sekarang lihat ini. Ini Kakak, ini ibu Kakak, dan ini ...." Dona menunjuk satu persatu orang di dalam foto itu. Sampai jarinya berhenti tepat di sisi seseorang berambut pirang panjang, seseorang yang tersenyum ketika saling berangkulan dengan ibundanya, juga seseorang yang satu tangannya ditempatkan di kepala Dona Hattala kecil. "Ini ibu kamu, Rosanna."
Anak itu hening sebelum tiba-tiba bergumam, "Mama ...?"
Dona sontak mengangkat tatapan. Dia tidak lagi menatap foto itu, tapi memandang lurus ke arah mata merah yang bengkak di kelopak bawah.
"Delilah ... Onti Del ...?"
Kali ini, Dona yang perih mendengar anak itu menyebut nama ibundanya.
"Onti Del juga pergi? Kenapa ... kenapa dia pergi? Dia pergi ke mana?"
Pertanyaan buruk di pertemuan pertama.ย
Ke mana lagi ibundanya pergi kalau bukan menyusul ibu tunggal dari anak itu?
Mendengarnya, Dona seketika menarik foto itu dari pandangan si anak kurus. Dia hendak mencegah Dona untuk menyimpannya kembali, tapi dia tidak berdaya di hadapan Dona yang lebih besar daripada dirinya. Dia tidak melawan lagi.
Tapi, Dona sudah terlanjur ditusuk tepat di jantung hati.
Pertanyaan buruk. Pertanyaan tidak berbobot. Pertanyaan sialan. Pertanyaan memuakkan. Memang dasar anak-anak, berapa usianya? Tidak tahu cara bicara dengan orang yang lebih tua. Cih. Dona merutuk dalam hati, lalu menatap kesal kepada mata merah yang semula menahan air mata, sebelum akhirnya dia berdiri dan hendak pergi dari rumah yang sama menyedihkannya dengan anak itu.
Datang ke rumah sialan ini benar-benar pilihan buruk, pikirnya.
Bagaimanapun, si anak yang tampak menyedihkan itu tidak menahan Dona pergi. Dia membiarkan kakak-kakak berseragam putih abu yang dia coret wajahnya dengan cat merah, melangkah keluar dari kamar, melangkah keluar dari rumah. Mungkin, dia juga terlalu bingung. Terlalu kaget di saat yang sama, melihat orang asing datang ke rumahnya tanpa permisi dan mengenal mendiang ibunya. Jadi dia biarkan Dona pergi begitu saja.
Hari itu, Dona meninggalkan rumah terbengkalai di ujung jalan dengan rasa marah akibat pertanyaan yang tidak mengenakkan hati dari seorang anak laki-laki.
Dia muak sekali mendengarnya. Dia benci mendengar pertanyaan tentang bagaimana ibundanya meninggal. Lantaran pertanyaan itu, dan segala hal tentang bagaimana ibundanya meninggal, selalu membuat dirinya takut. Dia selalu merenung, berpikir dalam kesendirian, pasca sang ibunda meninggalkan dirinya.ย
Apakah aku akan berakhir sama?ย
Apakah aku akan berjuang dan mati demi seseorang?ย
Apakah aku ... benar-benar akan menjadi seperti ibuku?
Bukankah akan terlalu terdengar menyedihkan jika suatu hari nanti orang-orang membicarakan kematianku dan penyebabnya adalah karena cinta?ย
Bagaimanapun, remaja tujuh belas tahun yang tidak stabil ini tetap saja kembali ke rumah usang itu di keesokan hari.
Tidak peduli sebesar apa kebenciannya kemarin atas pertanyaan anak laki-laki itu, dia tetap kembali ke sana. Dia tetap ingin merenung di rumah itu, dan praktis membuatnya kembali memandang mata merah yang masih bengkak.
Tapi kali ini, anak itu sudah tidak menodongkan kuas bercat merah. Dia bahkan membukakan pintu untuk Dona yang baru saja memegang handel pintu dan mempersiapkan telinganya untuk mendengar derit engsel. Anak itu sudah lebih dulu melakukannya untuk menyambut.
Dona lantas mengangkat sebelah alisnya heran. Sikap anak itu berbeda dari yang kemarin. Dia bahkan mendapat sekilas senyuman dari anak yang mendongak melihatnya. Apakah anak kucing itu sudah bisa menerima orang asing yang mendekatinya?
Haha, tidak mungkin. Tidak secepat itu.
Dan ... dugaan Dona benar. Anak itu menghilangkan senyumannya seketika menyadari bahwa yang dia lihat adalah Dona Hattala, perempuan yang kali ini datang dengan seragam olahraga dan menyampirkan tas ranselnya di satu bahu. Tubuhnya yang menjulang tinggi otomatis menghalangi sinar matahari. Kedatangannya seolah membawa kegelapan bagi anak malang itu.
Dia cemberut melihat siapa yang datang.ย
Dona pun menghela napas melihat wajah kecewa di sana.
"Kamu selalu ada di rumah. Bolos sekolah?"
Omong-omong, Dona juga kecewa melihat anak itu ada di rumah.
Bukan karena dia peduli betul tentang kegiatan anak itu. Tapi, karenaโtentu sajaโsekali lagi Dona kira rumah yang dia pijak kali ini tidak berpenghuni. Masih sama seperti kemarin, rupanya anak itu masih ada di rumah usang ini walaupun sudah tidak dalam keadaan meringkuk lagi.
Sekarang, dia sudah bisa berdiri di pintu rumahnya. Bahkan beberapa detik lalu membukakan pintu dengan senyuman, seolah tengah menunggu seseorang untuk datang. Perasaan Dona kuat menduga hal itu. Tapi, dia tidak mau bertanya tentang siapa sebenarnya yang sedang ditunggu oleh si anak menyedihkan. Ibu tunggalnya sudah tidak ada, lantas siapa lagi yang bisa dia tunggu kalau bukan ... lupakan saja untuk saat ini.
Lantas, alih-alih bertanya atau menunggu jawaban atas pertanyaan yang sebelumnya, Dona justru mengulurkan tangan secara tiba-tiba. Dia teringat satu hal: kemarin, anak ini sakit. Jadi, dia ingin mengetahui bagaimana kondisinya sekarang.
"Hm, better. Kamu tau caranya minum obat?" Dona terkekeh tidak percaya, sedikit mengejek anak laki-laki yang sama menyedihkannya dengan dirinya sendiri. "Bagus. At least you know how to heal yourself."
"No."
"No?" Dona tersenyum, agak tidak percaya anak itu akan menyahutinya. "Kalau gitu, siapa yang obati kamu?"
Dia diam. Dona pun tidak begitu memerlukan jawaban. Dia hanya ingin bertanya, entah atas dasar apa. Yang jelas, belakangan ini diri Dona hanya dikuasai oleh emosi. Amarah, kesengsaraan, kekecewaan, segala macam emosi telah merundung Dona Hattala.
Dona pun tersenyum lagi. Dia hanya bisa tersenyum sekarang. Tidak peduli asli atau palsu, dia hanya tersenyum.
"Kakak boleh masuk?" tanya Dona, ramah. "Kalau nggak bolehโ"
"Kakak bilang Kakak tau Mama."
Hening sejenak. "Ya," jawab Dona kemudian.
"Dan aku tau ibu Kakak."
"Ya, Kakak rasa begitu."
"Aku tau. Aku tau Onti Del. Dia teman Mama."
Sekarang, Dona yang terdiam. Sementara anak itu terus melanjutkan, Dona mendengarkan.
"Tapi, sekarang mereka semua enggak ada di sini. Siapa yang Kakak cari? Mau apa Kakak di sini? Ini bukan tempat umum."
Sial. Anak ini ternyata pintar bicara. Dona putar otak mencari alasan.ย
"Hm, Kakak cari barang yang ditinggalโ"
"Hilang."
"Apa?"
Dona sebenarnya hanya mengada-ada, tapi mendengar bagaimana anak itu memotongnya dengan cepat dan jawabannya diucap tanpa sedikit pun keraguan, membuat Dona terkejut secara natural.
"Hilang apanya?"
Dona mengernyit, tidak mengerti. Namun, sedetik kemudian anak itu tiba-tiba bergelagat aneh. Dia membuang tatapan dari Dona, lalu menyembunyikan tangan di belakang punggungnya.
"Apa yang hilang?"
Dia tidak menjawab lagi.
Dan Dona menjadi tidak sabar. Sudah cukup dirinya ditutup-tutupi tentang kenyataan oleh orang-orang, anak menyedihkan ini tidak perlu melakukan hal yang sama kepada dirinya. Dia lantas menerobos masuk ke dalam rumah, anak itu lengah menjaga pintu dan tangannya dengan mudah dikembalikan ke depan oleh Dona Hattala.
Sesuatu dia temukan di pergelangan tangan anak itu.ย
"Gelang?"
Anak itu terdiam, tangannya dicengkeram oleh perempuan yang bertubuh lebih besar daripada dirinya.ย
Dona mengamati gelang itu, dan mungkin dia tidak akan terpaku sebegitunya kalau saja dia tidak melihat sebuah detail di sana.ย
Sungguh, gelang itu terlihat tidak asing bagi mata Dona Hattala. Pola rantainya, warna peraknya, bentuk bunga dan warna bunganya ... seratus persen mirip dengan kalung milik mendiang ibundanya.
"Sakit."
"Huh?"
"Tanganku." Anak itu melirik ke arah lengan yang dicengkeram Dona. "Sakit."
"Oh." Dona tidak sadar cengkeramannya mungkin terlalu kuat untuk tangan yang kurus, buru-buru dia lepas cengkeraman itu. "Maaf."
Sejenak, terjadi hening antara dua remaja di dalam rumah yang sunyi sepi. Dona mengatur napas, memejamkan mata sekilas, menenangkan diri supaya tidak berbuat serampangan lagi. Sementara anak itu hanya menunduk, memegang pergelangan tangannya dengan hati-hati, seolah sedang melindungi satu-satunya harta yang dia miliki. Dona iba melihatnya.
"Simpan itu baik-baik," ucap Dona.
Anak itu sontak mendongak, melihat ke arah mata tajam milik perempuan yang tidak dia kenal sebelum hari kemarin dengan mata putus asa.ย
Anak itu masih belum tahu apa motif Dona Hattala datang ke rumahnya dua hari berturut-turut. Kalau memang karena gelang yang dia kenakan, dia tidak akan memberikannya. Tapi, perempuan yang mengaku mengenal mendiang ibunya justru menyuruh dia untuk menyimpan gelang itu. Lalu, apa maksud kedatangannya kalau bukan karena harta benda yang ditinggalkan mendiang?
"Jangan sampai hilang," ucap Dona, lagi.ย
Bagaimanapun, anak itu tidak menjawab kata-kata Dona. Lagipula, tanpa disuruh juga dia akan menyimpannya baik-baik. Lantas, dia hanya diam, membiarkan Dona mengambil langkah memasuki rumah lebih dalam. Matanya tak lepas memantau orang asing menjelajahi rumahnya. Mungkin, hanya karena orang asing ini adalah Dona Hattala, anak dari mendiang Delilah yang mengenal mendiang ibunya, maka dia biarkan perempuan berseragam olah raga itu memasuki rumahnya.
Dan Dona duduk sembarangan di lantai yang berserak gambar-gambar sketsa. Rumah ini tidak besar, hanya ada satu ruang tamu yang menyambung ke dapur, lalu ada dua kamar dan satu kamar mandi. Tipikal rumah kecil di kompleks perumahan biasa. Dona yang merasa bukan tamu, terlebih lagi tuan rumahnya tidak menyambut dengan baik, dia merasa tidak etis untuk duduk di sofa yangโlagipula jugaโpenuh sampah cat akrilik. Lebih baik dia duduk di lantai yang berserak gambar-gambar sketsa. Lumayan, ada sedikit yang bisa dipandang, 'kan?
Dia melepas tas, kemudian mengeluarkan sebuah buku biru kelabu dan tak acuh membacanya sambil bersandar di dinding. Foto yang kemarin dia tunjukkan kepada tuan kecil di rumah ini terselip di antara halaman-halamannya, jatuh, dan membuat tuan kecil itu tertarik untuk mendekati Dona.
Anak itu mengambil foto mendiang ibunya lagi.
Dona mengerutkan alisnya marah.
"Kembalikan. Kakak nggak ambil gelang kamu, jadi jangan ambil foto itu."
Dona yakin anak itu tidak bodoh, hanya saja keras kepala. Dia bukan tidak mengerti kata-kata Dona, dan maksud yang disampaikannya: bahwa foto itu sama berharganya seperti gelang perak bunga. Tapi, dia sengaja mengambil foto itu dan enggan mengembalikannya. Barangkali, karena wajah mendiang ibunya ada di sana. Mungkin ... dia rindu?
Persetan, Dona tidak akan membiarkan siapa pun memiliki foto itu. Itu satu-satunya kenangan masa kecil yang dia punya bersama kedua mendiang.
"Kembalikan."
Semakin Dona memaksa, semakin anak itu menghindar. Dia melarikan diri dengan foto yang dia genggam, masuk ke dalam kamar yang kemarin Dona masuki sembarangan, dan menguncinya.
"Oy!" Dona mengejarnya, menggedor pintu berkali-kali, tapi tak diacuhkan juga. "Oy!!! Buka pintunya!!! Jangan macam-macam di sana!!!"
Masih tidak digubris.
"OY!!!!"
Sampai matahari terbenam, sampai gelap mendatangi rumah usangnya, anak itu masih tidak keluar dari kamar.
Katakanlah Dona khawatir, atau dia sudah gelisah karena ingin buru-buru pulang, Dona menggedor pintu kamar itu semakin keras. Semakin kencang, semakin berisik, semakin mengganggu, dan ... akhirnya dibukalah oleh anak itu.\\\
Dia kembalikan foto yang semula dia ambil.
Buru-buru Dona rebut foto itu dan diperiksanya dengan seksama. Tidak ada coretan. Tidak ada robekan. Depan, belakang, semuanya bersih. Singkatnya, foto itu dalam keadaan aman seperti sedia kala.
"Apa? Kenapa baru sekarang?"
Anak itu tidak menjawab, dan memilih untuk langsung menutup pintunya lagi. Tidak mau berbicara sama sekali.
Dia memblokir dirinya dari Dona Hattala.
Keesokan hari, Dona kembali lagi. Seperti biasa, sepulang sekolah dan masih mengenakan seragam, Dona datang tepat pukul empat. Tapi ... sesuatu yang aneh telah terjadi. Rumah itu dikunci. Dona tidak bisa masuk seperti hari kemarin. Pintunya jelas-jelas rapat dan gorden jendelanya diturunkan. Praktis tidak bisa membuat dia mengintip ke dalam.
Pikirnya, mungkin anak itu sedang pergi. Dona menunggu beberapa saat sebelum akhirnya memilih untuk pulang karena matahari sudah mulai terbenam dan tidak ada hawa-hawa kehidupan yang datang.
Keesokan harinya, dia datang lagi. Dua hari kemudian, dia masih datang lagi. Seminggu, dia terus berkunjung setiap pulang sekolah. Tapi hasilnya selalu sama: anak itu tidak ada di rumah.
Atau, mungkin ada tapi tidak membukakan pintu untuk Dona Hattala.
Sedikitnya, Dona khawatir. Tentang bagaimana anak itu makan, bagaimana anak itu sekolah, bagaimana anak itu beristirahat, bagaimana dengan sakitnya kemarin, bagaimana dengan ... tanpa sadar, Dona sudah terlalu memikirkan anak itu.
Ayolah, dia masih anak kecil. Dia pasti punya keluarga yang merawatnya meski tidak tinggal bersama dirinya, bukan? Atau, ah ... mungkin keluarganya sudah membawa dia pergi dari rumah? Jangan terlalu dipikirkan, Dona. Jangan terlalu dipikirkan.
Meski sudah mendoktrin dirinya sendiri dengan asumsi itu, Dona tetap saja selalu menyempatkan diri untuk mampir ke rumah yang usang sebelum dia pulang.
Hingga pada suatu hari, akhirnya pintu rumah itu terbuka.
Si bocah ada di rumah?
Tanpa pikir panjang, Dona masuk dan memanggil-manggil anak itu dengan ... "Oy!!!"ย
Dia masih belum tahu siapa namanya.
"Oy!!!"ย
Dan Dona terus memanggilnya, "OY!!!" berulang kali sampai dia mendapat jawaban ... "apa?"
Suara itu datang dari belakangnya.ย
Segera, Dona berbalik dan menemukan bocah setinggi dadanya itu baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah, wajahnya layu, kantung matanya masih tebal, dia masih menyedihkan untuk dipandang. Belum berubah.
Hanya saja, matanya sudah tidak semerah saat Dona pertama kali bertemu dengannya. Mungkin, dia sudah tidak sakit atau sudah tidak banyak menangis.
Entah bagaimana, Dona merasa sedikit lega melihat anak itu masih ada. Meskipun keadaannya tidak begitu baik, setidaknya dia tidak ....
"Nothing. Haha."
Gila. Apa yang baru saja melintas di pikiranmu, Dona? Setidaknya anak itu tidak apa? Tidak mengakhiri hidupnya sendiri?ย
Dona merasa dirinya pasti sudah gila.ย
Anak itu mengernyit melihat gelagat aneh Dona. Tidak biasanya perempuan asing ini canggung, bukan? Kemarin-kemarin, dia itu cukup bisa dikatakan tempramental.
"Apa?"
Anak itu bertanya, tapi Dona tidak bisa menjawab. Gengsi setinggi langit jika dia katakan dia khawatir kepada anak itu. Bagaimanapun, dia tidak mau terlihat perhatian.
"Ini bukan tempat umum. Jangan suka sembarangan datโ"
Ungkapan ketidaksukaannya atas kehadiran Dona tiba-tiba berhenti. Tangan mengulur di hadapannya, dengan plastik yang entah membungkus apa.
Ya ... ya ... Dona Hattala, bagaimanapun juga perempuan ini tidak bisa tidak peduli.
Anak itu mengernyit heran, "Apa?"
"Makanan."
"Hah?"
"Makanan. Kamu ini tuli atau apa?"
Si anak kurus itu terdiam. Plastik yang katanya membungkus makanan belum juga dia ambil dari tangan Dona. Dia masih tidak percaya kepada perempuan yang hari lalu mencengkeram tangannya kasar, tiba-tiba berbaik hati di hari ini.
"Aku enggak minta?" balas anak itu setelah lama diam di hadapan Dona.
Dona seketika mengerjap, apalah anak ini?ย
Tidak tahu terima kasih? Tidak tahu cara bicara sopan kepada orang yang lebih tua? Tidak tahu bahwa seseorang sedang memedulikannya?
Geram juga Dona lama-lama.
"Ini bukan buat kamu." Dia balik mempermainkan anak itu. "Aslinya."
Kali ini, anak itu yang tampak sedikit terluka. Berpikir bahwa dirinya hanya diberikan sisa-sisa tidak berguna.
"Tapi karena Kakak enggak ada teman lagi buat dibagi, jadi ini buat kamu."
"Kenapa?"
"Apa? Terima aja. Ini masih baru. Bukan sisa."
"Kenapa enggak ada teman?"
Dona terdiam. Anak ini pintar sekali dalam mengajukan pertanyaan. Selalu mampu menusuk hati seorang Dona Hattala.
"Aku juga. Enggak ada teman." Dan dia malah membuat Dona semakin iba. "Tapi aku punya kakak."
Ah, baguslah kalau begitu. Dona bicara dalam hati, lalu tersenyum kecil. Walau pada kenyataannya Dona tahu bahwa anak itu adalah anak tunggal sama seperti dirinya, dia tetap tersenyum tanpa mempertanyakan apa-apa. Siapa pun 'kakak' yang anak itu sebut, tidak masalah. Setidaknya, dia tidak benar-benar sendirian seperti Dona Hattala.
"Jadi, ini mau diambil atau?"
"Ini apa?" tanya anak itu.
"Dimsum."
"Dimsum?"
"Belum pernah makan?"
Anak itu menggeleng. Dona semakin iba saja dibuatnya, dan heran di saat yang bersamaan. Anak ini sebenarnya sudah berapa tahun hidup? Tinggal di tengah kota pula, tapi tidak pernah mencoba dimsum itu bagaimana ceritanya? Dia ini tidak pernah keluar atau apa? Atau mendiang ibunya tidak pernah memberikannya dimsum? Hah? Dona tidak habis pikir.
"Apa ada sayurannya?" tanya anak itu lagi.
Dona menggeleng, "Isinya daging ayam. Udang juga."
"Apa beracun?"
Gila? Benar-benar gila anak ini. Antara polos dan bodoh memang setipis benang dibelah tujuh. Mana mungkin Dona meracuni dimsum yang dibelinya di kantin sekolah!
"Ayam enak, tapi udang ... apa udang beracun?"
"Kamu ini ...." Dona gemas sekali ingin meremas wajah polos anak itu dan mencekokinya sepotong dimsum sekaligus. Tapi, dia tentu masih sabar. Tenang, Dona. Tenanglah. Hari-harimu sudah buruk belakangan ini, dan anak yang tidak berdosa tidak perlu menjadi target amarahmu juga.
Namun, Dona tidak pintar berkata-kata. Dia tidak lihai dalam menjelaskan. Apa pun itu, Dona tidak pernah pandai bersuara. Lantas, yang bisa dilakukannya supaya anak itu percaya hanyalah membuktikan secara langsung bahwa makanannya tidak beracun.
Dia keluarkan mika pembungkus dimsum dari plastiknya, dia buka mika itu, dan mengambil satu dimsum dengan udang yang menyembul keluar. Lalu, tentu, memakannya dengan sedikit kesal.
"See?" Dona bahkan bicara sambil mengunyah dimsum. "Racun? Lihat, apa Kakak mati sekarang?"
Dona mengunyahnya dengan emosi, menelannya dengan emosi, menatap anak itu yang diam-diam menahan tawanya juga dengan emosi. Dia melotot kepada anak kurus yang sekarang berani mendengkuskan tawa.
"Apa?!"
"Oke ... oke ...." Anak itu masih dalam sisa-sisa tawanya. "Enggak beracun ternyata."
"Cih?" Dona menaikkan sebelah alis, kesal sekali melihat anak ini. "Terserah. Mau makan terserah, enggak juga terserah. Ambil."
Kali ini, anak itu mengambil plastik yang kembali dimasukkan mika berisi dimsum dari tangan Dona Hattala. Dia tersenyum tipis kepada Dona, kemudian berlalu dari hadapannya. Dia masuk ke kamar yang kemarin Dona masuki dengan lancang.
"Oy!"
"Ya?" Anak itu berbalik, menatap ke arah Dona yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi.
"Kamu ... kamu enggak keberatan Kakak di sinโ"
Anak itu langsung menggeleng, "Kakak nggak punya teman. Di sini tempatnya orang-orang yang nggak punya teman. Mamaku dulu nggak punya teman selain Onti Del, dan kayaknya ... Onti Del juga?" Anak itu tersenyum ramah, tapi ucapannya terasa sedikit menyebalkan bagi Dona.
Namun biar bagaimanapun, anak itu tidak terlalu buruk. Dia tersenyum seraya mengatakan, "Enjoy yourself, Kak Dona."
Dona menelan salivanya keras. Entah bagaimana, hatinya terasa perih melihat anak itu tersenyum dan masih bersikap baik kepadanya ketika dunia sudah begitu jahat. Terbesit dalam hati, dia ingin berlari dan mengusap kepala anak itu. Mereka kehilangan ibu di hari yang sama, kehilangan sosok yang disayang di waktu yang sama. Bukankah akan lebih baik jika mereka saling berbagi sepi dan sedih bersama-sama?ย
Selama ini, Dona tidak pernah mengerti mengapa mendiang ibunda jarang sekali tersenyum ramah kepada sang ayah bahkan hingga hari perceraian mereka. Namun, mendiang selalu terlihat bahagia dan tersenyum cerah setiap kali mengobrol di telepon, bertukar pesan, atau ketika berpamitan kepada Dona untuk pergi ke rumah kecil ini demi menghabiskan waktu bersama ibu tunggal yang pernah hidup di rumah yang tengah dia pijak.ย
Barangkali, mungkin memang ada kebahagiaan kecil yang tersempil di rumah usang ini?
Entahlah.ย
Tapi yang jelas, kala itu Dona tersenyum tipis menanggapi bagaimana si anak mendiang menerima kehadirannya di sebuah rumah usang. Dia praktis kehilangan rasa kesal yang menjangkit diri di hari-hari kemarin. Dia mulai beramah-tamah berbagi dimsum dengan anak yang kesepian.ย
Katakanlah dia labil, tapi ayolah ... Dona Hattala di masa itu tidak lebih dari seorang pelajar menengah atas tahun ketiga, Dona Hattala remaja yang sekiranya baru berusia tujuh belas, dan Dona Hattala yang sedang naif-naifnya mengira dunia akan mulai berbaik hati kepada dirinya sendiri.
Ketika pada kenyataannya, bermain-main dengan anak itu adalah pintu kekacauan hidupnya.ย
Pintu datangnya malapetaka.
Dona yang kini sudah dewasa terlambat menyadari segalanya. Dona terlena. Dona terlalu lama membuka mata.ย
Dan kini bulan menjadi saksi sepinya malam Dona, menjadi saksi bagaimana perempuan dengan asap kretek yang mengelilingi dirinya menatap kosong ke arah langit kelam. Dia memandangnya seolah sudah pasrah dengan segala hal. Namun, mungkin bahkan dirinya sendiri tidak sadar, bahwa ada sepercik tatapan penuh harap seperti memohon pertolongan.ย
Tapi ... pertolongan untuk apa? Bukankah semua sudah terlambat? Semuanya sudah hancur lebur menjadi pecahan memori-memori usang.ย
to be continue
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top