๐ | ๐๐ข๐ฉ๐ฌ๐ญ๐ข๐ค ๐๐๐ซ๐๐ก ๐๐ข ๐๐ฃ๐ฎ๐ง๐ ๐๐ข๐ ๐๐ซ๐๐ญ ๐๐ฎ๐ญ๐ข๐ก
SATU pekan pun berlalu. Emir masih dengan perasaan yang sama, pun masih dengan rutinitas yang sama. Hari kesayangannya, Minggu, seperti biasa ia mulai dengan pergi ke Taman Suropati bersama sedan tua yang setia mengantarnya ke mana pun ia pergi.
Sesampainya di tempat tujuan, kelas biola itu sudah dimulai. Emir memarkirkan mobil dan turun dengan menjinjing laptop sebelum akhirnya duduk di tempat biasa ia memandang Lienna. Kali ini, ia yang sudah dikejar-kejar proposal resital mau tak mau harus membawa pekerjaannya di tengah pemujaan terhadap sang gadis. Sekencang apapun deadline mengejar, memuja Lienna di Taman Suropati tetap tak mungkin ia lewatkan begitu saja.
Maka khusus di hari itu, Emir tak mengunci pandangannya hanya kepada Lienna. Padahal ia sangat ingin. Tapi mau bagaimana lagi?ย Sekilas-sekilas ia tengok proposal resital yang belum menunjukkan perkembangan, sekilas-sekilas ia tengok Lienna yang dengan begitu anggun mengenakan gaun pendek berwarna merah. Benar, kali ini Lienna mengenakan gaun semerah darah. Ia tidak lagi terlihat seperti langit biru yang cerah, atau seperti batu pertama berwarna hijau. Kali ini, ia tampak seperti perwujudan seorang putri kerajaan.ย Ah, memang ini yang dinamakan sebuah berkah. Emir bergumam dalam hati. Ia tak pernah tak bersyukur setiap kali memiliki kesempatan untuk memandang Lienna. Sekali lagi, tak masalah, meski harus dari kejauhan saja.
Namun, notifikasi pesan biadab dari Dion yang mengingatkan proposal resitalnya seketika membuat senyum Emir memudar. Terpaksa, ia harus melepas pandangan dari gadis yang sedang ia puja-puja dalam benak, dan kembali berkutat dengan laptop. Sekilas informasi, Emir masih dalam tahap mencari referensi. Ia belum memiliki ide apa pun untuk persembahan di sebuah tugas akhir.ย
Emir yang tak selalu mengunci pandangan pada sang gadis pujaan karena disibukkan dengan proposal resital, membuat dirinya tak sadar bahwa waktu berlalu dengan begitu cepat. Dan seseorang kini duduk di sebelahnya. Di hadapan air mancur yang menyejukkan, dengan semilir angin yang membawa kedamaian, sekilas asap rokok yang mengganggu pun tiba-tiba tampak di pandangan Emir. Tak acuh, Emir tetap fokus pada referensi proposal terdahulu. Ia tak masalah jika seseorang duduk dan merokok di dekatnya. Ia sudah terbiasa karena seorang teman yang juga penggila kretek, siapa lagi kalau bukanย Dona. Namun, agaknya seseorang itu memang sengaja duduk di sana. Di sebelah Emir. Karena kala itu terdengar sebuah suara, yang begitu Emir kenali milik siapa, tak lama setelah asap rokok itu melintas di pandangannya.
"Emir."
Suara dingin itu membuat Emir membeku sejenak, sebelum ia menoleh dalam seketika. Acuh dalam sekejap mata. Jantungnya berdebar lebih cepat daripada kejaran deadline. Gadis cantik bergaun semerah darah baru saja menyebut namanya. Benar, Lienna.ย Gadis pujaannya itu kini tepat berada di sebelah Emir yang terperangah bukan buatan. Jaraknya begitu dekat, hanya dibatasi oleh segelas es teh manis yang Emir letakkan di sampingnya. Ia menelan ludah yang terasa keras, tak tahu harus berbuat apa. Emir diam, kehilangan kemampuannya untuk berbicara dalam sekejap mata. Sementara sang gadis pujaan begitu santai mengisap sebatang rokok, dan bicara dengan suara yang benar-benar tenang.ย
"Setiap Minggu pagi kamu di sini, di Taman Suropati. Dan setiap Jumat, Sabtu, Minggu sore kamu pun ada di Taman Ismail Marzuki. Saya tau kamu selalu muncul di mana pun saya berada. Dan saya enggak berniat untuk basa-basi di sini. Langsung ke intinya, kamu ada maksud tertentu untuk saya, Emir?"
Betul bahwa Emir selalu memusatkan pandangan kepada sang gadis pujaan, tapi tak pernah ia tahu bahwa gadis itu mampu menarik dan mengembuskan asap rokok dengan begitu santai. Ia tidak pernah melihat Lienna merokok sebelumnya. Tak sekali pun dalam satu tahun. Lantas, wajar saja ia sekarang merasa terkejut. Ditambah, kata-katanya barusan membuat Emir semakin terperangah. Lupa seketika dengan keriuhan proposal resital, kini hanya ada satu yang mengganggu pikiran; Dari mana Lienna tahu tentang dirinya?
Gadis itu menatap dengan bibir yang menjepit sebatang sigaret putih. Dan sungguh, persis seperti yang sudah pernah Emir katakan dalam hati, Lienna cantik dengan apa pun yang melekat pada dirinya ini.
Asap yang mengembus pun membuyarkan lamunan. Entah sengaja atau tidak, tapi asap itu menampar lurus ke wajah Emir yang tengah menatap. Ah, sepertinya Lienna memang sengaja.
"Jangan melamun," katanya.
"M-maaf, Kak."
Emir berusaha bersikap sopan. Lienna adalah kakak tingkatnya. Gadis pujaannya. Namun, Lienna sama sekali tak mencerminkan sikap yang sama. Ia agak ... brutal dan blak-blakan. Ini benar-benar di luar ekspektasi Emir. Ini ... tidak seperti Lienna yang ada dalam ingatan Emir.ย
Namun, bukan berarti sikap Lienna barusan mampu memudarkan perasaannya begitu saja. Sungguh, tidak sama sekali. Emir berani bersumpah. Hanya saja ... Lienna yang seperti ini entah bagaimana justru membuat Emir semakin jatuh cinta. Ia terhipnotis dalam tatap mata Lienna yang segelap obsidian. Jantungnya pun berdebar tidak karuan.
"Sekali lagi, tanpa ada pengulangan setelah ini. Jawab. Kamu ada maksud apa selalu ikuti saya ke mana-mana?"
Suara gadis itu ... benar-benar terdengar tenang. Tapi bagi Emir pertanyaan yang dilontarkan cukup mencekam. Dirinya seolah merasakan ada cekikan di leher dan tatapan tajam yang tertuju kepadanya, meski sesungguhnya tak terjadi apa-apa. Lienna tak mencekiknya, tak juga menatapnya dengan tajam. Gadis pujaannya itu hanya memandang dengan datar, dan bertanya dengan tenang. Tak ada ancaman sama sekali. Seharusnya, Emir bisa merasa aman-aman saja. Namun, nyatanya tidak seperti itu yang ia rasakan. Ia setengah mati menahan gejolak aneh dalam dirinya sekarang.
"Emir Soerjotomo."
"Y-ya, Kak?"ย
Sialan. Emir mengutuk dirinya dalam hati. Dari mana pula Lienna tahu nama lengkapnya dengan tepat dan jelas? Bahkan ia mengucapkannya dengan ejaan yang benar. Tak salah-salah seperti beberapa teman yang menyebut nama belakangnya dengan So-er-jo-to-mo atau Sur-jo-to-mo. Lienna tepat mengucapkannya dengan benar dan jelas: Sur-yo-to-mo, begitulah seharusnya nama ia diucapkan. Emir menelan saliva, merinding memikirkan dari mana Lienna mengetahui tentang nama dan dirinya.
Pun dari mana juga Lienna tahu bahwa selama ini Emir telah mengikutinya? Agak tidak mungkin kalau gadis itu menyadarinya begitu saja. Satu tahun sudah berlalu, dan gadis itu baru menyadarinya sekarang? Mustahil. Emir tak mungkin pernah keliru, ia selalu mengamati Lienna di Taman Suropati dengan jarak yang jauh. Ia juga selalu mengenakan masker hitam dan topi hitam ketika berada dalam jarak yang sedikit lebih dekat seperti saat di Taman Ismail Marzuki. Seharusnya, Lienna tak akan menyadari keberadaannya. Atau kalaupun memang gadis itu sadar, seharusnya tak bisa langsung menembak tepat sasaran; bahwa itu adalah Emir Soerjotomo.ย Seharusnya ....ย
Tapi sayang, kenyataannya tidak seperti itu.
Kenyataannya, kini Lienna duduk di sebelahnya dengan anggun dalam balutan gaun semerah darah, dan mengisap sebatang sigaret putih. Namun kali ini, Lienna mengembuskan asapnya bersamaan dengan sebuah embusan napas kesal. Seolah-olah ia tengah menahan kesabarannya di hadapan Emir. Beruntung, Emir segera mengerti gelagat gadis pujaannya ini. Ia mengerti Lienna, ia tahu apa yang Lienna mau. Maka dengan segera, ia memberikan apa yang gadis itu inginkan; sebuah jawaban.
"A-ah, iya. S-soal itu ... s-saya ... saya enggak ada maksud apa-apa, Kak."
Suara gugup itu berasal dari sang pemuja rahasia, dan dibalas oleh sang pujaan dengan begitu lancar seperti tak ada sedikit pun keraguan. "Dengar, saya enggak keberatan kalaupun kamu sebut satu atau dua hal yang kamu mau dari saya. Semua orang di dunia pun tau, ada harga yang harus dibayar dari segala sesuatu. Jangan main-main sama saya, Emir. Saya enggak tertarik sama sekali."
Emir tertegun tak mampu bicara. Lienna sungguh sedang berusaha menamparnya lewat kata-kata.
"Sekarang, anggap aja ini sebagai balasan terima kasih saya karena kamu selalu jadi 'apresiator' setiap saya main di TIM."ย
Lienna mengetahui hal itu? Tidak, Lienna sadar bahwa apresiator itu adalah pemuda di hadapannya ini? Dirinya sendiri? Emir Soerjotomo?
"Apa pun yang kamu mau dari saya, selagi saya mampu, saya kasih untuk kamu. Tapi ...."
Lienna menggantungnya untuk detik yang cukup lama. Sampai-sampai, gadis itu sempat menarik satu isapan lagi dan mengembuskan asapnya dengan bibir yang cantik. Emir terpesona untuk sementara, hingga akhirnya Lienna melanjutkan dengan kata-kata yang terdengar begitu sesak di dada pemujanya.
"Jangan ikuti saya lagi."
Demi Lienna Rosaline yang cantik rupawan. Tidak. Tidak bisa. Tidak mungkin bisa.
Emir tak akan sanggup memenuhi syarat yang diberikan Lienna, jika ia mengiyakan untuk menerima 'balas budi' gadis pujaannya itu. Bagi Emir, lebih baik tidak menerima apa-apa, daripada harus menjauhi Lienna. Lagipula, ia sudah terbiasa dengan cinta sepihak ini. Mengapa pula ia harus menerima sesuatu? Tidak perlu. Emir tidak membutuhkan apa-apa sebagai balasan untuk cintanya.
"Bagaimana, Emir?"
Ia menatap mata hitam yang kini tertuju ke arahnya. Asap menghalangi pandangan, tapi tak menghentikan Lienna untuk menatap pria yang diam-diam memujanya. Emir hargai keberanian Lienna menghampirinya seperti ini. Sungguh. Ia syukuri pula jarak yang kini begitu dekat dengan Lienna, hingga ia bisa secara lurus menatap ke dalam manik matanya yang indah. Namun, tetap saja. Tetap tak bisa ia setuju untuk 'kesepakatan tiba-tiba' yang baru saja Lienna buat tanpa memberi celah bagi dirinya untuk menyangkal.
Emir tidak bisa berkata tidak kepada Lienna.
"Saya bisa kasih kamu apa pun, selama itu hal-hal yang masuk akal."
Hal-hal yang masuk akal.
Cinta yang dibalaskan, apakah termasuk hal yang masuk akal?
Tidak mungkin. Gila saja.
Imbal dari apa yang akan Lienna berikan adalah 'jangan mengikutinya lagi'. Bagaimana mungkin 'cinta yang dibalaskan' bisa masuk ke dalam daftar hal yang masuk akal. Emir mungkin sudah gila karena sempat-sempatnya ia memikirkan hal itu.
Tssss ....
Sudah berapa lama waktu berjalan? Emir dilanda hening hingga suara puntung rokok yang mati karena tenggelam dalam gelas teh menyadarkan dirinya. Lienna membuang puntung rokok yang ia isap ke dalam segelas es teh. Segelas es teh milik Emir yang sengaja dibeli untuk menemani pengerjaan proposal dan pemujaan terhadap Lienna. Emir lagi-lagi menelan saliva dengan keras. Tak pernah ia kira, apakah memang sebegini kasarnya seorang gadis yang ia puja?
Bagaimanapun, katakanlah Emir gila karena ia malah tersenyum tipis setelah melihat puntung rokok berbekas lipstik merah mengambang di atas es teh manisnya.
"Pikirkan baik-baik apa yang kamu mau. Setelah itu, setelah saya kasih permintaan kamu, tolong jangan ikuti saya lagi. Pikirkan, sampai maksimal minggu depan kamu sudah punya jawaban. Dan sebut itu saat saya temui kamu lagi. Di sini, atau sore di Taman Ismail Marzuki."
Mati.
"Saya tunggu kamu, Emir Soerjotomo."ย
ยง
to be continue
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top