๐Ÿ๐Ÿ— | ๐๐ž๐ฅ๐š๐ง๐ ๐ ๐š๐ซ๐š๐ง ๐‹๐š๐ซ๐š๐ง๐ ๐š๐ง

Sayang, kalau saja Emir bertahan beberapa detik lagi di depan kamar Arsenio, ia mungkin akan mendengar bagaimana Dona dengan suara yang begitu tenang mendesak Arsenio yang gemetar.

Malam itu, pintu kamar Arsenio terbuka bukan tanpa alasan. Lagu Kaila kencang di dalam kamar pun bukan sebuah kebetulan. Gadis itu hobinya mendengar musik tepat di telinganya, dia senang mendengar suara penyanyi yang dia sayangi langsung mengalir ke kepala. Bukan beterbangan di udara, di ruang kamarnya.

Kaila mengunci diri, menutup pintu, dengan lagu yang mengalun kencang seolah tengah memberitahu siapa pun yang melewati kamarnya; bahwa dia tidak bisa mendengar apa-apa dari luar.

Dan Arsenio bukannya tidak berada di dalam kamar, dia ada di sana. Di sudut yang menjadi titik buta dari ruang pandang pintu. Di sudut yang lurus horizontal dengan posisi pintu. Arsenio belum sempat menutup pintu kamarnya, karena ... Dona sudah terlanjur masuk dan bersandar di meja dengan tangan bersedekap menatap tajam kepada dirinya.

Dona praktis memblokir Arsenio untuk kabur dari tatap mengerikan itu.

Dia tidak tahu dirinya diikuti oleh Dona Hattala, setelah semua orang bubar di lantai dua ruang keluarga rumah mereka.

Ketakutan, Arsenio akhirnya mengucap kata maaf dengan terbata-bata.

Tapi Dona tidak memaafkannya. Atau, entahlah, mungkin dimaafkan hanya di dalam hati, karena perempuan itu tidak mengucap sepatah kata pun untuk membalas permintaan maaf Arsenio. Dia hanya menatapnya dengan dingin.

Arsenio pun kembali diam, tidak berani berkata apa-apa lagi untuk membela diri. Dia tau dia pantas diberikan tatapan itu. Dia tau dirinya bersalah di sini.

Sebelumnya, bertepatan saat Emir pergi ke luar untuk menuruti kebodohannya sendiri, di lantai dua ruang keluarga rumah Dona Hattala ada seseorang yang bahkan menunjukkan kebodohannya dengan terang benderang.

Kaiser Arsenio, namanya.

Kepada Dona, dia menceritakan pengalamannya membawa lukisan sebesar rentangan kedua tangan dan berakhir dibantu sampai ke rumah oleh teman yang dia banggakan, Kristian Luan. Ya ... siapa yang tidak bangga ketika memiliki teman seorang pelukis yang lumayan terkenal? Kaila bahkan bermutual di sosial media dengan pelukis itu, Kaila bahkan mengaguminya juga. Lagipula, seorang pelukis dengan pahatan wajah nyaris sempurna seperti Kristian Luan agaknya mustahil jika tak dikagumi perempuan. Dan Arsenio bangga memiliki teman yang terkenal dengan bakat melukis dan memiliki berkat akan sebuah ketampanan. Arsenio bukan main bangganya, dia bahkan menceritakan perjalanannya hari ini dengan gembira, seolah segala kerepotannya ketika membawa lukisan itu saat menaiki bus bukanlah apa-apa dibandingkan dengan waktu yang dia habiskan di jalan bersama Kristian Luan. Sebagai tambahan, dia juga mengatakan kepada Dona untuk jangan segan-segan meminta bantuannya lagi jika Dona ingin memesan lukisan dari teman baiknya itu.

Arsenio begitu bahagia dalam gelembungnya sendiri, hingga tidak dia sadari sebelah tangan Dona sudah mencengkeram pegangan sofa hingga kuku-kuku itu nyaris merobeknya.

Tapi beruntunglah Arsenio, Dona memiliki tingkat pengendalian emosi yang baik. Dia sejenak memejamkan mata, lalu menarik dan membuang napasnya beserta seluruh emosi yang tidak dia ledakkan di sana. Karena baginya, tidak akan terlihat pantas jika seorang Dona Hattala sang tuan rumah yang sudah berusia dua puluh dua memarahi anak berusia delapan belas yang hanya sedang berbagi kesenangan.

Meski dalam hati, Dona benar-benar ingin memarahi Arsenio.

Dona harus memarahinya. Harus. Tapi tidak di depan umum.

Dengan begitu, Dona pun menyela kesenangan si pemuda berkacamata ketika dia bercerita. Andrea pun jadikan alasan untuk menyela cerita Arsenio.

Dia berdeham sebelum mengatakan, "Andrea, pulang. Sekarang jam sembilan malam, jangan buat mama khawatir," kata Dona.

Andrea, pemuda yang selalu melekat dengan Dona, tentu keberatan untuk menurutinya. Dia merajuk. Merengek dan bergelendot kepada Dona yang kokoh mempertahankan raut datarnya. Tidak sedikit pun tergerak untuk membiarkan Andrea tetap di rumah ini lebih lama lagi.

Walau sebenarnya, Andrea itu terbiasa pulang malam. Apalagi kalau dia sedang dalam jadwalnya untuk mengisi live music di Rumah Eyang, jam satu baru pulang pun bukan sebuah masalah. Namun, hari ini bukan jadwal Andrea untuk menjadi pianis di sana. Dia hanya sedang ingin main ke rumah Dona. Lantas, setelah diberi satu dua nasihat lagi oleh Dona mengenai ibu Andrea yang menunggu di rumah, dan melarang Andrea untuk berbohong kepada seorang ibu, akhirnya Andrea menurut juga. Dia pun pulang. Walau raut mukanya berkata lain. Seakan-akan dia masih ingin tinggal, masih ingin mendengar cerita dari pemuda yang baru beberapa menit lalu bertengkar dengannya. Sayang sekali, Dona menghentikan semua itu. Padahal, perdamaian antara Arsenio dan Andrea mungkin akan segera terjadi sebab Andrea tampak cukup penasaran dengan subjek yang diceritakan Arsenio.

Tapi, yah ... apa boleh buat.

Andrea pun pulang, dan kini tinggal Kaila yang harus Dona atur.

Untuk yang satu ini, mudah saja, Dona yakin gadis pintar itu sudah mengerti. Dan, benar. Tanpa perintah, Kaila segera pamit dari hadapan Dona dan Arsenio untuk kembali ke kamar dengan alasan dia harus mengejar tenggat waktu komik garapannya. Barangkali Andrea dan Arsenio sebelumnya tidak sadar, tapi Kaila sedari tadi sudah memasang wajah panik begitu mendengar Arsenio bercerita tentang 'membawa pulang lukisan dengan Kristian Luan'. Lantaran Kaila tahu, hal itu adalah larangan terbesar dari Dona Hattala. Bahwa apa pun yang terjadi, Kristian Luan tidak boleh sampai menginjakkan kaki di rumah putih ini.

Hening pun lama memenuhi kamar Arsenio sebelum Dona akhirnya berhenti menatap tajam ke arah pemuda itu, lalu mulai membuka suara. Dingin, seperti tak berperasaan.

"Apa yang sulit untuk sekadar patuhi aturan?"

Di sudut kamar itu, Arsenio semakin berdebar kencang. Ketakutan. Dia menelan salivanya bersama kata-kata yang tidak mungkin dia lontarkan untuk membela diri. Maaf, Kak Dona. Arsen lupa. Gila saja, tidak mungkin dia mengatakan alasannya, bukan? Dia tahu Dona tidak akan percaya, lantas dia biarkan Dona memarahinya.

"Apa maksudnya bawa lukisan itu pulang sekaligus dengan pelukisnya? Keributan hampir terjadi di rumah ini, Sen."

Arsenio masih membungkam suaranya sendiri meski Dona sudah jelas-jelas menanti sebuah jawaban.

"Arsen."

"M-Maaf, Kak Dona."

"Bukan kata maaf yang dibutuhkan sekarang."

Dona benar-benar marah. Meski nadanya tidak tinggi, suaranya yang tetap tenang justru lebih mengerikan untuk didengar. Terasa begitu dingin hingga mampu membuat lawan bicaranya beku.

"Di mana penjelasannya?"

Arsenio diam.

"Ambil lukisan di sana setelah lukisannya selesai, jangan biarkan Kristian Luan repot-repot antar ke rumah kita. Sulit untuk pahami kalimat ini, Arsen? Jangan sampai Kristian Luan datang. Sulit, hm?"

Tidak ada jawaban.

"Arsen."

"...."

Dona semakin tegas karena keheningan pemuda di hadapannya.

"Kaiser. Arsenio."

Dan ... nihil.

Dona pun menghela napas kecewa, Arsenio tetap memilih mengunci mulutnya. Sungguh pilihan yang buruk untuk tidak menjawab Dona Hattala. Dia sedang mengundang akhir riwayatnya sendiri.

"Alright."

Arsenio masih menundukkan kepala, tidak berani menatap Dona Hattala.

"This is my fault. Maybe, I trusted the wrong person."

Mendengarnya, Arsenio terbelalak. Tidak ada yang tidak mau disebut sebagai 'orang yang salah' ketika bicara tentang kepercayaan. Tak terkecuali bagi Arsenio. Dia pun takut Dona kehilangan kepercayaan terhadap dirinya. Dia takut Dona berhenti memedulikannya. Dia takut Dona tak lagi repot-repot khawatir padanya. Dia takut ... dibuang oleh seseorang yang telah menyelamatkannya.

"Have a good night, Arsen."

Dona melepas tangan yang terlipat di depan dada, pergi dari hadapan Arsenio yang sibuk memutar otak untuk menjelaskan kepada Dona tentang kecerobohannya. Arsenio berpikir berkali-kali, pun merangkai kata-kata alasan di kepalanya sendiri, tapi dia tau semua itu tidak berguna lagi ketika Dona melangkah keluar dari kamar.

Dia telah salah. Dia tahu kesalahannya. Dia tahu dosanya kepada Dona Hattala.

Hanya saja ... dia tidak mengerti bagaimana cara menjelaskan kecerobohannya ini. Dia tidak pernah bermaksud buruk, dia murni tidak sengaja melupakan larangan dari tuan rumahnya.

Lantas, malam yang dingin dan sepi pun dilalui dengan kekacauan pikiran mereka yang tinggal di bawah satu atap yang sama.

Arsenio terpaku merenung di kamar. Kaila menulikan telinga dengan lagu-lagu dari pengeras suara. Emir menyendiri menghadapi cemburu yang mulai membakar diri. Dan Dona ... perempuan yang penampilannya benar-benar tenang, tidak melakukan apa-apa selain membakar sebatang kretek di halaman belakang sambil memandang bulan. Tidak ada seorang pun yang tahu betapa bergejolaknya hati Dona Hattala, semua itu tertutup oleh wajahnya yang tak berekspresi dan suaranya yang dingin nan tenang. Tidak ada seorang pun yang tahu, bahwa Dona mengutuk dirinya yang nyaris bertatap muka lagi dengan sang kehancuran.

Petaka hampir datang memporak-porandakan Dona Hattala.

Kristian Luan.

Sakit rasanya ketika nama itu kembali berdengung di kepala.

Dia pun bersandar, matanya memandang bulan dengan tatapan nanar sebelum kemudian terpejam, dan ... potongan-potongan kenangan pun kembali menyiksa malamnya dengan kejam.

Tak sedikit pun berbelas kasih kepada Dona Hattala.

to be continue

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top