๐Ÿ๐Ÿ‘ | ๐“๐ž๐ง๐ญ๐š๐ง๐  ๐Š๐ข๐ฌ๐š๐ก ๐‡๐š๐ซ๐ข ๐‡๐ฎ๐ฃ๐š๐ง ๐๐ข ๐Š๐ž๐๐š๐ข ๐Š๐ซ๐ข๐ฌ๐š๐ง

KOPI HITAM buatan Kristian datang menengahi Emir dan paman Dona yang baru akan memulai cerita.

Kebetulan, baristanya sendiri yang mengantar. Pemuda yang bernama Kristian, yang Emir akui bahwa dia begitu tampan dengan rambut hitam yang menjuntai sampai menyentuh bahu.

Emir sempat melakukan kontak mata dengan pemilik mata elang itu, tapi buru-buru ia lepas begitu mendapati dirinya tengah diamati dalam-dalam.

Tak lama berselang, setelah selesai mengantar kopi hitam, dia pun pergi kembali ke tempatnya di lantai bawah.

Paman Dona lantas mulai membuka suara.

"Semua bermula sejak musim hujan tahun lalu."

Diceritakanlah oleh paman Dona, tentang Dona Hattala di pertengahan menuju akhir tahun lalu.

Kala itu, hari sedang gelap. Langit begitu redup meski belum memasuki waktu matahari tenggelam. Kedai Krisan sepi pengunjung, dan paman Dona yang sedang menutup payung-payung meja di halaman depan karena angin yang terlalu kencang, tak memiliki pikiran apa pun selain keamanan kedai kakaknya. Dia hanya memikirkan Kedai Krisan. Dia hanya memikirkan payung-payung mejanya yang dimainkan oleh angin. Dia tidak memiliki pikiran apa pun tentang keponakannya, lantaran tahun demi tahun sudah berlalu sejak Dona marah akibat sang paman mengusik teman-temannya yang berandalan. Namun, ketika paman Dona sudah mulai lupa dengan bagaimana rupa keponakannya, dan hanya ingat bahwa dirinya memiliki tanggungjawab atas Kedai Krisan yang ditinggalkan oleh sang kakak, sang keponakan tiba-tiba hadir dengan membawa aura kegelapan di bawah derasnya hujan.

Paman Dona pikir, Dona masih mau membahas-bahas masa lalu yang membuat mereka berseteru. Atau, mungkin kedatangannya hanya sekadar untuk mencari tempat berteduh. Namun, yang terjadi tidak seperti dua dugaan sang paman. Dengan tubuh yang basah kuyup dan rambut hitam panjangnya yang sudah tak berbentuk, dia datang dengan membawa sebuah permohonan. Sebuah permohonan besar untuk pemuda bernama Kristian Luan. Permohonan untuk bocah yang baru lulus sekolah menengah atas yang bahkan tidak paman Dona kenal.

Dona datang sendirian, tidak membawa siapa-siapa. Bahkan pemuda bernama Kristian Luan yang dia sebut-sebut ketika bicara dari hati ke hati bersama sang paman, tidak ada di sampingnya. Lantas, terbesit pertanyaan di kepala paman Dona pada saat itu. Siapa Kristian Luan? Mengapa juga keponakannnya ingin membantu anak itu?

"Dan kamu tau siapa dia, Brother?"

Emir menelan saliva, entah kenapa ia merasa gugup sebelum menggelengkan kepala.

"Dia adalah si orang ketiga."

"Orang ketiga?"

Paman Dona melanjutkan ceritanya.

Sempat disebutkan bahwa hubungan Dona dan temannya yang cantik jelita merenggang bertahun-tahun lalu. Dan siapa yang akan menyangka, bahwa rupanya Dona masih mengawasi mereka meski Dona dan temannya sendiri sudah tidak bersama.

Singkat cerita, anak itu bisa dikatakan sebagai penyebab putusnya hubungan merekaโ€”hubungan Dona dan temannya. Namun, alih-alih membenci, Dona justru ingin membantunya lewat Kedai Krisan yang dikelola oleh sang paman. Aneh, bukan? Sang paman pun merasa kesulitan untuk mengerti jalan pikir keponakannya sendiri.

"Kalau gue, mungkin udah gue cut-off total. Logikanya, Bro, ngapain ngurusin orang yang udah bikin lo sakit hati? Tapi, hari itu ... Dona malah datang ke gue, bukan untuk benerin hubungan kita yang chaos gara-gara temen berandalannya, tapi untuk minta bantuan. Gue bahkan amaze ponakan gue bisa, dan tau, caranya untuk memohon. Enggak pernah sekali pun dalam hidup, gue lihat dia memohon sampai segitunya. Kecuali di hari itu."

Dona duduk berhadap-hadapan dengan sang paman, dan hanya dibatasi oleh sebuah meja yang menyajikan teh hangat untuknya.

Sang paman kebingungan dengan apa yang tengah terjadi. Dona datang menerjang hujan, basah kuyup, kedinginan, hanya untuk menghadap sang paman dan berdiam untuk beberapa waktu sampai akhirnya dia menggumamkan sebuah nama dari bibirnya yang gemetar. Kristian ... Luan.

Dan di saat itulah, sebuah permohonan dia panjatkan kepada sang paman.

Dia satukan kedua tangan, dia tundukkan kepala serendah-rendahnya, dia tutup matanya yang setajam mata pisau, dan bicara dengan bibir pucat nan gemetar kepada sang paman yang terlalu terperangah untuk menyaksikan apa yang baru saja terjadi di hadapannya. Dona memohon kepadanya.

Seketika membuat sang paman merasa bahwa keponakannya yang keras kepala itu sudah tidak memiliki jalan lain lagi selain memanjatkan permohonan ini kepada pamannya yang pernah memiliki masalah di masa lalu dengan dirinya sendiri.

"Dona ... segitunya?"

"Segitunya. Hanya untuk satu permintaan."

Emir pun tidak tahu Dona mampu melakukan semua itu. Emir tidak tahu Dona memiliki sisi sentimental dan melankolis seperti iti. Emir tidak tahu Dona mampu memohon sampai sebegitunya. Bukankah selama ini dia adalah orang yang keras, tegas, dan memiliki citra mampu berdiri di kaki sendiri?

"Dia memohon kayak gitu hanya untuk gue terima anak bernama Kristian Luan untuk kerja di Kedai Krisan ini."

"...." Emir semakin tidak habis pikir. "Dan Om terima?"

"Pertama, enggak. Kedua, iya. Akhirnya gue terima."

"Pertama, enggak. Kenapa?"

Kalau Emir berada di posisi paman Dona, membayangkan jika ia melihat keponakannya sendiri memohon dengan keadaan yang begitu memilukan mata, Emir tanpa berpikir lagi akan mengabulkan permintaannya. Hatinya tak akan tega.

Namun, paman Dona tentu memiliki alasan mengapa dia menolak permintaan Dona meski keponakannya sudah menundukkan kepala sebegitu rendah.

"Alasannya ada dua, Brother. Satu, gue udah punya cukup pegawai. Dua, gue nggak punya budget juga buat bayar anak yang disebut-sebut Dona."

"Ah, begitu ... terus, gimana bisa akhirnya Om terima?"

"Jangan kaget dengar kelanjutannya, Brother."

Setelah paman Dona berpikir berkali-kali untuk jujur atau tidak kepada Dona yang masih menunduk menunggu jawabannya, akhirnya paman Dona memutuskan untuk jujur sejujur-jujurnya.

Dia katakan, ini bukan karena paman tidak mau membantu, tapi karena paman tidak memiliki uang lebih untuk membayar satu pegawai lagi di Kedai Krisan.

Dan kala itu, paman Dona pikir keponakannya akan berhenti memohon dan mulai mengangkat kepala. Sedetik, dugaannya benar. Dona mengangkat kepalanya, menampakkan wajah pucat dengan bibir pecah dan mata tajam yang hilang berganti sayu ketika memandang. Tapi, semua itu tidak bertahan barang semenit saja. Sekejap mata, Dona kembali menundukkan kepala. Pun kembali berkata dengan bibir pucat yang gemetar.

Dia katakan, dia akan mengurus semuanya. Satu-satunya hal yang harus paman kabulkan adalah terima anak bernama Kristian Luan untuk bekerja di Kedai Krisan.

Paman Dona tahu betul ke mana arah bicara keponakannya. Tipikal Dona, dia tidak pernah bijak jika bicara mengenai uang. Sampai di sana, sang paman jelas semakin menolak permohonan Dona. Orang gila mana yang mau menerima orang asing di kedainya, dan membiarkan keponakannya sendiri yang membayar gaji untuk satu pegawai itu. Uang Dona jelas-jelas bisa digunakan untuk hal yang jauh lebih bermanfaat untuk dirinya sendiri.

Namun, apa yang Dona katakan saat itu?

Baginya, ini adalah hal yang jauh dari sekadar bermanfaat untuk dirinya sendiri, ini adalah satu-satunya cara dia bisa merasa tenang menjalani kehidupan.

Tidak ada yang dia inginkan selain menjadi seseorang yang berperan dalam kehidupan orang yang dia sayang.

"...."

Benar-benar melankolis, sentimental, menaruh terlalu banyak perasaan untuk sebuah keputusan.

"Jadi, Om terima karena alasannya?"

"Honestly, gue tetap bilang 'no'. Dan ya, Brother boleh kesel sama gue karena gue saat itu bilang 'tolol' ke Dona yang udah semenyedihkan itu. Ha ... kalau dipikir-pikir, gue masih nggak abis pikir juga sih."

"Lalu gimana akhirnya Om terima?"

"Karena dia berlutut."

"Karena dia berlutut?!"

Paman Dona tertawa parau, "Kan udah gue bilang, jangan kaget, Brother ...."

Mendengar alasannya yang datang dari lubuk hati terdalam masih tidak mampu meluluhkan hati sang paman, Dona lantas berlutut dan meruntuhkan seluruh harga diri yang selama ini dia junjung tinggi di hadapan seorang paman yang menghancurkan pertemanannya dengan para berandalan.

Hal itu ... pastinya tidak pernah terbayang dalam imajinasi siapa pun yang mengenal Dona Hattala.

Perempuan sekokoh gunung, sekeras batu, dengan pribadi yang dijunjung setinggi langit, berlutut di hadapan seorang pria paruh baya penjaga kedai peninggalan keluarga.

Pun tidak hanya dengan satu kaki, tapi kedua kakinya, kedua lututnya menyentuh lantai yang basah.

Dengan gemuruh guntur mengiringi pemanjatan harapan, dia memohon dengan kepala tertunduk dan kedua tangan yang disatukan hingga diangkatnya setinggi kepala.

Tolong biarkan Kristian Luan di sini, dan Dona Hattala yang akan mengurus sisanya.

Adalah permohonan terakhir Dona yang dipanjatkan kepada sang paman, pula ditutup dengan sekali lagi mengucap kata 'Tolong ...' yang terdengar penuh dengan keputusasaan.

Tak kuasa menolak, permohonannya pun dikabulkan.

"Ah ...."

Ini benar-benar di luar nalar seorang Emir Soerjotomo. Dona Hattala memohon kepada pamannya untuk menerima satu pegawai lagi, dan dia menyanggupi diri untuk membayar gaji anak itu? Gaji anak baru lulus sekolah yang disebut-sebut sebagai penghancur hubungan dia dan temannya sendiri?

Sungguh, bagaimana cara untuk mencerna semua ini?

Dona mengeluarkan uang untuk seseorang yang menghancurkan hubungannya dengan seorang teman?

"Dan ... Dona betul-betul tepati kata-katanya?"

"Dia betul-betul tepati kata-katanya. Lagipula, gue tau karakter ponakan gue kayak apa, Brother. Mustahil bagi dia untuk nggak tepatin janji. Dari sejak gue terima anak itu tahun lalu, sampai baru beberapa hari kemarin, ponakan gue tepati kata-katanya. Dia selalu datang ke sini di hari gajian anak-anak kedai, cuma untuk kasih gue uang yang harus gue transfer ke Kristian Luan."

Kristianโ€”

Emir ingat.

Kris.

Penggalan nama yang waktu lalu keluar dari bibir seorang pegawai, dan dihentikan oleh Dona Hattala ketika sedang makan siang bersamanya. Emir ingat. Emir mengingatnya. Pegawai itu bahkan memberikan Dona lembaran kertas yang buru-buru Dona masukkan ke dalam saku.

"Gue pun selalu kasih semua bukti transfernya. Bukti kalau gue betul-betul udah kasih uang dia ke barista spesial ini, Kristian."

Emir terlalu terperangah untuk sekadar merespons seluruh kata-kata paman Dona. Bukan main, pengorbanan macam apa yang dilakukan Dona Hattala? Diam-diam membantu, diam-diam mengeluarkan uang untuk seseorang yang menghancurkan hubungannya dengan seorang teman sungguh merupakan hal yang di luar nalar.

"Itu berarti ... Kristian Luan ini ...."

"Enggak tau apa-apa soal Dona? Yap. Dia bahkan nggak tau gue omnya Dona, dan kedai ini punya ibunya Dona. Dona pure orang di belakang layar, Brother."

Lalu apa yang dia katakan? Tidak ada yang dia inginkan selain menjadi seseorang yang berperan dalam kehidupan orang yang dia sayang?

Emir menertawakan dirinya sendiri, rupanya ada seorang pemuja yang lebih jauh meninggalkan akalnya. Lantas tidak perlu diherankan jika selama ini Dona tidak banyak protes sebagaimana Dion yang hobi mencercanya dengan pertanyaan, untuk apa memuja dia sebegitu besar?

Dona adalah definisi perempuan gila.

Dia dihancurkan, tapi tidak dibalasnya dengan kepahitan. Justru, diberikannya sebuah kehidupan lewat Kedai Krisan dan uang yang dia sisihkan setiap bulan. Dan dia tidak melakukannya sekali dua kali, tapi berbulan-bulan terhitung sejak seorang Kristian Luan bekerja di Kedai Krisan. Kalau anak itu mulai menjadi barista di kedai ini sejak musim hujan tahun lalu, maka sudah lebih dari satu tahun Dona mengeluarkan uang secara rutin untuk seorang penghancur hubungan pertemanan.

"Tapi ... s-siapa teman Dona itu?"

Benar, siapa teman yang kandas hubungannya dengan Dona oleh tangan sang penghancur, Kristian Luan?

"Ah, teman Dona itu?" Paman Dona melirik jam dinding yang menempel tak jauh dari mereka, lalu dia tersenyum melihat jarum menunjukkan pukul setengah lima. "Perfect, sekarang dia pasti ada di bawah. Mau turun dan kenalan, Brother?"ย 

to be continue

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top