๐๐ | ๐๐๐ง ๐๐ซ๐ข๐ ๐๐๐ซ๐ฎ๐ก ๐๐๐ฒ๐ ๐ฒ๐๐ง๐ ๐๐ฎ๐ค๐ ๐๐๐ซ๐๐๐ง๐๐
LEDAKAN TAWA menggelegar tak lama setelah hening menggerayangi seorang pemuda yang kesulitan mencerna kata-kata, dan pria paruh baya yang rupanya hanya bermain-main saja.
Pria paruh baya ituโyang belum Emir ketahui siapa namanyaโtertawa terbahak-bahak setelah menyebut dirinya musuh dari kakek Dona Hattala ketika jantung Emir nyaris menyentuh inti bumi. Bagaimana tidak?! Emir tahu kedua orang tua Dona bercerai, dan Emir kira pria ini adalah sanak saudara Dona dari pihak ibunya yang bermusuhan dengan kakek DonaโTjandra Hattalaโyang berasal dari pihak ayah.
Tapi rupanya, dia hanya bermain-main? Dia tidak serius mengatakan bahwa dirinya adalah musuh Tjandra Hattala? Lantaran kini dia tertawa tak ada hentinya melihat wajah Emir yang sudah kehilangan cahaya.
"Hahaha, duh ... Bro, sorry-sorry, gue enggak serius itu. Tapi, asli, lo kenal Dona Hattala? Gokil, dunia sempit banget!"
"...."
"Gue omnya Dona, adik dari ibunya. Salam kenal, Bro."
"Ah?!" Akhirnya Emir mengetahui juga siapa sosok pria paruh baya berambut gondrong di hadapannya. "P-pamannya Dona? Ah ... iya, saya Emir, Pak. Teman kuliah Dona."
Pria itu kini mengangguk-angguk, seolah bangga telah bertemu salah satu teman dari keponakannya. Melihat dari bagaimana gestur anggukan dan senyuman yang terukir itu, bisa Emir ketahui pria paruh baya ini adalah tipikal paman yang menyayangi keponakannya. Paman yang menyayangi Dona. Paman yang mudah bergaul dengan teman Dona.
"Gue perlu sebut nama nggak, Bro?"
"Ah? Euh ... itu ... gimana enaknya Bapak aja."
Pria paruh baya itu tertawa, "Udah kenal gue siapa, jangan panggil 'Pak' atau 'Bapak' lah, Bro. Biar lebih dekat aja kita. Panggil kayak Dona panggil gue."
"...?" Mohon maaf pria paruh baya berambut gondrong yang ternyata adalah paman Dona, masalahnya Emir tidak tahu bagaimana Dona memanggil pamannya. "G-gimana, Pak?"
"Om Pong."
"Heih?! O-Ompong?!"
Emir tidak tahu Dona memiliki selera humor seperti itu.
"Ha ... bukan begitu, Bro. Om. Pong. Dipisah, lho."
"A-ah ... dipisah." Emir mengangguk resah lalu berusaha mengulanginya, "Om ... Pong?"
"Cakep!"
Lalu pria paruh baya itu, Om Pong, tertawa dan tanpa sengaja menunjukkan jajaran giginya. Sungguh ini tidak masuk akal. Pria itu memiliki deret gigi yang rapi, tidak ada yang hilang sama sekali, mengapa juga beliau bisa-bisanya dipanggil Om Pong oleh Dona yang terdengar seperti orang tak punya gigi.
Dengan sisa-sisa tawanya, paman Dona membuka percakapan dengan Emir. "Haha ... gue baru tau ponakan gue bisa punya teman juga. Surprisingly, anak baik-baik kayak Brother pula."
"Eh?"
"Ah? Gue nggak salah 'kan, Bro? Lo ... bukan cuma looks-nya aja 'kan yang kayak anak ... baik?"
Emir baru tahu, mengenakan sweter abu-abu polos dengan dipadu celana bahan berwarna cokelat tua dan sabuk kulit dengan warna senada, mampu mendeskripsikan bahwa Emir adalah lelaki baik-baik. Emir ambil itu sebagai pujian. Tapi, keterkejutan Emir sesungguhnya bukan karena komentar Om Pong tentang bagaimana dia terlihat. Melainkan tentang keponakannya yang bisa memiliki teman. Bagaimana maksudnya?
"Ha ...! Asli lo cuma looks-nya doang begini?! Wah, kalau iya sih, pantes aja ponakan gue temenan sama lo. Ngaku, lo aslinya berandal juga, 'kan?"
Kalau paman Dona bisa terkejut begitu, Emir juga bisa terkejut karena melihat perbedaan kepribadian yang begitu signifikan antara paman dan keponakan. Om Pong heboh sekali, lebih cocok jika beliau menjadi paman Dion daripada Dona.
"A-ah ... bukan begitu, Om. Saya ... anu, memang kalau soal pakaian ya begini-begini aja. Baik atau enggak ... bukannya cuma bisa dinilai dari hati?"
"Ha? Hahahahaha! Gue demen nih yang begini! Contohnya, kayak gue gitu ye, Bro! Badan bertato, nih tangan bertato, kalau lo mau lihat di perut gue juga ada tuh satu tato. Tapi kalau urusan baik ... ah, beda lagi itu. Nggak ngaruh sama penampilan, ye."
Emir mengangguk setuju, "Sama aja kayak saya. Belum tentu saya baik karena penampilan saya, tapi belum tentu juga saya buruk. Tergantung mata siapa yang memandang, dan hati siapa yang menilai."
Tepukan tangan penuh kebanggaan lantas terdengar di ruang atas Kedai Krisan. Pria paruh baya berambut gondrong dan bertato yang mengaku sebagai paman dari Dona Hattala baru saja mengapresiasi Emir atas ucapannya. Jelas sekali beliau terlihat bangga kepada pemuda di hadapannya itu.
"Bagus, bagus. Orang kayak lo gue approve jadi temen ponakan gue."
Emir terkekeh, "Memangnya ada yang nggak di-approve, Om?"
"Ya ... ada, tapi nggak banyak juga sih. Ponakan gue terlalu jarang punya temen. Sekalinya ada, malah berandalan, ya gue kemplang lah si Dona."
Emir mengernyit, kapan tepatnya Dona memiliki teman berandalan? Rasa-rasanya, Emir tidak pernah mengenal teman Dona yang seperti itu.
"Itu bocah waktu SD temennya laki semua, Bro, isinya anak nakal pula. Waktu SMP, jah ... kagak punya temen! Ada satu doang itu yang gue inget deket banget sama dia, sampai sekarang pun itu anak masih suka ke sini. Cuma ... dari yang gue liat-liat, kayaknya udah nggak temenan lagi sama si Dona."
Ada satu teman yang dekat dengan Dona Hattala? Dan sudah tidak berteman lagi dengannya?
Pikiran Emir terbang ke satu orang yang ia curigai dalam benak.
"Sayang sih, padahal gue suka sama itu anak. Baik. Cantik juga. Perfect lah jadi temennya ponakan gue. Eh, malah renggang. Tau-tau, ponakan gue yang dulunya lakik banget itu temenan sama berandal pas lulus SMA. Makanya gue syok sih, ponakan gue punya temen laki modelan anak baik-baik kayak Brother gini. Ntar malem gue sujud syukur!"
Emir tertawa sebagai bahan formalitas saja, karena sungguh pikirannya sedang tidak bisa diajak bercanda. Emir akui Dona memang perempuan dengan aura maskulin, tapi tidak pernah ia ketahui bahwa Dona sempat berteman dengan berandal di masa kuliahnya. Lantaran, selama ini Emir berada di sisi Dona, dan tidak pernah ia tahu siapa berandal yang paman Dona maksud.
"Saya baru tau Dona punya teman berandalan."
Om Pong mengangguk, "Wajar. Mungkin waktu itu Brother belum ketemu ponakan gue."
"Tapi saya sejak semester satu sudah berteman sama Dona, Om."
Kali ini, Om Pong tersenyum teduh. "Ponakan gue itu ... sempat ada masa kosong satu tahun setelah dia lulus SMA, Bro. Lo tau dia main motor tua 'kan? Di masa-masa itu dia temenan sama berandalan. Gue tau, gue tau, nggak semua anak motor itu taik. Ada banyak yang bijak, ya ... kayak orang-orang di klub gue lah. Sayangnya, Dona malah temenan sama berandalan. Lo tau? Yah, anak motor versi berandal kayak gimana lo paham lah ya. Obat dan blablabla, ah gue nggak demen banget itu."
Dona ... pernah menjalani kehidupan seperti itu?
"Nah kalau Brother teman kuliahnya, jelas Brother nggak ketemu sama mereka. Udah keburu gue damprat bocah-bocah berandal itu, termasuk ponakan gue sendiri, sebelum dia masuk kuliah."
"Ah ... begitu ...."
Emir langsung mengerti, karena ia pun tahu Dona memiliki jarak usia satu tahun lebih tua darinya. Dulu, waktu pertama kali mengetahui usia Dona, Emir pun sempat memanggilnya dengan sebutan 'kak'. Tapi Dona yang tidak suka dipanggil seperti itu oleh teman kelasnya sendiri, menyuruh Emir memanggilnya hanya dengan sebuah nama, 'Dona'.
"Iya, begitu. Dan setelah itu, dia malah jadi tertutup sama gue."
"Setelah kejadian Om damprat teman-temannya?"
"Betul! Dona kayaknya sih marah besar sama gue, sampai dia jarang ke sini. Dan kalau aja bukan karena anak gue tadi, ponakan gue kayaknya nggak bakal main ke sini lagi. Yah ... thanks to him."
Emir sontak mengernyit bingung, kata 'anak gue' lagi-lagi digunakan. "Barista tadi maksudnya? Kristian?"
Paman Dona lantas mengangguk membenarkan. "Dia masih bocah. Baru tahun lalu lulus SMA. Dan dia titipan ponakan gue."
"Dan karena dia, Dona jadi main ke sini lagi?"
"Mungkin lebih tepatnya ... mampir ke sini lagi. Karena dia nggak main, Bro, sedih gue. Ke sini cuma kalau ada urusan doang."
"Urusan sama Kristian?"
"Sama gue."
"Hah?"
Sebentar, Emir bingung. Ini terlalu berbelit baginya. Semula Om Pong katakan bahwa pemuda tampan di lantai bawah adalah alasan Dona datang kembali ke kedai ini. Tapi sekarang, Om Pong katakan bahwa Dona ke sini hanya untuk memenuhi urusan dengannya. Jadi, mana yang benar? Karena pemuda tampan itu, atau karena sang paman?
Om Pong menertawakan kebingungan Emir.
"Ini ada kaitannya dengan 'teman' yang tadi gue bilang. Teman SMP ponakan gue, yang cantik dan baik itu."
"...."
"Mau gue ceritain? Kita bergibah soal Dona di sini."
Emir mengangguk penuh semangat, tapi Om Pong tidak serta merta bercerita detik itu juga. Dia malah mengangkat tangan, memanggil satu pegawainya yang sedang membereskan meja di seberang.
"Tunggu, gue pesan kopi dulu."
to be continue
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top