๐Ÿ๐Ÿ | ๐ƒ๐จ๐ง๐š

WAKTUย sudah menunjukkan pukul dua siang, waktu berakhirnya kelas biola untuk anak-anak murid Lienna. Emir menghampiri Lienna yang membereskan biola ke dalam tas, hendak menawarkan tumpangan untuk pulang. Atau, tumpangan ke mana pun Lienna ingin pergi di Minggu yang cerah ini. Emir bersedia mengantar dan menemaninya, tapi entah bagaimana dengan Lienna.

"Kak Lienna sudah selesai?"

"Sudah, dan saya harus pulang. Kalau kamu minta bantuan saya untuk proposal kamu hari ini, saya enggak bisa. Kita atur jadwal di hari biasa aja, di hari kamu ke kampus."

"Engh ... Kak, tunggu." Emir menahan Lienna yang hendak berlalu. "S-saya mau antar Kak Lienna. Kalau Kak Lienna mau."

Lienna, entah apa alasannya, mengernyit marah menghadap Emir yang menawarkan diri untuk mengantarnya pulang.

"T-tapi kalau Kak Lienna enggak mau, enggak masalah, Kak. Saya nggak mau memaksa, cuma menawarkan aja."

Lienna lantas berdecih remeh, "Entah sedekat apa kamu dengan Dona Hattala, tapi mengantar saya pulang jelas bukan urusan kamu, Emir. Jangan pelajari hal-hal nggak berguna dari dia. Jangan ikuti saya."

Jangan pelajari hal-hal tidak berguna dari Dona Hattala.

Apa yang Emir pelajari? Tidak ada. Nihil. Dona tidak mengajarkannya apa pun. Lalu apa maksud Lienna?

"Kak Lien ...."

"Ha ... kadang saya enggak paham. Sesulit itu ya untuk mendengarkan apa yang saya bilang? Saya bilang, jangan ikuti saya. Berarti, jangan ikuti saya. Tapi kalian malah lakuin yang sebaliknya. Otak kalian ini terbalik atau bagaimana?"

Kalian?

Emir tidak salah mendengar, bukan? Lienna baru saja menggunakan kata 'kalian' yang saat ini hanya memiliki kemungkinan untuk merujuk pada dirinya dan Dona Hattala.

"Saya sudah bilang sama kamu, Emir. Saya masih berbaik hati sama kamu, mengingat kamu adalah adik tingkat saya. Jadi, tolong jangan kecewakan kebaikan saya ini. Tolong jangan ikuti saya pulang. Jangan penasaran tentang di mana saya tinggal."

Demi Lienna dan seluruh keanggunannya, Emir bersumpah tidak pernah memiliki niat untuk membuntuti Lienna sampai ke kediamannya. Tawarannya barusan adalah murni karena Emir ingin mengulurkan tangan kepada Lienna yang barangkali membutuhkan tumpangan untuk pulang. Dia tidak penasaran dengan di mana Lienna tinggal. Haruskah Emir jelaskan kepada Lienna sekarang bahwa ia benar-benar murni hanya ingin memujanya dalam diam tanpa mengharapkan apa-apa untuk ia dapatkan?

"Saya bersumpah kamu enggak akan baik-baik saja kalau kamu nekat mengikuti saya."

Namun, Emir tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskan.

Lienna terlanjur pergi dengan dendam terpendam. Lienna meninggalkannya di taman tanpa sedikit pun merasa kasihan. Tapi tidak sedikit pun Emir berpikir bahwa Lienna telah jahat kepadanya, lantaran ia tahu ia yang salah sejak awal memuja Lienna dalam rahasia. Tabiat buruknya sudah sepantasnya diganjar sebegini keras oleh gadis yang ia puja.

Maka siang itu, Emir pun pulang sendirian. Tidak. Lebih tepatnya, ia ingin pergi ke Rumah Eyang. Hatinya sedikit perih, dan satu-satunya obat yang bisa meredam rasa sakitnya hanya Rumah Eyang.ย 

Sudah lama sejak terakhir kali ia datang, kalau tidak salah ... itu waktu Dona tampil dengan lagu Love of My Life dari Queen. Emir belum sempat (atau lebih tepatnya belum siap) berkunjung lagi setelah hari itu. Dan, barulah hari ini ia merasa sedikit rindu dengan teh Rumah Eyang untuk mengobati keperihannya sedikit. Pula rindu dengan Bian dan Bita yang kerap menebarkan senyuman. Dua pegawai paruh waktu Rumah Eyang, yang juga adalah adik tingkat di jurusannya. Emir sedikit merindukan mereka.

Namun, hubungannya dan Dona yang kian mendingin sejak Emir bertanya soal hubungannya dengan Lienna membuat Emir berpikir dua kali untuk pergi ke Rumah Eyang. Meskipun jujur saja, dia itu rindu. Dia rindu melihat kakek tua mengisap cerutu di Rumah Eyang, rindu melihat Bian dan Bita menyapa dengan keramah tamahan, rindu melihat Dona Hattala mondar-mandir dengan kretek di tangan, rindu dengan segala hal di Rumah Eyang. Namun, katakanlah Emir pengecut karena ia masih tidak berani (atau lebih tepatnya menjaga jarak) dengan Dona Hattala.

Setelah banyak berkutat dengan keraguan itu, sekilas ide pun akhirnya muncul di kepala. Dia tidak akan pergi ke Rumah Eyang, ada baiknya ia pergi mengunjungi kedai lawas di Kota Tua yang waktu lalu ia kunjungi bersama Dona. Kedai milik mendiang ibunda Dona. Lagipula, Emir sudah terlalu sering pergi ke Rumah Eyang. Agaknya, ini waktu yang tepat untuk mendekatkan diri dengan kedai dari sisi ibu Dona Hattala. Barangkali (kalau ia beruntung) ia bisa mengobrol dengan pegawai di sana tentang Dona, dan ... Lienna. Tidak ada yang tidak mungkin, 'kan? Siapa tahu ada satu atau dua pegawai di sana yang mengenal Dona dengan baik, sekaligus mengetahui masa lalunya dengan apik. Emir lantas meluncur ke Kota Tua dengan sedan yang setia.

Dari pusat ke barat, Emir sampai di Kota Tua setelah menghabiskan setengah jam membelah jalanan. Emir memarkirkan mobil di salah satu titik parkir Kota Tua, dan berjalan kaki menuju kedai lawas milik ibu Dona.

Sapaan selamat datang pun menyambut Emir yang melangkah memasuki kedai teduh dengan banyaknya tanaman. Tepat di saat yang sama, seorang pemuda berkemeja hitam yang senada dengan celana dan apron yang dia kenakan, masuk sembari menenteng kanvas lukisan sebesar rentangan tangannya. Emir spontan memberikan ruang untuk pemuda itu lewat dengan lebih leluasa.ย 

Eksistensi pemuda itu sedikit mencuri perhatian Emir. Lukisan apa yang dia bawa? Semakin diperhatikan, ornamen kedai ibunda Dona ini memang sedikit banyaknya mirip dengan Rumah Eyang. Setelah ada banyaknya pajangan meja, mereka juga akan memajang lukisan?

Tidak.ย 

Tidak? Emir berandai-andai mengapa lukisan itu hanya disandarkan di dinding dan tidak dipajang sebagaimana mestinya? Pemuda yang semula membawanya pun meninggalkannya di sana dan ... beralih ke belakang konter bar.ย 

"Welcome."

Dia menyapa Emir dengan suaranya yang dalam.ย 

"Ah, ya. Thanks .... Di atas ada meja yang masih kosong?"

Pemuda itu mengangguk, tersenyum tapi senyumannya tidak terasa ramah. Tatapannya pun tidak menyenangkan untuk ukuran seseorang yang bekerja di bagian pelayanan pelanggan. Tapi, sungguh. Dia benar-benar tampan. Sebagai seorang lelaki, Emir mengakui ketampanannya. Unik. Tidak banyak pemuda yang terlihat apik dengan rambut panjang yang menyentuh bahu, dan rambut bagian atasnya yang dikuncir ke belakang. Tapi, yang satu ini benar-benar mematahkan pendapat Emir yang mengatakan bahwa pria berambut panjang selalu terlihat berantakan. Dia ... berbeda.ย 

"Pesanannya? Kopi atau teh?"

"Ah, ya." Emir baru sadar dia melamun. "Ada rekomendasi? Saya belum sering ke sini soalnya, ini baru yang kedua kali."

"There's nothing better than black coffee."

"Okay. Kalau gitu, black coffee satu. No sugar. Dan, saya mau coba donat gulanya, ya. Thank you," Emir lalu membaca tanda nama di dada kiri pemuda itu, "Kristian."

Kristian, pemuda yang disebut namanya oleh Emir membeku sejenak di depan tablet kasir. Tangannya berhenti menekan tombol di sana, dan matanya lantas menyorot mata Emir dengan tatapan setajam elang, seolah dia tidak suka mendengar orang lain menyebut namanya dengan bertingkah sok akrab.

"Kita pernah kenal?"

Emir sontak terkesiap. Karena sudah jelas jawabannya tidak. Ia tidak pernah mengenal pemuda ini sebelumnya.ย 

Ketegangan pun sempat terjadi di antara Emir dan pemuda berambut panjang bernama Kristian, dan mungkin akan membuka kekacauan jika saja seorang pria setengah baya tidak tiba-tiba muncul dan menyapa Emir dengan keramahan. Tingkahnya berhasil memutus ketegangan di antara Emir dan pemuda bertatap mata elang.

"Oh, hai! Haha, new customer? Well then, welcome to Kedai Krisan, Bro!"

Pria itu, entah siapa namanya karena tidak menggunakan tanda nama, agaknya terlihat sepuluh atau dua puluh tahun lebih tua dari pemuda di sampingnya. Tapi, energi yang dimiliki ketika menyapa Emir benar-benar seperti pemuda dua puluh tahunan. Sekilas, jiwanya seperti tertukar dengan jiwa pemuda berkemeja hitam yang dirangkulnya itu.

"Ah, yes! Nothing better than black coffee, gue setuju sama barista gue yang satu ini. So, Kristian. Go make your black coffee, special for our new guest here. Dan next biar gue yang handle."

Satu perintah saja sudah cukup membuat pemuda tampan berambut panjang itu pergi bergeser dari konter bar kasir ke konter bar mesin kopi. Sepertinya, pria paruh baya nan gaul ini adalah orang yang berpengaruh di kedai ibu Dona. Dia lantas mengambil alih transaksi Emir dengan baristanya.

"Ha ...." Dia mengembuskan napas lelah, lalu bicara dengan bisik-bisik rendah kepada Emir. "Sorry ya, Bro. Barista gue yang satu itu emang agak dingin nyerempet beku. Maklum ya, dia barista paling muda. So yeah ... sorry udah buat kesan pertama Brother di kedai ini jadi kurang enak."

Emir tidak keberatan, dia tersenyum dengan ramah kepada pria paruh baya yang tengah menginput pesanannya ke tablet kasir. "Enggak apa-apa, Pak. Mungkin lagi capek aja. Ramai ya kedai hari ini?"

Pria itu berdecih dan nyaris mendengkuskan tawa, "Enggak. Ramai nggak ramai nggak ngaruh. Dia memang begitu orangnya. Enggak semua orang bisa ramah kayak kita 'kan, Bro."

Emir tidak tahu harus menjawab apa, tapi ia setuju dengan kata-kata pria paruh baya itu.

"Nah, ini receipt-nya. Tunggu aja di meja ya, nanti ada yang antar ke meja Brother. Ditempel aja receipt ini di meja. Oke?"

"Eh? Saya belum bayar, Pak. Jadi berapa? Tadi, anu ... black coffee sama donat gula."

"Ah, udah. Ini complimentary dari gue. Sorry barista gue udah hampir buat gaduh sama Brother. Enjoy, ya!"

"A-ah ...? Ini serius, Pak?"

Pria paruh baya itu mengangguk mantap. Tapi Emir masih tak enak hati jika diberikan makan dan minum gratis hanya karena barista kedai ini bersikap tidak ramah kepadanya. Ketika pada kenyataannya, Emir pun tidak masalah dengan sikap itu. Emir bisa mengerti.

"Tunggu apa lagi? Gih, pilih meja yang enjoy buat baca."

Ah, agaknya pria paruh baya itu menyadari buku dalam genggaman Emir. Sontak membuat Emir tersenyum, "Kalau begitu ini tip dari saya."

Dan ia mengeluarkan selembar uang seratus ribu, lalu dimasukkannya ke dalam kotak tip Kedai Krisan yang penuh koin.

"Heh? Astaga, Bro. Thank you banget ini!"

"Saya juga terima kasih ya, Pak. Mari. Saya cari meja dulu di atas."

"Ya, ya! Silakan, silakan. Enjoy your coffee, then!"

Pertemuan dengan pria paruh baya itu membuat suasana hati Emir membaik, jauh lebih baik daripada sebelumnya. Setelah didamprat, dicurigai, dan dituduh oleh Lienna, Emir akhirnya bisa tersenyum hanya karena keramahan seorang pria paruh baya. Memang menyenangkan rasanya ketika hati disembuhkan oleh orang-orang yang justru tidak pernah diduga. Emir lantas menikmati siang menuju sorenya di Kedai Krisan milik mendiang ibu Dona.

Ia membaca puisi-puisi A. Lendra di tengah kesendiriannya, sambil sesekali menyesap kopi hitam buatan Kristian. Sementara donat gulanya belum ia sentuh, tampak seperti pajangan di samping vas bunga meja. Emir terlalu fokus membaca buku A. Lendra yang ia bawa.

"Semoga kita selalu bersama, di keabadian nirwana cinta."

"Wah, wah ... memang ya, ini pasti idaman perempuan ini. Udah ganteng, ramah, dermawan, hobi baca buku pula. Nyaris sempurna, Brother."

Seseorang datang tepat setelah Emir menggumamkan satu bait puisi A. Lendra. Mulanya ia sedang membaca dan mengamati isi puisi tersebut, namun tiba-tiba seorang pria paruh baya datang dan memujinya begitu saja. Sontak membuat Emir menutup buku, dan tersenyum malu kepada pria itu.

"Ah, terima kasih, Pak."

"Aman aja. Emang nyatanya begitu. Gue ngomong sesuai fakta, Bro."

Emir terkekeh mendengarnya, "Duduk, Pak. Jangan berdiri aja, saya kebetulan sendirian."

"Ah, bagus itu!" Sang pria paruh baya lantas menarik kursi di depan Emir dan duduk menghadapnya. Hanya ada meja dengan hiasan vas bunga dan donat gula yang membatasi mereka. Sekali, Emir sesap lagi kopi hitam buatan barista Kedai Krisan yang bernama Kristian.

"Gimana? Oke 'kan black coffee anak gue?"

"Oh? Dia yang tadi itu ... anaknya Bapak?" Emir meletakkan cangkirnya, dan mengamati pria paruh baya di hadapannya. Rambut gondrong sepunggung, tangan bertato, leher berkalung, dan pergelangan tangannya dihiasi banyak gelang. "Bapak awet muda ya."

"Ha? Hahahahahahahaha! Anak didik gue maksudnya, Bro. Gue mah ya ... married aja enggak."

Emir kaget mendengarnya, "Lho? Kenapa gitu, Pak?"

"Ya ... ada satu dua hal yang nahan gue. Tapi, udahlah, kita skip itu. Brother tadi belum kasih komentar buat kopinya. Gimana, Bro? Oke buatan Kristian?"

"Oke. Oke banget ini, enggak bitter, dan asamnya pas. Ada hint manis juga sih, waktu saya coba pertama kali."

"Woah ... hahahaha, paham kopi nih kayaknya. Barista juga, Bro?"

"Ah, enggak, Pak. Tau sedikit aja. Kebetulan saya suka ke kedai kopi, dan barista-baristanya adik tingkat saya di kampus. Ownernya juga kebetulan teman saya."

"Lah keren juga circle lo. Nongkrong di kedai mana, Bro? Kalau boleh tau?"

"Lumayan jauh dari sini sih, Pak. Ini kebetulan aja saya lagi mampir ke sini. Kalau kedai yang saya sebut tadi itu ... adanya di Cikini. Rumah Eyang namanya. Tau, Pak?"

Pria paruh baya itu seketika diam. Diam dan menghiasi detik demi detik dengan kekosongan. Hingga dia menelan salivanya.ย Sial, apakah Emir ada salah bicara?

"P-Pak ...."

"Sebentar, Brother. Sebentar. Tadi Brother bilang, Rumah ... Eyang? Temanmu itu ... Tjandra Hattala?"

"Ah?! Euh, b-bukan, Pak!" Dari mana ceritanya Emir berteman dengan eyang itu sendiri? "Saya teman cucunya, Dona Hattala."

Tapi, tunggu. Pria paruh baya yang berwajah terperangah ini mengenal Tjandra Hattala, kakek dari Dona Hattala, kakek dari teman baiknya? Emir lantas kini sama terkejutnya dengan pria paruh baya itu.

"B-Bapak ...."

"Saya musuh Tjandra Hattala."ย 

to be continue

Author Note

Hai! I'm back! Soooooo, this is the extra that I've promised to you guys. A five chapters update in one go! Dannnnn, selamat berkenalan dengan dua tokoh lagi! Haha, banyak banget ya, tokohnya? Yahhhh begitulah. Belum bosan kan ikutin cerita ini? Mwehehehe

See you next week, ya!

Salam kenal dari Kristian dan om-om tatoan berambut gondrong <3ย 


Sincerely,

Xadara Goeย 

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top