๐ | ๐๐๐ง๐ ๐๐ฅ๐ฎ๐ง ๐๐๐๐ ๐๐ข ๐๐๐ฐ๐๐ก ๐๐ฎ๐ฅ๐๐ง ๐๐ฎ๐ซ๐ง๐๐ฆ๐
"SOERJO!"ย Begitulah seringnya beberapa teman dekat memanggil seorang Emir Soerjotomo. Kata mereka, memanggil nama belakang adalah tanda sebuah kedekatan. Tapi sebetulnya, cara memanggil dengan nama belakang itu hanya dilakukan oleh mereka ketika sedang jahil, atau merasa kesal. Tipikal pertemanan yang sudah melampaui kata 'dekat'.
"Proposal resital gimana? Clear?"
Yang baru saja datang itu, juga yang dengan berani-beraninya membawa topik proposal resital, adalah Dion Danniswara; teman baik Emir selama menjadi seorang mahasiswa seni. Ia berlari dan membuat rambut cokelat berkeriting kecil itu mengembang dan memantul seperti permen kapas. Ia datang menghampiri Emir yang sedang duduk dengan laptop dan beberapa lembar partitur berserak di atas rerumputan Taman Ismail Marzuki. Selain ditemani angin sepoi-sepoi, ia juga ditemani seorang teman yang ahli memegang gitar klasik dan mengiringi kepusingannya menghadapi proposal resital dengan alunan Romance de Amor.
Dan Dion datang menghancurkan alunan indah itu. Dona lantas berhenti memetik dawai ketika pemuda yang memiliki rambut seperti gumpalan awan cokelat itu duduk dengan serampangan, dan menabrak bahunya.
"Pelan-pelan, Danniswara," kesal Dona, si pemetik dawai gitar klasik.
"Jangan marah-marah mulu sih, Hattala," jawab Dion, si pemuda berambut cokelat. Kadang seperti permen kapas, kadang seperti gumpalan awan. Intinya, Dion memiliki keriting kecil yang menggemaskan.ย
Lalu, Dona Hattala, gadis berambut hitam sepunggung dengan kilasan-kilasan merah gelap dan memiliki aura seperti seorang pria, hanya bisa menghela napas lelah. Sekesal-kesalnya Dona, ia jarang sekali marah dengan brutal. Yang barusan pun, suara berat Dona lebih terdengar seperti ia sedang menasihati Dion, alih-alih kesal. Tak acuh, ia kembali memetik dawai gitarnya. Memaafkan Dion begitu saja, tanpa suara. Dona tak punya banyak energi untuk sekadar berkelahi. Perempuan itu adalah tipikal yang lebih memilih untuk mengalah, daripada harus bertengkar dengan teman baiknya.
Terima kasih kepada Dona, karena Emir dapat kembali fokus dan tak terdistraksi oleh ocehan-ocehan Dion. Ia sibuk mengamati proposal-proposal resital dari para alumni, memahami konsep dan tema yang mereka bawakan. Tentu saja, Emir membutuhkan referensi dan inspirasi. Karena hingga detik ini, proposal resitalnya masih belum mendapat cahaya terang. Bukan karena ia tak andal bermusik, ia hanya ... tidak memiliki cerita khusus untuk menyusun repertoar dalam sebuah proposal resital.
Dona dalam petikan dawai gitarnya melirik Emir sekilas. Raut wajah pemuda itu sungguh berbeda dari biasanya. Ia tak secerah matahari yang bersinar terang, tapi redup seperti sudah waktunya untuk tenggelam. Tak bisa dipungkiri, Dona iba melihatnya. Dalam alunan melodi itu, Dona pun berbicara dengan menatap dawai gitar, tak menatap kepada Emir. Berusaha peduli, meski tampak seperti tak peduli.ย
"Sebentar lagi jam lima."
Empat kata. Terdengar seperti Dona hanya bicara dengan asal, tapi sesungguhnya itu adalah sebuah isyarat untuk menghentikan aktivitas Emir di atas rerumputan. Mendengarnya, Emir lantas berhenti berkutik dengan keyboard laptop. Ia segera melirik jam di tangan, lalu memandang langit yang sudah mulai berubah jingga.
Tanpa sepatah kata, Emir langsung merapikan seluruh alat tempurnya. Laptop, lembar partitur, dan seluruh barang miliknya ia masukkan ke dalam tas ransel hitam. Melihatnya, Dion lantas berdecih remeh.
"Heh, budak cinta."
Budak cinta? Ah, memang begitu label yang disematkan pada Emir. Siapa pun tahu, bahwa Emir Soerjotomo adalah budak cinta (rahasia) untuk seorang senior bernama Lienna Rosaline. Budak cinta untuk gadis yang bahkan tak sadar bahwa dirinya dicintai dengan sebegitu besar.
"I pity you, Em." Dion mengatakannya di tengah alunan Romance de Amor yang tak sudah-sudah Dona ulang sepanjang sore. Dan Dona pun diam-diam menganggukkan kepala, setuju dengan Dion.
Meski Dion terdengar sungguh menyebalkan, dan Dona tampak lebih sedikit menyebalkan, Emir tetap tak menyangkalnya. Posisinya sebagai pemuja rahasia memang sering kali terlihat menyedihkan di mata Dion dan Dona. Pasalnya, sudah satu tahun berlalu dan Emir tak sedikit pun menunjukkan pergerakan untuk mendekati sang gadis pujaan. Mereka semua tahu hal itu. Tahu kalau Emir betah menjadi pemuja rahasia. Hanya saja, tak mereka mengerti mengapa Emir memilih untuk menjadi seperti ini. Emir sedikit sulit untuk mereka pahami.
"Motif lo jadi penguntit gini tuh apa, sih? Gue enggak paham. Udah satu tahun, gila!" ucap Dion.
"Penguntit?" Emir tampak tak terima mendengar bagaimana Dion menyebutnya. Ia bahkan sampai terpaku sejenak, sebelum mengenakan tas ranselnya di satu bahu.
"Minggu di Suropati. Weekend di TIM. Lo selalu ada di setiap jadwal Lienna tanpa dia tau. Apa namanya kalau bukan penguntit?"
Katakanlah Dion beruntung karena Emir memiliki kesabaran yang tak setipis kertas partitur. Sehingga tak ada satu atau dua balasan yang menyakitkan yang terdengar di telinga Dion, maupun sebuah undangan keributan. Serangan fisik pun tak ada sama sekali, nihil, Emir hanya menanggapi Dion dengan diam seribu bahasa.
Dan kalau si Danniswara itu sudah memantik api begini, Dona lantas membakar sebatang kretek dan mengisapnya sebelum menghentikan tegangan yang tak mengenakkan.
"Jam lima lewat. Hm, kurang lebih lima menit lagi mulai."
Emir seolah disadarkan secara tiba-tiba. Ia pun mengedikkan bahu, menanggapi pertanyaan retorik Dion yang sebelumnya. Ia tak banyak bicara, dan juga tak mengelak kata-kata itu. Ia pun mengakui dalam hati, ah... mungkin cara memujanya dalam rahasia sedikit berlebihan. Namun, ia tidak mau peduli asalkan ia tetap bisa memandang Lienna. Pikirnya, Lienna pun tak tahu. Jadi, tak akan ada masalah soal itu. Ia selalu berada dalam penyamaran dan jarak yang baik sebagai seorang pemuja rahasia.
"Gue ke depan dulu," pamit Emir setelah mengenakan topi hitam dan masker yang senada warnanya.
Dion pun menjawab dengan mengibas-ngibaskan tangan, lebih seperti mengusir daripada mempersilakan. "Sana. Jangan sampai ketahuan, ya, Pe-ngun-tit."
Di balik masker hitam itu, Emir sedikit tersenyum palsu sebelum akhirnya melambaikan tangan singkat kepada teman-teman di rerumputan hijau. Ia pergi sendirian. Selalu begitu setiap kali dalam waktunya memuja Lienna diam-diam.
Kepergian Emir tak sekali dua kali meninggalkan tanda tanya yang tak pernah terjawab di kepala kedua temannya. Terutama, Dion. "Mau sampai kapan dia begitu?" Pertanyaan yang hanya bisa ditanggapi dengan gelengan kepala dan kedikan bahu oleh Dona. Dion selalu mempertanyakan hal itu, dan Dona selalu memberikan jawaban yang sama. Tak ada perubahan sama sekali dalam satu tahun terakhir ini. Dan Emir? Pemuda itu tak pernah ambil pusing untuk menanggapi setiap kali Dion mengajukan pertanyaan yang sama tepat di depan wajahnya. Ia hanya diam, atau tersenyum, dan kemudian sibuk dengan urusannya sendiri.ย
Seperti saat ini.ย
Ketika matahari sudah mulai bersembunyi, kedua teman Emir itu masih bersantai di rerumputan dengan nyaman. Dona bermain gitar, dan Dion tak sudah-sudah menceritakan tentang proposal resitalnya yang baru mendapat persetujuan. Sementara Emir sendiri duduk di samping patung Ismail Marzuki, di depan Gedung Ali Sadikin. Matanya menyorot ke arah seorang gadis bersurai pirang panjang, berdiri di samping tugu cokelat penanda pusat kesenian di Jakarta; Taman Ismail Marzuki, Cikini 73.
Seulas senyum pun mengembang, ia tengah menikmati keindahan ciptaan Tuhan yang mengagumkan.
Gadis itu, Lienna, dengan biola yang menyatu pada dirinya mengalun lagu pembuka dalam sebuah pertunjukkan kecil. Billie Eilish, Emir bergumam dalam hati menebak nama penyanyi yang mempopulerkan alunan melodi Lienna sore hari di halaman Taman Ismail Marzuki. Pilihan lagu yang mampu membuat seluruh mata memandang kepada dirinya, lagu yang mungkin tak semua orang tahu, tapi di saat yang bersamaan lagu itu mampu menghubungkan jiwa-jiwa yang kesepian; No Time to Die.
Dengan iringan instrumen piano yang terdengar dari pengeras suara portabel, Lienna mempersembahkan gesekan demi gesekan biola dengan penuh penghayatan. Aura yang dibawanya mampu mencuri perhatian. Beberapa dari mereka yang berlalu-lalang di halaman Taman Ismail Marzuki, mulai satu persatu menghampiri. Entah karena mereka memang menikmati alunan melodi seorang Lienna, atau gadis itu tanpa sengaja sedang mengumpulkan jiwa-jiwa yang kesepian. Emir tidak tahu mana yang benar. Namun bagi dirinya, segala hal yang melekat pada gadis pujaannya memanglah indah hingga mampu membuat mereka terperangah.
Pun ketika malam datang, sang gadis pujaan menutup pertunjukkan kecilnya dengan lagu yang tak kalah memilukan. Dan masih berasal dari penyanyi yang sama, Billie Eilish. Namun kali ini, Listen Before I Go menjadi lagu terakhir dalam pertunjukkan kecil di malam hari itu.
Lagi-lagi, Lienna mengumpulkan orang-orang yang terenyuh mendengar jeritannya lewat nada-nada biola.
Di bawah bintang-bintang, ia mengalunnya dengan begitu lembut. Terasa menyayat hati, dan mampu menghipnotis siapa saja yang mendengarnya di sini. Satu persatu orang yang berkerumun, yang mengapresiasi tangisan biola itu, tak lupa menyisihkan selembar dua lembar uang untuk sang pengalun nada di bawah cahaya bulan purnama. Tas biola pun menjadi penampung lembar demi lembar uang yang diberikan sebagai bentuk apresiasi mereka.
Sementara itu, seorang pemuja rahasia pun kini berdiri di tengah kerumunan. Emir Soerjotomo, tak sekalipun meluruhkan senyuman setiap kali matanya memandang ke arah sang gadis pujaan. Baginya, Lienna Rosaline sungguh tampil seperti bintang. Rambutnya yang pirang, panjang, dan tergerai lurus tampak begitu terang di tengah gelapnya malam. Bercahaya di tengah kerumunan. Emir tidak pernah tahu, sejak kapan Lienna memiliki visual seindah itu. Entah seluruh penonton pertunjukkan kecil ini setuju padanya atau tidak, tapi begitulah Lienna di mata Emir yang memujanya dalam rahasia. Selalu indah, tak pernah berubah.
Dan ketika satu persatu orang mulai berhamburan keluar dari kerumunan, Emir adalah satu-satunya yang tak beranjak dari posisi dirinya berdiri. Ia tak pernah takut ketahuan oleh Lienna bahwa ia memandangi dirinya. Ia sudah pastikan, ia berada dalam jarak yang aman untuk memandang. Dengan begitu, tak ada satu pun lagu yang Emir lewati dari pertunjukan sederhana di halaman depan Taman Ismail Marzuki.
Pun ketika akhirnya pertunjukan itu selesai, Emir selalu menjadi orang yang meletakkan uang di tas biola Lienna ketika gadis itu beranjak sejenak untuk memesan minum kepada pedagang kaki lima yang berjarak hanya beberapa langkah dari posisi ia bermain biola.
Emir begitu cepat. Dengan wajah yang tertutup masker hitam, dan kepala yang ditutupi topi meski tak ada matahari, Emir meletakkan lembaran-lembaran uang merah muda ke dalam tas biola Lienna. Begitu mencolok warnanya di antara berlembar-lembar uang berwarna krem, ungu, hijau, dan abu-abu. Miliknya pun masih mulus, bersih tanpa ada kecacatan sama sekali. Tidak lecek, tidak lusuh. Emir selalu memberikan yang terbaik dari yang ia miliki.
Tak hanya itu, ia juga selalu menyempatkan waktu untuk menunggu sejenak, memastikan sekiranya sampai Lienna melangkah kembali ke tas biolanya. Sehingga tak akan ada yang bisa menyentuh uang yang Lienna kumpulkan. Dan ia baru akan pergi setelah menangkap kilasan langkah kaki Lienna yang menuju ke arahnya.
Terakhir, sebelum ia melangkah pulang, ia pastikan untuk melihat senyum tipis Lienna ketika mengecek isi tas biolanya. Lantas Emir pun ikut tersenyum, tatkala Lienna memandang langit dan bibirnya mengucap kata terima kasih meski tak bisa ia dengar dari jarak yang tak bisa dikatakan dekat. Emir bahagia melihat Lienna bahagia. Seperti ini pun, Emir rasa sudah cukup untuk dirinya. Ia tak ingin lancang menawarkan diri sebagai kekasih dari gadis yang ia puja, ketika sang gadis pun tak pernah terlihat mengharapkan seorang kekasih hati. Emir tak mau mengganggu kedamaian hari-harinya yang seperti ini. Emir hanya ingin terus mengaguminya, sampai ia memiliki alasan untuk berhenti. Meski rasanya, mustahil ia tak memuja Lienna sepanjang hidupnya.
Gadis itu terlalu indah untuk tak dipuja.ย
ยง
to be continue
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top