๐๐ | ๐๐ง๐ง๐
PROPOSAL resital ini sungguh membuat urusan menjadi panjang. Terkutuklah Dion Danniswara untuk memberikan ide yang dampaknya sebegini hebat dalam kehidupan Emir Soerjotomo. Namun, jika dirasa mengutuk Dion bukanlah hal yang tepat karena dia hanya berusaha memberikan solusi yang membuat Emir masih memiliki sedikit waktu untuk melihat perempuan pujaannya, maka mungkin Emir akan mengutuk siapa pun yang memberitahu Lienna soal keberadaannya selama ini. Ya, ia masih menduga bahwa ada seseorang di belakang Lienna yang memberitahunya. Menelisik dari rutinitasnya selama ini yang tidak pernah disadari oleh Lienna selama satu tahun lamanya, Emir menduga kuat ada seseorang yang sedang bermain dengannya sekarang.
Siapa pun itu, selamat untuknya. Karena dia telah berhasil membuat Emir kusut bermalam-malam. Karena dia telah berhasil membuat Emir mengetahui hal-hal yang mungkin tidak semestinya ia ketahui. Tentang Lienna, tentang Dona, dan tentang Andrea di antara mereka.
Di bawah bulan yang meninggi, Emir memandangi buku biru kelabu yang kini sudah ia bersihkan dari debu. Lap yang digunakannya untuk menghempaskan seluruh noda ia letakkan di sampingnya. Angin dingin di halaman belakang rumah Dona menemani keheningan Emir yang ragu untuk mulai membuka buku biru kelabu. Dari mana datangnya ragu itu, Emir bahkan tidak bisa memahaminya. Seolah secara natural datang dan mengatakan kepadanya untuk tidak semena-mena membuka buku yang nyaris disentuh Lienna di toko tua.
Meski sudah secara sah buku itu menjadi milik Emir karena ia mengeluarkan uang untuk membawanya pulang, Emir masih merasa buku dalam pandangannya bukanlah milik ia sepenuhnya. Ada rasa yang mengganjal dari buku itu, auranya menguarkan bisikan untuk tidak lancang membaca apa yang ada di dalam sana.
Namun, mau sampai kapan dirinya terus menerus merasakan keraguan?
Setelah banyak berkecamuk dalam pikiran, Emir lantas memberanikan diri membuka buku biru kelabu itu.
Halaman pertama. La Vie en Rose oleh A. Lendra.
Jantung Emir sudah berdegup tak karuan, sedikitnya ia masih merasa bahwa ia telah lancang membuka karya A. Lendra yang tidak ia ketahui siapakah gerangan. Namun, lagi-lagi ia mantapkan dalam hati, mau sampai kapan dirinya terus menerus merasakan keraguan?
Lantas, dibukalah halaman kedua dari buku biru kelabu itu.
Untuk kekasihku, Anna.
Baru satu frasa pembuka, belum menuju ke isi kisah di dalamnya, Emir sudah menelan saliva. Dirinya menahan seluruh gejolak dalam dada yang membuat darah dalam tubuhnya mengalir begitu deras, Emir rasanya ingin berhenti. Benar-benar belum siap untuk mengetahui isi buku biru kelabu itu. Namun di sisi lain, rasa penasarannya begitu sulit untuk ia bendung. Siapa Anna? Siapa A. Lendra? Dan mengapa Lienna hendak mengambil buku dengan dua nama itu sebelumnya di toko tua? Juga ... sambil bergumam menanyakan kabar Andrea.
"Mas Emir."
Oh, tidak! Spontan Emir tutup buku itu, bersama lap untuk menyembunyikannya di atas meja. Seseorang memanggilnya, dan ia tidak mau orang itu banyak bertanya tentang apa yang sedang ia lakukan sendirian di halaman belakang.
"Kaila."
Gadis itu lagi, si penghuni rumah yang perhatian kepada Emir dengan membuatkannya teh jahe. Malam-malam begini, ia datang kepada Emir dengan sebuah cangkir di tangan. Cangkir yang sama dengan yang gadis itu gunakan ketika memberikan teh jahe kepada Emir di hari lalu. Namun, malam ini cangkir itu mengeluarkan aroma berbeda dari aroma teh jahe buatan Kaila.
"Buat Mas Emir, teh manis hangat. Supaya nggak dingin, Mas."
Sekilas, Emir bingung. Ini bukan kebiasaan Kaila. Kaila biasanya sibuk sendiri dengan tabletnya dan menggambar pria-pria tampan untuk kebutuhan komik yang sedang ia garap, sambil mendengarkan lagu dengan headphone bando bertelinga kucing. Malam-malam membuatkan teh hangat hanya untuk Emir bukanlah kebiasaan Kaila sama sekali. Tapi agaknya, Emir tahu tabiat siapakah ini.
"Dona?"
Kaila seketika menelan saliva, seolah terkejut mendengar Emir menebak tepat sempurna.
"K-kok tau, Mas?"
Emir lantas tersenyum tipis, "Sejak kapan kamu buatin saya teh manis hangat, Kaila? Ini pertama kalinya, 'kan?"
"A-ah ... iya juga." Kaila jadi salah tingkah sendiri. Tapi, anehnya kegelisahan gadis itu justru membuat dia mendudukkan diri bersama Emir dan mulai mengalihkan topik. Seperti sedang berusaha membuat Emir tidak membahas-bahas soal Dona Hattala yang menyuruhnya memberikan teh hangat. "Mas Emir lagi apa? Baca buku, ya? Mas Emir suka baca, kah? Kalau webcomic aku udah rilis nanti, baca juga ya, Mas!"
Aura ceria dari gadis yang berusia tak lebih dari delapan belas tahun, Emir menyukainya. Siapa yang tidak senang melihat keceriaan gadis muda yang memiliki ambisi untuk mimpinya sendiri? Emir suka sosok seperti Kaila. Sosok yang tidak pernah menyerah atas mimpi-mimpinya, dan selalu ceria kepada siapa pun ia berbicara.
"Iya, nanti saya baca juga komik kamu. Tentang apa itu?"
"Benar, ya! Aku pegang janji Mas Emir! Komikku itu tentang ... secret admirer gitu, Mas!"
Oh, keparat.
Senyum Emir luntur perlahan-lahan, tapi tetap ia usahakan untuk tinggal. Jangan sampai Kaila menyadari bahwa suasana hatinya berubah seketika Kaila menyebut tentang pengagum rahasia.
"A-ah ... keren itu! Jadi, romance ya ceritanya?"
Kaila mengangguk-angguk semangat, "Pasti dong! Kita itu hidup di dunia penuh romansa, Mas. Jadi, aku mau buat satu ceritaku tentang kisah romansa juga. Ya, walaupun mungkin enggak sekeren penulis-penulis lain, sih."
Emir tertawa sekilas, dan Kaila ikut tertawa karena dirinya yang merendah. "Mana ada, pasti keren juga tulisan kamu, Kai. Apalagi gambarmu itu bagus, pasti nanti banyak yang baca. Art kamu memanjakan mata lho."
"Halah, Mas Em gombal ya?"
"Enggak, Kaila. Serius ini."
"Hahahaha, oke. Aku terima itu as a compliment."
"As you should! Because it's definitely a compliment, Kaila."
Dan entah kenapa Kaila tiba-tiba tersenyum dengan aura yang berbeda.
"Kok senyum gitu? Saya salah ya muji kamu?"
Kaila menggelang, "Enggak sama sekali. Cuma ... aneh aja dipuji Mas Emir, hehe."
"Hm?"
"Ah, begitulah pokoknya. Makasih udah muji aku! Ehehehe!"
"My pleasure, Kaila. Terima kasih juga teh hangatnya, ya."
"A-ah ..." Teh hangat lagi. "Sama-sama, Mas Emir. Aku cuma kurir kok, 'kan Mas Em udah tau itu bukan aku yang buat."
"Kalau gitu, sampaikan makasih saya ke Dona ya."
"Heuh? Mas Em aja, ah! Kenapa akuuuuuu?"
"Dona kayaknya enggak mau ketemu saya, Kaila. Makanya dia minta kamu antar teh ini ke saya. Jadi, bantu saya bilang terima kasih ke dia, ya?"
"...."
"Kaila?"
"Hm, iya. Aku sampaikan. Tapi sebentar, ini aneh, kalian lagi kenapa? Enggak biasanya jauh-jauhan gini?"
Emir tidak menjawab.
"Hmmm something happened, eh?"
Emir lantas menutup perbincangan dengan Kaila sambil tersenyum, "Have a good night, Kaila."
Dan Kaila tak memiliki alasan lagi untuk tetap berada di sana. Dia pun pergi dari hadapan Emir, memberikan ruang sendiri sebagaimana yang Emir inginkan.ย
Lantas, Emir kembali kepada buku biru kelabu yang ia lepas dari tutupan lap yang membalut. Ia hendak melanjutkan bacaannya, namun teh hangat dari Dona berhasil membuat ia terhenyak untuk sejenak. Tiba-tiba saja, ia memikirkan hubungannya dengan Dona yang dirasa sudah mulai mengalami sedikit perubahan. Katakanlah Dona tetap peduli kepadanya, tapi sayang sudah tidak segamblang hari-hari lalu. Dona tidak memberikan tehnya sendiri. Dia telah menghindari Emir.
Baiklah, Emir terima. Toh ini adalah kesalahannya yang mengungkit dan mendesak Dona untuk menjawab pertanyaan kemarin soal hubungannya dengan Lienna yang hanya dijawab dengan satu kata. Mungkin, sekarang Dona merasa terganggu setelah hari itu. Emir sadari dirinya bersalah, karena barangkali telah membuka luka lama Dona. Tapi ia pastikan ia akan memperbaiki hubungannya setelah ini. Setelah ia memuaskan rasa hausnya akan isi buku biru kelabu itu.
Halaman kedua, Untuk kekasihku, Anna, Emir balik dan membuka halaman selanjutnya.
Lalu betapa terperangahnya ia kala melihat deret puisi di halaman yang telah menguning dimakan usia. Semula Emir kira, buku ini akan bercerita tentang lagu La Vie en Rose, atau berisi kisah yang terinspirasi dari lagu tersebut. Namun, rupa-rupanya, adalah sebuah kumpulan puisi dari seorang penulis bernama pena A. Lendra.
Mereka berkata tentang cinta dan duka
Menyempitkan hubungan antara keduanya
Ketika bagiku semuanya adalah sama
Aku bercinta di atas duka
Aku meluaskan hubungan di atas derita
Ketika puanku menangis dalam nestapa
Puisi pertama, A. Lendra sudah cukup mampu membuat Emir tertarik kepadanya. Sungguh seorang pria yang melankolis.
Mawar merah nan berduri
Mekar merona mencuri hati
Kugenggam ia tatkala hanyut dalam goda
Kucinta ia meski tahu aku akan terluka
Sungguh siapa A. Lendra ini? Emir pun mulai bertanya-tanya, seperti apa sosok Anna hingga A. Lendra sebegini tenggelamnya dalam kata cinta.
Apakah secantik Lienna yang ia puja? Atau semenawan Dona yang memiliki tatapan berbahaya?
Atau ... tidak seperti keduanya. Mungkin saja, Anna, wanita yang dipersembahkan karya puitis oleh A. Lendra adalah dewi dalam netra dan hatinya yang tiada satu pun wanita lain mampu menandingi kilauannya.
to be continue
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top