๐๐ | ๐๐ฎ๐ค๐ฎ ๐๐ข๐ซ๐ฎ ๐๐๐ฅ๐๐๐ฎ
Kalau saja tidak ada segerombol mahasiswa yang menyerobot masuk ke ruang kelas, mungkin Andrea sudah mati kutu di hadapan Emir. Sungguh berterima kasihlah kepada mahasiswa-mahasiswi itu, Andrea, karena mereka sudah secara tidak sengaja menyelamatkan riwayatmu dari cengkeraman Emir Soerjotomo.
Sekarang, mereka sudah meninggalkan ruang kelas yang mulai detik itu agaknya menjadi trauma tersendiri bagi bocah tengil bernama Andrea yang kehilangan kepercayaan dirinya untuk mengejek Emir.
"Soerjo!"
Tepat sekali. Setelah Emir dan Andrea berjalan canggung dan penuh keheningan di koridor kampus, pemuda berambut seperti gumpalan awan cokelat itu berlari dan menghampiri mereka berdua. Ialah sang tetua manusia jail, Dion Danniswara.
"Tsaaaaah!" Tingkahnya memang sebelas dua belas dengan Andrea, Dion datang dan langsung menyerobot ruang tengah di antara Emir dan Andrea, lalu merangkul mereka berdua. Tidak peduli dengan tinggi badannya yang tampak jauh lebih pendek, dan mengharuskannya untuk mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk merangkul, Dion tetap melakukannya.
"Berduaan aja! Kakak lo mana, Dre?"
Andrea, yang tentu masih kikuk itu, menjawab dengan kecanggungan tak terbendung. "N-nggak tau, Bang."
"Hm?" Dion lantas mengernyit heran, tidak biasanya Andrea akan menjawab 'tidak tahu' jika itu tentang Dona Hattala. "Teman lo mana, Em? Si penggila kretek dan Romance de Amor itu?"
"Entah," jawab Emir, singkat.
"Heeeeuh?" Dion sontak melepaskan rangkulannya kepada dua pemuda itu. "Hilang kah si Dona? Diculik? Ditelan bumi? Atau dikurung sama Eyangnya gara-gara nyopet uang kedai?"
"Oy, Bang Dion, mana ada Kak Dona nyopet uang kedai."
Ini dia. Ini dia Andrea yang dikenal Dion Danniswara. Andrea yang tahu segala hal tentang Dona, Andrea yang mengenal Dona dengan baik, Andrea yang akan selalu membela Dona apa pun yang terjadi. Adik terbaik dari seluruh adik yang ada di muka bumi ini.
"Kak Dona ituโ"
"Kamu bukannya ada kelas, Drea? Kenapa masih di sini?" Emir memotongnya tanpa iba, mengikuti cara Dona yang pintar memotong kalimat orang.
Dion pun terheran-heran, merasa sosok yang ada di sampingnya sekarang adalah jiwa Dona Hattala dalam raga Emir Soerjotomo.
Ada yang tidak beres, Dion menyadari hal itu.
"O-oh, oh iya, Mas. Kalau gitu, gue duluan. Salam kalau kalian ketemu Kak Dona."
Emir berdecih mendengarnya, "Masih berani titip salam?"
"Wow ... wow ...."
Sekujur tubuh Dion merinding mendengar Emir melemparkan sinyal perang dingin. Dion memang sadar ada yang tidak beres, tapi dia tidak tahu bahwa ketidak-beresan itu setidak-beres ini. Kacau bukan buatan. Asli.
"G-gue permisi, Bang, Mas."
"Jangan lupa. Kamu masih hutang penjelasan sama saya."
"I-iya, Mas Em."
Dan Andrea pun pergi dengan raut ketakutan.
Baru kali ini Dion lihat Andrea bisa menciut seperti itu di hadapan Emir yang biasa Andrea ledek dan goda tiada hentinya. Terlebih lagi, Dion adalah orang yang mengajarkan Andrea untuk meledek Emir supaya pemuda lempeng itu bisa sedikit tertawa. Supaya pemuda itu, Emir, tidak menjadi manusia berwajah datar seperti Dona Hattala. Namun, sungguh apa yang telah terjadi kelihatannya membuat Dion bingung setengah mati.
"Ada apaan sih, Em? Si Andrea kenapa?"
"Ada banyak cerita."
"...?" Jawaban itu belum cukup menjawab pertanyaan Dion. "Apa? Andera bikin masalah sama lo?"
"Panjang ceritanya, Di."
"Ya udah, kita ngobrol di Rumah Eyang. Oke?"
"Enggak."
"Heuh?! Wah, asli nih, ada apaan sih?! Baru berapa hari lo pada gue tinggal, kok udah chaos begini?"
Kali ini, Emir ingin sekali menyalahkan Dion Danniswara yang memiliki ide pertama kali untuk meminta Lienna membantu proposal resitalnya. Sungguh. Karena kalau saja ia tidak meminta hal gila itu kepada Lienna, ia mungkin tidak akan sampai pada titik penuh tanda tanya seperti hari-hari sekarang. Emir hanya ingin hidup dengan tenang dan damai, memuja Lienna dalam diam tanpa menaruh harap akan sebuah imbalan, tapi segala hal telah berbalik menyedihkan. Tak tahu siapa yang harus Emir kutuk. Dion kah? Andrea kah? Dona kah? Atau justru dirinya sendiri yang telah salah menjatuhkan hati kepada perempuan penuh misteri.
"Em, you okay?"
"...."
"Ha ... of course you're not okay. Ayo, kita jalan-jalan aja lah! Temenin gue. Kapan lagi lo jalan berdua sama Dion Danniswara? Cuuuuus!"
Semilir angin berembus, mengantarkan dua pemuda dari kampus mereka sampai ke tempat tujuan. Rupa-rupanya, pemuda berambut seperti gumpalan awan cokelat itu membawa Emir pergi ke toko alat musik klasik yang tak begitu jauh dari kampus mereka. Toko besar yang terkenal menjadi langganan mahasiswa-mahasiswi seni musik, yang menjual berbagai instrumen dengan harga miring. Alat-alat musik bekas dengan kualitas bagus yang mereka tawarkan kerap menjadi incaran para mahasiswa. Viola, biola, cello, bahkan sampai kontra bass pun mereka sediakan. Lengkap sekali sampai ke buku, serta alat-alat penunjang dan perawatan untuk instrumen klasik.
Namun, alih-alih Dion yang sibuk ke sana ke sini mencari yang dia butuhkan, malah Emir yang teralihkan. Emir asik sendiri bicara dengan penjaga toko tentang cello-cello koleksi mereka. Sementara Dion? Entah apa yang dilakukan pemuda itu di balik rak-rak buku partitur tua.
Yah ... apalagi kalau bukan sengaja bersembunyi dari Emir. Dia perlu ruang khusus untuk memberikan laporan kepada pemuda yang meminta bantuannya, bukan? Maka, sebuah titik lokasi pun dikirimkan dari posisi Dion berdiri dengan pesan yang menyertainya.
______
Andrea
[Live location shared]
Aman ya bro, gue udah di lokasi
Nangis. Thanks a lot bang
Besok gue jajanin
Takut bgt gue sama mas em
Lagian lo ada ada aja dah
Knp si sama emir?
Nanti aja gue ceritain
Cih, td jg emir ngomongnya gitu
Btw mana ini lienna? Kata lo di sini
EH TAPI, sejak kapan lo kenal Lienna jing?
Ada pasti, nnt jg ketemu
Td dia blg kok ada urusan di situ
Ah nanti aja kapan2 gue ceritanya bang
Pokoknya td lienna blg mau ke toko si pak tua
Asli lo?
Legit bang dioooon
Makanya gue minta tolongย sama lo
buat bawa mas em kesana
Biar ketemu lienna
Biar gak bete dia
Hadah ada ada aja
______
Tentu bukan sebuah kebetulan Dion tiba-tiba datang menengahi Emir dan Andrea yang berdampingan dalam keheningan di koridor kampus. Dion datang sebagai pahlawan karena sebuah panggilan yang memohon pertolongan.
Beberapa waktu sebelum Dion mengajak Emir ke toko musik klasik yang menjual instrumen bekas ini, Dion dan biolanya yang sedang asik berlatih untuk resital tiba-tiba menerima pesan S.O.S dari Andrea yang penuh dengan tanda seru.
BANG DION!!! TOLONG!!!!!!
Kira-kira, begitu mulanya Dion bisa berada di sini sekarang. Di toko alat musik klasik bekas bersama Emir, atas permohonan Andrea yang-entah-diapakan oleh Emir hingga bocah tengil itu panik seperti diculik penjahat kelas kakap. Ujung-ujungnya, Andrea meminta Dion untuk mengajak Emir pergi ke toko tua ini. Karena katanya, Lienna akan berada di tempat yang sama. Dan katanya, Andrea sendiri yang mendengar Lienna mengatakan akan pergi ke tempat yang sekarang dia pijak.
Jadi, Andrea tengah berusaha menetralkan kekacauan Emir dengan memberi pemandangan Lienna di toko musik klasik? Dion terkekeh dan bergeleng tidak percaya, bahwa Andrea mampu melakukan hal seperti itu.
Biasanya, pemuda itu tidak terlalu peduli kepada Emir. Yang jauh lebih sering dia pedulikan adalah Dona Hattala, perempuan yang diakuinya sebagai kakak. Daripada peduli, Andrea lebih sering jail kepada Emir. Dan hal itu tentu saja berkat didikan seorang Dion Danniswara.
"Ha ... ada-ada aja."
Selepas bertukar pesan dengan Andreaโpemuda yang memohon bantuannyaโDion kembali menyusuri toko tua yang tidak begitu besar. Dia mencari-cari keberadaan Lienna, sambil berlagak mencari barang yang dia butuhkan. Padahal nyatanya, dia tidak butuh barang apa-apa. Dia hanya butuh Lienna untuk muncul dan menyembuhkan suasana hati Emir. Sekilas pun tak masalah, Dion sudah tahu sekali bagaimana tabiat temannya jika menemukan sosok Lienna.
Dan ... bugh!
Dion mengaduh panjang sebelum melihat siapa yang tanpa sengaja dia tabrak akibat mata yang tidak fokus melihat ke depan.
Gadis berambut pirang panjang.
"H-Ha! K-Kak Lienna!"
Gadis itu, gadis yang tanpa sengaja Dion tabrak, hanya memiringkan kepala sambil mengernyit heran melihat pemuda yang tidak dia kenal tampak panik setelah tak sengaja membuat buku dalam pelukannya jatuh.
Buru-buru, Dion membungkuk dan mengambil buku-buku partitur yang semula ada dalam pelukan Lienna.
Pun seketika, muncul sang pemuja rahasia yang entah datang dari mana.
Barangkali, dia bergerak secepat kilat begitu mendengar nama Lienna disebutkan?
"Kak Lienna?"
Dan kali ini, Lienna tampak jauh lebih heran daripada ketika pemuda berambut ikal itu menabraknya.
"Emir?"
"A-ah, s-sorry Kak Lienna. Ini, bukunya. Maaf tadi enggak sengaja nabrak, Kak, lagi lihat-lihat."
Emir melirik Dion sekilas, melihat pemuda itu yang jelas mengulas senyum penuh keterpaksaan dan kecanggungan. Emir pun jadi heran sendiri, memikirkan apakah Dion juga takut kepada Lienna? Atau ... apa yang sedang terjadi di sini?ย
"U-um ... ah, iya! Em, gue ke toilet dulu, ya! Ini, aduh ... ke-kebelet banget. Makanya tadi sampai enggak sengaja nabrak Kak Lienna. Gue nurutin panggilan alam dulu yak. Kak Lienna, sekali lagi maaf ya, Kak. Permisi!"
Bak habis melihat setan, Dion pergi secepat angin menuju toilet yang entah di mana tepatnya. Meninggalkan Emir dan Lienna hanya berdua di lorong rak-rak buku klasik tua. Meninggalkan kecanggungan yang sensasinya tiada dua. Memang benar-benar bajingan pemuda satu itu, si tetua manusia jail, Dion Danniswara.
Sekarang, Emir tidak tahu harus bicara apa.
"Kamu bukannya diskusi sama Andrea?"
Syukurlah, Lienna yang memulai. Emir tinggal mengikuti dan membawa percakapan ini. Ia lantas menjawab sambil mengikuti langkah Lienna menyusuri rak-rak buku klasik.
"Ah, iya. Mungkin nanti, Kak, karena Andrea ada kelas hari ini. Jadi, saya enggak bisa lanjut diskusi."
Lienna mengangguk-angguk paham, tetapi masih menimpali Emir dengan pertanyaan lain.
"Kamu kenal Andrea udah lama, Em?"
"Hm?" Pertanyaan bagus. "Baru sekitar satu tahun lalu, Kak, waktu dia masih jadi mahasiswa baru."
"Satu tahun lalu ...." Lienna masih menyusuri rak-rak klasik itu. Sampai dirinya terhenti dan memandang satu buku tua bersampul biru kelabu. Dirinya seolah terpaku, membaca sampul di sana, hingga sebuah kalimat tanya pun terlontar tanpa bisa Emir duga. "Apa kabarnya sejak satu tahun lalu itu?"
Dan, Emir tak serta-merta mampu menjawabnya. Ia pun butuh memproses pertanyaan Lienna barusan. Betulkah perlu ia beri jawaban? Atau Lienna sekadar sedang bergumam asal di tengah wajah terperangah yang memandang buku biru kelabu di hadapannya.
A. Lendra.
Adalah nama penulis dari sebuah buku yang tampaknya sudah dibuang dan dipungut oleh pemilik toko alat musik klasik bekas ini. Buku biru kelabu yang dipandang-pandang Lienna untuk beberapa waktu. Buku berdebu dengan sampul sedikit koyak yang membuat tangan Lienna ragu untuk meraih dan membawanya ke dalam peluk. Buku yang tidak Emir kenal siapa penulisnya.ย
A. Lendra.
"Kabarnya baik, Kak Lienna."
Dan Emir memutuskan untuk menjawab pertanyaannya.
Sontak membuat Lienna berjengit sadar, dirinya telah hanyut dalam lamunan. Pun seketika ditariknya tangan yang hampir meraih buku biru kelabu nan berdebu itu. Ia melirik kepada Emir, dengan tajam sebagaimana matanya biasa menatap, tapi kali ini tercipta sebuah kilat-kilat amarah yang tak jelas dari mana asalnya.
Lienna berbalik, berjalan dengan cepat meninggalkan Emir di rak-rak buku berdebu.
"Kak Lien!"
Emir lantas mengikuti Lienna. Ia mengejar gadis pujaannya yang pergi keluar dari toko tua. Dengan tak lupa menyambar buku biru kelabu karya A. Lendra, Emir tanpa pikir panjang memutuskan untuk membayarnya kepada sang penjaga toko. Begitu impulsif, bertindak tanpa banyak berpikir. Emir bahkan tidak mengerti mengapa ia membeli buku dalam genggamannya. Segala pikiran tentang Lienna sudah terlanjur membuatnya kalut. Segala yang yang berhubungan dengan Lienna terlampau membuatnya ingin tahu. Dan sekarang, ia memiliki sebuah buku biru kelabu nan berdebu yang sempat membuat Lienna terhanyut.ย
Buku yang ia harap tak ia bawa dengan sia-sia.
La Vie en Rose, A. Lendra.ย
to be continue
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top