๐๐ | ๐๐๐๐๐ข ๐๐๐ฐ๐๐ฌ ๐๐๐ง ๐๐๐ง๐๐ง๐ ๐๐ง ๐๐๐ก๐๐ฌ
EMIR salah menduga.
Mulanya, ia kira Dona akan pergi menemui pelukis sebagaimana yang dilakukan Arsenio dan Kaila. Namun, ternyata mereka hanya mampir ke sebuah kedai lawas di kawasan Kota Tua dekat dengan Museum Fatahillah. Kedai lawas dengan bentuk bangunan sederhana dan daun jendela berwarna hijau. Tampak seirama dengan payung-payung di teras kedai yang juga berwarna hijau, dan tampak kontras dengan cat putih bangunan yang sudah memudar. Tampilannya berbeda jauh dengan Rumah Eyang yang didominasi cokelat dan lumayan gelap. Meskipun terlihat lawas, nyatanya kedai ini tak lebih tua daripada Rumah Eyang, dan lebih ramah cahaya daripada kedai warisan Keluarga Hattala. Nilai plus lainnya dari kedai lawas ini adalah semua area duduknya merupakan area merokok. Sungguh pasti sebuah surga bagi penggila kretek seperti Dona. Bintang lima.
Emir berkeliling melihat-lihat pajangan di sana, sambil menunggu Dona yang sedang memesan.
Cantik sekali, kedai ini bahkan memajang foto-foto yang dipotret dengan mode sepia. Nuansa warna yang kecokelatan dan tampak dimakan usia. Benar-benar hampir seperti Rumah Eyang.
Click.
Suara pemantik api yang familiar di telinga Emir lantas membuatnya menoleh ke belakang.
Benar saja, Dona sudah kembali dari lantai bawah. Tampaknya dia sudah selesai memesan, dan memutuskan untuk merokok sambil menunggu pesanannya datang. Dia menghampiri Emir, sambil bersedekap turut memperhatikan apa yang sedang Emir lihat.
"Cantik, hm?" Emir membuka pembicaraan. "Mereka ini pemilik kedai atau siapa, ya?"
Dona mengembuskan asap kreteknya sebelum menjawab, "Salah satunya."
Benar, memang ada dua orang dalam foto yang sedang Emir pandang. Wanita dan wanita, tampak berparas seperti artis-artis tahun sembilan puluhan. Pula, terlihat begitu akrab dan bahagia. Keduanya tertawa di dalam foto kecokelatan yang sudah dimakan usia.
"Salah satunya?"
Dona menjelaskan dan bahkan memperkenalkan mereka tanpa diminta, "Ini ibu gue, dan ini ... temannya. Kedai ini punya Ibu, Em."
Ibu Dona Hattala?! Emir sontak memperhatikan lagi foto di sana. Setelah beberapa kali melihatnya, lalu melihat Dona, wanita yang berambut panjang memang lumayan mirip dengan perempuan di sebelahnya sekarang. Namun, yang tidak Emir mengerti, bukankah Rumah Eyang adalah kedai milik keluarga Dona? Lalu, mengapa ibu Dona memiliki kedai lain tapi tidak menyandang nama Rumah Eyang juga? Apalagi, sejauh yang Emir tahu, Rumah Eyang memang memiliki satu dua cabang lain. Lantas, mengapa kedai ibu Dona tidak bernama Rumah Eyang juga?
Lagi-lagi, Dona menjelaskannya tanpa diminta. Dengan murah hati, dia meluruskan kebingungan Emir yang tersimpan dalam hati.
"Jangan lupa kalau orang tua gue udah lama cerai, Em. Kedai ini dibangun sama Ibu, setelah cerai sama Ayah. Rumah Eyang itu milik keluarga dari Ayah. Jadi ya ... kedai ini enggak ada kaitannya sama Rumah Eyang. Pure berdiri sendiri atas nama Ibu."
Hebat. Hanya satu kata yang bisa mendeskripsikan ibunda Dona di kepala Emir. Betapa wanita yang hebat, mendirikan kedai setelah bercerai dengan ayah Dona. Sungguh wanita yang bangkit dan berdiri di kaki sendiri.
"Jadi ... kita ke sini untuk ngunjungin Ibu?" Emir bertanya dengan tersenyum. Dia akan bahagia jika 'iya' adalah jawabannya. Lantaran tak pernah Emir lihat seperti apa rupa asli orang tua Dona setelah hampir empat tahun berteman dengannya.
Namun, jawaban Dona adalah 'tidak'.
"Kita ke sini bukan untuk itu. Ibu enggak ada di sini. Kita datang untuk makan."
"Memangnya Ibu ke mana?"
"Di taman pemakaman."
Hening menggerayangi punggung Emir seketika Dona menjawab dengan begitu tenang dan dingin. Suaranya selembut angin, dikatakannya dengan ringan bahwa sang ibunda telah tiada, seolah ia tidak memiliki kesedihan di dalam dirinya. Atau mungkin ... itu sudah lama berlalu dan Dona sudah mengikhlaskannya.
"S-sorry, Don."
Dona menggeleng dan tersenyum tipis, "Buat apa? Sejak awal tujuan kita ke sini memang bukan untuk mengunjungi siapapun itu. No need to feel sorry, Em."
Bukan begitu maksud Emir, tapi ya sudahlah. Toh, Dona juga tidak membahas lebih lanjut lagi, jadi Emir membiarkannya seperti itu.
Mereka lantas meninggalkan meja yang memajang foto dua wanita di sana, lalu Emir menyusul Dona yang duduk lebih dulu di meja paling sudut.
Bertepatan, seseorang datang membawa dua gelas es teh dan makanan utama mereka. Serta, secarik kertas untuk Dona Hattala.
"Ini dari Bapak, Mbak. Salinan slip gaji dan bukti transfer Mas Krisโ"
"Iya, terima kasih."
Dona sengaja menghentikannya. Emir tidak mengerti apa alasannya. Tapi jelas, Dona seolah sengaja membuat pelayan itu tidak melanjutkan kalimat, dan terhenti di sebuah penggalan nama. Kris.
Entah apa yang Dona lakukan sebenarnya di kedai lawas ini, tapi bisa Emir tarik kesimpulan ini bukan sekadar urusan makan.
Pelayan itu pergi, dan Dona menyimpan secarik kertas yang diberikan tanpa repot-repot membacanya di hadapan Emir. Dia menyimpannya baik-baik di dalam saku kemeja hitamnya, seperti sebuah barang bukti yang tengah dia kumpulkan saat ini.
Baiklah, setiap orang memiliki rahasia. Setiap orang memiliki urusan pribadinya. Emir sama sekali tidak memiliki hak untuk mengetahui apa pun yang Dona simpan dalam hati dan pikirannya saat ini.
Dan, selagi itu bukan tentang Lienna ia tidak akan mendorong Dona untuk bercerita.
Ya, Lienna.
Nama gadis pujaannya muncul lagi di kepala. Sontak membuat pikiran Emir tak tenang untuk sekadar mengunyah makanan. Kejadian kemarin masih terlalu mengganjal, kejadian tadi pagi masih belum memberikan jawaban, Emir tak betah dihantui rasa penasaran begini.
Lantas, sehalus mungkin ia berusaha mengembalikan pembahasan tentang gadis pujaannya.
"Ekhm, Don ...."
"Hm?"
"S-soal yang kemarin malam ...."
Belum selesai Emir bicara, tangan Dona sudah berhenti menyendok nasi. Tatapannya diangkat lurus menghadap Emir. Tajam dan dalam, dingin tapi tak mencekam. Tidak seperti Lienna, tapi cukup mampu membuat Emir juga merasa sedikit takut melanjutkan pembahasan.
"Kenapa?" tanya Dona. "Soal apa?"
"Lienna."
"Hm? Dia cuma datang, dan pergi mungkin karena kedai terlalu ramai."
"Tapiโ"
"Atau karena lo ada di sana. Dia enggak suka eksistensi lo, bukannya?"
Tapi Lienna seharusnya tahu Emir pasti akan berada di sana. Toh, saat di perpustakaan Andrea bicara kencang-kencang seperti memberi pengumuman ke publik bahwa malam itu Dona akan tampil di Rumah Eyang. Agaknya, tidak ada benang merah antara kehadiran Emir di sana dan kepergian Lienna yang tiba-tiba.
Namun, sayangnya pertanyaan retorik Dona tidak bisa Emir sangkal.
"Sorry, gue enggak maksud, Em."
Lienna memang tidak menyukai eksistensi Emir. Itu adalah sebuah fakta. Dan Emir rasa, Dona tidak seharusnya meminta maaf untuk mengutarakan sebuah kebenaran.
Emir pun tersenyum dengan ikhlas.
"Lo ... gimana sama dia?"
"Hm? Sama Lienna?" Emir lumayan terperangah mendengar pertanyaan Dona. Ya ... tidak biasanya saja. Bukan tipikal Dona untuk mengurus urusan hati Emir. Namun, perlu Emir akui memang beberapa hari terakhir Dona memberikan atensi lebih.
Emir lantas menanggapi perhatian kecil dari temannya ini.
"Baik-baik aja, semua berjalan lancar, Don. Besok ada agenda buat ketemu pengiring sama Lienna. Everything goes well."
Lalu siapa sangka, Dona akan memberikan senyum tipisnya seolah turut merasakan kebahagiaan kecil dalam hati Emir.
"Pengiring? Jadi, ide Dion berhasil dia musnahkan, ya?"
Emir terkekeh mendengar celetukan itu. Kalau membahas soal Dion, tak bisa dipungkiri bahwa mereka akan teringat kepada hari di mana Dion panik setengah mati setelah menyuarakan ide gilanya untuk melarang junior membantu Lienna menemukan pengiring resital. Emir dan Dona tertawa bersama mengingat hari menegangkan itu.
"Hahaha, tipikal Lie ...."
Tipikal?
Mata Emir dan Dona bertemu tiba-tiba. Tawa singkat mereka hilang dalam iringan Dona yang lagi-lagi hampir menyebut nama Lienna. Persis seperti pagi tadi.
Kalau pagi tadi ia tanpa sengaja terbangun seperti keluar dari mimpi buruk yang menyebabkan dia tak utuh menyebut nama gadis pujaan Emir, kali ini Dona jelas sengaja tidak merampungkannya dan menelan kuat-kuat setelah sadar hampir menyebut nama gadis itu.
Habis sudah kesabaran Emir menahan seluruh pertanyaan dalam benak dalam-dalam.
"Tipikal Lienna?"
Dona terdiam, dibisukan oleh pertanyaan Emir yang terdengar mengintimidasi.
"Dona, be honest. Ada apa sebenarnya antara Dona Hattala dan Lienna Rosaline?"
Dona masih bergeming.
"Dona, please?"
Masih. Masih tidak ada ketertarikan dalam wajah Dona untuk mengabulkan permintaan Emir.
"Dona ...."
"...."
Emir menghela napas lelahnya. Lelah membujuk Dona yang kokoh tidak mau membuka suara. Perempuan itu hanya diam, menggenggam sendoknya tanpa pergerakan, dengan mata yang menatap lurus dan tajam kepada Emir Soerjotomo yang memohon penuh harapan.
"Alright ... sorry, ini mungkin ranah privasi lo. Tapi ... seenggaknya jawab satu hal ini, Dona."
"...."
"Apa sempat ada sesuatu yang terjadi di antara kalian? Sesuatu yang ... tidak ada kaitannya dengan Emir Soerjotomo?"
Dan Dona menjawabnya hanya dengan satu kata.
"Ya."ย
Namun, sudah. Sudahlah cukup jawaban Dona membuat Emir kesulitan menelan saliva, bahkan membuat jantungnya nyaris jatuh seketika. Lantaran satu kata sudah mewakili pertanyaan besar di kepalanya.
Selama ini ia hanya mengira-ngira, ia hanya menerka-nerka, dan ketika dihadapkan dengan jawaban pasti dari orang yang bersangkutan, ia kini ingin merasa hilang saja dari dunia. Tak pernah ada dalam perkiraannya, bahwa Dona Hattala benar memiliki masa lalu dengan Lienna Rosaline. Dan satu yang pasti, ini bukan tentang dirinya, bukan tentang seorang Emir Soerjotomo. Tapi hanya tentang Dona Hattala dan Lienna Rosaline di lini masa yang tak memuat nama seorang pemuja rahasia.
Masa-masa lampau antara Dona dan Lienna.ย
to be continue
Author Note
Hello! This is Xadara and I want to inform you guys that The Symphony of Solitude can't give you an update for next week (November 26th). Yet, Emir and Lienna would come back on early December!
Sorry for the delay, but I'll make sure to give you extra update on that day!
Thank you for your understanding.
Sincerely,
Xadara Goe
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top