๐๐ | ๐๐จ๐ง๐ ๐๐ข๐ฆ๐ ๐๐จ ๐๐๐, ๐๐จ๐ง๐
LIENNA makan dengan anggun dan tenang. Gadis itu tampak seperti seorang putri yang dididik dengan etika. Selama Emir duduk bersama Lienna di kantin Gedung Ali Sadikin, ini beberapa hal yang Emir perhatikan: Lienna tidak berbicara selama makan, Lienna duduk dengan tegap, Lienna tidak mengangkat kaki seperti Dion, Lienna tidak bersandar seperti Dona, dan Lienna tidak menimbulkan suara decak. Biasa, tapi tidak biasa di saat yang sama. Emir sudah banyak melihat perempuan, tapi nyaris tidak ada yang bisa melakukannya sesempurna Lienna.
Lienna menghabiskan dimsum demi dimsum dalam piringnya dengan pelan dan pasti.
Ah ... sungguh, melihat Lienna makan saja Emir sudah bahagia. Seperti ... benar-benar apa pun yang Lienna lakukan, bisa membuat ia tersenyum.
Sampai pada akhirnya dimsum itu habis total, barulah Lienna menutup makan siangnya dengan segelas es teh tawar. Pun, barulah pada saat itu Emir bisa bicara dengan Lienna. Dan, itu pun Lienna yang memulai.
"Emir, soal pengiring resital yang semalam saya omongin, lusa kamu bisa ketemu mereka?"ย
"Hm? Lusa?"
"Iya, saya ada siapin satu pianis. Baru satu, karena saya masih belum tau mau seperti apa konsep resital kamu."ย
Satu pun sudah sebuah bantuan besar dari Lienna untuk Emir menyelesaikan resitalnya nanti. Satu pun sudah Emir syukuri. Ia tersenyum bahagia kepada Lienna.
"Satu pun sudah lebih dari cukup, Kak. Lusa saya bisa kok buat ketemu dia. Um ... sama Kak Lienna juga?"
"Iya, sama saya."
"Oke, hehe."
Di tengah Emir salah tingkah sendiri, obrolan itu terhenti. Lienna yang sudah pernah terang-terangan merokok di depan Emir pun membakar sebatang sigaret putih setelah selesai makan. Yah, alih-alih mencari makanan manis sebagai penutup, Lienna malah membakar sebatang sigaret. Hal yang tidak bisa dimengerti Emir sebagai non-smoking person.
"Kak Lien, Kakak ... sejak kapan?"
"Apa?"
"Merokoknya."
"Oh?" Lienna tampak sedikit dikejutkan oleh pertanyaan Emir, hanya sedikit, karena setelahnya gadis itu langsung kembali santai dan asap mulai mengepul di antara mereka. "Empat tahun lalu? Kurang lebih."
"Empat tahun lalu?" Emir mengulanginya. "Tapi selama saya ikutโnoโmaksud saya, selama saya ...."
"...?" Lienna agaknya tahu Emir kesulitan memilih kata. "Go on. Tapi selama kamu ikutin saya ... lanjutin."
"A-ah, i-iya." Emir menelan salivanya. "S-selama saya i-ikutin Kak Lienna, saya enggak pernah lihat Kak Lienna merokok. Baru waktu itu, waktu Kak Lienna pakai gaun merah gelap."
Lienna hening untuk sejenak. Emir merasa, tidak ada yang salah dengan kata-katanya. Namun, Lienna tiba-tiba kosong. Gadis itu diam saja dan menatap piring dimsum yang sekarang tinggal menyisakan saus.ย
Hening itu ada sampai sekian detik, sampai Lienna keluar sendiri dari lamunannya.
"Karena waktu itu ... saya baru merokok lagi."
"Eh?"
"Dan kemunculan kamu yang buat saya begitu. Jadi, Emir. Cepat selesaikan proposal kamu dan keluar dari kehidupan saya."ย
Seketika, tanda keruntuhan dunia kembali muncul di hadapan Emir. Raut wajah Lienna yang mencekam, tatapan yang tajam, dan aura yang tidak menyejukkan.ย
Lienna merokok dengan santai, tapi Emir kalang kabut dalam pikiran.ย
Selama ini, Emir tidak pernah melihat Lienna merokok, kecuali untuk kali pertamanya di hari ketika Lienna berbalut gaun semerah darah. Dan sekarang, Lienna mengatakan, itu adalah hari di mana dia baru merokok lagi setelah ... entah sudah berapa lama dia tidak menyentuh batang sigaret putih.ย ย
Emir yang memiliki kebiasaan memikirkan banyak hal yang tidak seperlunya untuk dipikirkan, lantas merasa ada sebuah kejanggalan dari kata-kata Lienna.ย
'Kemunculan kamu yang membuat saya begitu.'
Namun, bukankah waktu lalu Lienna dengan terang dan tegas mengatakan bahwa dia sudah mengetahui tabiat Emir dalam menguntit dirinya? Emir tidak mungkin salah ingat, Lienna jelas-jelas mengatakannya.ย
'Setiap Minggu pagi kamu di sini, di Taman Suropati. Dan setiap Jumat, Sabtu, Minggu sore kamu pun ada di Taman Ismail Marzuki. Saya tau kamu selalu muncul di mana pun saya berada.'
Kalau memang benar Lienna mengetahuinya sejak awal, bukankah berarti seharusnya Lienna juga akan merokok lebih awal? Maksud Emir, jika memang kemunculan dirinya adalah alasan Lienna merokok, seharusnya Lienna merokok lebih awal daripada hari di mana gadis itu mengenakan gaun semerah darah. Hari itu sungguh sudah jauh dari hari pertama Emir memuja Lienna dalam rahasia.ย
Kalau memang Emir adalah alasannya, maka seharusnya Lienna melakukannya lebih awal.ย
Sungguh, seharusnya ... Lienna merokok lebih awal.ย
Emir tahu ada yang janggal di sini.ย
Lienna tidak mengetahuinya sendiri. Lienna tidak menyadari keberadaannya dengan mata kepalanya sendiri. Tapi kemungkinan besar, dia mengetahuinya dari sepasang telinga. Emir menduga, benar-benar menduga kuat, bahwa ada seseorang yang memberitahu Lienna tentang tabiatnya memuja dalam rahasia.ย
Namun, siapa orang yang sepengangguran itu? Memberitahu Lienna pun apa keuntungannya? Dan lagipula, hanya ada segelintir yang mengetahui Emir memuja Lienna.ย
Emir ingat-ingat, dirinya tidak pernah memiliki musuh di kampus. Tidak ada juga orang yang sepertinya mendendam kepada dirinya. Lalu, mengapa orang itu repot-repot memberitahu Lienna yang berujung membuat Lienna mengusir keberadaannya?ย
Kala tengah berpikir, memikirkan segala kemungkinan yang bisa Emir karang di kepalanya, ia menangkap sebuah tatapan mata dari seberang meja. Tatapan itu datang dari seorang perempuan bertubuh tinggi menjulang, berpakaian serba hitam, sewarna dengan tas gitar yang dia sampirkan di satu bahu.ย
Perempuan itu berdiri sendirian. Seolah tengah terhenti dari tujuannya melangkah di pelataran Gedung Ali Sadikin, di koridor kosong yang tidak menjadi bagian dari area kantin.ย ย
Emir menatapnya, lantaran perempuan itu menatap lurus ke arah meja dirinya dan Lienna.
Ia hendak menyapa. Namun, begitu mulutnya baru saja ingin menyebut satu nama, sebuah suara sudah mendahuluinya.ย
"Dona ... Hattala."
Nama depan, disebutnya dengan terperangah. Nama belakang, disebutnya dengan diiringi senyum serapah.ย
Lienna tersenyum seperti saat terakhir kali melihat perempuan itu. Tatapannya dingin, dan senyumannya penuh dengan rasa cemoohan. Seolah Lienna mampu menginjak-injak Dona, mengutuk Dona, hanya dengan seulas senyuman dan sebuah tatapan.ย
Namun, bukan Dona Hattala namanya jika perempuan bersurai hitam dengan kilasan merah itu tidak sekuat baja. Kalaupun Lienna mampu bersikap menyebalkan dan mencemooh Dona hanya dengan senyuman, sayangnya Dona bukanlah marmut kecil yang takut dengan gertakan remeh itu. Dia menghampiri perempuan yang menyebut namanya lebih awal.
"Lienna ... Rosaline."
Suaranya merendah di akhir nama perempuan yang bersurai pirang. Dona nyaris tergugu, terlihat jelas sekali bahwa dia berusaha untuk tetap teguh ketika menyebut dan menghadap pemilik nama itu. Dan Lienna, mendengar namanya keluar dari bibir tanpa polesan lipstik sama sekali, bibir perempuan bernama Dona Hattala, dia lantas tersenyum semakin lebar meski senyumannya benar-benar membuat orang tak nyaman.
"Long time no see, Dona."
Ketegangan pun mencuat begitu Emir melihat Dona menelan salivanya keras. Tak bohong, Emir pun terperanjat mendengar bagaimana Lienna mengucap salam kepada Dona. Long time no see, katanya?ย
Sorot mata hitam Dona menatap Lienna dengan kemarahan yang tidak diketahui apa dasarnya. Beruntung, Dona bukan pembuat onar dan pecinta keributan. Perempuan itu tetap tenang meski terlihat jelas dia sedang terguncang di dalam.
Lienna bangkit. Tiba-tiba saja perempuan pujaan Emir berdiri dari kursinya, menghadap Dona Hattala dengan mendongakkan kepala. Perbedaan tinggi yang signifikan ini membuat siapa pun yang melihat mereka dapat menyimpulkan bahwa si tinggi berambut hitam legam itu bukanlah lawan yang tepat untuk si pirang yang kecil. Hitam dan putih, pakaian mereka pun begitu kontras seolah Lienna si suci dan Dona adalah yang penuh kegelapan dalam kehidupan.
Namun, tak sampai satu menit agaknya praduga itu seketika berbalik arah. Dona yang tiba-tiba mengambil langkah mundur kala Lienna mulai maju dengan tersenyum, membuat mereka berasumsi pada titik 'si tinggi berambut hitam legam itu bukanlah lawan yang cukup kuat untuk si pirang yang kecil'.
Dan sebagaimana yang terjadi dalam mimpi Emir, Lienna mendekat, berbisik, entah lembut entah tidak karena itu tidak terjadi di telinganya. Melainkan ... Lienna berbisik di telinga Dona Hattala.
Seketika saja, Emir lihat kembali Dona menelan salivanya lagi. Matanya berusaha untuk tetap tegar menatap lurus dengan mantap, mencegahnya setengah mati untuk bergetar dan melirik Lienna yang tersenyum jahat di samping telinganya.
Meski kini Dona tampak berusaha tenang dan kokoh seperti gunung, Emir tetap takut jika tiba-tiba perempuan itu meledak karena kehilangan kesabaran atas tingkah Lienna. Pertemuan tak sengaja ini benar-benar tidak bisa dibiarkan.
"Ekhm!" Emir pun mencuri atensi mereka berdua.
Dona menoleh, Lienna pun seketika menarik diri dari Dona Hattala. Keduanya menatap Emir; yang berambut hitam menatap dengan dingin, yang berambut pirang menatap dengan malas.
"H-hehe, Kak Lienna ... kalau makan siangnya udah, gimana kalau kita lanjut diskusi soal tim resital? Biar proposal cepat selesai juga kayak yang Kak Lienna mau, ya?"
Tindakan ini bisa dibilang tindakan penyelamatan Lienna atas amukan terpendam Dona. Atau ... mungkin sebaliknya?ย
Jujur, tatapan Lienna membuat Emir semakin takut.ย
"K-Kak Lien ...."
"KAK DONA!"
Sempurna. Kekacauan yang sempurna. Satu orang lagi telah muncul.
Dan mendengar dari bagaimana suara pemuda itu memanggil Dona, sudah bisa Emir pastikan itu adalah Andrea. Pemuda yang sama yang tidak sengaja bertemu dengannya di perpustakaan, Andrea berlari menghampiri Dona yang berdiri bersama perempuan berambut pirang. Dan, senyum sumringahnya luruh perlahan tatkala melihat siapa seseorang yang tengah berdiri di samping perempuan yang dia panggil.ย
Dia Lienna, gadis pujaan Emir.
Emir mengerti, barangkali Andrea takut karena sebelumnya telah tanpa sengaja mengganggu waktu Lienna bersama Emir di perpustakaan.
"M-Mas Em." Andrea menunduk sopan, menyapa Emir dengan canggung. Kemudian, pemuda itu juga tampak ingin menyapa Lienna, namun yang bisa keluar dari bibirnya hanyalah sebatas ... "K-Kakโ" yang diucapkannya dengan gugup, karena Dona sudah terlanjur mencengkeram pergelangan tangannya erat-erat.
Perempuan bersurai hitam itu menarik Andrea pergi dari hadapan mereka.
Namun, Andrea yang memiliki karakter sebelas dua belas dengan Dion tetap saja tak bisa mengerem mulutnya meski Dona sudah mencengkeram erat. Pemuda itu lantas berteriak sambil melangkah dalam cengekeraman Dona.
"M-Mas Emir! See you tonight di Rumah Eyang! H-hari ini Kak Dona nyanyi! I know y-you won't miss it!!!"
Emir baru saja mau menyahuti. Tapi ketika mulutnya baru saja terbuka, ia melihat Dona semakin erat mencengkeram Andrea dan menarik pemuda itu dengan satu tarikan kuat sebelum melangkah semakin cepat.
Kasihannya, Andrea.
"Ayo."
"Hm?" Emir memfokuskan diri kepada Lienna lagi. "Oh! Lanjut proposal, ya? A-ayo, Kak! Hehe."
Keadaan pun kembali normal. Hanya ada Emir dan Lienna, tak ada lagi Dona dan Andrea. Emir berusaha sebaik mungkin untuk tidak mengungkit persoalan di meja kantin Gedung Ali Sadikin, ia menahan segala tanda tanya di kepalanya.
Tentang siapa yang repot-repot memberitahu Lienna soal tabiat penguntitnya.
Tentang apa yang baru saja terjadi antara Lienna dan Dona.ย
Emir tahu, ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan semua itu. Lantas, siang menuju sore pun Emir habiskan hanya berdua dengan Lienna di perpustakaan. Lebih serius daripada sebelumnya, Emir menyimak segala arahan dan ide dari sang gadis pujaan. Lienna benar-benar membantu, benar-benar serius membantu proposal resital Emir. Walaupun Emir tak tahu, keseriusan Lienna ini benar-benar tulus untuk membantunya, atau sekadar usaha ekstra supaya Emir lebih cepat pergi dari kehidupannya.
Tak ada yang tahu motif asli Lienna seperti apa.
to be continue
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top