๐Ÿ๐Ÿ | (๐๐ฎ๐ค๐š๐ง) ๐Š๐ž๐ง๐œ๐š๐ง ๐๐ข ๐๐ž๐ซ๐ฉ๐ฎ๐ฌ๐ญ๐š๐ค๐š๐š๐ง

SATU jam.

Sudah satu jam Emir duduk mematung di samping gadis pujaannya, Lienna. Ia masih tidak bisa memproses apa yang dilihatnya sekarang. Lienna dengan rambut pirangnya yang diikat tinggi menjadi satu, dan ... sebuah kacamata bertengger di hidungnya. Gila, siapa yang memiliki ide untuk memakaikan kacamata kepada Lienna?! Tunggu, Emir setuju kalau Lienna memang cantik bagaimana adanya dia. Namun, Lienna dengan kacamata?! Emir bisa gila jika setiap hari diberikan pemandangan seperti ini. Kalau saja ia tidak sedang berada di perpustakaan, ia benar-benar ingin berteriak kepada dunia, bersorak tentang betapa cantik gadis yang ia puja.

Sementara gadis berparas bak dewi itu menerangkan tentang segala hal yang diperlukan untuk resital nanti, Emir hanya bisa diam dan mendengarkan suara itu bagai nyanyian pengantar tidur. Benar-benar gila dibuatnya.

Ia tidak bisa percaya bahwa Lienna bukanlah titisan dewi atau bidadari kiriman surga.

"... ya, Emir?"

"...."

"Em?"

"...."

Lienna menghela dan mengembuskan napasnya sambil memutar bola mata. Kesal? Jelas. Tapi di mata Emir, gadis itu hanya sedang bernapas dengan biasa. Dan terlihat cantik seperti biasa. Barulah ketika tangan Lienna mengambil andil, bergerak dan menyentil punggung tangan Emir, pemuda itu terkesiap dalam seketika.

"E-eh? Ya, Kak?"

Dengan malas, Lienna mengulang apa yang telah dia katakan sebelumnya. Agaknya, Lienna tahu bahwa Emir tidak menyimak dengan betul. Ah, memalukan sekali, Emir.

"Saya bilang, 'repertoar kamu minggu ini udah bisa siap ya, Emir?' perlu saya ulang lagi, enggak?"

"A-ah ... itu ...." Emir meringis dalam hati, ia benar-benar belum memutuskan akan seperti apa repertoarnya. Jujur, ia tidak bisa menggunakan repertoar dalam proposal-proposal Lienna. Rasanya tidak etis bagi dirinya sendiri untuk menggunakan repertoar yang disusun orang lain. Lantaran, setiap susunan repertoar pasti memiliki cerita yang seirama dengan tema resitalnya. Pun, cerita yang lahir dari buah pemikiran sang penyusun repertoar. Lantas, mengambil repertoar Lienna membuat Emir merasa ia telah mencuri cerita yang Lienna tulis sendiri. Emir tentu tidak akan sampai hati. Ia tidak bisa mengambil jalan itu.

"Masalahnya apa lagi?" Lienna bertanya. "Bukannya kemarin udah saya kasih drive proposal saya? Kamu tinggal pilih repertoar yang cocok sama kamu. Susahnya di mana?"

Lienna tidak akan bisa mengerti. Dan Emir memahami hal itu.

"Kalau repertoar kamu aja belum siap, kapan proposal kamu mau selesai? Kapan kamu mau mulai latihan bareng pengiring? Kapan kamu resitalnya, Emir?"

Demi Lienna yang cantik jelita, sungguh gadis ini jauh lebih tegas dan galak dibanding dosen pembimbingnya sendiri. Kalau Emir ingat-ingat, ketika pertama kali bimbingan dengan Tantra Mandala yang mana adalah dosen pembimbing resitalnya, ia tidak benar-benar ditekan untuk cepat selesai sebagaimana Lienna menekannya sekarang.

"Atau kamu sengaja ...?" Lienna mengerutkan alisnya dengan mimik tak suka. "Kamu sengaja memperlambat semuanya supaya saya terus ada di sini?"

Jantung Emir rasanya seperti terhunus dalam seketika. Sungguh! Emir berani bersumpah, ia tidak pernah memiliki niat licik seperti itu. Ia tidak pernah dengan sengaja memperlambat progresnya, ia tidak pernah dengan sengaja menyeret Lienna ke dalam urusan proposal resitalnya. Ia tidak pernah ... ia tidak pernah memiliki niat untuk melibatkan Lienna dalam kehidupannya seperti ini. Namun ... memang sungguh sangat disayangkan, segala hal berjalan di luar dugaan. Ini bukan kapasitas Emir untuk mengatur alur yang ia inginkan.

"Emir Soerjotomo." Lienna mengerlingkan tatapan tajam setelah menyebut namanya dengan nada penuh intimidasi. "Jangan bodoh-bodohi saya di sini."

"K-Kak Lien ... s-saya enggak ... s-saya enggak bermaksud sama sekali untukโ€”"

"Sorry, bangku ini kosong?"

Seseorang datang menginterupsi dari belakang. Meja dengan empat kursi itu memang hanya ditempati oleh Lienna dan Emir yang duduk saling berdampingan. Dua kursi di hadapan mereka kosong, tidak ada pemiliknya. Namun, sebagai sebuah tanda permisi, seseorang yang datang dari belakang itu itu berbasa-basi dengan bertanya apakah kursinya kosong atau tidak.

Baru ketika Emir menoleh untuk menjawabnya, seseorang itu terperangah dengan begitu natural.

"Eh? Mas Emir!"

"A-Andrea?"

Gugup-gugupnya Emir masih ada karena sikap Lienna sebelumnya. Dan melihat seorang pemuda yang tak lain adalah juniornya sendiri, Andrea, Emir jadi terbawa kecanggungan begitu saja. Sial sekali.

"Haha! Gue kira tadi siaโ€”"

Andrea, pemuda dengan laptop dan tumpukan kertas dalam pelukannya itu kini melirik ke arah gadis di sebelah Emir. Dan ia sontak tak mampu melanjutkan kata-katanya. Seolah-olah ia sangat terperangah melihat siapa yang tengah duduk bersama Emir.ย 

Bukankah itu Lienna Rosaline?ย 

Benar.ย 

Dan sekarang Andrea merasa benar-benar tidak semestinya berada di meja yang sama dengan mereka. Ini di luar batasannya.

"A-ah, sorry Mas Em. Gue cari meja lain aja. Have a good day, Mas." Lalu Andrea menundukkan kepalanya untuk permisi dari hadapan Emir, juga tak lupa dengan sopan menunduk kepada seorang Lienna Rosalineโ€”gadis pujaan Emir, gadis yang bahkan tidak repot-repot menganggukan kepalanya sebagai tanda persetujuan izin.

Emir merasa tidak enak dengan Andrea, tapi Lienna ... gadis itu tampak biasa-biasa saja seolah tidak ada hal yang mengganggunya. Wajahnya begitu datar. Lienna bahkan tidak menoleh ke belakang untuk melihat bagaimana Andrea pergi dengan begitu canggung. Tidak seperti Emir, Emir begitu merasa khawatir dan tak enak dengan junior itu.ย 

Fokus Lienna hanya satu, matanya yang segelap obsidian hanya tertuju kepada buku-buku musik di hadapannya.

"Maaf, Kak. Tadi ...."

"Emir."

"Y-ya, Kak Lienna?"

"Kamu kenal anak tadi?"

"Euh?" Emir mengerjap-ngerjap bingung. Sungguh di luar dugaan, Lienna bertanya tentang Andrea. Namun, dalam hati Emir bersyukur karena Lienna tak lagi marah-marah membahas proposal resital. Emir pun akhirnya menjawab Lienna dengan tersenyum, "Anak tadi? Kenal. Namanya Andrea, dia ... junior kita, Kak."

Emir tidak tahu kata 'kita' itu tepat atau tidak untuk digunakan saat ini. Ia merasa tidak begitu dekat dengan Lienna untuk menggunakan kata itu, tapi ... entah ia mendapat keberanian dan kelancangan dari mana, ia dengan lantang mengatakannya. Andrea, dia ... junior kita.

Emir harap, Lienna tidak marah.

"Junior ... kita?"

"A-ah, itu ... maksudnya, junior saya dan junior Kak Lienna juga. Dia anak semester tiga, Kak."

Emir meralatnya, tapi Lienna tidak menujukkan reaksi apa-apa setelah itu. Emir lantas memutuskan untuk bertanya. Ia penasaran juga. Kemarin Dona tiba-tiba menyebut nama Lienna, sekarang Lienna tiba-tiba bertanya soal Andrea.ย 

"Umm ... kenapa, Kak?"

"Enggak. Kaget aja, kamu ternyata kenal banyak orang. Waktu di kedai itu, kamu kenal baristanya. Di perpus pun ada aja kenalan kamu. Kayaknya teman kamu di mana-mana ada."

Jawaban itu benar-benar membuat mata Emir membola karena sebuah keterkejutan. Lienna memujinya? Emir sungguh tidak bisa menyembunyikan senyum! Ia ambil kata-kata Lienna barusan sebagai sebuah pujian yang secara tidak langsung mengatakan bahwa Emir pintar bergaul. Emir tidak salah, 'kan?

Suasana hati Emir pun berubah dalam seketika. Ia tidak takut lagi seperti saat Lienna memarahinya. Ia justru sekarang merasa bahagia, karena Lienna secara tersirat telah memujinya. Lienna bahkan mengatakannya dengan tenang dan kalem, tidak menyeramkan dan mengintimidasi seperti Lienna sebelum-sebelumnya.

Hal ini membuat Emir ingin melupakan tentang proposal resital sejenak, dan mengajak Lienna pergi makan siang bersama. Lalu, menghabiskan sore dengan bersenang-senang bersama, dan menutup malam dengan menatap bintang bersama.

Ah, Emir berhalusinasi.

Namun, siapa sangka ternyata Lienna yang membuatnya jadi kenyataan. Setidaknya, untuk poin yang pertama.

"Saya mau makan siang dulu. Kamu ikut?"

Siapa pun tolong tampar Emir sekarang, karena ia nyaris mengira ini adalah sebuah mimpi indah di siang yang cerah. Sampai-sampai ia tergugu untuk menjawab Lienna.

"S-saya ... saya ...."

"Terserah. Saya turun dulu, ini udah jam makan siang."

Lienna segera bangkit tanpa menunggu jawaban Emir. Tanpa ragu, ia membawa buku-buku musiknya dan meninggalkan meja. Emir lantas seperti orang kesetanan merapikan seluruh barangnya di atas meja. Laptop, buku, semuanya ia tutup dan ia peluk sebelum ia pergi meninggalkan meja untuk mengejar Lienna.

"K-Kak Lien! Ikut!"

Makan siang dengan Lienna ... Emir tidak tahu harus bersorak seperti apa untuk menunjukkan betapa bahagianya ia!

to be continue


Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top