๐๐ | ๐๐๐ซ๐ฌ๐๐ญ๐๐ง ๐๐ง๐๐ซ๐๐
EMIR tidak bisa tidur. Sebelah kepalanya memikirkan Lienna dan bagaimana perasaan gadis pujaannya itu jika benar dia mendengar kata-kata gila Dion Danniswara. Lalu sebelah kepalanya lagi memikirkan Dona dan bagaimana kebenaran tentang asumsi Andrea. Entah bagaimana, tiba-tiba semuanya menjadi rumit di kepala Emir.
Matanya terbuka sepanjang malam, ia tidak bisa memejamkannya begitu saja. Segala hal kini terasa begitu mengganjal.
Kalut dalam pikirannya sendiri, Emir pun bangkit dan duduk di tepi ranjang. Ia melirik ke sudut kamar, ada cello-nya yang berdiri di sana. Tak lama, ia pun berdiri dan menarik kursi. Alunan nada lantas mulai terdengar tak lama setelah ia duduk dan memeluk cello-nya sendiri.
Ini adalah lagu klasik favorit Emir, Serenade by Franz Schubert.
Namun, belum lama setelah ia mulai memainkan Serenade, ketika bahkan ia belum mencapai pertengahan, ponselnya tiba-tiba berdering memanggil.
Sontak, Emir hentikan permainannya sekejap. Ia lantas mengecek ponsel, melihat siapa yang menghubunginya larut malam begini, dan rupanya ... tertera sebuah nama di sana; Lienna.
Emir terlalu terkejut hingga mendadak bodoh dan tak tahu di mana tombol 'jawab' untuk ia tekan. Ia menelan salivanya yang terasa keras, pun tubuhnya membeku di tempat, ia tak tahu harus menjawab atau tidak. Sampai akhirnya, panggilan itu mati dengan sendirinya.
Untuk alasan tertentu, Emir menghela napas lega. Meski setelahnya, ia sedikit menyesali betapa pengecutnya ia.
Tak lama, sebuah pesan pun masuk dari orang yang sama.
_____
Lienna
Pengiring ok. Proposal gimana?
_____
Sungguh. Dion telah salah jika dia berpikir dia mampu menghentikan Lienna. Gadis itu selangkah lebih cepat. Bahkan di hari yang sama, Lienna sudah mendapat pengiring untuknya. Benar-benar baru siang tadi Dion berceloteh asal, dan malam ini Lienna langsung memberikannya pengiring resital. Tidak ada yang bisa menghalanginya.
_____
Lienna
Besok kita diskusi untuk tim resital
Saya tunggu di perpus
Okay
Thanks a lot, Kak Lienna
_____
Singkat, padat, jelas. Padahal kenyataannya, Emir langsung berguling di kasur karena senang bukan buatan. Seketika ia pun lupa dengan cello yang sebelumnya ia mainkan. Isi kepalanya kini berbunga-bunga hanya karena agenda besok bersama Lienna.
Emir, pemuda penuh kegelisahan dan keresahan yang malam itu tidak bisa tidur karena memikirkan dua perempuan, pada akhirnya hanya butuh beberapa menit setelah mendapat pesan dari Lienna untuk tertidur dengan penuh kedamaian.
Tidur dengan tenang, bangun pagi dengan senang, dan kali ini Emir sungguh memerhatikan penampilannya seperti ingin pergi berkencan.
Di bawah sorot sinar mentari pagi yang menembus kaca jendela kamar, Emir bercermin dan menyisir rambutnya dengan penuh kehati-hatian. Seolah tidak boleh ada sehelai pun rambut yang tidak teratur dan membuatnya tampak berantakan di hadapan sang gadis pujaan. Padahal, kalaupun ia bertanya kepada siapa pun yang kini melihat penampilannya, mustahil mereka semua mengatakan Emir buruk rupa. Ia bak pangeran tampan dari tanah Jawa.
"Mas Emir?"
Suara ketukan pintu terdengar tepat setelah ia menyisir rapi rambut hitam legamnya.
Suasana hati yang baik membuat Emir menyahut "Iya!" dengan penuh keramah tamahan. Tak lama, ia pun membuka pintu kamar. Dan di sanalah seorang gadis berambut wolfcut yang selalu mengalungkan headphone dan memeluk tablet, berdiri di depan pintu kamar Emir.
"Kenapa, Kaila?"
Namanya, Kaila. Gadis itu terperangah begitu Emir membuka pintu kamarnya. Entah karena betapa wanginya tubuh Emir, atau karena betapa tampannya Emir pagi itu, Kaila benar-benar tidak bisa berkedip melihat sosok pemuda di hadapannya.
Kaila adalah salah satu penghuni rumah sepi Dona yang menyewa kamar di lantai bawah. Jarang-jarang Kaila ini berkunjung ke kamar Emir, atau sekadar menyapanya. Emir pun mengerti, mungkin Kaila masih merasa agak canggung karena dia adalah seorang penghuni baru. Pun seorang mahasiswa baru, seorang mahasiswa FSRD semester satu di kampus yang sama dengan dirinya. Secara teknis, dia adalah junior Emir. Meski fakultas dan jurusannya beda, tak masalah untuk menganggap Kaila juniornya, 'kan?
"Kaila?"
"Ah?! Oh ... hm ... itu, Mas. Kak Dona ke mana, ya? Mas Emir lihat, enggak?"
"Oh?" Emir secara otomatis melirik ke pintu kamar di sebelahnya; pintu kamar Dona. "Di kamarnya enggak ada, Kai?"
Kaila menggeleng, "Kayaknya dari semalam enggak pulang, Mas. Soalnya di parkiran enggak ada motornya."
Kata-kata Kaila tidak mungkin keliru. Jika dia berkata motor Dona tidak ada di area parkir rumah sepi itu, maka benar Dona tidak ada. Karena ke mana pun Dona pergi, gadis itu akan selalu membawa motor tua warisan eyangnya. Dan sudah pasti motor itu akan selalu bersama Dona, tidak mungkin akan diinapkan di rumah orang lain, sementara Dona-nya berada di rumah. Meskipun kalau-kalau Dona berada dalam kondisi mabuk atau apa, Dona tetap tidak akan pernah meninggalkan motornya. Emir tahu sekali hal itu.
Lantas, jika motor tua warisan eyang tidak ada di parkiran, sudahlah pasti Dona pergi bersamanya.
"Hm ... coba nanti saya telfon, ya. Soalnya saya juga belum ada kabar dari Dona. Nanti kalau Dona udah kasih kabar, saya kabarin kamu."
"Oh, gitu ... hehe maaf ya, Mas, jadi ngerepotin."
"Enggak apa-apa, Kaila. Memangnya ada apa, kalau boleh tau?"
"Hmm ... bukan apa-apa yang penting sih, Mas. Cuma kemarin itu Kak Dona sempat minta tolong aku untuk contact pelukis, kayaknya sih Kak Dona mau commis lukisan sama dia. Nah, terus ini aku udah contact pelukis yang Kak Dona mau, dan udah dibalas juga pesanku. Jadi, aku mau kabari Kak Dona. Tapi Kak Dona dari semalam enggak bisa dihubungi, Mas."
"Oh?" Emir baru tahu tentang itu. "Dona mau commis lukisan? Kenapa enggak dia aja yang hubungi pelukisnya sendiri, ya?"
"Hmm ... mungkin karena aku kenal sama pelukisnya? Hehe."
"Kamu kenal pelukisnya?"
Kaila mengangguk. "Aku mutualan di sosmed, Mas. Dia lumayan terkenal sih, suka live streaming sambil melukis juga."
"Oh, ya? Siapa namaโ"
Deru motor yang begitu khas terdengar, memotong pertanyaan Emir dalam sekejap. Kaila juga mendengarnya. Emir dan Kaila pun sontak saling bertukar tatapan, keduanya sama-sama memikirkan satu hal yang sama.
"Dona."
Kaila mengangguk, lalu ia bergegas ke balkon yang tak jauh dari posisinya, dan melongok ke bawah untuk memastikan itu adalah sang tuan rumah.
"Betul Kak Dona, Mas! Aku turun, ya! Thank you, Mas Em! Maaf ganggu pagi-pagi!"
Segera kemudian, Kaila berlari dan menuruni anak tangga untuk menghampiri Dona. Entah sepenting apa urusan antara Dona dan Kaila, Emir tidak tahu. Tapi ia tersenyum begitu melihat Kaila dan Dona berbincang di halaman rumah. Emir berdiri di balkon, memandang ke bawah dan melihat bagaimana Kaila dengan cerianya bicara kepada Dona yang hanya menjawab sekadar-sekadar saja. Kalau dilihat-lihat, ini lebih seperti Kaila yang sungguh bahagia setelah pesannya dibalas si pelukis. Dona sebagai seseorang yang ingin menghargai lukisannya justru terlihat biasa-biasa saja.
Ini sedikit lucu di pandangan Emir.
Namun, saat ia melihat Dona, seketika terlintas kembali kata-kata Andrea. Dona ... menyukainya? Omong kosong. Emir pun buru-buru menggelengkan kepala demi mengusir pikiran itu, sebelum ia kembali ke kamar dan melanjutkan persiapannya untuk bertemu Lienna.
Sekali lagi ia bercermin, perfect and neat.
Terakhir, ia mengambil clutch bag kulit untuk melengkapi penampilannya.
Merasa dirinya sudah betul-betul siap, Emir pun menyambar kunci mobil dan keluar dari kamar. Betapa sebuah kebetulan, Dona baru saja melewati pintu kamarnya dan membuat Emir seketika membeku untuk beberapa waktu.
Dona lantas heran melihat tingkah canggung temannya itu. Dia yang semula hendak langsung membuka kunci kamar, mengurungkan niatnya karena Emir yang tak beranjak.
"Kenapa?" tanya Dona.
"Oh, enggak hehe." Emir berlagak baik-baik saja. Padahal, ada banyak sekali pikiran tentang Dona di kepalanya. Namun, ia memilih untuk mengalihkan topik. "Semalam ... lo enggak pulang?"
Dona mengangguk, lalu tangannya lanjut mencolok dan memutar kunci pintu kamarnya sendiri.
"Ke mana?" tanya Emir.
"Rumah Andrea."
"Oh ...."
Jawaban itu terdengar biasa di telinga Emir. Sudah pernah Emir katakan, bahwa Andrea dan Dona memang terlampau akrab seperti adik dan kakak. Tak sekali dua kali Dona main ke rumah Andrea, bahkan untuk beberapa kali Dona menyempatkan waktu untuk menginap di sana. Kadang-kadang, Emir pun ingin ikut. Namun, ia belum memiliki waktu untuk mampir berkunjung ke rumah pianis muda itu. Ditambah lagi, Emir merasa dirinya tak seakrab Dona. Ia takut bersikap tidak sopan.
"Lo mau pergi?" Pertanyaan Dona pun menghentikan keheningan Emir.
Emir mengangguk dan menjawab, "Ada janji sama Lienna."
Sesaat setelah Emir mengatakannya, ada kilasan ekspresi di wajah Dona yang tak bisa Emir pahami. Dona tampak terlihat ... kecewa? Tidak. Mungkin lebih seperti ... khawatir? Ah, tidak juga. Apa yang perlu dikhawatirkan jika Emir bertemu dengan Lienna? Entahlah, Emir tidak bisa menerjemahkan ekspresi Dona yang agak-agak sendu itu.
"Hati-hati di jalan," pesan Dona.
Emir tersenyum, mengangguk sekali, sebelum akhirnya ia berpamitan dan pergi dari hadapan Dona Hattala.
Ada sekelebat rasa bersalah dalam diri Emir, yang entah karena apa penyebabnya.
Ah, sungguh. Sial. Ucapan Andrea kemarin benar-benar membebaninya sekarang. Ia tidak bisa bersikap biasa saja dengan Dona setelah mendengar asumsi brutal Andrea.
Dona menyukainya?
Persetan.
to be continue
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top