[] TWO 🐊

T H E Y O U T H C R I M E

02

KURIKULUM SEMESTER 2, JANUARI 2017.

"SEKARANG SARAPANKU nasi kuning saja, persediaan mie instan juga sudah habis." Mahendra mengambil dompet yang terselip dalam tas hitam dan tidak lupa memesan ojek online.

Selama terduduk di belakang mas-mas berkumis yang mengendarai motor dengan kecepatan sedang, Mahendra mengetatkan jaketnya, menahan rasa kantuk yang menyerang tiap kali angin malam menampar pipi dan rambut. Lalu memandangi kelap-kelip lampu jalanan beraneka warna yang menyilaukan mata. Mahendra membuka bungkusan permen kecokelatan yang selalu dibawanya dalam saku baju. Sayang sekali, permen itu ialah satu-satunya persediaan anti kantuknya saat ini. Kau pasti sudah tahu lebih dulu tentang bungkusan permen bergambar biji kopi.


"Nasi kuning satu, jangan lupa sambal yang banyak!" celetuk Mahendra saat sepasang kakinya menapaki trotoar dengan lubang menganga, di situlah penjual nasi favoritnya berjualan setiap pagi.

Sang penjual nasi kuning, Nenek Mei, ialah legenda kuliner yang menjadikan jalan perempatan di dekat area SMANJA sebagai markas jualannya, tepat sebelum jalan-jalan umum diaspal hitam dan sekolah megah nan terfavorit itu selesai dibangun. Nenek Mei selalu menjadi lokasi persinggahan bagi para mahkluk pagi untuk sekadar membeli sebungkus nasi kuning atau makan langsung di tempat dengan ditemani para kucing-kucing oranye yang menunggu sesuap nasi. Pekerja kantor dan pegawai negeri rata-rata mendominasi pembeli Nenek Mei yang sudah berkelana ke tengah jalan untuk menunaikan tugas tepat sebelum matahari menampakkan diri.

Makanan yang disajikan pun tidak terlalu berbeda dengan penjual lain, tetapi sambal matah buatannya telah menjadi ikon tersendiri. Sambal yang dibuat dari campuran bawang merah, cabai, garam, terasi dan sedikit minyak goreng. Meski bawang merah kerap disangka-sangka sebagai tokoh jahat penuh emosi pada dongeng umum anak-anak di era modern ini tetapi emosi itulah yang menguatkan rasa dan aroma dari bawang merah, tidak sekadar berarti buruk tetapi ada nilai tersembunyi.

Meskipun sang legenda nasi kuning itu sudah menua, pipi berkerut seperti kayu jati dan tidak mampu berdiri lama-lama, tetapi selama dia semangat bangun pagi dengan tangan yang bergerak dinamis mengaduk-aduk sambal dan nasi--terkadang emosi juga dapat diaduk bersamanya--usahanya tetap akan dikenang sampai ke generasi selanjutnya.

"Sepertinya Nenek baru melihat kau. Pasti guru honorer di SMANJA ya?"

"Bagaimana nenek bisa tahu?! Padahal saya belum bicara sama sekali, nenek cenayang ya?"

"Tentu saja tidak, Nenek cuma manusia biasa. Nenek tahu karena akhir-akhir ini cukup banyak guru honorer menjabat di sana termasuk kau sendiri kan?"

"Ya, itu benar. Saya baru menjabat sebagai guru honorer dari bulan Juli 2016 lalu."

"Oh? Apa kau sudah dengar tentang gosip yang beredar di sekitaran sekolah?"

Nenek Mei melontarkan pertanyaan yang dibalas gelengan kepala Mahendra.

"Saya tidak suka bergosip."

"Ah, setidaknya kau harus mendengar gosip anak-anak meski kau laki-laki. Kau tahu Aksan? Dengar-dengar dia sudah punya banyak pacar. Pagi mengantar wanita berambut pirang, siang mengantar wanita berkacamata dan malam membawa wanita berbadan gemuk. Bayangkan, tiga wanita!"

"Masa SMA memang penuh dengan masa percintaan anak muda. Jadi menurut saya itu wajar saja. Nasi kuningnya enak, Nek. Tapi saya tidak bisa lama-lama di sini, saya pamit dulu."

Lucu kalau mengingat masa-masa masih menjadi guru baru di SMANJA, Mahendra sempat tersasar beberapa kali ke beberapa ruang kelas yang jumlahnya bukan hanya satu tetapi puluhan ditambah lagi dengan beberapa sarana penunjang. Sekolah ini memang begitu besar dan luas maka tidak heran bagi para siswa baru yang ingin mencari ruang kelasnya harus mengikuti instruksi dari kakak senior. Beruntung Mahendra dengan cepat bisa beradaptasi akhirnya ia tidak tersesat lagi sampai tiga kali.

"Anda wali kelas 10-A? Mari ikut saya." seorang perempuan dengan name--tag bertuliskan 'Fransisca' selaku wakil kepala sekolah membawa beberapa berkas dan bertugas memberi pengarahan.

Mahendra mengenakan name--tag yang sudah disediakan untuknya seraya melepas jaket, dia mengikuti Fransisca untuk mencari posisi berbaris sebab kerap berpindah-pindah. Anak-anak tengah sibuk berbaris menunggu arahan dari pengeras suara untuk melaksanakan upacara bendera di lapangan basket. Mereka segera mengambil posisi masing-masing, tampak tertib dan rapi tanpa perlu disuruh. Namun, para guru hanya sedikit kelihatan batang hidungnya. Maka anak-anak harus menunggu lima menit lagi. Ada sedikit rasa iba ketika Mahendra memandangi barisan tertib itu.

"Sebaiknya para guru juga dibuatkan aturan untuk hadir lebih cepat di hari Senin, tidak hanya siswa. Bukankah guru harus memberikan contoh yang baik?"

Fransisca mengatur posisi kacamata. "Ya, itu memang benar. Sayangnya tidak ada aturan seperti itu di sekolah ini. Mohon dimaklumi."

Upacara bendera berlangsung lancar dan khidmat. Ini adalah hari pertama di bulan Januari, bulan penuh dengan persiapan menghadapi semester genap. Anak-anak tentu akan meningkatkan nilainya selama 6 bulan sebelum mendekati detik-detik ujian nasional dan PTS. Kedengarannya melelahkan tetapi mereka tidak perlu risau. Setelah bendera berkibar di langit membiru, seperti biasa kepala sekolah memberikan sambutan. Kemudian dilanjutkan dengan penyerahan hadiah kepada siswa-siswi berprestasi.

Anak-anak kembali memasuki ruang kelas dan bersiap mengikuti pelajaran. Sebelum Mahendra menginjakkan kaki di kelas 10-A, terlebih dahulu dia mendengar banyak gosip dan rumor yang beredar tentang kelas itu. Sebagai informasi, 2016 lalu Mahendra menjadi wali kelas 10-L dan semuanya berjalan baik-baik saja. Sekarang dia dipindahtugaskan ke kelas 10-A, entahlah. Katanya wali kelas sebelumnya merasa begitu stres mengurus anak-anak didik itu dan memilih untuk mundur.

Namun, menjadi seorang guru sudah pasti harus menanggung segala konsekuensi yang ada.

"Berdiri!"

Anak-anak memberikan hormat dan salam kemudian kembali duduk. Mahendra meletakkan jurnal kehadiran di meja dan mulai mengecek nama-nama yang ada di kelas 10-A. Total siswa berjumlah 30, lebih sedikit dibanding kelas lain. Di sini mayoritas dihuni oleh anak guru. Sebagai guru baru, tentu Mahendra melakukan pengenalan diri.

"Anak-anak, perkenalkan nama Bapak Mahendra Wicaksana. Kalian bisa panggil dengan Bapak Mahendra atau Hendra. Senyaman kalian."

Mahendra berdiri, mengambil sebuah spidol hitam dan mulai menulis judul materi Bahasa Indonesia. "Hari ini sebagai pertemuan awal, kita akan mempelajari teks cerpen."

Di bangku depan dan tengah, anak-anak tampak fokus memerhatikan penjelasan dan mencatat jika ada hal penting. Sementara di bangku belakang, terlihat beberapa siswa lelaki duduk seenaknya sambil mengobrol santai. Ribut. Obrolan mereka yang lucu akhirnya mengundang siswa lain ikut tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang dibahas tetapi itu sangat mengganggu ketenangan kelas.

Daripada memarahi atau menegur, Mahendra lebih senang memberikan kesempatan bertanya pada anak-anak. "Apa ada pertanyaan terkait materi cerpen?"

"Tidak ada!" celetuk lelaki berambut cepak yang duduk di bangku paling belakang. Ia duduk sendirian. Tetapi para gadis terus menatap mata hitam lelaki setinggi 172 senti itu. Bukan karena dia pintar tetapi pesona ketampanannya yang dingin, kelam, dan tajam dibanding laki-laki lain membuatnya berbeda.

Aksan, begitulah namanya. Ia adalah anak dari kepala sekolah, Martinus. Sebagai penyandang Ten Angels posisi pertama, dia jadi pusat perhatian tiap hari. Sudah banyak gadis yang menawarkan hati tulus untuknya tetapi Aksan sudah memiliki hati sendiri. Tidak sedikit pula yang membenci dirinya tetapi itu tidak masalah.

"Kalau tidak ada, maka Bapak yang akan bertanya. Mengapa cerpen itu harus ada?"

Hening. Tiada yang mengangkat tangan. Beberapa ada yang ingin mencoba tapi memilih untuk ditahan. Mahendra mengelus dada. Beginikah potensi siswa sekarang? Mental mereka masih labil dan tidak menunjukkan kedewasaan?

"Aksan silakan maju." Mahendra melirik ke arah lelaki yang masih berkutat dengan obrolan.

Aksan berjalan tanpa malu-malu sambil tersenyum tipis. Mahendra menggenggam pundak anak itu seraya menunggu jawaban.

"Pak, boleh diulangi lagi pertanyaannya?"

Mahendra kembali mengulangi pertanyaan yang baru saja dilontarkan.

"Karena ... cerpen itu sebagai komunikasi untuk dia yang terkasih ... tanpa perlu bicara langsung, dia akan merasakan apa yang sedang aku rasakan. Itu jawabannya, maaf kalau salah .... "

Aksan memutar-mutar kepalanya untuk menghasilkan kata-kata mutiara nan bijak bernada romansa.

"Jawaban kamu ngawur l, tapi intinya sudah benar. Tepuk tangan buat Aksan!"

Mahendra meninggalkan kelas 11-A setelah jam istirahat tiba. Energinya sedikit terkuras mengatur keributan di kelas. Dia berjalan menuju ruang guru dan membuka bekal makan siang. Alasan dia tak ingin membeli makanan di kantin sebab tergolong mahal apalagi guru honorer tak mendapat jatah makan gratis seperti guru tetap. Perbedaan kasta yang amat terlihat. Sebentar lagi dia akan mengajar di kelas lain.

Penomoran kelas di tiap sekolah diikuti dengan angka ataupun huruf. Biasanya ini dilakukan untuk memberikan tingkat pada kelas yang sama. Di SMANJA sendiri memiliki dua belas kelas. Kelas dengan kasta A adalah kelas yang paling disorot oleh para guru. 10-A, 11-A, dan 12-A. Pokoknya citra sebagai kelas tertinggi itu dituntut untuk menjadi yang paling terbaik dari kelas lain. Maka jangan heran di kelas ini anak-anak guru biasa ditempatkan agar terlihat menonjol. Apalagi rata-rata siswa yang berada di kelas ini memiliki nilai raport tertinggi semasa SMP.

Kadang nilai tinggi tidak sebanding dengan moral dan perilaku siswa. Sekalipun pihak sekolah menggalakkan pendidikan karakter, tetap saja nilai masih yang paling diutamakan. Begitulah kenyataan yang dilihat Mahendra.

Beberapa guru berdatangan masuk ke ruang guru. Mereka sibuk meletakkan buku tugas siswa, absensi kehadiran dan buku pelajaran di atas meja masing-masing sembari mengecek notifikasi di ponsel, siapa tahu ada pesan penting.

Beberapa siswa laki-laki tampak berjemur dibawah terik matahari. Mereka pasrah menerima hukuman dari para guru setelah diketahui bahwa mereka ketahuan bolos sekolah. Alasannya? Mereka berpacaran dan merasa sekolah bukan lagi sebuah kewajiban.

Seluruh warga sekolah tampak melempar tatapan sinis ke arah anak-anak itu di jam istirahat. Memang hukuman bertujuan agar mereka sadar dan segera menjadi pribadi yang lebih baik tetapi apa benar ini caranya?

Seorang guru BK bertampang judes bernama Wenny yang tertulis di name--tag tampak berdiri memantau siswa sembari sibuk berfoto. Album fotonya dipenuhi oleh foto selfie yang bila dihitung mencapai seribuan. Mungkin bisa dikatakan sebagai hobi. Mahendra menghampiri Wenny seraya merapikan rambut.

"Ibu Wenny, hukuman itu tidak akan membuat mereka sadar. Mereka hanya merasa takut lalu akan mengulangi lagi. Karena mereka berlindung pada sebutan 'anak-anak'."

Wanita itu melempar sorot mata tajam. "Kau membela mereka? Kau pikir dengan cara yang halus mereka bisa berubah?"

Mahendra berhenti seraya berucap sepatah kata. "Saya tidak membela, hanya memberikan apa yang sudah sering kita lihat di media sosial."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top