[] TWENTY-ONE🐊
T H E Y O U T H C R I M E
21
TIDAK SEMUA hal-hal yang terlihat sederhana mudah dilaksanakan. Begitupun dengan pihak kepolisian yang berusaha mencari pelaku pembunuhan layaknya mencari jarum dalam seonggok jerami.
Mahendra tidak bisa menggunakan sebagian waktunya untuk berleha-leha, selagi pelaku masih belum ditemukan sesuai keterangan dari tim INAFIS tidak menemukan sidik jari pada beberapa barang bukti yang telah ditemukan. Pembunuhan itu dilakukan dengan cukup rapi dan hati-hati agar polisi tidak bisa menangkap dalang pembunuhan. Tetap saja segala pertanyaan pasti ada jawaban. Mahendra mengetatkan jas hitam miliknya dan menyalakan motor ninja kesayangan.
Mahendra akan mengunjungi alamat rumah wali kelas 12-E dan 12-D yang telah didapat dari hasil obrolan lewat telepon semalam bersama Fransisca.
"Malam, Fransisca. Ini aku, Mahendra. Maaf mengganggu waktumu malam-malam."
"Malam. Mahendra? Ada urusan apa sampai menghubungi aku tengah malam begini?"
"Apa kamu tahu alamat rumah wali kelas 12-E dan 12-D?"
"Ya, aku tahu. Silakan dicatat, alamatnya di …."
PERUMAHAN ASRI MUTIARA, JAKARTA PUSAT. 10.00 AM
Berkendara selama setengah jam sembari menikmati pemandangan macetnya kota Jakarta yang tidak pernah habis-habisnya. Di hari libur ini cukup banyak anak-anak muda berolahraga pagi mengelilingi taman kota dan sesekali membeli sarapan. Mahendra masih sedikit mengantuk sebab dia belum sempat minum kopi capuccino di warung makan favoritnya. Mungkin dia bisa menyempatkan waktu setelah melakukan wawancara singkat.
Sempat tersesat karena semua rumah memiliki jenis dan interior yang sama, Mahendra mencocokkan dengan nomor rumah. Seorang pembantu tampak sibuk membersihkan kebun yang dipenuhi dengan tanaman hias yang menghijau. Dia diperkenankan masuk dan menatap betapa megahnya area rumah tersebut.
"Halo, Bu Dhea."
"Halo, Pak Hendra. Sepertinya kita jarang bertemu ya walau satu sekolah. Mari masuk."
Mahendra menduduki sofa besar dengan sebuah meja kecil dihadapannya. Di situ tergeletak sebuah koran yang baru saja dicetak kemarin pagi. Halaman utamanya masih sama, berita trending tentang pembunuhan dan penganiayaan sadis yang dialami oleh tiga remaja SMA Nasional Jakarta. Tidak berselang lama, Dhea mengantarkan segelas es kopi dengan taburan cokelat diatasnya, lumayan dapat minuman gratis. Mahendra meletakkan kembali koran tersebut dan menyeruput kopi. Seperti biasa, rasanya manis. Semanis senyuman wanita dihadapannya.
"Sepertinya Anda sudah tahu saya akan bertanya tentang apa tanpa perlu saya katakan lagi."
Dhea sedikit tersipu malu, guru bahasa Jepang itu hanya geleng-geleng kepala. "Ya, saya juga berpikiran begitu."
"Baiklah. Langsung saja. Bagaimana perasaan Anda ketika mengetahui bahwa anak didik Anda mengalami musibah yang tidak pernah diduga?"
Perlahan senyuman wanita itu mengendur sambil menatap jauh ke arah langit biru tanpa dihiasi gugusan awan. Dhea menitikkan sedikit air mata, Mahendra menyodorkan tisu setelahnya.
"Terima kasih. Benar, saya tidak pernah menduga hal itu benar-benar terjadi. Sekalipun saya membenci tingkah mereka, tetap saja mereka adalah anak didik yang saya cintai."
Mahendra membetulkan posisi jurnalnya agar terlihat lebih rapi di pangkuannya. "Bagaimana kelakuan Viki dan Pramoedya selama menjadi siswa kelas 12-E menurut pandangan Anda?"
"Berdasarkan pengamatan saya, keduanya kerap jadi sorotan setiap hari karena aksi kenakalan dan tindakan bully serta sudah sering dipanggil oleh guru BK. Kendati begitu mereka tidak pernah merasa kasihan sedikitpun dan semua tugas-tugas sekolah yang diberikan tidak dikerjakan sampai diberikan peringatan berkali-kali."
Mahendra mencatat keterangan itu dalam buku catatan kecil. "Bagaimana respon orang tua dari masing-masing anak ini menurut Anda?"
"Sebenarnya saya tidak marah terhadap sikap Viki maupun Pramoedya selama ini. Alasannya bukan hanya mereka itu masih anak-anak jadi segala tindakan nakal dan tidak bagus itu bisa dikatakan normal karena usia mereka masih dibawah 18 tahun, tidak! Justru setelah pemanggilan orang tua dan melihat respon orang tuanya yang sama sekali tidak peduli dengan kondisi anak bahkan mereka malah menyalahkan pihak sekolah yang tidak bisa memberikan pelayanan yang baik di bidang mental dan karakter anak. Fakta sebenarnya kami sudah sering mengimbau kepada seluruh warga SMANJA agar menjaga etika dan etiket di sekolah tetapi itu tidaklah cukup. Kepala sekolah, Martinus pun sudah mencabuti aturan pendidikan karakter itu karena dinilai tidak menghasilkan apa-apa dan lebih terfokus pada nilai. Melihat orang tua mereka berdua yang tidak memberi perhatian penuh, sedikit membuat hati saya terenyuh."
"Anda bilang posisi yang harus disalahkan di sini bukan Viki maupun Pramoedya tetapi justru orang tua mereka? Begitu?"
"Benar. Seratus persen saya yakin!"
Dhea mengepalkan tangannya seolah mengatakan bahwa kata-katanya merupakan fakta yang harus dipercaya. Ia lantas membuka tas miliknya dan mengeluarkan beragam kertas-kertas yang isinya daftar nilai kelas 12-E yang dihimpun sejak tiga tahun lalu yakni 2016. Ia mencoret nama Viki dan Pramoedya beserta menunjukkan nilai harian.
"Anda bisa lihat di sini. Nilai rata-rata ulangan harian mereka berdua semakin menurun dari kelas 10 sampai sekarang. Saya menduga bahwa asuhan dari orang tuanya begitu kurang hingga membiarkan anak-anak labil seperti ini dibiarkan keluar rumah malam-malam dan akhirnya dikejutkan dengan …. berita kematian yang sama-sama sudah kita ketahui."
Dhea menyeka air matanya yang tiba-tiba saja jatuh dan hampir pingsan. Mahendra sontak saja menahan tubuh wanita itu agar tidak jatuh. "Saya tidak apa-apa, Pak Hendra. Saya hanya syok saat mengingat anak didik saya itu."
"Baik. Pertanyaan terakhir dari saya, apakah sebelum hari pembunuhan terjadi Pramoedya dan Viki memiliki tanda-tanda aneh atau hal yang tampak tidak biasa?"
"Akhir-akhir ini saya sering mendengar kalau mereka berdua kerap dihubungi dan dikirimi pesan singkat oleh seorang wanita, entah siapa. Katanya sangat cantik tetapi mereka belum pernah bertemu. Berdasarkan penuturan dari teman-teman sekelasnya, mereka juga sering diam ketika dimarahi oleh orang tuanya saat penerimaan raport minggu lalu. Perilaku mereka jadi sangat liar."
Mahendra bangkit dari duduk dan membungkuk hormat. "Terima kasih sudah memberikan saya waktu untuk melakukan wawancara singkat ini. Saya pamit."
***
Mahendra bertemu langsung dengan wali kelas 12-D, Bapak Herdiana di kafe. Beliau adalah guru IPS nyentrik yang biasa mencairkan suasana kelas.
"Saya ingin bertanya tentang salah satu siswa kelas 12-D, Egy Septian." Mahendra memulai percakapan secara to the point sembari menyiapkan peralatan tulisnya.
"Egy … laki-laki yang suka mencari sensasi. Selama di kelas, dia tidak pernah bisa diam. Intinya nakal. Karena kelas anak itu dekat dengan kelas 12-E lantas ia bergabung dengan kedua siswa yang gemar membully. Anda pasti pernah mendengarnya bukan? Berdasarkan rumor dari mulut ke mulut, Egy sudah bergabung sejak dua pekan lalu."
Mahendra mengangguk singkat. "Berarti anak itu masih baru begitu, Pak?"
"Benar. Secara akademik, anak itu memang menonjol di bidang bahasa Inggris sementara di bidang non-akademik, dia lihai dalam bermain bulu tangkis. Sayangnya, performa anak itu menurun ketika mulai mencoba melakukan bully yang menurutnya adalah sebuah hobi. Dan kau tahu? Orang tuanya juga bermasalah."
"Apakah ada kejanggalan atau keanehan terhadap Egy akhir-akhir ini?" Mahendra melontarkan pertanyaan spesifik.
"Keanehan? Ya, dengar-dengar dia benci anak kecil yang lewat di depan gerbang sekolah terutama anak kecil bertubuh pendek. Saya tidak tahu menahu siapa sebenarnya anak kecil yang dimaksud tetapi asumsi saya kemungkinan itu anak SD yang ada disekitarnya. Yang terakhir, anak itu sering menghubungi seorang wanita padahal anak itu enggan berpacaran. Entah siapa. Kemungkinan pacar barunya."
"Baik. Terima kasih, Pak!"
KANTOR POLSEKTA JAKARTA SELATAN, 06.00 PM.
Matahari sudah terbenam di ufuk barat, menyisakan awan putih yang akan segera pergi sebentar lagi akibat tertiup angin kencang. Mahendra memasuki kantor diikuti sapaan-sapaan dari para polisi. Dia memutar kenop pintu ruang Penyidik Anak dan melambaikan tangan. Di sana, Rayna sedang fokus mengetik sesuatu di laptop.
"Bagaimana hasilnya, Wica?"
"Aku mendapat informasi dan kupikir akan sangat berguna untuk bahan penyidikan kita. Aku menarik benang merah dari setiap informasi ketiga anak itu, ini dia!"
Mahendra mengambil spidol hitam yang tergeletak di meja kerjanya dan menulis di papan tulis putih. Di sana dia membuka peta konsep kira-kira seperti ini bentuknya:
___________________________________
PRAMOEDYA(12-E), VIKI(12-E), EGY(12-D)
- KETIGANYA DIHUBUNGI WANITA YANG SAMA, BERPACARAN?
- EGY ADALAH ANAK BARU YANG BERGABUNG SEJAK 2 PEKAN LALU.
- KETIGANYA SAMA-SAMA MEMILIKI MASALAH DENGAN ORANG TUA BAIK ITU DI RUMAH DAN DI SEKOLAH.
- PENURUNAN NILAI, MUNGKINKAH KESEHATAN MENTAL MEREKA TERGANGGU?
___________________________________
"Dari sini bisa aku simpulkan bahwa anak-anak itu kemungkinan diculik dan dibunuh?" tebak Rena sembari menggaruk kepala.
Mahendra menggeleng pelan. "Aku tidak bisa bilang kalau kesimpulanmu itu benar. Sejauh ini aku belum bisa menarik poin penting apa pun itu. Omong-omong di mana Reyhan?"
Ketika bibir Rena hendak bergerak, pintu ruangan dibuka. Orang yang ditanya secara kebetulan hadir.
"Panjang umur, Rey! Kamu datang saat Wica sedang bertanya keberadaanmu."
Bukannya tertawa lepas, Reyhan sibuk dengan ponselnya dan ia melirik kedua penyidik itu sekilas.
"Hei, kalian berdua harus melihat ini!"
Reyhan meletakkan ponselnya diatas meja kerja dan terlihat sebuah video.
Itu adalah video rekaman di hari kejadian tiga anak SMA berdurasi tiga menit yang terlihat tidak begitu jelas, sekalipun tingkat kecerahan ponsel ditingkatkan tetap saja video itu beresolusi 144p. Mereka bertiga melihat bagaimana Pramoedya disiksa, dipukul dan dianiaya. Begitupun dengan Egy dan Viki yang juga berteriak dengan isak tangis. Video memilukan itu tidak sepantasnya untuk disebar dan dibagikan ke media sosial yang berkemungkinan akan berdampak bagi para remaja untuk melakukan hal yang serupa. Mereka mendengar suara-suara dari video yang itu yang kebanyakan bernada ancaman, kemarahan dan kematian. Di detik-detik terakhir terdengar suara seorang wanita diikuti gesekan pisau. Selesai.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top