[] TWENTY-FIVE 🐊

T H E Y O U T H C R I M E

25

31 DESEMBER 2018, PUNCAK TAHUN BARU 2019.

SETIAP ADA pertemuan pasti ada perpisahan dan tidak bisa dibantah lagi. Tiada satu pun abadi kecuali pengalaman dan cinta yang akan terus diingat hingga maut memisahkan.

Sebelum menuju bandara dengan rentang waktu keberangkatan yang masih cukup lama, sopir bus memutuskan untuk membawa rombongan Ten Angels menuju area perbelanjaan terbesar di Bali yang bersebelahan langsung dengan area Taman Werdhi Budaya Art Center. Anak-anak mengerumuni tempat cenderamata dan oleh-oleh dengan harga yang terbilang mahal tetapi kualitasnya pun sebanding. Martinus mengajak anak tunggalnya, Aksan yang tampak enggan untuk jalan-jalan ke Taman Werdhi Budaya dan lebih memilih mengelilingi area pusat perbelanjaan sendirian. Ia menghampiri tempat penjualan pakaian dengan brand-brand ternama. Ada barang, ada harga tentu kualitas tidak perlu diragukan lagi. Namun, daripada membeli dengan tujuan gengsi, Aksan lebih mengedepankan kebutuhannya saja. Ia membeli topi, jas, jaket dan sepatu, warnanya hitam semua. Tidak lupa membeli oleh-oleh untuk pacar tersayang.

Aksan melangkah menuju bus yang hanya diisi oleh sopir dan kernet. Suasana begitu sepi membuat Aksan sedikit leluasa meluruskan kakinya yang pegal-pegal, duduk seharian dalam bus tanpa pendingin ruangan sangat menyebalkan. Ia kemudian mengambil oleh-oleh dari pembungkus plastik, mengambil gambar dan mengirimkan fotonya ke salah satu kontak WhatsApp. Bunyi notifikasi terdengar, Aksan segera membuka ponsel.

Pesan WhatsApp dari Malaikat Cinta: Oleh-olehnya cantik! Makasih ya! 10.25 AM.

Aksan menatap tajam ke arah oleh-oleh yang baru dibelinya itu dengan tersenyum sinis. Laki-laki itu menggenggam boneka beruang berwarna merah muda dengan hiasan bunga mawar secara kasar dan dibuang ke tong sampah.

Menjijikkan, lirih Aksan dalam hati.

Ten Angels bersama para guru lainnya tampak memenuhi area administrasi bandara I Gusti Ngurah Rai dengan menggenggam tiket keberangkatan masing-masing. Mereka akan segera pulang ke tanah kelahiran, Jakarta. Matahari sepertinya malu-malu menampakkan diri meski cuaca terlihat cerah dengan dihiasi kapas raksasa yang makin besar saja tandanya hujan akan turun tidak lama lagi. Petugas keamanan bandara mengarahkan sepuluh anak-anak berpakaian modis dengan pernak-pernik khas Bali. Salah satu dari mereka bahkan mengoleksi miniatur barong yang terbuat dari ukiran kayu yang begitu indah dengan gaya dan nuansa pulau dewata. Kapan lagi mengunjungi Bali?

"Penerbangan Garuda Indonesia Boeing 747 menuju Jakarta, para penumpang diharapkan untuk mengenakan sabuk pengaman dan memposisikan tempat duduk secara lurus."

Pesawat mendarat dengan mulus tanpa getaran gempa bumi, sang pilot pastilah sudah sangat berpengalaman selama bertahun-tahun mengendalikan pesawat dan pelatihan yang tidak sebentar. Yah, semua profesi tidak lepas dai yang namanya latihan demi latihan untuk mencapai tujuan. Ten Angels tiba di bandara Internasional Soekarno-Hatta dan segera melangkah ke area penjemputan. Para orang tua beserta keluarga tercinta menunggu kedatangan anak-anaknya yang pasti membawa banyak kisah dan cerita selama liburan ke Bali. Mereka berpelukan diiringi tangisan bahagia. Hari itu adalah hari yang berbahagia bagi Ten Angels bisa kembali dengan selamat sentosa dan hari yang paling kelam karena tidak lama lagi pertumpahan darah akan segera terjadi.

Sudirman Central Busines District, Gedung Artha Graha, Jl. Jend. Sudirman. Senayan, Kota Jakarta Selatan. 05.30 PM

"Sayang? Sayang? Kamu di mana?"

Bella sibuk menghubungi Aksan yang tidak kunjung datang padahal mereka berdua sudah berjanji untuk bertemu disekitaran gedung SCBD. Sebelumnya mereka sempat cekcok untuk mencari tempat kencan yang cocok. Awalnya Aksan memilih tempat yang sepi dan tenang agar mereka bisa menikmati kencan tanpa dilihat banyak orang misalnya di restoran atau kedai yang berada di perbukitan atau pedesaan. Intinya suasananya tenang dan tidak banyak orang. Namun, Bella bersikukuh tempat kencannya harus disesaki oleh banyak orang karena ia adalah gadis ekstrover yang membutuhkan banyak semangat ketika bertemu dengan banyak orang misalnya kencan di mall, restoran mewah yang baru dibuka di Jakarta Pusat atau taman kota, intinya tempat yang ramai dan tidak sepi. Yah, karena wanita selalu benar maka mau tidak mau Aksan harus menuruti kemauan Bella. Beginilah ketika pasangan introver dan ekstrover dipertemukan.

"Aksan di mana sih?! Telepon kok nggak diangkat-angkat? Chat nggak dibales-bales lagi! Jangan-jangan dia se-"

Bella menghentikan ucapan nakalnya yang hendak keluar begitu saja dari mulut. Ingat, kata-kata adalah doa.

Notifikasi muncul di layar ponsel Bella. Aksan mengirim foto lengkap dengan keterangan dibawahnya, mengatakan bahwa ia sebentar lagi datang. Bella berdiri sebentar sembari menikmati pemandangan gedung-gedung tinggi dengan lalu lintas yang cenderung tidak terlalu ramai. Ada banyak pesepeda dan pelari berolahraga di sore hari. Pandangan Bella tidak henti-hentinya menatap ponsel. Ia menelepon lagi saking kesalnya.

Seorang wanita berpakaian serba hitam melintas tepat di depan Bella sembari membawa walkie talkie yang disembunyikan di dalam celananya. Bella sama sekali tidak menggubris hal itu dan menganggap cuma orang asing numpang lewat. Wanita berambut panjang dengan mengenakan topi itu tampak berdiri dibawah lampu lalu lintas, melihat-lihat kondisi sekitar dan mengunci tatapannya ke arah Bella. Ia diam-diam mengambil walkie talkie dan berbicara dengan suara sangat kecil seperti sedang berbisik-bisik.

"Lapor, kondisi aman. Penembakan bisa dilangsungkan."

Seorang pria berseragam hitam menyiapkan senjata andalannya, sniper rifle atau senapan jarak jauh. Senapan jenis ini mampu mengunci sasaran utama dan membidik serangan secara tepat dan cepat dari jarak jauh sekalipun, intinya pelaku penembakan tidak akan diketahui.

Tentu saja cara menggunakan senapan ini tidak semudah menembak perasaan orang lain karena bukan hanya menembak perasaan tetapi juga menembak jantung seseorang. Sekali kena, segera dijemput oleh malaikat maut. Pria bermasker hitam itu sedang sibuk-sibuknya mengatur senapan agar posisinya benar-benar pas dan menggenggam walkie talkie.

"Kondisi aman?"

"Aman."

"Maafkan aku, Bella."

DOR!

Seketika langit Jakarta berubah mendung dengan awan-awan menghitam. Tukang bakso, tukang sate dan tukang nasi goreng berbondong-bondong menghampiri area TKP yang sudah dipenuhi oleh kerumunan masyarakat. Rembesan darah memenuhi aspal hitam dan trotoar. Beberapa pejalan kaki begitu syok melihat pemandangan yang ada di depan mata, seorang gadis tergeletak tak berdaya dengan menggenggam ponsel yang sudah retak. Pengendara motor menghentikan laju kecepatannya dan memilih untuk melihat apa yang sedang terjadi. Beginilah kebiasaan warga Indonesia, melihat adanya bahaya bukannya lari tetapi ladang ekonomi. Sekumpulan anak muda terlihat memotret gadis yang hampir kehilangan nyawa itu dengan kamera ponsel masing-masing dan menyebarkannya ke sosial media diikuti pekikan dari beberapa warga yang sedang menghubungi polisi terdekat.

Pihak kepolisian datang sepuluh menit sesudahnya setelah menerima laporan dari masyarakat setempat tentang kabar kematian seorang gadis yang penyebabnya masih dilingkupi tanda tanya. Tim forensik, pasukan polisi dan tim penyidik berkumpul di TKP dengan memberikan batas garis polisi. Di sana, Mahendra bersama kedua rekannya tampak terdiam membisu melihat seorang gadis yang telah meninggal dunia.

Sementara itu di dunia sosial media tanpa batasan dapat melihat apa saja berita-berita yang sedang hangat terjadi. Kabar kematian seorang gadis di area depan SCBD sontak saja jadi topik utama yang kerap diperbincangkan dan menarik perhatian netizen Indonesia, terkenal dengan jari-jari tangannya setajam silet.

@tralalalililili: Kenapa dia bisa mati? Bunuh diri ya?

@bitieskoreya234: Ah, bunuh diri apanya? Biasanya bunuh diri itu ditempat sepi bukan ditempat ramai kayak begini!

@blackpinksasaeng: Jelas-jelas kalau dia itu terbunuh!

@ditakerang10: Cih, terbunuh karena apa? Jangan sok tahu ya elu!

@heytayooo: Heh, dibilangin malah ngelunjak!

Tim forensik dengan peralatan lengkap sibuk mengidentifikasi korban dan mengamankan TKP. Mahendra menatap sekeliling area SCBD yang terkesan sedikit janggal. Ketika orang-orang sibuk melihat apa yang sudah terjadi di depan mata, Mahendra mencoba untuk memprediksi bagaimana pembunuhan itu sebelum benar-benar terjadi.

"Gadis itu meninggal pasti karena dibunuh tetapi bukan dari dekat tetapi dari jauh."

Rayna melirik Mahendra yang tampak percaya diri. "Bagaimana kau bisa yakin seratus persen?"

"Lihat. Saksi-saksi di sini ada berapa orang? Sepuluh orang kan? Mereka semua itu pejalan kaki dan sama-sama mengaku tidak melihat pelakunya siapa karena gadis itu mati secara tiba-tiba. Dari sini muncul spekulasi kalau gadis itu bunuh diri. Ah, terlalu cepat. Kalau memang bunuh diri tetapi pakai senjata apa? Di tas korban sudah dilakukan pemeriksaan dan kita bisa melihat tidak ditemukannya senjata tajam. Kalau sudah begini pasti pelakunya tidak membunuh lewat jarak dekat. Nah menurut kalian, kira-kira gadis itu meninggal karena apa?"

Rayna berbisik-bisik bersama Reyhan untuk berdiskusi segala kemungkinan bagaimana gadis itu meninggal. Reyhan menyeletuk. "Di tembak?"

Tim forensik secara tiba-tiba mengumumkan kabar yang mencengangkan setelah melakukan pemeriksaan mendalam. "Kami menemukan peluru!"

Mahendra tersenyum sembari menatap kedua rekannya. "Tepat sekali. Gadis itu dibunuh dengan senapan jarak jauh, kemungkinan sniper atau sejenisnya. Ya, intinya ini kasus yang benar-benar brutal."

Mayat gadis itu kemudian diangkut dengan mobil ambulans dan kedua orang tuanya telah dihubungi lewat ponsel Bella. Mahendra menggenggam ponsel itu dan mencari sosial media yang dimiliki. Beruntung ponsel tersebut tidak dilengkapi dengan enkripsi jadi bisa lebih mudah untuk mencari tahu. Rupanya hanya ada satu aplikasi sosial media yakni Instagram dan Mahendra mengutak-atik halaman direct message. Dia seketika terkejut melihat ada satu pesan terbaru dari salah satu pengguna.

xsawatcher:


sebentar lagi aku sampai, tunggu ya. 05.50 PM

bellaaancia:

Awas ya kalau kamu nggak datang, rahasia kamu bakalan aku bongkar dan sebar! 05.51 PM

Astaga, dasar cewek mata keranjang. Rahasia itu cukup kita berdua yang tahu. Perkara cinta jadi ladang bisnis kan? 05.55 PM

Nah kau sudah tahu, intinya kita akan putus dan kau harus mengembalikan semua uangku! Dasar crazy rich gila! Aku yakin saat kau mati nanti kuburanmu jadi sempit! 05.56 PM

Oh? Mari kita lihat apa benar kuburanku jadi sempit? Siapa yang akan mati duluan? 06.00 PM

Cepatlah, aku sudah menunggu. 06.00 PM


Dunia tidak pernah berisitirahat. Ada saja cerita yang muncul tiap harinya dan mengisi headline berita di sosial media. Pihak kepolisian berusaha mencari tahu siapa dalang pembunuhan dari kasus berdarah yang dinamakan "Kisah Janda Mati Karena Menanti di SCBD."

***

Tahun baru diwarnai dengan beragam kesedihan bagi Mahendra. Indahnya kembang api di langit malam tidak mampu mengisi hatinya yang kosong. Dia masih membayangkan bagaimana nasib anak-anak di luar sana. Rena mendekati rekan kerjanya yang sedang berdiri di lantai tiga Polsekta Jakarta Selatan di sini sangat leluasa untuk melihat pemandangan sekitar dari ketinggian.

Rena menyodorkan sebotol bir. "Nih, minum. Kau pasti haus, Wica."

"Terima kasih. Omong-omong, selamat tahun baru."

"Ah, ucapan macam apa itu? Kedengarannya kau tidak bersemangat menyambut tahun baru. Semasih bertugas di Polsek Denpasar waktu bersamaku kalau tidak salah tahun 2008?"

Mahendra terkekeh kecil. "Itu dulu, Ren. Sekarang aku sudah banyak berubah."

"Ya, ya. Semua orang pasti berubah. Wica, kau tidak rindu dengan orang tuamu? Mengingat kau sudah lama bekerja di sini." tanya Rena dengan mimik wajah penasaran.

"Rindu? Iya, aku rindu. Tapi ... rasa sakitku tetap tidak pernah sembuh ketika mengingat ayah. Selalu berbekas di sini. Kau tahu? Di sini." Mahendra meraba dadanya.

Rena tersenyum tipis. "Aku paham maksudmu, Wica. Tetap saja mereka adalah orang tuamu. Bahagiakan dulu diri sendiri barulah membahagiakan orang lain. Sekarang ... kamu merasa bahagia?"

"Aku baru sadar selama ini hanya berusaha membahagiakan anak-anak yang ada disekitarku. Tapi aku sendiri tidak pernah merasakan kebahagiaan itu."

"Omong-omong—"

"Cie, cie. Ada yang lagi berduaan, nih. Ceritanya lagi bulan madu ya?"

Reyhan mengacaukan malam tahun baru yang indah bagi kedua rekan penyidik itu dengan kata-kata setajam silet. Suasana berubah jadi sedikit canggung.

"Rey! Ingat ya, aku sudah bersuami!" sahut Rena ketus.

"Lagian kalian tidak ngajak aku. Ayo bersulang buat tim penyidik anak, jaya, jaya, jaya!"

Rena memonyongkan bibirnya. "Yel-yel macam apa itu?"

"Bersulang!"

CLING!

"Mari kita bersenang-senang setidaknya untuk hari ini!"

Hari ini langit lebih indah dan bercahaya dibandingkan kemarin. Keindahan itu tidak dirasakan bagi para manusia yang sedang menjalankan bisnis rahasia di tengah-tengah jantung ibukota yang cukup sulit ditelusuri keberadaannya. Bisnis pasar gelap, begitulah namanya. Penjualan miras ilegal, pendaging anjing dan kucing

Adelia bersama duo fotografer yang kini telah menjadi asisten pribadi menjelajahi seisi area tersembunyi di Gang Persimpangan Kenangan, tujuan mereka bertiga bukan sekadar jalan-jalan malam tetapi sedang menjalankan transaksi dan menumbuhkan relasi di bidang penjualan minuman keras ilegal. Meski dibawah umur, mereka telah berhasil menjual tiga puluh miras oplosan dalam seminggu dan meraup untung setidaknya lima puluh juta rupiah.

Di sudut GPK ini tidak sulit ditemui area penjualan minuman keras ilegal dan permainan judi biliar. Adelia melangkah masuk bersama duo asisten ke area permainan biliar yang sedang dikerumuni oleh para pria berjas hitam dan berdasi yang baru saja pulang dari instansi pemerintahan dengan menghambur-hamburkan uang. Dari jauh sudah terdengar bahwa mereka sibuk membuat taruhan uang dengan beragam nominal.

"Aku bertaruh tiga puluh juta rupiah!"

"Kurang! Aku bertaruh tiga puluh lima juta rupiah!"

"Kalian main aman ya? Bagaimana dengan lima puluh juta rupiah?"

"Seratus juta rupiah. Itu taruhan kami."

Tentu saja para pria berjas dan berdasi itu meragukan kemampuan deduktif dari ketiga anak-anak yang masih SMA tersebut tetapi mereka telah menunjukkan kelihaiannya dalam meraih keuntungan besar dari judi dengan mengandalkan kebohongan dan keluguan karena untuk meraih profit maksimal dari judi bukanlah dengan memanfaatkan kejujuran sebab itu sudah dilarang di sini.

Adelia bersama duo asistennya berhasil menumbangkan posisi para pria 'gila uang' tersebut yang kini telah menyerahkan banyak uang kepada mereka dan selalu menang. Lewat perjudian itulah mereka memperluas koneksi dan relasi demi melancarkan penjualan minuman keras ilegal.

Malam sudah semakin larut, sementara langit telah dihujani oleh beragam warna kembang api, Adelia memutuskan untuk mencari bar. Mereka melangkah masuk ke bar yang terlihat cukup sepi. Dua bartender muda dengan setia menunggu kedatangan pelanggan, berpura-pura meracik minuman untuk mengusir kebosanan yang sering melanda dan membuat hati merana. Isi dompet kian menipis tetapi pengeluaran makin membengkak.

Adelia membaca buku menu dan memanggil salah satu bartender sekiranya berusia tiga puluh tahun. "Pesan wine satu dan cocktail dua."

Bartender itu kemudian mendekat dan mengernyitkan dahi. "Tunggu-tunggu, bukanlah kalian masih berusaha dibawah umur?"

"Apa hubungannya umur dengan miras?" celetuk Vincent tajam seraya menghitung pendapatan mereka hari itu.

"Astaga, sekarang anak-anak mainannya bukan game online tapi minum miras ya. Ironis—"

"Kami tidak hanya minum miras, kamu juga menjual miras. Kalau kau tidak percaya, sini lihat pendapatan kami."

Bartender itu lantas mendekati Adelia bersama duo fotografer yang sama-sama sedang menghitung pendapatan mereka hari itu. Betapa terkejutnya bahwa anak yang masih bersekolah di bangku SMA sudah mampu menjual miras dengan pendapatan yang sangat fantastis. Bartender berbadan kekar itu seketika tertarik dan segera memperkenalkan diri untuk membangun relasi. Rencana Adelia untuk memperluas relasi penjualan miras akhirnya berhasil!

Adelia tersenyum iblis ketika bartender itu memberikan kartu nama lengkap dengan nomor telepon dibawahnya.

"SILVER" Bar & Karaoke
Name: Thomas Rex
Age: 30
087xxxxxxxxx

"Kalian bisa memanggilku dengan Rex."

Adelia menjentikkan jari. "Bagaimana dengan T-Rex? Itu lebih sangar dan gahar menurutku sesuai nama depanmu."

Baskara dan Vincent seketika tertawa terbahak-bahak. "Malah lucu. Aku jadi teringat dengan lirik lagu yang ini. Badannya besar, tangannya kecil, kalau mengaum semua langsung kabur! T-Rex, T-Rex itu namanya ...."

"Aku bisa langsung melahap kalian berdua kalau terus meledek. Omong-omong aku sangat tertarik denganmu, Adelia."

"Apa yang membuatmu tertarik, T-Rex?"

"Aku ingin tahu rahasia kalian—"

"Bayar tiga puluh juta rupiah untuk mengetahui rahasia penjualan kami."

"APA?! ITU SANGAT—"

Sebentar, anak-anak jenius ini pastinya tidak akan memberi tahu rahasianya secara cuma-cuma dan karena mereka jenius sudah pasti aku tidak perlu ragu. Rex membatin dalam hati dan ia mengikuti suara hatinya yang dalam untuk merogoh dompetnya dan mengambil kartu elektronik.

"Baiklah, aku percaya kalian. Ini, ambil tiga puluh juta dari kartu elektronik milikku."

Adelia menunjukkan saldo yang sudah masuk di aplikasi e-money. "Tiga puluh juta rupiah sudah masuk. Baiklah, akan kami beri tahu apa rahasia dalam berjualan minuman keras. Vincent, jelaskan padanya."

Vincent batuk-batuk sebentar lantas ia melipat tangannya. "Kau tahu? Menjual miras dengan menunggu pelanggan di bar itu sudah termasuk marketing kuno yang ketinggalan zaman. Kami bukan hanya melakukan transaksi jual-beli tetapi juga memberikan bonus agar para pelanggan kami tidak mudah pergi dan selalu melekat di hati."

"Bonus? Apa bonus yang kalian berikan itu?"

Baskara tersenyum iblis. "Judi biliar."

"Hah?"

"Kami memberikan keuntungan lewat judi kepada mereka yang selalu kalah. Ketika mereka mendapat kemenangan besar, di situ akan ada pemotongan pajak dan uangnya berakhir lagi ke kami."

Rex terdiam sebentar, ia masih mencerna kata-kata yang diucapkan oleh Vincent.

"Puas? Kami harus pergi. Omong-omong terima kasih untuk minumannya."

Ketiganya beranjak dari duduk dan melenggang pergi. Namun, Rex menahan kepergian Adelia.

"Hei! Kalian belum membayar minumannya!"

"Minumannya sudah dibayar dengan rahasia marketing yang sudah kami jelaskan tadi. Bye."

Rex memekik dari kejauhan. "Hubungi aku jika kalian butuh sesuatu!"

Baskara tersenyum penuh kemenangan ketika mereka bertiga berhasil mengelabui bartender minuman itu. Vincent yang sibuk menggulir sosial media sontak saja menunjukkan apa yang barusan ia lihat.

"Sepertinya quotes ini menggambarkan kondisi kita. Pagi-pagi jadi siswa teladan, malam-malam jadi target buronan."

Adelia menatap langit tanpa berhiaskan bintang dan bulan. Tahun telah berganti dan kini ia bukan lagi sosok di tahun lalu.

"Ya, sekarang kita adalah buronan penjahat kelas kakap."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top