The Truth [part 2]

[PART 2]

Han Gi mengeluarkan satu kantong plastik transparan yang berisi barang bukti dari selipan berkas map hitamnya di atas meja. Dia sodorkan kantung itu ke hadapan Jimin, kemudian menunggu reaksinya untuk bicara.

Sementara itu, Jimin memperhatikan isi di dalam kantung itu baik-baik. Ada empat lintingan kecil berwarna coklat yang mirip seperti plester-plester bekas pakai, satu buah ponsel hitam yang layar bagian sudutnya pecah, dan potongan sobekan kain kotor yang dilipat asal-asalan. Saking kotornya, kain itu seakan-akan diambil dari dalam tanah. Jimin, tanpa perlu repot-repot mengalihkan atensinya pada Han Gi, bertanya dengan nada merenung, "Ini apa?"

"Sedikit sampel barang bukti yang bisa kami temukan dari apa yang tersisa di jenazah Gong Joo," kata Han Gi. Dia berdeham sebentar dan memajukan kursinya, kemudian menunjuk satu-persatu benda di dalamnya sambil memberi penjelasan. "Ini adalah bekas plester-plester penutup luka yang dipakai di keempat jari Gong Joo, kemudian ponsel hitam ini adalah milik Nona Mijin yang dia curi untuk disabotase, dan sobekan kain ini sangat dekat hubungannya dengan penanganan medis yang anda terima selama terperangkap di tempat penyekapan," katanya sambil mengerling pada Jimin.

Jimin hanya menatap plastik dan isi di dalamnya dengan penuh konsentrasi.

"Untuk plester-plester bekas pakai ini," kata Han Gi, "memang tidak ada kontribusi besar dalam hubungannya dengan kasus anda, tetapi ini adalah satu bukti yang memperkuat kesaksian dari korban pemukulan beberapa bulan lalu."

"Korban pemukulan?" Jimin mengerutkan alisnya. Sesuatu muncul di benaknya ketika dia berpikir soal itu. "Maksud Bapak, siswi SMA Wangdool?"

Han Gi mengangguk. "Benar sekali," katanya. "Kepala polisi sudah pernah memberi laporan kepada salah satu rekan anda, Saudara Min Yoongi, bahwa pelaku pemukulan adalah seorang perempuan―jauh sebelum kami tahu bahwa dia adalah Gong Joo. Korban juga sempat mengatakan bahwa jari-jemari pelaku yang menghajarnya seperti dilapisi oleh sesuatu. Kami berasumsi, inilah benda yang dimaksud oleh korban itu. Dan seluruh kecurigaan yang mengarah pada saudara Gong Joo terbukti, terlebih saat kami menemukan, di dalam rumahnya, sebuah mesin jahit besar dan bertumpuk-tumpuk pakaian hasil buatan tangan. Sepertinya pelaku sangat menggemari hobi menjahit sampai-sampai dia sering sekali melukai jemarinya sendiri."

"Ah, masuk akal," kata Jimin, mengernyitkan dahi. Dia merenung menatap gulungan plester di dalam plastik sementara pikirannya melayang pada peristiwa saat Taehyung memuntahkan semua kegelisahannya di dalam mobil, jauh sebelum dirinya diculik. Malam itu Taehyung menceritakan mimpinya yang dihantui oleh seorang gadis berpakaian seperti gaun pengantin. Jimin mendadak bertanya-tanya apakah mimpi Taehyung bisa disebut sebagai petunjuk dari masa depan jika secara kebetulan Gong Joo juga membuat gaun pengantin yang sama seperti yang dicirikan Taehyung.

"Kemudian ponsel ini," kata Han Gi, membuyarkan lamunan Jimin, "adalah milik Nona Mijin. Anda pasti tahu tentang perkara sabotase yang membuat manajer anda mengira dia tengah berbincang dengan orang yang benar."

Jimin mengangguk lagi, merasa penuh dengan informasi-informasi yang diberikan Han Gi. Dia melirik satu barang bukti terakhir yang tersisa; potongan kain kumal berlapis lumpur itu. Tiba-tiba saja mulutnya berkata saat ruangan dihinggapi senyap dalam waktu cukup lama.

"Anda bilang," kata Jimin, menunjuk potongan kain di dalam plastik dengan ragu, "ini ada hubungannya dengan perawatan medis yang kudapatkan. Apa maksudnya?"

"Ah, untuk bagian ini, sepertinya sekarang giliran anda yang bercerita," ujar Han Gi. Jimin melebarkan matanya menuntut penjelasan, lalu polisi itu cepat-cepat melontarkan pertanyaannya. "Apakah anda tidak menemukan keanehan apapun yang berkaitan dengan luka sobek di kaki anda?"

Kesenyapan mengalir dalam ruangan sementara Jimin membiarkan dirinya untuk berpikir.

"Pertama kali aku terbangun di tempat penyekapan, kudapati kaki kananku terluka." Jimin memulai dengan hati-hati. Han Gi memasang tampang tenang dan merespon dengan anggukan setiap kali bersinggung tatap dengan anak itu.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya, tetapi yang terpenting dari semuanya, luka itu sudah dibalut perban," lanjut Jimin. "Kemudian, ketika aku kabur dari tempat itu dan berlari ke dalam hutan, lukaku terbuka lagi dan darah yang sangat banyak merembes hingga menembus perban. Kupikir aku akan mati saat itu, sebab...."

Kata-kata Jimin terpotong ketika dia tiba-tiba saja mengingat sesuatu di dalam kepalanya.

Han Gi menyadari perubahan ekspresi Jimin dan bertanya, "Saudara Park, anda baik saja?"

"Aku ... sempat jatuh tidak sadarkan diri," kata Jimin pelan. Ketegangan di dalam perutnya perlahan surut dan Jimin mulai bisa mengendalikan dirinya saat mencoba menggabungkan seluruh kejadian di dalam kepalanya. "Aku ... hanya memanfaatkan kesempatan untuk lari dari tempat penyekapan dan memasuki hutan, tanpa tahu ke mana harus pergi. Di tengah jalan aku tersesat dan sudah tidak mampu lagi untuk berdiri. Kakiku sudah membengkak parah dan darah masih terus mengalir. Saat kupikir aku telah mati, aku justru kembali terbangun di dalam sebuah gua bersama Taehyung. Tetapi yang sangat aneh saat itu adalah ... luka di pahaku sudah terobati lagi. Seseorang mengganti perbannya, dan ketika kutanyakan kepada Taehyung, anak itu tidak tahu apa-apa."

Han Gi menyipitkan matanya, mendengarkan kesaksian Jimin baik-baik.

"Kain ini punya jenis serat yang sama dengan perban yang kami temukan di kaki anda," kata Han Gi, menunjuk potongan kain di dalam plastik. "Pada pakaian pelaku juga ditemukan bekas robekan yang sama, yang memperkuat asumsi saya tentang orang misterius yang mengganti perban anda di tengah hutan. Dia adalah Gong Joo, sang pelaku sendiri."

Jimin menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin," katanya tegas. "Kalau dia menemukanku di tengah hutan, seharusnya dia membawaku kembali ke tempat penyekapannya."

"Seharusnya demikian," kata Han Gi, mengetuk-ngetukkan jarinya pada sudut meja. Dia berpikir pertanyaan ini akan mudah dijawab seandainya Gong Joo masih hidup dan bisa bicara untuk memberi kesaksian, tapi wanita itu telah tiada dan dia harus terus berspekulasi untuk memecahkan misteri. "Mungkin saja," lanjut Han Gi pelan, "malam itu pelaku menyadari kesalahannya dan dia sadar bahwa tak ada lagi jalan keluar, sehingga menolong anda adalah cara terakhir yang bisa dilakukannya untuk menebus kesalahan."

"Menolongku untuk menebus kesalahan?" Jimin merasakan sudut bibirnya terangkat.

"Ya, pada beberapa kasus, itu bisa saja terjadi."

Jimin hanya menatap Han Gi hampa.

Omong kosong.

Han Gi kembali menanggapi ketika menangkap ekspresi Jimin yang menunjukkan seakan-akan dia baru saja membual. "Nak, pelaku kejahatan kadang memiliki kondisi pikiran yang tidak stabil. Tindakannya sangat dipengaruhi oleh situasi dan suasana hati. Mungkin, inilah yang terjadi pada Gong Joo."

"Memang apa yang tidak kuketahui dari alasannya?" tanya Jimin melalui gigi-gigi yang dikeretakkan, sambil mencengkeram tepi meja dengan kedua tangannya hingga kuku-kuku jarinya memutih. "Itu hanya sekedar pendapat anda saja, Pak." Dia melanjutkan dengan muram.

"Oh, tidak, Nak," tukas Han Gi, menepuk permukaan meja dengan pelan. "Aku bukan berpendapat secara mentah, melainkan memberikan asumsi yang kuat berdasarkan bukti."

Jimin sekali lagi menatap sobekan kain di dalam kantung dengan berlapis-lapis perasaan tidak menyenangkan yang melanda. Rasanya semua ini keliru, dia berpikir baik-baik dalam benaknya.

"Apabila hal yang dibicarakan anda benar," kata Jimin, masih diliputi desakan amarah dan getir ketidakpercayaan, "bahwa Gong Joo mulai menyadari kesalahannya di detik-detik terakhir ketika dia melihatku tersesat dan terluka di dalam hutan, mengapa dia tidak membawaku pergi dan menyerah kepada polisi? Anda menembaknya karena dia tidak mau melepaskanku, bukan?"

"Nak, tidak mudah bagi seseorang untuk cepat sadar sepenuhnya dari doktrin paham sesat yang diajarkan," Han Gi menukas dengan sabar. Dia melanjutkan penjelasannya saat melihat Jimin yang tidak memberikan reaksi apa-apa. "Gong Joo bersikap demikian dan tampak begitu jelas mengulur-ngulur waktu untuk menunjukkan kepada kita bahwa dia sedang bergumul dengan benaknya sendiri, sebab sulit bagi seseorang untuk bisa lepas dari pengaruh yang selama ini mengikatnya dan beralih pada kebenaran yang selama ini bersembunyi di balik tirai. Gong Joo tahu betul kesalahannya, akan tetapi dia tidak menemukan alasan untuk berhenti melakukannya. Dia sudah terperosok jauh ke dalam jurang dan kesulitan mencapai cahaya. Kau tahu maksudku?"

Jimin menatap ke dalam mata Han Gi dan tidak berkata apa-apa. Dia bisa mendengarkan sebuah suara kecil di dalam hatinya memerintahnya untuk tenang, sebab segala penjelasan Han Gi entah bagaimana membuka salah satu lorong ingatannya, membawanya pada kilas balik masa lalu yang seharusnya terkubur bersama rasa sakit yang dia alami.

"Aku memberitahu Gong Joo sebuah rahasia." Jimin berkata dengan hampa.

Keheningan di dalam ruangan kembali menyapa. Baik Jimin maupun Han Gi tidak ada yang membuat suara. Bahkan detik jarum jam seakan tenggelam dalam senyap yang tak berkesudahan.

"Jimin," kata Han Gi dengan pelan. "Apa yang kau katakan kepada Gong Joo?"

"Malam itu," kata Jimin, "saat aku sekarat di tengah hutan, kupikir aku sedang berilusi melihat Gong Joo yang menatapku begitu sedih. Aku tidak seberapa ingat tentang keseluruhan apa yang kubicarakan, tetapi aku memberitahunya ... tentang rahasia yang kudengar diam-diam dari percakapan dua orang penjahat."

"Apa tepatnya yang kau beritahukan?"

Jimin menutup matanya sejenak dan berusaha keras mengingat-ingat.

"Aku menyuruhnya untuk menyerah, dan ... memperingatinya tentang sesuatu, bahwa akan ada banyak orang yang mati sebab mereka akan membunuh semuanya."

"Sepertinya kita mendapat jawabannya, Nak." Han Gi berkata dengan lembut. Dia membuka-buka lembar berkas di depannya dan menarik selembar kertas catatan, membacanya sejenak dan melanjutkan bicara, "Pada malam tertembaknya Gong Joo, kami tidak hanya menemukanmu dan juga Taehyung. Berada di tempat yang sama, di padang rumput itu, ada sepuluh orang korban penculikan lain yang ikut kabur bersama kalian."

Jimin sudah mendengar cerita itu di hari kedua setelah dia sadarkan diri di rumah sakit, jadi kali ini dia hanya akan mendengarkan dan mengangguk saja.

"Setelah penyelamatan usai, kami menginterogasi salah satu korban yang keadaan mentalnya tampak lebih baik dibandingkan yang lain," kata Han Gi. Jimin menyipitkan matanya dan dia menambahkan penjelasannya. "Para korban itu―mereka semua kacau dan panik. Mereka melihat kami, tim kepolisian, sebagai ancaman dan tidak mau dekat-dekat."

"Singkat cerita, saat kami menginterogasi orang itu, dia menceritakan potongan-potongan kejadian yang terjadi sebelum kelompok korban sampai di padang dalam situasi yang mencekam dan diliputi oleh ketakutan yang amat mengerikan. Katanya, sebelumnya, ada seorang kawannya yang datang dan menyuruh para korban untuk cepat melarikan diri dari tempat penyekapan. 'Orang itu bersikeras memaksa kami untuk pergi!' aku ingat dirinya bersaksi dengan ekspresi dipenuhi teror. Sayangnya yang lain mengabaikan perintah itu, lalu keributan mulai muncul. Selang beberapa saat, salah satu penjahat yang mendengar kekacauan tahu-tahu mengeluarkan pistol dan hendak menembak mereka supaya tutup mulut. Keadaan menjadi sangat ricuh. Para korban menjadi panik dan sebagian dari mereka bertingkah murka dan agresif. Satu orang penjahat itu dilumpuhkan dengan paksa, lalu mereka berbondong-bondong keluar dari tempat itu dan berlari ke hutan terbuka, mencari jalan keluar, dan muncul di padang beserta komplotan penjahat yang mengejar mereka menaiki mobil."

Jimin merasa seolah-olah ketegangan yang berkali-kali lipat lebih besar mencengkeram perutnya, membuatnya sesak untuk bernapas.

"Apakah orang yang memerintahkan mereka untuk melarikan diri dari tempat penyekapan adalah Gong Joo?" Dia bertanya, agak gemetar.

"Kemungkinan besar, iya." Han Gi mengangguk pelan. Dia menatap mata Jimin yang balik memandangnya dengan luapan perasaan keheranan yang besar, kemudian melanjutkan. "Hal ini mungkin terjadi sebab anda memberitahu Gong Joo tentang rahasia besar para penjahat itu."

"Tapi aku tidak memberitahunya seluruh informasi," kata Jimin. "Bagaimana mungkin Gong Joo bisa mengartikan itu semua dan menarik kesimpulan bahwa seluruh nyawa mereka beserta dirinya ada dalam bahaya? Gong Joo ada di bawah pengaruh cuci otak!"

"Kukatakan lagi, Nak," kata Han Gi, menatap Jimin dengan yakin, "memang sulit bagi seseorang untuk cepat sadar sepenuhnya dari doktrin paham sesat yang diajarkan, tetapi itu bukan berarti mereka tidak bisa melakukannya."

Jimin memandang kepada Han Gi dan melihat seulas senyum hadir di wajah polisi itu. Dia membiarkan kata-kata terakhirnya membanjiri satu ruang di dalam benaknya yang selama ini mencegahnya untuk berpikir bahwa Gong Joo bukanlah manusia sampah yang hanya mengandalkan kenekatan demi secercah kebahagiaan.

-oOo-

Mijin tidak tahu sudah berapa lama dia terduduk di salah satu bangku kedai roti langganannya dan membolak-balik buku catatan Gong Joo sampai dia sangat ingin meluapkan kesedihannya dengan menangis kesakitan. Perasaan itu membungkus dirinya begitu erat dan Mijin tidak bisa melewatkan sedetikpun untuk menahan benaknya kembali ke masa lalu, sebab catatan itu bercerita kepadanya tentang riwayat kehidupan Gong Joo yang begitu gelap, yang kedalamannya terasa sama jauhnya dengan bulan.

Sebuah ketukan pelan di mejanya membuat Mijin hampir terlonjak kaget. Dia dongakkan kepalanya dan melihat, seorang pramusaji yang membawa nampan berisi secangkir kopi panas dan sepiring panekuk madu, tersenyum dan menatap kepadanya. "Anda tampaknya melewati hari yang buruk," kata sang pramusaji, sambil meletakkan pesanan Mijin di atas meja.

"Oh, saya hanya agak lelah," jawab Mijin.

"Bertengkar dengan pasangan membuat suasana hati anda buruk, bukankah begitu?" pramusaji itu mendekap nampannya di dada, terkekeh kering.

"Ya?" Mijin menaikkan alisnya, bingung.

Tanpa menunjuk sesuatu di belakang Mijin, pramusaji itu memberi kode lewat kedipan mata. Mijin mengenyitkan dahi dan memutuskan untuk menoleh sedikit, melirik ke belakang bahunya, lalu tercengang hingga tak mampu berkata apa-apa saat melihat manajer Sejin di ujung ruangan café, berjalan menghampirinya. Tampangnya cemas dan kikuk, seakan-akan dia baru saja bertemu pandang dengan orang asing yang ditemuinya di kencan buta.

"Sejin-ssi?" kata Mijin, terdengar tidak percaya.

Pramusaji di samping Mijin memutuskan untuk pergi dan meninggalkan pelanggannya untuk berbincang. Sebelumnya, terdengar batuk kecil diselingi dehaman yang kedengarannya seperti kata-kata, "Dasar pasangan jaman sekarang."

Manajer Sejin mengambil kursi di depan Mijin, lalu duduk dengan canggung. Dia tidak bicara apa-apa sampai Mijin memutuskan untuk memulai.

"Bagaimana anda bisa kemari?"

Mijin memperhatikan manajer Sejin lamat-lamat. Ada semacam perasaan sedih bercampur penyesalan yang membungkus dirinya, membuat dadanya sesak setiap kali melihat laki-laki itu dari jarak dekat.

Bagaimanapun, peristiwa beberapa minggu lalu telah menyeretnya ke dalam jurang rasa bersalah yang kuat. Mijin tidak bisa menekan perih dalam dadanya meskipun dia sudah memutuskan untuk keluar dari agensi dan menolak untuk bertemu siapapun hanya untuk memperbaiki hidupnya. Dia tidak pernah bisa tahan dengan suasana ini dan akan terus berlalu seperti demikian. Masa lalu menjeratnya dan Mijin tidak bisa bernapas tenang untuk menyambut masa depan.

"Aku mencarimu belakangan ini," kata manajer Sejin, terdengar seperti menggumam. "Kudengar dari anak-anak, kau suka sekali pergi ke café ini, jadi aku sempat berharap tempat ini menjadi tempat terakhir yang kukunjungi setelah hampir putus asa mencarimu ke manapun."

Mijin meraih gelas kopi di depannya dan menyesapnya sedikit, lalu berdesis rendah saat merasakan sengatan pahit yang menyebar di dalam lidahnya. Ada getir rasa pahit yang tertinggal di hatinya saat dia mengatakan hal ini, "Untuk apa anda mencariku?"

"Memang tidak boleh bila aku mencarimu?"

"Aku hanya penasaran," kata Mijin, menurunkan nada bicaranya menjadi pelan, "mengapa anda masih bersedia mencari tahu kabarku sementara orang-orang yang lain tidak mau tahu kemana aku pergi."

Manajer Sejin terdiam sejenak. Dia memandang Mijin yang tengah menundukkan kepala, menatap cangkir kopi di depannya dengan tidak minat. Tangan kanannya terhampar lesu di meja, di atas sebuah buku merah yang kelihatannya sudah usang dan ketinggalan jaman sekali. Ada sesuatu yang mendorong manajer Sejin untuk menyentuh jemari Mijin, tapi dia tidak mengijinkan perasaan itu mengalir memenuhi benaknya.

"Kau keliru," kata manajer Sejin, bertekad tidak akan menyerah untuk membuat Mijin berhenti menyalahkan dirinya. "Kami semua merindukanmu, dan kesalahan yang paling nyata di antara kita adalah dengan membiarkan dirimu pergi tanpa menerima tanggapan kami. Kau tidak seharusnya keluar dari agensi dan memutus hubungan dengan kami semua, Mijin. Ini tidak adil bagi kami yang masih menginginkan keberadaanmu."

Mijin memalingkan muka ke sisi sebelah kanan, enggan menatap mata manajer Sejin. Sesungguhnya, mendengar suaranya saja membuat hati Mijin serasa diremuk-remuk. Bagaimana mungkin dia tahan berada di sekeliling orang-orang yang sudah dia kecewakan? Mijin tidak mau bersikap munafik untuk hal ini.

"Para member menanyakan kabarmu terus-menerus," kata manajer Sejin. "Taehyung bilang dia ingin meminta maaf kepadamu karena pernah membuatmu menangis, meskipun alasan yang dia terima tak cukup untuk meredakan kemarahannya pada bukti keterlibatan Gong Joo, tetapi dia dengan sangat tulus memaklumi hubunganmu dengan wanita itu dan menganggap kalian berdua memiliki perbedaan pandangan yang begitu jelas. Taehyung tidak mau melihatmu dengan cara yang sama seperti dia melihat sisi buruk Gong Joo."

"Gong Joo bukan orang buruk," tukas Mijin dingin, "Dia hanyalah orang yang terjebak dalam dunianya yang dipenuhi duri dari masa lalunya yang amat mengerikan, lalu tumbuh menjadi wanita yang dikekang oleh pandangan-pandangan menyimpang dan tidak bisa lepas dari semua itu sebab dia tak memiliki apapun untuk melawan."

Mijin mencengkeram buku di tangannya sampai-sampai dia merasakan sakit di ujung jarinya. Manajer Sejin mengamati hal itu dan membaca sekilas tulisan di sampul merahnya, lalu berbicara dengan hati-hati, "Apakah itu buku harian Gong Joo?"

Mijin mengangguk.

"Dia menumpahkan setiap gram kehidupannya yang merana ke dalam buku ini," kata Mijin sedih. "Tulisan di dalamnya begitu terbuka, seakan-akan buku ini adalah refleksi dirinya yang berbicara kepadaku, yang melolongkan permintaan untuk tetap peduli kepadanya sekalipun dunia menolaknya dengan cara yang kejam."

"Manusia memang penuh teka-teki," ujar manajer Sejin lembut. Dia melihat tangan gemetar Mijin yang menangkup buku di atas meja dan kepikiran untuk menggenggamnya alih-alih bicara, akan tetapi dia mengurungkannya dan menambahkan, "terkadang, kau tidak bisa mengklaim karakter seseorang hanya berdasarkan pengalaman yang kau lihat dari perspektifmu saja. Manusia punya banyak sekali sisi hidup yang tidak mereka tampakkan, ketakutan dan kegelisahan, kemarahan dan keegoisan, serta kebaikan dan ketulusan. Apa yang mereka sengaja pendam pasti dipenuhi oleh alasan, kau tidak bisa menyangkal sifat manusia yang seperti itu."

"Apa gunanya anda berbicara seperti itu?" Mijin membalas dengan setengah mendengus. "Gong Joo telah tiada, dan sampai detik ini hanya aku yang peduli kepadanya. Tetapi anda berbicara seakan-akan di sini akulah yang salah karena tidak mengerti Gong Joo!"

"Siapa yang berpikir seperti itu?" Manajer Sejin membantah dengan agak tersakiti. Dia tidak mempedulikan sekitarnya lagi dan langsung meraih tangan Mijin, menggenggamnya erat sampai-sampai wanita itu terhenyak dan tidak bisa berkata apa-apa. "Justru di situlah titik buta kita sebagai manusia, Mijin. Kita semua tidak mengerti Gong Joo karena kita bukan dirinya."

Mijin memandang dengan tampang murung.

Manajer Sejin melanjutkan dengan berhati-hati, "Mirip sekali dengan apa yang kau lakukan sekarang, bukan? Kau pergi dan mengasingkan diri dari duniamu yang dulu, menyembunyikan seluruh lukamu dan memendamnya sendiri. Lalu apa yang kau harapkan atas kehidupanmu yang seperti ini?"

Mijin hanya diam tanpa bisa berkata apapun. Dia tidak tahu apa yang salah dengan dirinya. Rasa malu mendorongnya untuk bersembunyi dari dunia dan meluapkan jeritan hatinya dengan cara yang salah. Dia memandang manajer Sejin yang sekarang menatapnya penuh kecemasan, kemudian tiba-tiba Mijin merasa bahwa laki-laki di depannya ini juga menanggung kegelisahan yang sama seperti yang dia rasakan pada Gong Joo.

"Maafkan aku." Mijin akhirnya berujar lirih.

Manajer Sejin menggenggam tangan Mijin lebih erat, kemudian, seperti tiba-tiba sadar dengan kelakukannya, dia melepas tangan wanita itu dan cepat-cepat mengusap tengkuknya sendiri. "Aku juga minta maaf―karena―uh, tidak bermaksud menyentuhmu," kata manajer Sejin terbata, telinganya memerah.

Keheningan yang canggung melingkupi meja kecil mereka berdua dan baik Mijin maupun manajer Sejin sama-sama tenggelam dalam suasana senyap itu.

-oOo-

Malam yang menyenangkan terasa muncul secara mendadak di dalam dorm ketika manajer Sejin tahu-tahu datang bersama Mijin, yang melangkah ragu dan tampak malu-malu memandang wajah para laki-laki muda di depannya.

Hoseok yang membuka pintu dorm saat itu tampak kaget bukan main dan memanggil seluruh anggota dengan keantusiasan yang tinggi, diikuti, beberapa detik setelahnya, langkah-langkah terburu dari arah ruang tamu dan gedebuk-gedebuk langkah besar dari arah tangga. Namjoon tidak sengaja menabrakkan jempol kakinya ke rak sepatu besar di samping koridor pintu masuk dan mengaduh kesakitan, tapi ketika melihat wajah Mijin yang menatapnya khawatir, dia langsung memasang wajah tenang dan berkata semuanya baik-baik saja.

Mijin menyerahkan dua kotak besar kue kepada Seokjin yang disambut dengan luapan terima kasih, kemudian dia menuntun wanita itu duduk di atas sofa tanpa memperhatikan pandangan manajer Sejin yang tampak agak terganggu dengan dorongan lembut Seokjin di bahu Mijin.

Ada kehangatan yang timbul ketika semuanya hadir di dalam ruangan dan mulai bercerita ringan. Terutama bagi Mijin, dia merasa senang ketika mereka semua membicarakan hal-hal yang lain, atau ketika dia duduk diam sementara Hoseok dan Seokjin sama-sama membicarakan sesuatu yang konyol dan semua tertawa atas tingkahnya.

Mereka semua telah sampai pada kesepakatan tak tertulis di mana tak ada seorangpun yang mengutarakan dalam kata-kata, atau menyinggung dalam kode kedipan mata dan gerakan-gerakan yang mengasumsikan kecanggungan atas hadirnya Mijin dan hubungannya dengan peristiwa masa lalu. Kenyataan ini membuat Mijin merasa lebih diterima dan leluasa dalam berbaur di antara mereka.

Satu-satunya topik yang membuat wanita itu merasa tidak nyaman adalah, ketika Yoongi, yang sedari tadi kelihatannya hanya duduk diam mengamati Taehyung dan Jungkook yang sedang bermain catur, tahu-tahu menunjuk Mijin dan manajer Sejin secara bergantian, lalu berbicara dengan nada serius.

"Kalian berdua berpacaran, ya?"

Manajer Sejin yang tengah meminum tehnya langsung tersedak dan terbatuk-batuk, sementara Mijin yang duduk di sebelahnya hanya mematung tanpa bisa berkata apapun.

"Tidak tahu apa maksudmu," jawab manajer Sejin, melap mulut dengan sapu tangan dan menghindari tatapan mencurigakan Yoongi. Dia bersandar di sofanya dan mengamati, masing-masing dari mereka bertujuh, menatap dirinya dengan tampang yang dipenuhi rasa ingin tahu.

"Kami tidak ada hubungan apapun!" manajer Sejin membantah dengan keras, sampai-sampai kedua kupingnya memerah. "Kami bersumpah!"

Dia mengatakan hal itu tanpa menaruh perhatian pada tangan kirinya yang kini bersilang jari dan tersembunyi di balik punggungnya.[]


-oOo-

Sampai jumpa di karya saya selanjutnya :)









*bagi yang belum tahu, simbol menyilangkan jari itu punya beberapa makna. salah satunya memiliki arti melanggar sumpah/berbohong.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top