9 - The Collision

Benturan


.

.

.

Malam di mana konser musik Wings Tour hendak dimulai, satu jam sebelum penampilan, Jimin terlihat tengah melangkah terburu di koridor lenggang gedung paling barat yang berhadapan langsung dengan arena belakang panggung. Terlepas dari kenyataan jadwal acara yang bahkan belum dimulai, rupanya kegelisahan sudah menjejak dari rautnya yang tampak tegang. Helai rambut berwarna pirangnya tampak mencuat berantakan. Bibirnya pucat, dan jantung di balik rusuknya sudah berdentum tak keruan.

Tubuhnya bereaksi sebelum pikirannya bekerja, dan Jimin dengan derap kaki cepatnya sudah berlari masuk ke dalam kamar rias, kemudian menghempaskan tubuhnya di atas sofa panjang, menarik napas kuat-kuat dan mendesahkannya dengan berat. Udara dalam paru-parunya seakan dilolosi keluar, terengah-engah. Dia susah payah meredam histeria yang memuncak dalam dirinya.

Jimin seperti mendengar seseorang memanggil namanya, tetapi dia bahkan sama sekali tak mendongak untuk melihat siapapun itu. Sampai pada detik dimana rasa takut berangsur-angsur hilang, detak jantungnya melambat. Dengan lebih jelas dia merasakan seseorang memijat tengkuknya dengan lembut, lantas membuat segalanya tampak lebih tenang. Walau demikian, Jimin kukuh menunduk, meringkuk seperti anak kecil yang ketakutan.

"Jim, apa yang terjadi?" tanya Taehyung, yang berdiri di belakang Jimin selagi dia menyibukkan diri memijat tengkuk anak itu. Beberapa saat dia tak kunjung mendapatkan jawaban, derap langkah kecil-kecil kemudian terdengar dari belakang. Taehyung berpaling, lalu melihat lima anggota yang lain mendekat ke arah mereka dengan tampang cemas bercampur ingin tahu.

"Ada apa? Kenapa Jimin?" tanya Hoseok seraya langsung mendudukkan tubuhnya di lengan sofa sebelah Jimin. "Noona, boleh minta tolong ambilkan air?" Hoseok memohon pada seorang staf wanita yang baru saja datang dan merasa terkejut melihat kondisi Jimin. Staf itu sempat mengangguk kecil sebelum berbalik pergi mengambilkan air.

"Jim, kau kenapa?" kata Seokjin, berteriak tidak sabar. "Jangan buat kami ketakutan, apa ada sesuatu yang buruk terjadi?"

Beberapa staf yang tadinya tidak paham situasi jadi ikut mendekat ingin tahu.

"Aku ...," Jimin mendongak, lalu terhenyak saat semua orang kini memandangnya dengan tampang khawatir. Seseorang menghapus keringat di pelipisnya dengan tisu, tetapi Jimin sama sekali tak mengikat perhatian kepada siapapun itu. Kepalanya penuh dengan bayangan sosok yang merampas rasa nyamannya hanya dalam sepersekian detik.

"Ini, minum dulu," kata seorang staf wanita, dan Jimin langsung meneguk habis botol air itu.

"Cerita, Jim," kata Taehyung.

Lalu Jimin membuka mulutnya.

"Sepertinya aku melihat hantu, tapi aku tidak yakin karena itu berlangsung cepat," kata Jimin. Matanya menatap gelisah wajah-wajah yang berdiri di depannya. Semua member ada di sana, beserta tiga orang staf dan manajernya.

"Hantu? Di mana?" tanya Namjoon.

"Di dalam aula belakang panggung dekat toilet," jawab Jimin, tak bisa berhenti gemetar. "Selepas aku keluar toilet dan hendak kemari, ada hantu perempuan yang muncul. Dia memandangku dari balik pintu sambil tersenyum, kemudian langsung hilang bahkan sebelum aku sempat berkedip."

"Masa sih yang kaulihat itu hantu?" kata Hoseok yang mengusap tengkuknya, diam-diam merasa merinding juga. "Kau yakin dia bukan salah satu staf yang sedang bekerja?"

Jimin menggeleng ragu. "Entah, aku juga tak yakin," lirihnya. "Dia ada di dalam ruangan yang gelap, menatapku melalui celah pintu, lalu tiba-tiba ... bayangan wajahnya lenyap begitu saja."

"Astaga Jim, kupikir ada apa!" Taehyung mengibaskan tangannya di udara, tanda bagi Jimin untuk berhenti membayangkan yang tidak-tidak. "Coba kau pikir baik-baik, hantu itu tak ada, jangan ngawur. Dia pasti salah satu kru acara atau petugas keamanan. Mereka sering terlihat berjaga di tempat-tempat kosong untuk memastikan tak ada orang asing yang menyelinap masuk."

"Taehyung benar," sahut manajer Sejin dengan suara yang lebih kalem. "Kau mungkin hanya salah lihat karena lampunya padam."

Semua member mengangguk mengiyakan pendapat manajer. Seorang staf wanita yang tadi mengusap keringat di dahi Jimin tertawa kecil sebelum memutuskan berbalik badan dan pergi. Dua orang staf sisanya menatap Jimin geli, rupanya mereka punya pikiran sama yang menganggap ketakutan Jimin hanya sebuah kesalahpahaman. Pendapat manajer Kim dan juga Taehyung adalah asumsi yang paling masuk akal.

"Tapi dia ...," Jimin tak menyelesaikan kalimatnya. Di dalam kepalanya, seakan-akan ada sebuah skrup yang diputar, memorinya kembali ke beberapa menit yang lalu, di mana langkahnya dibuat membeku oleh bayangan seorang wanita yang memandangnya dari balik celah pintu. Dalam kegelapan, wajah itu terasa asing. Kepanikan membuatnya hampir tak mengingat lagi keseluruhan rupanya, kecuali sorot kelam bak jelaga yang menatap lurus ke dalam matanya tanpa berkedip. Jimin masih gemetar takut saat membayangkannya lagi.

Sosok yang melihatnya jelas seorang wanita, walau entah bagaimana dia tak bisa memastikan hal itu. Jimin hanya ingat sepotong kecil dari ingatannya. Yang ada di kepalanya hanyalah sorot dingin mengerikan yang tersembunyi di balik tirai rambut panjang dan berantakan. Bila asumsi 'seorang staf' itu muncul, mengapa dia harus berwajah seram dan berambut berantakan?

"Aku tidak yakin kalau dia seorang staf," sambung Jimin. "Untuk ukuran karyawan, wajah seperti itu terlalu berlebihan."

"Memang seperti apa yang kaulihat?" tanya Jungkook.

Jimin mengaruk lehernya dengan gelisah. "Um ... pokoknya seram," katanya. "Matanya seperti dua bola kelereng besar yang hitam, dan ketika aku melihatnya, dia tersenyum lebar sekali. Aneh sekali, tampaknya dia menginginkanku untuk menatapnya balik."

"Jim, kau tak perlu ketakutan seperti itu," potong Taehyung seraya bermain-main dengan mencolek pipinya. "Meskipun mungkin yang kau lihat adalah benar, memang apa yang bisa hantu lakukan pada dirimu? Mereka bahkan tak bisa menyentuhmu!"

"Ahli metafisika punya penjelasan sendiri mengenai keberadaan hantu," sahut Namjoon yang kini sudah berkacak pinggang sambil berdecak meremehkan memandang Jimin. "Mereka bilang, hantu itu tidak bisa dilihat karena eksistensi mereka tidak terikat dengan unsur jasad manusia dan gravitasi bumi. Kau baru bisa mendeteksi keberadaan mereka apabila sudah menerapkan praktik fisika kuantum dengan metode pemecah gelombang ...."

"Hei, sudah cukup! Kau pikir siapa yang mau dengar kelas fisika keparatmu malam-malam begini?" Seokjin menendang bokong Namjoon dengan main-main. "Hantu memang tidak kasat mata, tapi bukan berarti Jimin bersalah karena melihat sesuatu yang tidak seharusnya. Nah, Jim," Seokjin berpaling kepada Jimin, "kau bilang dia muncul di arena belakang panggung, 'kan?" Jimin mengangguk, kemudian Seokjin meneruskan. "Kalau begitu, barangkali yang kaulihat adalah salah satu stage-creator staff."

"Apa? Sta―apa?" Hoseok mengernyitkan dahinya.

"Staf yang bertanggung jawab di bagian properti panggung," kata Seokjin dengan lagak sok pintar. "Lusa depan ada acara besar yang diselenggarakan di tempat ini," Seokjin setengah melirik pada manajer Kim sebelum melanjutkan kalimatnya, "Mereka mulai mempersiapkan banyak dekorasi untuk desain panggung. Aku tadi melihat beberapa staf gotong royong membawa properti besar-besar dan berat. Salah satu di antara mereka bilang kalau semuanya harus dikumpulkan di aula kosong dekat backstage. Pendapatku bilang, kau melihat salah satu dari mereka ketika sedang berada di dekat aula."

Jimin hanya memandang Seokjin tanpa berkedip. Bibirnya terbuka, namun ia tak yakin dengan sesuatu yang hendak diucapkannya. Walau di dalam hatinya firasat aneh itu terus ada, ia tak bisa membantah pendapat Seokjin. Sesuatu di balik selubung instingnya mulai menyerah, memaksa dirinya untuk menerima gagasan itu ketimbang membuat masalah menjadi runyam.

Sementara manajer Sejin memeriksa jam tangannya, kemudian dia berceletuk, "Anak-anak, setengah jam lagi acara dimulai, bersiaplah di belakang panggung."

Taehyung bangkit berdiri, kemudian mengulurkan tangannya pada Jimin. "Ayo kita pergi," katanya. "Tak ada yang perlu kau takutkan, kami ada bersamamu."

Dan Jimin menyambut tangan itu, memandangi wajah Taehyung yang menatapnya begitu lembut, dengan segala macam kata-kata tak terucap yang masih menggantung di bibirnya.

-oOo-

Konser selama dua jam setengah itu berlangsung menakjubkan. Sorak-sorai penggemar yang menggema hingga dinding luar Gocheok Skydome membuat ketujuh member BTS berdecak kagum dan tertawa bahagia. Jimin bahkan sudah kehilangan kecemasannya semenjak menit pertama langkahnya menapak di lantai panggung. Pada pukul sepuluh malam, di tengah pendar lautan galaksi army bomb, diiringi nyanyian penutup dan bunga-bunga yang disebar hingga ujung arena konser, acara ditutup, satu persatu member keluar dari lubang kecil di bawah panggung yang berhubungan dengan pintu masuk ruang tunggu.

Jimin menjadi yang pertama keluar dari backstage. Helai rambutnya yang basah karena keringat menggantung lepek di dahinya. Senyum merekah di wajahnya yang merona merah karena dilanda euphoria. Dia berjalan ringan dan cepat, diikuti dibelakangnya, Taehyung dan Hoseok, yang keduanya sama rata merasakan sisa-sisa kemeriahan malam konser. Taehyung menghampiri Jimin, meraih bahu sempit itu dan menariknya mendekat ke bahunya. Hoseok melakukan hal yang sama setelah itu, namun di sisi yang berlawanan dengan Taehyung. Ketiganya berjalan berdampingan menuju ruang rias.

Setelah sampai, Jimin langsung melepaskan rangkulan dari keduanya karena melihat seorang wanita yang tengah berbincang serius dengan manajer mereka di sudut ruangan. Jimin menerobos beberapa staf yang ada di depannya, nyaris terpeleset sebuah handuk yang jatuh di lantai, sebelum langkah kedua tungkainya membawanya berdiri tepat di depan wanita itu.

"Noona, tumben kau datang di acara kami!" seru Jimin ketika Mijin menoleh melihatnya. Wanita itu tersenyum samar, lalu dengan gaya khasnya yang selalu melipat tangan di depan dada, dia menatap Jimin dengan agak mendongak, dan berbicara, "Ketahuilah untuk siapa dan untuk apa aku datang kemari, bocah nakal."

Alis Jimin menukik keatas sampai hilang ditelan poni. Dia menatap manajer Sejin di depannya, lalu atensinya kembali beralih pada Mijin, selagi satu tangannya mengacung menunjuk dadanya. "Untuk melihat kami?"

Taehyung dan Hoseok tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang mereka. Taehyung menjitak kepala Jimin pelan, lalu berkata, "Keparat bodoh! Noona kemari sudah pasti ingin membicarakan insiden kaburmu semalam bersama manajer."

Belum sempat Jimin membuka mulut untuk menyangkal, Hoseok dengan cepat langsung menyela sesuatu, "Noona, kami minta maaf karena sudah merepotkan Noona dan membawa-bawa Noona dalam masalah ini," katanya sambil sedikit menunduk. "Jimin kami yang idiotnya luar biasa ini begitu lalai dan ceroboh. Segala sesuatu yang dikerjakannya tak pernah benar. Dia sudah membuat keputusan paling buruk sepanjang hidupnya dengan mencoba kabur dari kami dan hendak menggantungkan hidupnya pada Noona yang tak tahu apa-apa. Sekali lagi maafkan kami."

Mijin tersenyum lebar. "Aku mengerti keadaan kalian, jadi jangan berpikir untuk sungkan kepadaku setelah masalah itu."

"Lain kali jangan diulangi lagi, Jim," kata manajer Sejin sambil berkacak pinggang. "Pikirkan juga keadaan orang lain yang mungkin saja akan bernasib lebih buruk darimu. Mijin-ssi bisa saja menjadi tertuduh utama yang disangka menculik dirimu bila saat itu kami memutuskan untuk lapor polisi."

"Polisi hanya menerima laporan orang hilang yang sudah empat puluh delapan jam tak kelihatan batang hidungnya." kata Jimin sambil mencebik lucu. Mijin merasa gemas dan mengusak surai laki-laki di depannya sambil berkata, "Kalau kau tidak setampan ini, mungkin aku sudah menginjak-nginjak mukamu sampai gepeng, dasar anak nakal!"

"Noona, aku minta maaf―aduh, rambutku rontok!" kata Jimin sambil berusaha menyingkirkan tangan Mijin dari kepalanya.

"Lihat siapa yang bersikap sok di sini," Hoseok memulai dengan nada memojokkan. Mijin menghentikan gangguannya dan menatap Hoseok dengan penuh minat.

"Noona, kau harus tahu, sekitar tiga jam lalu, anak ini tiba-tiba menangis ketakutan karena melihat hantu!"

Mijin langsung tergelak. "Oh, dasar pembohong kecil! Ternyata kau lebih pengecut dari yang kuduga," katanya sambil kembali mengusak rambut Jimin lagi. Manajer Sejin ikut tertawa melihat ekspresi Jimin yang langsung mengernyit tidak terima. Wajahnya menunduk, menyembunyikan rona merah karena malunya.

"Hantu yang seperti apa?" tanya Mijin. "Dengar-dengar gedung ini memang menyimpan banyak misteri sih. Aku tak kaget kalau ada cerita orang melihat atau mendengar suara hantu di malam pertunjukkan."

Jimin merengutkan bibir tidak terima, "Sudah jangan dibahas la―"

"Katanya hantu itu punya sorot mata menyeramkan. Jimin bahkan kesulitan mengingat keseluruhan wajahnya saking paniknya!" potong Taehyung, lalu menirukan gelagat Jimin saat pertama kali datang ke ruang rias. "Dia gemetar seperti ini, meringkuk di atas sofa dan menangis karena bertemu kontak dengan setan itu!"

Mijin tertawa lagi. Jimin langsung menyahut panas. "Bangsat! Aku sama sekali tidak menangis, Tae!"

"Hei sudah," kata manajer Sejin mengambil alih pembicaraan. "Seperti yang Mijin-ssi bilang, gedung ini memang berhantu, dan barangkali yang kau lihat tadi tidak salah," katanya sambil berusaha membesarkan hati Jimin. Manajer sejin lalu menambahkan, "Tetapi sejujurnya aku lebih setuju dengan pendapat Seokjin, di aula paling belakang sana sedang ada persiapan untuk acara besar lusa depan. Staf penanggung jawab sedang sibuk bertugas mondar-mandir di sana untuk mengecek properti. Mungkin mati lampu yang tadi kau lihat adalah efek mereka melakukan pengecekan sound system atau visual grafis panggung, jadi jangan berburuk sangka dulu."

"Hmm, Sejin-ssi benar. Tadi aku lewat daerah sana, dan sepertinya pengecekan sudah selesai. Lampunya memang masih mati, tapi sudah tak ada staf yang terlihat mondar-mandir. Kau bisa melihatnya lagi kalau mau," kata Mijin dengan nada lembut.

Jimin hendak mengeluarkan suaranya, namun lagi-lagi Taehyung memotongnya.

"Kau mau kutemani memastikan hantu itu masih ada atau tidak? Aku dengan senang hati akan mengawalmu ke sana," kata Taehyung seraya hendak melingkarkan lengannya di bahu Jimin, namun anak itu dengan sigap langsung menepisnya kuat-kuat.

"Wow, santai, Bung!"

"Mati saja kau, Kim!" sela Jimin, lalu berpaling pada Mijin. Tatapan dinginnya langsung berubah lembut. Suara menyentaknya menjadi rendah ketika ia berbicara dengan Mijin. "Noona, aku minta maaf soal kemarin, seharusnya aku lebih peka untuk masalah pribadi seperti itu. Aku benar-benar buruk. Aku tak akan melakukannya lagi."

"Sudah kubilang tak apa Jim, aku sudah memaafkanmu dari dulu. Ah, iya, ngomong-ngomong aku kemari dengan membawa selusin kue-kue enak dari toko kemarin. Aku membelinya bersama Gong Joo dalam perjalanan kami ke sini ...."

Kemudian perbincangan seru antara Jimin dan Mijin berlanjut lama. Manajer Sejin memutuskan kembali ke agensi untuk melihat tanggal comeback mereka yang katanya keluar hari ini. Dia meminta seluruh member untuk segera pulang ketika sudah kelar dengan segala urusan. Taehyung dengan kandung kemihnya yang sempit terpaksa harus kembali lagi ke toilet, menuntaskan acara buang air kecilnya yang hari ini sudah hampir ke sepuluh kalinya, sementara Hoseok bergurau menawarkan diri untuk menemaninya pipis, dan langsung mendapat pukulan ringan di bahu oleh Taehyung yang menganggap itu adalah tawaran paling menjijikkan yang dia dengar.

-oOo-

Taehyung memang terkadang bersikap bodoh dan menyebalkan, tetapi dia cukup tau diri untuk tidak menjatuhkan harga dirinya di depan Jimin dan kawan-kawan.

Dia memang tidak seberapa takut bila membicarakan masalah hantu, atau segala macam entitas gaib yang berhubungan dengan ilmu metafisika seperti dikatakan Namjoon. Tapi, siapapun yang mendengar cerita Jimin (bertumpu pada karakter Jimin yang lugu dan selalu jujur), gen nekat seperti Taehyung juga pasti akan berpikir dua kali bila ingin menggunakan toilet yang sama dengan yang digunakan Jimin di dekat lokasi dia melihat hantu itu.

Bukannya tidak berani, tapi Taehyung ingin menghindari nasib buruk yang barangkali akan dia dapatkan bila pergi ke sana.

Jadi, alih-alih pergi ke toilet dekat aula di belakang panggung, Taehyung membelokkan langkahnya menuju sebuah gerbang di hall lima yang langsung berhubungan dengan arena parkir dalam. Di sana dia langsung masuk ke sebuah toilet kecil yang dibangun di sebelah tembok yang bersebelahan dengan pagar-pagar bercelah lebar. Dari pagar itu, Taehyung bisa mengintip suasana luar yang mulai sepi. Dengan iseng, dia sedikit menunduk dan bermain-main seraya mengeluarkan satu tangannya ke luar celah, melambai-lambai asal dan setengah berharap satu atau beberapa penggemar di luar sana yang sedang dalam perjalanan pulang akan melihat tangannya lalu menyangkanya penampakan hantu atau apa.

Oh, dasar gila! pikir Taehyung dalam benaknya, selagi terkekeh geli saat menyadari aksi bodohnya. Dia langsung menarik tangannya dari celah itu, lantas segera membetulkan ellioti cap yang dikenakan sembari menatap celah antar besi pagar itu dengan pandangan penuh ingin tahu.

Menurutnya, sama sekali tidak menutup kemungkinan bila ada seorang penggemar yang nekat masuk ke arena konser melalui celah ini. Celahnya memang cukup lebar, tapi Taehyung sangsi tubuh orang dewasa tak akan muat bila masuk ke dalamnya. Kalau anak kecil, sih, mungkin saja. Tapi, siapa juga anak kecil yang mau menyelinap masuk ke dalam demi menonton sebuah konser? Taehyung terkekeh lagi membayangkan hal itu.

Dia kemudian membalik tubuhnya, hendak pergi dari tempat itu, tetapi langkahnya langsung membeku saat kedua matanya menangkap sesuatu di depan sana.

Ada seseorang yang bersembunyi di dalam kegelapan.

Taehyung menelan ludahnya dengan gugup. Dia berdiri terpaku menatap lorong gelap panjang dan sempit yang dihiasi sebuah pilar besar di depan matanya. Dalam jarak sekitar lima meter, Taehyung melihat sebuah kaki yang menjulur keluar dari balik pilar itu. Seakan-akan seseorang sedang menyembunyikan tubuhnya di sana, itupun kalau Taehyung percaya sosok itu adalah manusia. Anak itu merasakan jantungnya berdegup kencang, dan tiba-tiba saja dia mengingat pengakuan Jimin yang sempat dianggapnya omong kosong beberapa jam lalu.

"Ha―hantu?" kata Taehyung terengah.

Dia merasakan kakinya melemas, namun dengan sedikit kekuatan yang tersisa, Tehyung mati-matian menahan kedua kakinya berdiri walau tak seimbang. Matanya melirik kesana-kemari, mencari pertolongan, tapi yang ia temukan hanya area parkir kosong yang begitu sepi.

Beruntungnya, Taehyung masih cukup berani untuk melawan rasa pengecutnya. Dia memutar otaknya dengan asumsi-asumsi masuk akal yang bisa mengenyahkan pikiran buruknya. Kemudian, setelah begitu lama membeku dalam prasangka, Taehyung membuka mulutnya, mencoba berbicara sesuatu, dan mendengar suaranya sendiri bergetar penuh kecemasan ketika keluar melalui bibirnya.

"Si―siapa kau?" tanyanya.

Tak ada jawaban.

"Petugas keamanan? Staf panggung?" tebaknya. Lalu detik berikutnya nada suaranya naik satu oktaf. "A―army?"

Kemudian, tepat sebelum Taehyung berkedip, sosok itu tiba-tiba menghilang. Bukan. Bukan lenyap. Dia lari. Sosok itu lari menjauh. Suara derap langkah kecil-kecilnya terdengar begitu jelas. Kini paling tidak Taehyung tahu satu hal, bahwa sosok itu bukan hantu, melainkan manusia biasa seperti dirinya.

Entah apa yang ada di pikiran Taehyung saat itu. Tiba-tiba saja instingnya mengatakan kalau orang itu adalah orang yang sama yang muncul di depan Jimin. Taehyung tanpa berpikir lebih matang mulai membiarkan emosi menggelegak dalam dadanya. Dia menatap sosok yang diselimuti kegelapan itu menjauh, dan tanpa sadar langsung berlari mengejarnya.

"HEI! BERHENTI!"

Taehyung kembali ke lorong dekat arena panggung belakang. Dia melihat toilet yang tadi dihindarinya terbuka lebar di depan matanya, dengan pencahayaan neon yang begitu benderang. Tapi, firasat Taehyung bahkan lebih kuat dari watt lampu yang menyala terang itu. Sosok yang kabur tadi tak mungkin bersembunyi di tempat yang bercahaya maksimal seperti itu. Taehyung kemudian memutar kepalanya beberapa derajat, dan fokusnya jatuh pada pintu aula yang tertutup rapat.

Pasti di sana.

Taehyung membawa langkahnya masuk ke dalam aula itu. Dia membuka pintunya, dan seketika langsung merasakan hawa dingin yang menyapa sampai ke tulang. Taehyung tak tahu sejak kapan dirinya menjadi seberani ini. Dia masuk ke dalam aula gelap itu dengan berbekal sinar dari senter ponsel. Matanya yang perlahan terbiasa dengan temaram ruangan itu menjelajah sekitar.

Aula itu tidak kosong. Seperti kata Seokjin dan manajer Kim, beberapa staf mengisi ruangan itu dengan properti panggung yang besarnya luar biasa. Pagar jeruji kawat yang lebar tampak ditata berantakan di salah satu sudut. Kotak-kotak kaca, papan-papan sebesar setengah kali dari baliho jalanan tergantung di langit-langit, kabel-kabel yang menutup hampir sebagian besar permukaan lantai, dan tiang-tiang besi. Taehyung berusaha untuk tetap tenang. Dalam kesunyian itu, dia hanya bisa mendengar suara napasnya sendiri yang memburu.

Matanya terpancang pada apapun yang bisa dilihatnya, dan mendadak Taehyung merasa menyesal luar biasa karena sudah masuk ke dalam aula. Tentu saja dia merutuk dirinya bodoh. Bagaimana mungkin dia berada di dalam ruangan ini dan hendak mencari sosok yang kabur tadi hanya dengan bermodal kenekatan dan penerangan senter?

Taehyung jelas tak memperhitungkan kemungkinan bahaya yang akan terjadi pada dirinya. Selama beberapa saat dia hanya berdiri terpaku di atas lantai, bertarung dengan pikirannya yang mulai meracau di luar kendalinya. Dia harus keluar. Dia harus tetap tinggal. Taehyung tak tahu mana yang harus dipilihnya hingga suara klontang keras terdengar dari tengah ruangan.

Taehyung mengarahkan senternya ke depan, dan di tengah sorot menyilaukan itu, dia melihat sebuah lemari kayu besar yang berdiri di tengah ruangan, dikelilingi puluhan properti lain yang ditata bertumpuk-tumpuk dan asal.

Taehyung yakin mendengar suara dari sana, dan firasatnya itu nampak terbukti dari suara keriat kering yang ia dengar, persis dari dalam lemari itu.

Pintu dalam lemari itu membuka sedikit. Taehyung benar-benar percaya ada seseorang yang sedang sembunyi di dalam lemari itu. Dia perlahan mendekatkan langkahnya, ketika merasakan jantungnya bergemuruh makin kencang. Dia kedinginan, basah karena keringat yang semenjak tadi mengalir di sekujur tubuhnya. Napasnya pendek-pendek, dan bibirnya bergetar ketika membuka.

"Si―siapa itu? Tunjukkan wajahmu!" kata Taehyung dengan agak tidak jelas. Ponsel yang dipegangnya mulai bergetar, dan Taehyung entah bagaimana sudah berdiri sejauh satu meter dari lemari itu.

"Kau!" katanya, "Kau yang menganggu Jimin, 'kan? Cepat keluar! Aku tahu kau ada di dalam situ!" katanya lagi, kali ini nada sentaknya begitu jelas.

Selama beberapa lama, pintu itu sama sekali tak bergerak. Taehyung dengan dahi yang mengernyit keheranan menjudi keberuntungannya dengan mengulurkan tangan di depan daun pintu. Dia menyentuh logam besi panjang itu. Terasa dingin seperti es. Taehyung kemudian menarik perlahan pintu itu.

BRAK!

Pintu itu didobrak terbuka dari dalam. Lemari besar itu bergoyang karena tekanan yang terlalu besar. Sosok seseorang samar terlihat melesat keluar dari dalam lemari sebelum kabur lagi seperti tikus. Sementara Taehyung yang sama sekali tak mempersiapkan dirinya kehilangan keseimbangan. Ponselnya jatuh di atas lantai. Tubuhnya limbung, dan malah menyenggol lemari kayu itu. Kemudian Taehyung merasakan udara di sekitarnya bergolak. Sesuatu dengan ukuran yang cukup besar bergetar, lalu dia melihat dalam kegelapan, lemari di depannya terayun ke depan, hendak menimpa dirinya.

Taehyung bahkan tak sempat berteriak ketika merasakan tekstur kayu yang padat itu menyentuh tubuhnya. Dia sudah kehilangan kesadaran bahkan sebelum tubuhnya terbanting ke lantai dengan cukup keras.[]



















Selamat Pagi :)

Uuhhh hampir tiga minggu aku gak up, rasanya kangen banget sama cerita ini. Tentunya kangen juga pada para readers yang selalu setia meluangkan waktunya untuk membaca cerita aku ❤

Chap ini sudah mengalami perubahan alur cerita sebanyak 4 KALI!

Selama masa penulisan, aku bingung banget milih alurnya. Duh, keempat draf-nya masih kesimpen di laptop, masing-masing dengan plot cerita yang berbeda. Aku gak tega untuk membuangnya, karena saat mengingat berapa banyak waktu yang harus kuhabiskan untuk membuatnya itu rasanya sakit banget :')

Yah, pokoknya, selama tiga minggu yang begitu dramatis itu, akhirnya aku memutuskan untuk pakai plot cerita yang ini. Semoga kalian puas, dan jangan lupa tinggalkan tanggapan apapun setelah membaca chapter ini 😁

Ah, vote juga, yaa?

Terima kasih banyak ❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top