4 - The Pressure
Tekanan
.
.
.
Hal pertama yang Jimin lihat ketika membuka kedua matanya adalah langit-langit kamar yang remang, sedikit diterangi cahaya jingga redup yang menembus lewat gorden jendela. Dia kemudian bangkit duduk, mencari-cari ponselnya yang terselip di antara selimut dan ranjang. Ketika ujung jemarinya berhasil menemukannya, dia menghadapkan ponsel di depan wajah, mengundang kedua kelopak yang langsung menyipit menyesuaikan cahaya monitor yang menyilaukan.
Suara berkeruk di dalam perutnya tiba-tiba memecah keheningan kamar, seakan-akan angka 14.11 yang terproyeksi di layar ponselnya langsung dengan cepat diterjemahkan otak Jimin sebagai sinyal untuk membangunkan singa yang tertidur di balik lambungnya, meraungkan peringatan kalau perutnya belum diisi semenjak pagi.
Jimin sedikit meregangkan otot-ototnya yang kaku, lalu bergelung di atas kasurnya sambil mengusak rambut coklatnya yang berantakan dan mencuat ke mana-mana. Saat itu, dia baru saja hendak beranjak dari kasur dan pergi ke dapur ketika suara ketukan dari luar pintu kamarnya membuatnya menoleh dengan cepat.
“Hyung, kau di dalam?”
Jimin mengayunkan kakinya turun dari ranjang, lalu bergegas menghampiri dan langsung menarik gagang pintu kamarnya yang tertutup. Di depannya, mendapati Jungkook―menenteng dua cup ramyun ukuran kecil di pelukan sikunya―tengah memandang dirinya dengan binar kelaparan.
“Ayo makan dulu,” ajak Jungkook yang langsung memancing sinar kepuasan dari mata Jimin. Dia langsung mengangguk setuju dan membiarkan pergelangan tangannya diseret keluar oleh yang lebih muda.
“Kau ini dari tadi mengunci diri terus di kamar, Hyung. Kami semua sampai khawatir kalau kau kenapa-kenapa,” kata Jungkook, di sela langkah lebarnya yang menuntun Jimin menyusuri lorong. “Kau juga tadi melewatkan sarapan, ‘kan? Bagaimana kalau nanti jadi sakit? Siapa yang menurutmu akan repot mengurus segalanya?”
Jimin mendengus geli mendengar nada bicara Jungkook yang mirip Ibunya kalau sedang mengomel. Ia sebenarnya merasa agak tidak enak juga karena sudah membuat yang lain khawatir, tapi tubuhnya yang terlalu pegal dan benaknya yang masih diliputi rasa tertekan karena insiden pembobolan beberapa waktu lalu benar-benar menguras tenaga fisik dan psikisnya, hingga ia tak punya pilihan lain selain membawanya tidur berjam-jam lamanya.
“Merasa lebih baik setelah tidur?” tanya Jungkook lagi.
“Ya. Capekku sudah hilang,” jawab Jimin, yang tentu saja dibumbui sedikit kebohongan. Dia mungkin berhasil meredakan nyeri di tubuhnya, tapi tidak untuk rasa cemas yang akhir-akhir ini seakan menghantui pikirannya. Jimin belum bisa mengenyahkan bayangan pesan berdarah yang tertulis di permukaan cermin kamar mandinya. Dia bahkan mengakui kalau dirinya menjadi lebih sensitif setiap kali pergi ke toilet untuk buang air. Bagaimana bila sosok perempuan mengerikan tiba-tiba muncul dari balik ventilasi toilet dan menangkapnya?
“Syukurlah kalau begitu. Karena jadwal semakin padat, kita harus menjaga diri lebih baik―terutama kau, yang akhir-akhir ini mau makan saja susahnya minta ampun,” sindir Jungkook tanpa menoleh pada Jimin―barangkali untuk menghindari tatapan Jimin yang akan membuatnya serba salah.
Mereka kini sudah berbelok ke arah tangga. Jungkook turun dengan langkah terburu karena sudah tidak tahan dengan laparnya, sementara Jimin hanya mengikutinya di belakang, tak berniat menjawab sindiran Jungkook yang mengkritik jam makannya yang berantakan. Dia lalu menggeser pandangannya sedikit ke bawah, melihat dua cup ramyun yang berayun-ayun di lekukan siku kanan Jungkook, sedikit memberengut sebal karena di tengah perutnya yang melilit kelaparan ini Jungkook hanya mengajaknya makan ramyun ukuran kecil. Apa para Hyung-nya tidak menyiapkan masakan di dapur?
“Kemana yang lain?” tanya Jimin, yang baru sadar kalau semenjak tadi cuma ada mereka berdua.
“Jin-hyung dan Taehyung-ie-hyung sedang giliran pergi berbelanja, sisanya yang lain masih di kantor agensi … ada urusan penting sepertinya.”
Jimin mendesahkan napas kecewa. Kalau sudah begini, ia bisa menduga para Hyung-nya dan juga Taehyung akan menghabiskan waktu di luar, barangkali sekalian makan siang (atau kalau ia lebih apes lagi, sekalian makan malam). Dan dirinya terjebak sepanjang hari di dalam dorm bersama Jungkook, serta hanya bisa menikmati mi instan. Sekarang, rasa lapar dan malas menyerang tubuhnya, membuat Jimin tidak bisa berpikir jernih lagi.
Tiba-tiba saja Jimin sudah merasa jengkel dengan Jungkook. Jangan tanya alasannya apa. Kelaparan membuat darahnya cepat mendidih.
Jimin berdecak sebal, lalu tanpa sadar mulutnya berceletuk sesuatu. “Jungkook-ah, aku belum makan dari pagi, apa kita tidak bisa pesan makanan saja? Makanan seperti itu mana cukup untuk mengisi perutku?”
Jungkook tak merespon apapun dan terus berjalan membelakangi Jimin.
Kemudian Jimin―seakan bisa merasakan pipinya tiba-tiba memerah―tahu-tahu menyadari bahwa kata-katanya barusan sedikit kasar. Jimin hendak menggumamkan maaf kepada Jungkook, namun semuanya terhenti ketika mereka berdua telah sampai ke dapur. Kedua mata Jimin seketika membola, seakan-akan tak percaya dengan apa yang dilihatnya tertata di atas meja makan. Piring-piring berisi daging panggang, telur mata sapi, tumis sosis yang dimasak pedas, dan sayur-mayur di dalam panci kecil yang mengepulkan uap panas tiba-tiba saja membangunkan monster di dalam perut Jimin, membuat Jimin meneguk ludahnya saking tidak sabar.
Sementara Jungkook yang berdiri di depannya langsung memutar tubuhnya, memandang Jimin dengan sorot masam khas bocah pembangkang, berkata dengan nada menantang selagi diikuti oleh satu alisnya yang menukik naik;
“Siapa yang bilang kita cuma makan ramyun?”
-oOo-
Mereka berdua kini sudah menghabiskan hampir separuh nasi di mangkuknya masing-masing. Sebelumnya, Jungkook mengatakan kalau dirinya baru saja bangun tidur dan menemukan selembar catatan pendek yang ditempel di pintu lemari es, berisi tulisan tangan berantakan milik Seokjin yang menyuruhnya untuk membangunkan Jimin kalau sudah lewat pukul dua (“Kalau pintunya tidak dibuka, dobrak saja. Kemungkinan bocah itu sudah mati kelaparan di dalam kamar!”) serta memanaskan sisa makan siang yang sudah Seokjin buat sebelumnya.
Sementara Jimin sama sekali tak bereaksi apa-apa dan memilih diam menikmati makan siangnya selagi Jungkook berceloteh tentang banyak hal, mulai dari Namjoon yang lagi-lagi memecahkan gelas dan harus membuat dirinya mengepel tumpahan kopi di lantai, Hoseok yang berteriak ketakutan karena melihat seekor tikus―yang membuatnya hampir menangis karena tidak ada seorangpun yang percaya dengan ceritanya. (“Aku bersumpah melihat ekor tikus yang bergerak-gerak sebelum dia menghilang di balik lemari!”) serta Seokjin, satu-satunya yang sebal bukan main karena mendapati kunci gudangnya menjadi hitam (“Siapa bedebah brengsek yang mewarnai kunci gudang sampai hitam begini?” katanya dengan emosional.)
“Taehyung-ie-hyung yang isengnya kelewatan bahkan tahu keonaran mana yang layak dilakukan. Maksudku, apa untungnya memoles kunci gudang pakai spidol hitam?” komentar Jungkook dengan mulut penuh. Mangkuknya yang kini kosong telah disingkirkan dan diganti dengan satu cup ramyun panas dengan uap mengepul.
Jimin hanya mengangguk-angguk tanpa begitu memperhatikan, seakan-akan ocehan Jungkook adalah cicitan burung gereja yang tidak terlalu penting. Dia menyuapkan sesendok sup hangat ke dalam mulutnya tepat ketika Jungkook menanyainya lagi, “Hyung, dengar aku, kan?”
“Oh, ya, aku dengar,” kata Jimin, mendadak sadar dengan sikapnya yang sedari tadi mirip orang apatis, lalu memejamkan dan mencoba mengingat-ingat celoteh Jungkook barusan. “Terus tikusnya ketemu di mana?”
Jungkook memutar matanya malas ketika mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Jimin. Dia tiba-tiba menghentikan aktivitas makan―menaruh sumpit dengan ketukan keras di samping cup ramyun-nya, diikuti lirikan mata tajam yang mengawasi tampang Jimin, selagi benaknya berasumsi siapa tahu dirinya keliru menafisrkan kondisi pria di depannya yang ternyata tidak baik-baik saja.
“Apa kau sedang sakit, Hyung?” tangannya terangkat untuk menyentuh dahi Jimin, tetapi buru-buru kena tepis sebab tampaknya Jimin tidak nyaman dengan perlakuannya.
Jungkook menatap Jimin dengan ekspresi terpukul.
“Aku baik-baik saja, Kook,” kata Jimin, mencoba tampak meyakinkan. Dia tahu sikapnya barusan terlihat sangat aneh. Jimin yakin wajahnya pasti sudah merona malu saat ini. Rasa bersalah karena telah mengabaikan Jungkook yang berusaha perhatian padanya membuat hatinya sakit. Akan tetapi, alih-alih berusaha untuk memperbaiki sikapnya, Jimin menunduk dalam-dalam, menatap merana piring kosong di depannya. Dia tidak berani membalas pandangan Jungkook, ketika dia bahkan tidak mengerti mengenai alasan di balik sikapnya yang mendadak sentimentil seperti ini.
“Hyung, kau ini … kenapa?” tanya Jungkook lirih.
Jimin memejamkan matanya, sambil diam-diam menarik napas kuat-kuat untuk menahan dirinya agar tidak meledak. Beberapa saat kemudian dia mengangkat wajah dan melihat ekspresi Jungkook yang tampak cemas.
“Kau masih memikirkan insiden itu?” Jungkook bertanya hati-hati.
Jimin meneguk ludahnya dengan gugup. Dia tidak tahu harus menjawab apa ketika dihadapkan pertanyaan seperti itu.Tiga detik kebisuan yang melingkup di ruang makan saat itu adalah waktu yang cukup bagi Jungkook untuk menggali kebenaran tentang Jimin. Dia bisa melhat jejak kecemasan di mata Hyung-nya, lalu memutuskan untuk mengungkapkan sesuatu lagi.
“Aku tahu kau pasti tertekan karena insiden itu, tapi, kalau kau terus-terusan merasa cemas dengan segala sesuatu yang masih belum pasti terjadi, itu hanya akan membuat dirimu tersiksa.”
Jimin hanya bergeming di tempat duduknya. Mendadak merasa begitu sedih karena perkataan Jungkook. Kemudian, ingatan tentang saat di mana seluruh member menghiburnya terkenang lagi, membuat Jimin secara tak sadar menopang wajahnya yang terasa panas dengan kedua tangannya. Ia tiba-tiba saja merasa malu karena bersikap seperti seorang pencemas yang berlebihan.
“Maaf Kook, aku terlalu penakut rupanya,” gumamnya.
Dia kemudian mengusap keringat di dahinya dan mendongak kembali menatap Jungkook, Jimin merasakan bibirnya naik dan terkekeh, entah karena apa―padahal perasaannya sekarang begitu sakit. Tapi ketika dia menarik napas panjang untuk menenangkan diri, dia sadar kalau tawanya barusan adalah bentuk pengekspresian dirinya yang tampak memalukan di depan Jungkook.
“Kau tidak salah, Hyung. Maksudku, tidak ada dari kami yang menyebutmu penakut atau lemah, sebab kami pun akan sama takutnya bila berada di sisimu. Penjahat itu―” Jungkook tampak gusar, tangannya terangkat menggaruk tengkuknya yang tidak gatal “―dia adalah setan di balik semua ini.”
“Hyung, apapun rencana jahatnya, kalau dia berani muncul lagi, aku akan menghabisinya. Aku akan menonjok wajahnya sampai gigi-giginya rontok. Kupukul habis-habisan sampai dia berlutut minta maaf kepadamu,” tambah Jungkook. Dia memandang ke dalam mata Jimin yang balas memandangnya dengan tatapan penuh rasa sedih dan cemas, tak memikirkan apapun selain menginginkan Jimin untuk merasakan keyakinan dalam suaranya.
Sementara Jimin entah bagaimana merasa agak lega ketika Jungkook mengatakan hal itu dengan semangat menggebu. Seakan-akan beban di dalam dirinya hilang separuh, sampai-sampai tanpa sadar dia mengulas senyum lebar di wajahnya.
“Jungkook-ah, kau boleh melindungiku dengan cara apapun. Tapi… bukankah memukulinya tanpa ampun adalah cara yang kasar? Apalagi kalau pelakunya seorang wanita, seperti dugaan polisi ketika melihat bekas lipstik di cangkir itu. Kau mau menodai tanganmu dengan meninju seorang wanita?” Jimin terkekeh saat mengatakannya. Dia mengangkat sumpit yang tergeletak di mejanya, hendak menjepit sepotong daging di dalam mangkuk sebelum jawaban Jungkook yang berikutnya justru menghentikannya.
“Aku tidak peduli.”
Jimin mengangkat alisnya.
“Ha … kau bilang apa?”
Jungkook menghela napas, bergeming selama beberapa detik sebelum melanjutkan bicaranya. “Aku tidak peduli siapa penjahatnya. Mau dia perempuan muda atau orang tua sekalipun, yang dia lakukan itu sungguh keterlaluan. Apa kau pikir darah haid yang dipakainya untuk menulis pesan keparat itu bukan termasuk pelecehan, Hyung? Aku jelas tak bisa diam begitu saja kalau suatu saat dia membuatmu terluka lagi, apalagi dengan cara yang menyakitkan dan mengerikan.”
Dan, seraya melempar sepotong daging ke dalam mulutnya, Jimin diam-diam mengulum senyum karena mendengar tuturan Jungkook yang begitu tulus. Ia merasa begitu senang sampai tak menyadari waktu yang berlalu begitu cepat. Jimin pikir, terjebak di dalam dorm seharian bersama Jungkook akan sangat membosankan. Tetapi rupanya pikirannya keliru, paling tidak hari ini dia mendengar pengakuan manis Jungkook yang berjanji akan melindunginya.[]
a/n
Setelah lama ga buka wp, tahu2 dikejutkan sama berita penulis favoritku yg ngehapus semua worknya, disertai pesan2 dari para pembacanya di wall yg pada sedih karena beliau menghilang dri wp .... Sebenernya apa yg terjadi selama aku gabuka wp ya Allah??? 😭😭 😭😭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top