26 - The Promise
Sebuah Janji
.
.
.
Jimin ada di suatu tempat, berbaring menghadap udara kosong. Pastilah bukan sekedar kesadaran tanpa tubuh saja, sebab dia bisa mencium bau hutan yang apak serta merasakan tanah kerikil yang begitu menggigit di bawah punggungnya. Jimin yakin koordinasi syaraf dalam tubuhnya masih bekerja. Dia bisa mencium bau dan meraba permukaan, kemudian mendengar suara tetes air yang memercik sesuatu yang keras di dekatnya. Dia tak bergerak, akan tetapi tahu tentang posisinya. Aroma lembab alam yang memenuhi lubang hidungnya, kerasnya permukaan tanah, udara yang dingin, serta seluruh tubuhnya yang terasa nyeri memunculkan sebuah kesimpulan di dalam benak Jimin.
Dia masih hidup.
Keadaan ini membuat rasa penasarannya semakin besar. Dan, lepas dari semuanya yang telah Jimin lalui, dia bertanya-tanya apakah matanya bisa melihat sebagaimana dia merasakan alam di sekelilingnya. Sebab itulah Jimin membukanya perlahan. Rasanya sangat berat.
Kegelapan hampa yang dia lihat sebelum ini terganti oleh suasana kelabu yang begitu suram. Suara gema tetes air terdengar makin nyaring. Langit-langit batu ada di atasnya bagai atap kasar yang hendak rubuh... aroma lumut busuk yang begitu tajam juga memenuhi jalur pernapasannya ....
Aku ada di mana?
Jimin mencengkeram tanah di bawahnya dengan kuat, ketakutan. Napasnya putus-putus saat dia membuka mulutnya yang rasanya sangat kering dan lengket. Jimin mencoba berbicara. Namun, rintihan sumbang justru lolos dari mulutnya alih-alih suara permintaan tolong. Dia menunggu sejenak, berkedip gelisah, kemudian merasakan tubrukan yang halus di sisi tubuhnya tatkala sebuah wajah yang buram mendadak muncul menutupi pandangannya.
Ada dua pasang mata yang memandangnya dalam kelam kelabu ruangan.
"Park Jimin, kau bisa lihat aku?"
Jimin memutar ingatannya pada masa yang sepertinya terlalu lampau untuk dikenang. Dia merindukan suara ini. Suara yang hadir di benaknya, tersemat di dalam kepalanya ibarat gas pekat yang tak mau pergi. Rendah dan dalam. Rasa-rasanya mengingatkan Jimin pada sesuatu yang sebelum ini hilang dari genggamannya. Jimin memperhatikan wajah di depannya dengan cermat, lalu perlahan gambar kabur di sekelilingnya mulai jernih. Pada saat itulah dia bisa melihat dunia dengan sangat jelas.
Oh, ini sangat tidak mungkin.
Dia mendengar suara itu berbicara lagi kepadanya.
"Jimin, aku Taehyung."
Astaga, apakah ini mimpi? Jimin merasa hatinya sekali lagi hampa saat memikirkannya. Dia masih terlalu lemah untuk menghadapi ledakan halusinasi tentang kehadiran Taehyung. Akan tetapi, semua yang muncul di penglihatannya tampak begitu nyata, dan rasanya sungguh tidak pantas apabila dia menganggapnya sebagai khayalan saja, terlebih saat dia memperhatikan sepasang mata hazel-nya yang berbinar dalam kegelapan, bibir tebalnya yang melengkung cemas, serta nada khawatirnya yang berat... semuanya persis seperti yang Jimin ingat. Semuanya terlalu nyata untuk disebut sebagai ilusi.
"Taehyung?" Jimin memaksa dirinya untuk bicara. Suara yang keluar dari tenggorokannya lirih, mirip cicitan tikus.
"Oh, Puji Tuhan, kukira kau tidak akan bangun lagi untuk selamanya!" Taehyung mendesah napas lega. Raut pias kecemasan di wajahnya berangsur-angsur hilang, digantikan oleh ekspresi ketenteraman yang luar biasa.
Jimin mulai membiasakan dirinya untuk bernapas tenang. Dia ingin sekali memeluk erat Taehyung untuk berbagi kerinduan bersamanya. Namun, dia tahu tubuhnya masih lemah, jadi yang Jimin lakukan hanyalah berbaring dan menikmati istirahatnya, berharap tatapan matanya sudah terlampau cukup untuk mengatakan betapa bahagianya dia bertemu Taehyung.
"Aku juga berpikir begitu," jawab Jimin. "Kukira aku akan mati tanpa mengucapkan selamat tinggal."
Taehyung menundukkan kepalanya rendah-rendah untuk menepis poni yang kaku dari dahi Jimin. "Jangan ngawur," katanya. "Sekarang kau sudah bangun dan aku melarangmu untuk membuatku cemas lagi."
Jimin tersenyum dengan tulus. "Terima kasih sudah mencariku, Tae."
"Kau juga akan mencariku kalau aku ada di posisimu."
Jimin tidak tahu harus menjawab apa, tetapi mendadak ekspresi Taehyung berubah cemas dan dia cepat-cepat menambahkan, "Semuanya sedang dalam perjalanan ke sini," katanya. "Aku nekat pergi mencarimu duluan. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiranku saat itu, kupikir aku tidak akan menemukanmu dan justru berakhir mati di tangan penjahat, tetapi Tuhan malah mempermudah pertemuan kita. Ini benar-benar anugerah, Jim. Aku bersyukur atas tindakan nekatku pergi ke tempat ini sendiri."
"Kau? Pergi ke tempat ini sendiri?"
Taehyung menatapnya lurus, tampak baru menyadari bahwa dia sudah bicara panjang lebar, kemudian melanjutkan dengan nada hambar disertai tawa kering. "Sudah, kau perlu istirahat," katanya, menaikkan jaket yang menyelimuti Jimin sampai ke dagunya. "Kita akan lanjut pergi kalau kau sudah baikan. Aku yakin polisi sudah datang dan mulai mengepung tempat ini."
"Tidak, tunggu!" Jimin menyela. Kepalanya mendadak pusing saat dia berbicara keras-keras. "Taehyung, aku perlu tahu ini di mana. Aku rasa ingatanku pecah. Kupikir sebelum ini aku ada di tengah hutan bersama Gong Joo. Wanita itu menatapku dan sepertinya dia punya banyak hal untuk dikatakan, tetapi dia justru diam dan memandangiku saja. Apa kau bertemu dengannya? Atau apakah kau berkelahi dengannya demi membawaku lari ke sini?"
Taehyung memandang Jimin dengan raut bingung. "Kau dibawa pergi sampai ke Yangju, ke dalam area hutan yang sepertinya adalah bekas pabrik-pabrik industri dulu berdiri. Aku menemukanmu pingsan di hilir sungai, dekat dengan jalan setapak yang tadi kulalui," katanya nanar. Dia mengingat-ingat sebentar, lalu mendadak merasa antusias sekali saat berpaling mengamati kaki Jimin.
"Kau terluka. Paha kananmu sepertinya sobek dan membengkak. Suhu tubuhmu juga sangat panas. Sepertinya kau kepayahan dan pingsan di tengah jalan saat mengobatinya, tetapi aku sangat bersyukur atas usahamu. Kau hebat, Jim. Bagaimana kau bisa tahan membersihkan lukamu seorang diri? Kalau aku jadi kau, aku mungkin tidak akan bertahan lama. Barangkali aku akan pingsan duluan sebelum membersihkan lukanya."
Jimin merasa ada yang aneh dengan perkataan Taehyung. Dia bertanya-tanya apa yang Taehyung maksud dengan pengobatan, dan sejak kapan Jimin membersihkan lukanya sendiri? Seingat Jimin lukanya berubah menjadi sesuatu yang sangat menjijikkan untuk dipandang mata. Jangankan mengobati, dia bahkan ragu untuk menyentuh perban yang dipenuhi darah dan lumpur. Jimin tidak ingat apapun, seolah ada potongan teka-teki yang terjatuh dari semesta, dan dia tidak bisa memahami jawabannya. Sebab itulah Jimin memaksa diri untuk setengah bangkit, menatap kakinya yang terbujur kaku di atas tanah, dan terkejut dengan apa yang didapatkannya.
"Siapa yang mengobati lukaku?" Jimin bertanya dengan mata membulat, lebih kepada dirinya sendiri. Dia tahu Taehyung bukanlah orang yang membebat lukanya dengan perban baru. Lebih mengejutkan dari itu semua, luka itu kini tampak berpuluh-puluh kali lebih baik dari tadi. Dia tidak lagi jijik menatap ke kakinya. Setidaknya perban itu menutupi bengkaknya yang mirip warna usus babi mentah.
"Kukira itu kau," kata Taehyung. Dia ikut mengamati kaki Jimin dengan raut berpikir. "Aku menemukanmu sudah dalam keadaan seperti itu, Jim. Tidak ada siapapun di hilir sungai. Kau terbaring di tengah gerimis, dengan keadaan menggigil parah. Aku membawamu ke gua yang kutemukan tersembunyi di dekat sungai untuk beristirahat sejenak."
Jimin menggeleng ragu. Rasanya ada semacam perasaan dan praduga aneh yang meledak di dalam kepalanya. Dia kebingungan dan ketakutan, akan tetapi dalam satu waktu merasa lega dan terselamatkan. Siapa yang mengobati lukanya? Apakah itu Gong Joo? Dia tidak mau menuntaskan pemikiran itu karena merasa jijik setelah menyebut namanya. Tetapi ... tidak ada orang lain yang dia temui selain wanita itu. Gong Joo muncul di depan matanya pada detik-detik terakhir Jimin jatuh tidak sadarkan diri.
"Jim, sudah jangan terlalu dipikirkan." Suara Taehyung tahu-tahu terdengar. Cahaya suram yang berasal dari lubang gua membuat wajahnya terlihat muram dan pucat. Dia melanjutkan dengan pelan saat menatap Jimin yang kebingungan. "Kalaupun benar ada seseorang yang menolongmu, setidaknya kau tahu orang itu tidak sedang berusaha untuk membuatmu celaka."
Jimin ingin membalas perkataan Taehyung dengan sesuatu yang bisa membuat perasaan campur aduknya terobati, tetapi dia memilih untuk diam dan mengangguk patuh. Ditatapnya Taehyung dengan sepasang mata redupnya, dan Jimin tiba-tiba merasa lelah setengah mati.
"Istirahat dulu, oke?"
"Baiklah," kata Jimin.
Pada akhirnya, Jimin memasrahkan tubuhnya untuk tidur, sebab kepalanya malah semakin berdenyut-denyut mengerikan. Saat itu Jimin menyadari dirinya sedang demam tinggi. Secara otomatis dia memejamkan mata dan membiarkan kegelapan sekali lagi menguasainya. Jimin tidak tahu apa yang akan dia hadapi setelah ini, akan tetapi setidaknya dia tahu bahwa kali ini dirinya tak lagi sendiri.
-oOo-
Rambut Jimin pekat dan kaku dengan lumpur yang membeku, sementara raut tenangnya yang kini sedang tertidur justru menimbulkan ketakutan yang tak beralasan di dalam pikiran Taehyung, seakan-akan sahabat di sampingnya itu bisa mati kapan saja tanpa pemberitahuan.
Taehyung menghabiskan setengah jam waktu dengan duduk, mengusir nyamuk dan serangga yang berterbangan di sekitar kaki Jimin yang terluka, mondar-mandir di sekitar gua untuk mencari sinyal di ponselnya, lalu berusaha untuk tidak memikirkan kenyataan bahwa dengan bertemu dengannya, dirinya menjadi rentan untuk diserang sebab sekarang dia memiliki beban dua nyawa yang harus dilindungi. Taehyung tidak bisa berbuat sesuatu tanpa memunculkan risiko yang jauh lebih berbahaya karena satu orang di antara mereka tengah terluka.
Tangannya terjulur menyibak poni Jimin yang tercecer di dahi, kemudian dia mengenyit saat bersentuhan dengan kulitnya yang membara seperti kompor. Taehyung merasa tertekan saat mengamati Jimin yang tidur dengan gemetar, menahan dingin. Anak itu pasti berusaha keras untuk tidak mengeluh soal kesakitan yang dialaminya. Rasanya Taehyung ingin mengambil waktu sejenak untuk menangis, meratapi apa yang sedang dan hendak dilakukannha. Tapi di sini hanya ada dirinya, dan tak ada yang bisa dilakukan Taehyung selain bersikap tenang menghadapi situasi.
Maka, Taehyung lagi-lagi mengeluarkan ponselnya, berlari kecil ke luar gua dan memeriksa sinyalnya untuk kesekian kali. Namun, dia tetap tidak menemukan apa-apa. Taehyung menghela napas kecewa. Sekarang jalan satu-satunya untuk selamat dari tempat ini adalah pergi ke tempat semula dirinya datang dan berharap bertemu petugas polisi yang siap menolong mereka. Dia hanya perlu menghindari bertemu penjahat di tengah jalan. Namun, apakah bisa?
Jimin tengah berjuang untuk bangun ketika Taehyung kembali ke gua dengan langkah berat. Dia menghampiri pemuda itu dan membantunya duduk.
"Kau tidak ada di sampingku saat aku terbangun," kata Jimin. "Jangan membuatku khawatir, Tae."
Taehyung memaksa diri untuk tersenyum. "Kau tidak bercermin, ya? Menurutmu siapa yang perlu dikhawatirkan di sini?"
"Kau sama pentingnya seperti diriku sendiri." Jimin menjawab serius. Taehyung menghela napas dan menundukkan kepalanya. Lagi-lagi berpikir sesuatu.
"Tae, kau tidak kedinginan?"
Taehyung menggeleng. Dia menepis jaket yang hendak diberikan Jimin dan menjawab, "Aku sudah memakai dua lapis baju, kau pakai saja jaketnya."
Jimin dengan enggan menuruti perkataan Taehyung. Dia memakai jaket dengan cepat, kemudian berpaling ke arah gua dengan waspada, seakan-akan mengantisipasi bila sekelompok penjahat tahu-tahu muncul dan melongokkan kepalanya sambil tersenyum mengerikan, berkata halo kepada mereka berdua sebelum mengacungkan senjata tajam dan melancarkan aksi pembantaiannya. Jimin bergidik ngeri. Uh-oh, waktu yang benar-benar buruk untuk berpikir yang tidak-tidak.
Akan tetapi, ketika membayangkan hal itu, Jimin mendadak mengingat sesuatu. Dia mencekal pergelangan Taehyung dan berkata dengan suara gemetar.
"Tae, kau bilang tadi polisi kemari? Apa menurutmu mereka sudah mengepung tempat ini sekarang?"
"Seharusnya sudah," jawab Taehyung, ikut menoleh ke lubang gua dengan was-was sebelum menambahkan dengan nada ragu. Tatapan Jimin membuat bulu kuduknya berdiri. "Aku baru ingat sesuatu, kau belum cerita kepadaku tentang apa yang terjadi di sana. Apa yang Gong Joo lakukan kepadamu, Jim? Mengapa kau terluka seperti ini?" Taehyung menuturkan cepat. Sepasang mata hazel-nya berpendar, dan Jimin tidak bisa menentukan apakah itu air mata atau hanyalah refleksi dari sinar redup rembulan.
Jimin menggeleng lemah. "Tahu-tahu aku sudah terbangun dengan luka seperti ini," jawabnya lirih. Sesuatu mendadak muncul di pikirannya ketika Jimin menatap ekspresi cemas Taehyung. "Tae, ada hal yang lebih buruk terjadi di tempat itu. Aku mendengar sebuah percakapan rahasia antara dua orang penjahat saat hendak kabur, dan kupikir hal itu ada hubungannya dengan luka yang kudapatkan di kaki."
"Ceritakan yang jelas." Taehyung mengamati lekat-lekat.
"Intinya, ada sekumpulan penjahat yang sedang merencanakan pembunuhan masal untuk menghapus jejak mereka sebelum melarikan diri dari tangkapan polisi," kata Jimin sambil melihat kepada Taehyung, seakan-akan mengkhawatirkan dirinya. "Aku mendengar mereka menyebut orang-orang dengan urutan nomor kelompok. Salah satu di antara mereka bilang bahwa kelompok keempat sudah dibakar agar mayatnya tidak meninggalkan jejak. Lalu ... aku menduga para penjahat itu tergabung dalam sindikat penjualan organ ilegal. Mereka mengatakan sesuatu seperti transaksi dan akses penjualan dengan sebuah negara."
"Dan beberapa saat lalu, jauh sebelum aku sadar di gua ini, aku bangun di sebuah tempat yang mirip penjara kecil," Jimin melanjutkan dengan napas putus-putus. Gelombang ketakutan di dalam dadanya makin membesar seiring dia memaksa ingatannya untuk berkelana di masa lalu.
"Gong Joo mengancamku. Dia bilang kalau aku tidak menurutinya, mereka akan melukaiku lebih parah lagi, seperti wartawan itu. Aku tidak tahu apa maksudnya, kurasa para penjahat itu sudah pernah melukaiku―" Jimin melirik kakinya yang dibebat perban, "―tapi Gong Joo entah bagaimana membatalkan rencana mereka untuk membunuhku. Sebagai gantinya, dia mengurungku di tempat itu dan tidak memperbolehkanku pergi."
Taehyung memandang Jimin dan Jimin balas memandangnya. Mereka masing-masing merasakan sedikit sentakan karena mengenali sesuatu yang tidak asing.
"Jim," Taehyung menyahut dengan nada rendah. Suaranya terdengar begitu sinis ketika dia melanjutkan bicaranya. "Aku tahu sesuatu tentang wartawan itu."
Perut Jimin seketika menegang dengan rasa penasaran.
"Siapa?"
"Wartawan itu," kata Taehyung. Dia mulai terbiasa sebentar-sebentar melirik lubang gua dengan perasaan tidak aman.
"Nama wartawan itu Dongsun. Sebelum kemari, aku mencuri dengar pembicaraan para polisi di dorm. Mereka bilang, ada sekelompok penjahat yang menculik banyak orang dan menyekapnya di sini, dan satu-satunya yang tahu tentang informasi itu adalah Dongsun. Menurutku, Dongsun pernah menyelidiki tempat ini seorang diri, kemudian dia tertangkap dan disiksa oleh para penjahat sebelum akhirnya dia bisa lolos dan melaporkan kepada polisi."
Jimin menengadah, memandang separuh wajah Taehyung yang tertimpa cahaya biru pucat rembulan. Dia bisa melihat titik-titik keringat melapisi kulitnya yang agak kotor oleh debu. "Itu masuk akal, Tae. Jadi, para penjahat menculik orang-orang tidak bersalah untuk diambil organnya dan dibunuh," katanya. "Tapi bagaimana dengan Gong Joo? Aku tidak tahu apa posisinya pada konflik ini. Kalau dia menculikku juga, itu artinya aku adalah orang yang ditargetkan untuk dibunuh dan dijual organnya. Tetapi dia tidak pernah membuatku benar-benar mati. Dan apabila dia adalah orang yang menyelamatkanku dari serangan penjahat itu, apa tujuannya?"
"Dia jelas mencintaimu," kata Taehyung. "Dalam kadar yang berlebihan."
"Mana ada orang yang mencintai tetapi melukai?"
"Dengar, Jim," Taehyung mendekatkan dirinya pada Jimin, sehingga keduanya kini hanya berjarak sejengkal tangan saja. Pada kesuraman itu Jimin bisa merasakan napas hangat Taehyung menerpa pipinya. "Ini terdengar rumit. Ingatanku tentang pembicaraan kedua polisi itu agak buram, tapi aku bisa mencoba untuk memahaminya sepotong demi sepotong," katanya. Taehyung menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan.
"Gong Joo sedang menderita sesuatu. Dia punya kelainan pada tubuhnya, dan hal itu berefek pada kesehatan mentalnya. Polisi itu bilang, Gong Joo terlibat dengan para penjahat itu karena suatu alasan. Aku tidak tahu, tetapi akan lebih pantas bila kita menyebutnya dia sedang dikendalikan oleh kelompok penjahat. Sebab, polisi itu bicara sesuatu mengenai ajaran sesat, dan kupikir asumsi ini semakin masuk akal bila kita menghubungkan tindakan agresif Gong Joo dengan sikap obsesifnya terhadapmu. Maksudku, bagaimana bila Gong Joo sebetulnya adalah orang yang menjadi target mereka? Mereka menipu Gong Joo, mempengaruhi pola pikirnya, lalu dia berubah menjadi sosok wanita gila yang memandang dunia dengan perspektif liarnya. Gong Joo kehilangan kendali atas dirinya dan berbuat sesuatu di luar akal dengan menculikmu, lalu membawamu ke tempat ini. Para penjahat itu menjadi kalap dan nyaris membunuhmu, tetapi Gong Joo mempertahankanmu. Aku tidak tahu, Jim. Ini bisa saja keliru, Tetapi apakah kau tidak merasa ada yang aneh dengannya?"
Jimin merasakan kepalanya mengangguk setuju. "Ya, dia bicara hal yang aneh selama menyekapku di ruangan itu," katanya. Taehyung tampak tidak kehilangan aura dinginnya dan Jimin melanjutkan dengan berusaha tenang. "Dia beberapa kali mengutarakan sesuatu tentang hari pembebasan dan nirwana... entahlah, sepertinya wanita itu memang sudah sinting. Dan kelompok itu ... mereka mungkin saja adalah sindikat gelap penjualan organ yang berkedok di bawah bayang-bayang sekte pemuja setan, apa begitu maksudmu?"
Taehyung mengangguk pelan walau tampak ragu. "Ya, begitu yang bisa kusimpulkan."
"Kau tahu mengapa kira-kira mereka melakukannya?"
"Mungkin itu cara mereka untuk menarik korban," kata Taehyung.
"Tidak bisa dipercaya."
Taehyung menandas tegas, "Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Jim. Orang bisa berbuat apapun asal mereka punya tekad dan nyali."
"Kalau begitu," kata Jimin, memperhatikan tanah berkerikil dengan tampang serius. "Apakah kita akan selamat bila kita memiliki tekad dan nyali yang kuat?"
"Kenapa kau masih tanya jawabannya?" Taehyung terkekeh lembut, membelai gemas bawah dagu Jimin sebelum mengubah posisinya menjadi duduk sambil bertumpu pada tumitnya. Dia menepuk-nepuk bagian belakang celananya yang berdebu, kemudian menatap Jimin dengan sorot mata perpaduan antara kesedihan dan harapan.
"Kita akan selamat," ujarnya. "Kau dan aku akan pulang ke rumah, aku janji."[]
Sampe ke rumah dengan selamat gak yaaa :)
Sebentar lagi mau tamat. Be ready with the ending^^
Thank you so much for visiting. Vomments and reviews would be appreciated. I love u.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top